Menegakkan Pancasila Dengan Cara Yang Tidak Pancasilais

Print Friendly, PDF & Email

SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, pada tanggal 1 Oktober bangsa Indonesia memperingati hari kesaktian Pancasila. Peringatan tersebut didasarkan pada peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang menurut sejarah versi Orde Baru, didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Orde Baru kemudian memperingati hari tersebut sebagai momen keberhasilan bangsa Indonesia mempertahankan ideologi Pancasila dari ancaman ideologi lain, terutama Komunisme. Sejak saat itulah rezim Orde Baru mempropagandakan Pancasila sebagai ideologi yang harus dipertahankan oleh bangsa Indonesia dari berbagai macam ancaman, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Keyakinan tersebut dipegang teguh oleh sebagian rakyat Indonesia hingga saat ini. Sayangnya, banyak rakyat Indonesia yang justru menjadikan Pancasila sebagai alat untuk memaksakan kehendak pada pihak lain yang berbeda pendapat. Sebagai contoh, di salah satu universitas negeri, sebuah acara diskusi mengenai refleksi kesaktian Pancasila mendapat pengawasan dari aparat karena diduga menyelewengkan ajaran Pancasila.[1] Bahkan beberapa waktu sebelumnya, acara Simposium “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Ideologi Lain” tanggal 1-2 Juni di Balai Kartini, diwarnai tindakan intimidasi terhadap salah satu wartawan yang meliput acara tersebut.[2] Ironisnya, acara tersebut justru banyak dihadiri oleh ormas-ormas reaksioner yang selama ini membatasi ruang-ruang kebebasan berekspresi rakyat Indonesia.

Bagaimana Pancasila justru dipertahankan dan dibela secara mati-matian dengan cara yang sama sekali jauh dari ajaran Pancasila? Mari kita coba bahas persoalan ini.

 

Versi Soekarno

Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dirumuskan oleh Soekarno. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menggagas sebuah ideologi bangsa Indonesia yang berasal dari lima prinsip yakni: (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan; (3) Mufakat atau Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; (5) Ketuhanan yang Berkebudayaan.[3] Gagasan Soekarno tersebut kemudian disahkan dalam Sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945, sebagai dasar negara Indonesia yang kita kenal hingga saat ini.

Sedari awal, Soekarno menggagas Pancasila sebagai sebuah dasar falsafah dasar negara (Philosophische Grondslag) Indonesia. Philosophische Grondslag ia didefinisikan sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka”.[4] Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami jika Pancasila merupakan dasar negara yang menjadi pedoman bagi seluruh bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia sudah seharusnya dilaksanakan sesuai dengan prinsip dan nilai yang terkandung di dalamnya. Pancasila harus menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi Kerakyatan, serta Keadilan Sosial. Nilai ketuhanan yang dimaksudkan bukanlah sikap fanatisme sempit, melainkan semangat untuk menggali nilai-nilai fundamental dalam ajaran agama sebagai pedoman kehidupan. Nilai-nilai tersebut harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, sikap toleran, serta semangat persatuan kebangsaan. Lebih lanjut, Pancasila juga mengidealkan semangat demokrasi dalam bidang politik melalui proses musyawarah serta demokrasi dalam bidang ekonomi dalam wujud kesejahteraan sosial bagi segenap bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebutlah yang menjadi dasar pedoman hidup bagi bangsa Indonesia.

Dalam perjalanan sejarah, Pancasila ditafsirkan berbeda-beda sesaui dengan kehendak rezim yang berkuasa. Pancasila selama era Demokrasi Terpimpin ditafsirkan sebagai alat untuk mencapai cita-cita Sosialisme Indonesia. Sosialisme Indonesia yang dimaksud Soekarno adalah:

“. . . satu konsepsi lebar jang bernama Manipol/USDEK atau Sosialisme Indonesia, hubungan antar warga Indonesia dengan seluruh ummat manusia jang kita simpulkan sebagai perikemanusiaan, perdamaian, persahabatan antar-bangsa, keadilan antar-bangsa, bebas dari penghisapan dan penindasan, bebas dari exploitation de l’homme par l’homme dan dari exploitation de nation par nation. Inilah refleksi mutlak daripada Kepribadian Indonesia, jang hidup kembali sedjak Proklamasi 17 Agustus 1945”.[5]

Cita-cita kesetaraan itulah yang menjadi tujuan utama pelaksanaan Pancasila di masa Demokrasi Terpimpin.

