Retorika Sapaan Louis Althusser

Print Friendly, PDF & Email

BAGI beberapa orang, terutama yang memiliki nama asli yang panjang dan njlimet, nama panggilan yang singkat (dan cenderung imut) adalah solusi yang paling mudah dan menyenangkan. Namun agaknya tidak semua orang memiliki nama yang enak untuk dipanggil secara singkat, salah satunya nama saya. Walaupun saat ini saya tidak keberatan dengan panggilan “sialan”, namun pernah ada masa dimana saya sangat tidak nyaman dengan panggilan tersebut. Bukan karena arti definitif dari kata “sialan” itu sendiri, tetapi lebih kepada panggilan itu menonjolkan satu sisi dari tingkah laku saya dimana, terutama pada waktu SMP/SMA, kerap kali saya mengajukan pertanyaan beruntun (dan usil), apapun subjek pelajarannya.

“Sapaan akrab” itu menciptakan imaji dan seolah men-definisi-kan saya dalam satu sisi yang khalayak inginkan. “Sapaan akrab” inilah yang coba diangkat oleh Roland Boer melalui karyanya, Criticism of Heaven: On Marxism And Theology, khususnya pada bab yang ketiga: ‘The Ecclesiastical Eloquence of Louis Althusser’. Pada bab ini, Boer mencoba membedah pemikiran Louis Althusser dalam dua bagian besar: perjalanan kekristenan Althusser sampai ia memutuskan untuk meninggalkan gereja di masa akhir kehidupannya, dan bagaimana sisa-sisa pengaruh kekristenan turut andil membangun pemikiran Althusser bahkan dalam tulisan-tulisannya yang populer, termasuk ‘On The Reproduction Of Capitalism: Ideology And Ideological State Apparatuses’.

 

Titik Buta Althusser

Menurut Roland Boer, sesungguhnya Althusser sama sekali tidak memiliki masalah dengan kekristenan (khususnya Katolik Roma) secara teologis. Malah Boer menyebut Althusser sebagai “Marxis Katolik” terkait komitmennya yang panjang dengan kehidupan gereja Katolik Roma di Perancis. Dalam tulisan-tulisan awalnya (yang dikenal lebih eklesiologis), seperti ‘The International of Decent Feelings’, ‘A Matter of Fact’, dan ‘On Conjugal Obscenity’, gambaran ketegangan antara teologi kristen (yang dipengaruhi banyak oleh Hegel) dan kritik Marxisme mulai terlihat, sekalipun masih dalam kerangka pembicaraan mengenai kehidupan bergereja.

Pada ‘The International of Decent Feelings’, misalnya, Althusser mempertanyakan pendekatan alegoris yang berkembang di gereja-gereja di Perancis saat itu, khususnya bagaimana hal tersebut dipakai sebagai respon gereja atas Perang Dunia II dan Perang Dingin (Perang dianggap sebagai Murka Allah, Kamp Konsentrasi dipandang sebagai Penghakiman Terakhir, Bom Atom adalah kehendak Tuhan, dll.). Bagi Althusser, pendekatan semacam ini hanya melanggengkan ide-ide pasca Perang Dingin, seperti kesatuan atas nama kemanusiaan. Gagasan-gagasan dianggap tidak lain adalah kedok penguasa dan kaum kapital untuk men-generalisasi perbedaan kelas dan sama sekali tidak menghilangkan eksploitasi atas kaum pekerja. Menurutnya, rekonsiliasi kemanusiaan mensyaratkan transisi relasi kerja yang menghasilkan emansipasi pekerja proletar, yang pada akhirnya membebaskan manusia dari alienasi dengan sumber daya.

Pemikiran ini jelas bertolak-belakang dengan landasan teologi yang ia peroleh dari Hegel, yang menekankan kesadaran pribadi dan moralitas individual, akan tetapi ini tak lantas membuat marxisme dan kekristenan saling menafikan satu dengan yang lain. Gagasan menarik Althusser dapat kita perhatikan dalam petikan teks-nya berikut:

“Ketakutan bukanlah asal-usul kita, bukan pula keberanian…; lebih jauh lagi, kondisi manusia bukanlah asal-usul kita. Mungkin, hal tersebut adalah asal-usul kita di hadapan Tuhan; karena kita, orang Kristen, menyebut kondisi demikian sebagai ‘dosa asal’. Bagi mereka yang bukan Kristen, maupun orang Kristen yang tidak berusaha untuk merebut posisi Tuhan, asal-usul manusia bukanlah proletariat dari kemanusiaan, melaikan proletariat itu sendiri, yang mengarah kepada emansipasi.” [1]