 

Versi Orde Baru

Sejak Soekarno dijatuhkan dari jabatannya sebagai presiden dan Soeharto menggantikan posisinya, pemaknaan Pancasila juga mengalami pergeseran. Sejak saat itu, Pancasila dijadikan sebagai ideologi tunggal yang tertutup.[6] Rakyat Indonesia di bawah bimbingan rezim Orde Baru harus menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen dan menolak semua ideologi yang lain, terutama Komunisme. Dengan demikian, setiap pihak yang dicurigai menganut ideologi selain Pancasila dianggap sebagai musuh negara dan harus dibereskan.

Pancasila ditafsirkan oleh rezim Orde Baru sebagai campuran dari paham Liberalisme dan Otoritarianisme.[7] Sebagai hasil dari percampuran tersebut, maka muncullah suatu Kapitalisme Negara ala Orde Baru. Kapitalisme Negara merupakan suatu Kapitalisme yang dikendalikan oleh negara untuk kepentingan segolongan kecil birokrat. Sebagai konsekuensinya, kaum Oligarki mulai muncul dan berkembang pesat menguasai berbagai sektor ekonomi-politik Indonesia. Kapitalisme Negara ala Orde Baru serta mulai berkuasanya kaum Oligarki, ini jelas sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang terkandung dalam ajaran Pancasila.

Lebih lanjut, pelaksanaan Pancasila versi Orde Baru ini justru bertentangan dengan nilai-nilai yang dikandung oleh Pancasila itu sendiri. Sebagai contoh, pihak-pihak yang dianggap memiliki afiliasi dengan ideologi kiri, pasca peristiwa 30 September 1965, justru menjadi korban pembunuhan serta penangkapan oleh aparat negara tanpa melalui proses hukum. Selain itu, setiap pihak-pihak yang tampil untuk mengkritisi kebijakan pemerintah juga dicap sebagai musuh negara dan dibungkam (bahkan dilenyapkan) atas dasar meneggakkan Pancasila. Sikap rezim Orde Baru ini tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” serta “Keadilan Sosial” yang terkandung dalam Pancasila. Singkatnya, Pancasila ditegakkan oleh rezim Orde Baru dengan cara-cara yang sangat tidak Pancasilais!

Rezim Orde Baru kemudian berusaha mempropagandakan Pancasila versi mereka sendiri dengan memanfaatkan berbagai macam insitusi seperti instusi pendidikan maupun institusi pemerintah yang lain. Propoganda Pancasila pada masa Orde Baru memanfaatkan apa yang disebut Louis Althusser sebagai “Aparatus Ideologis Negara”. Aparatus Ideologis Negara merupakan institusi yang menyebarkan sebuah ideologi secara hegemonik tanpa melalui kekerasan.[8] Tujuan penyebaran ideologi tersebut jelas, yakni untuk mempertahankan rezim atau kelas yang berkuasa. Orde Baru dalam hal ini memanfaatkan doktrin Pancasila versi mereka sendiri sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya. Selama Orde Baru, tak heran jika rakyat Indonesia dicekoki berbagai macam program seperti program penataran Pedoman Pengamalan Pengamalan Pancasila (P4), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Program-program tersebut dimanfaatkan rezim Orde Baru untuk menanamkan Pancasila menurut versi mereka kepada seluruh rakyat Indonesia.