 “Sebagai orang Kristen, kita percaya akan kemanusiaan; dengan kata lain, kita percaya akan kesetaraan umat manusia di hadapan Allah, dan Penghakiman-Nya, akan tetapi, tentu saja, kita tidak menginginkan Penghakiman Allah terjadi di depan mata kita; kita pun tidak ingin melihat, baik orang Kristen maupun non-Kristen, menumbalkan diri dengan bom atom atas nama kehendak Allah, kesetaraan di hadapan Allah…, dan siksaan kamp konsentrasi sebagai perwujudan Penghakiman Allah” [2]

Alih-alih membuat pemisahan distingtif antara kaum kristen dan non-kristen, sebagaimana dilakukan umumnya oleh gereja saat itu, Althusser justru menempatkan ‘orang Kristen yang tidak mengangkat diri sebagai Tuhan’ dan ‘orang Non-Kristen (mengacu kepada kaum marxis dan partai komunis saat itu)’ dalam posisi yang sama, dalam pengertian bahwa, keduanya sama-sama menyadari ide bahwa pertentangan kelas dan kondisi kaum proletar adalah realitas yang tidak bisa semata-mata dikaburkan atas nama “humanisme”. Hal ini menarik mengingat, di saat yang bersamaan, Althusser masih berpegang pada doktrin kekristenan klasik, seperti ‘dosa asal’ dan ‘penghakiman terakhir’ yang tidak sejalan dengan ide pertentangan kelas itu sendiri.

Singkatnya, pada tulisan-tulisannya mengenai teologi dan eklesiologi, Althusser sudah mencetuskan kemungkinan aliansi antara marxisme (disimbolkan dengan kaum non-kristen) dan kekristenan (disimbolkan degan kaum kristen). Sayangnya, menurut Boer, sebelum sempat mengelaborasi ketegangan tersebut lebih jauh, Althusser terburu-buru jatuh pada kesimpulan bahwa menyatukan kekristenan dan aksi politis akan berujung pada mistifikasi politik dan memudarnya kekristenan itu sendiri. Hal ini (lagi lagi menurut Boer) disebabkan adanya titik buta pada tulisan-tulisan awal Althusser, yaitu ambiguitas penggunaan istilah ‘katolik’ yang membuat kerancuan doktrin kekristenan secara umum dengan kondisi spesifik Katolik-Roma Perancis pada zamannya.

Dalam tulisan ‘A Matter of Fact’, misalnya, kritik-kritik Althusser tentang kehidupan bergereja sangat berfokus pada pelanggengan struktur feodal gereja yang ditengarai sebagai penyebab terpisahnya gereja dari relevansi kehidupan sosial-politik masyarakat. Maka tak heran, solusi yang diajukan Althusser adalah emansipasi gereja dari struktur feodal-kapitalis kepada kehidupan religius yang otentik, dekat dengan masyarakat. Hal ini dimungkinkan apabila peran komunitas-komunitas gereja yang lekat dengan kaum proletar lebih diberi ruang. Dengan kata lain, harapan perubahan gereja ada di tangan kaum proletar.

Dari tulisan tersebut, kita bisa melihat dua hal: pergeseran ideologis Althusser ke arah marxisme, serta munculnya gagasan agama sebagai bentuk ideologi dimana struktur (hierarki gereja) dan subjek (jemaat gereja) berada pada kondisi saling bergantung. Sampai titik ini, Althusser masih membuka kemungkinan untuk gereja yang berdialektika melalui kehidupan religius yang dekat dengan masyarakat.

Titik buta Althusser semakin terlihat jelas di tulisan ‘On Conjugal Obscenity’. Althusser seolah menjatuhkan ‘mosi tidak percaya’ kepada gereja Katolik-Roma Perancis (yang ia sebut dengan terminologi ‘kekristenan’) melalui kritiknya terhadap sakralisasi kehidupan seksual yang diberi label ‘pernikahan’. Bagi Althusser, diangkatnya kehidupan seksual, yang semula adalah ranah privat, ke ranah publik dan pelegalannya demi hukum adalah bentuk propaganda gereja Katolik-Roma Perancis untuk turut campur lebih kuat dalam ranah privat. Pernikahan, yang saat itu dianggap ‘menaikkan’ derajat perempuan, bagi Althusser tak lebih adalah sebuah euforia palsu dimana wanita seolah diangkat derajatnya dan diberi pilihan bebas, tapi secara tak sadar mereka menyerahkan kehidupan pribadi ke dalam kekangan gereja. Melalui perjalanan ketiga tulisan tersebut, Boer melihat secara perlahan kepercayaan Althusser kepada gereja runtuh, akan tetapi secara ironis, titik buta ‘kekatolikan’ Althusser terus terbawa bahkan memengaruhi fondasi filosofis yang ia bangun pada tulisan-tulisan setelahnya.