Doktrin Pancasila versi rezim Orde Baru tersebut memiliki dua konsekuensi. Pertama Pancasila dijadikan sebagai alat legitimasi bagi rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya; dan kedua, pihak-pihak yang mengkritisi atau menolak doktrin tersebut akan dianggap sebagai musuh negara sehingga harus dihilangkan bahkan lewat cara-cara yang represif.

Ketika rezim Orde Baru bangkrut dan runtuh pada tahun 1998, pelaksanaan Pancasila menurut rezim otoriter tersebut justru tidak mengalami perubahan berarti. Apabila pada rezim Orde Baru, Pancasila “ditegakkan” oleh aparat negara, maka pada era reformasi ini sejumlah ormas reaksioner dan fasistik menjadi aktor utama dalam upaya “menegakkan Pancasila” menurut tafsiran mereka sendiri. Pada umumnya, kelompok-kelompok reaksioner tersebut memiliki kedekatan historis dengan pihak militer dan polisi, seperti Pemuda Pancasila (PP), Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/POLRI (FKPPI), dan sebagainya.[9]

Kelompok-kelompok reaksioner tersebut beraksi dengan cara membungkam kebebasan berekspresi rakyat Indonesia. Aksi mereka tersebut tidak jarang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, seperti intimidasi hingga pembubaran paksa. Parahnya, mereka melakukan tindakan tersebut atas dasar menegakkan Pancasila secara murni dan konsekuen, alasan sama persis yang dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk memberangus musuh-musuh rezim tersebut. Apalagi akhir-akhir ini, isu kebangkitan Komunisme mulai marak terjadi sehingga membuat ormas-ormas reaksioner serta para simpatisannya semakin agresif dalam membungkam kebebasan berekspresi. Lucunya, aparat seringkali justru berada dalam barisan yang sama dengan ormas-ormas reaksioner tersebut. Sekali lagi, Pancasila justru ditegakkan dengan cara yang tidak Pancasilais!

Tindakan kelompok reaksioner tersebut jelas tidak dapat dibiarkan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan: pertama, kita harus mengupayakan kerja sama serta persatuan kelompok-kelompok pro-demokrasi untuk merapatkan barisan dalam menghentikan aksi kelompok reaksioner tersebut; kedua, kita tidak boleh berhenti mengupayakan serta memperjuangkan terwujudnya ruang-ruang demokrasi di negeri ini, karena Pancasila mustahil dilaksanakan tanpa hal tersebut.

Pada akhirnya, kedua tawaran tersebut hanya sebagian kecil dari hal yang dapat kita lakukan untuk melaksanakan Pancasila yang sebenar-benarnya sesuai dengan prinsip dan nilai yang terkandung didalamnya. Keberadaan kelompok reaksioner yang berusaha menegakkan Pancasila dengan cara yang tidak Pancasilais, merupakan tantangan besar bagi kita semua. Mari bersatu rapatkan barisan dan jangan pernah lelah untuk berjuang!***

 

Gunungkidul, 5 Oktober 2015

 

Penulis adalah Guru Sejarah di Gunungkidul dan saat ini sedang menempuh studi di program Magister Pendidikan Sejarah UNS

 

————

[1] https://web.facebook.com/kabar.smg/posts/10208916869953152?pnref=story

[2] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160601_indonesia_simposium_rappler_diusir

[3] Yudi Latif. Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia. 2012. Hlm. 15-16.

[4] Yudi Latif. Revolusi Pancasila. Jakarta: Mizan. 2015. hlm.31.

[5] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid II. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi. 1965. Hlm. 446.

[6] Katherine E. McGregor. Ketika Sejarah Berseragam. Yogyakarta: Syarikat. 2008. Hlm. 155.

[7] https://indoprogress.com/2014/12/pengantar-ideologi/

[8] Louis Althusser. Ideologi dan Aparatus Ideologis Negara (Catatan-Catatan Investigasi). Jakarta: IndoPROGRESS. 2015. Hlm. 24.

[9] https://indoprogress.com/2014/12/bukan-persatean/

 

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.