 

Ideologi Praktis: Sapaan yang memberi identitas

Pengaruh kekristenan/gereja dalam filosofi Althusser dapat kita telusuri mulai dari konsep ‘ideologi’. Dua ciri utama pendekatan Althusser mengenai ideologi adalah kekekalan ideologi dan aspek material yang menentukan eksistensi ideologi. Untuk isu pertama, terlepas adanya pengaruh dari konsep ‘kekekalan alam bawah sadar’ Freud, argumen-argumen Althusser tentang kekekalan ideologi sangat kental dengan penggunaan atribut ilahi, dan bagi Boer pendekatan semacam ini adalah logika internal dari teologi, bahwa pembicaraan mengenai Tuhan adalah pembicaraan mengenai ideologi memiliki atribut ilahi. Ciri ini pula yang menjadi dasar konsep populer Althusser, yaitu ideologi sebagai representasi hubungan imajiner antara individu dan realitas:

“Jika kekal berarti, tidak transenden terhadap sejarah, melainkan maha-hadir, melampaui sejarah dan tetap tak berubah seiring perjalanan sejarah, (maka) saya memegang pendapat Freud’s tentang bahasa, dan menuliskan bahwa ideologi adalah kekal, sama halnya dengan ketidaksadaran”. [3]

Pada isu yang kedua, terkait aspek material dari ideologi, sisi teologis terutama eklesiologi Katolik abad pertengahan lebih jelas terlihat. Althusser memulai argumennya dengan mengutip pemikiran Baruch Spinoza, teolog Katolik Belanda, bahwa keberadaan segala sesuatu adalah bergantung dari dampak/akibat yang dihasilkan. Berangkat dari pemahaman inilah Althusser mengajukan gagasan bahwa keberadaan ideologi senantiasa bergantung dari unsur materialnya, yaitu ideologi praktis (agama, etika, politik, estetika, dll.) dan aparatusnya (Ideological State Apparatus (ISA)) dan pada saat yang sama, praktik-praktik ideologi pun turut melanggengkan keberadaan ideologi itu sendiri. Dan, lagi-lagi, contoh yang dipakai Althusser adalah ritual agama, terlebih Katolik Perancis saat itu, yang notabene memisahkan aspek kepercayaan (Belief) dan praktis dengan lebih menitikberatkan kepada aspek praktis beragama. Dengan kata lain, dasar konsep ideologi Althusser tidak lain adalah analogi dari teologi Katolik Perancis pada zamannya, atau dalam istilah Boer ‘ideologi material yang menggunakan logika teologis’.

Lalu pada bagian yang paling populer dari tulisan Althusser tentang ISA, seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, adalah sifat ideologi yang bekerja seperti ‘sapaan akrab’ atau, istilah kerennya, sifat interpelatif dari ideologi. Kebanyakan pembaca Althusser menaruh fokus pada argumen bahwa ideologi bekerja membentuk subjek dengan cara yang sama dengan ‘sapaan akrab’ (untuk konteks Indonesia, saya memilih contoh panggilan teman akrab yang lebih relevan dibanding contoh panggilan polisi yang dipakai Althusser). Ketika Anda disapa dengan ‘sapaan akrab’ oleh seseorang yang dekat dengan Anda, baik keluarga atau sahabat (atau mantan pacar), secara refleks Anda akan menoleh/berbalik. Anda secara sadar meng-identik-kan ‘sapaan’ itu dengan diri Anda dengan menyadari panggilan itu secara unik hanya ditujukan kepada Anda. Ia menciptakan imaji dan kita merelakan diri tunduk (subjected to) kepadanya. Itu sebabnya Althusser berargumen setiap individu pada dasarnya sudah dan selalu menjadi subjek dari ideologi.

Yang menarik adalah ‘sapaan’ ideologi ini juga memiliki ciri lain yang sering dilewatkan. Untuk hal ini, penggunaan contoh dari teologi kristen kembali muncul, seperti panggilan Yesus kepada Petrus dan murid-murid lainnya (Matius 4:18-22). Melalui analogi penggilan Yesus tersebut, Boer meng-analisis unsur penting dari ‘sapaan’ ideologi yang coba ditonjolkan Althusser, yaitu ideologi turut memberi identitas kepada subjek (’s’ huruf kecil) dengan otoritas dari Subjek (’S’ huruf kapital) yang darinya subjek (’s’ huruf kecil) bisa menyadari eksistensinya.

Sekilas kita bisa menemukan kemiripan teori tersebut dengan teori psikoanalisis Jacques Lacan, dimana pada fase cermin, sang bayi memperoleh kesadaran eksistensi sekaligus identitasnya melalui citra atau persepsi di cermin. Di sisi lain, karena identifikasi ini diperoleh dari objek di luar diri sang bayi, maka ia senantiasa mengalami alienasi. Dari sini, kita bisa melihat signifikansi mengapa manusia perlu mencari ‘representasi hubungan imajiner antara dirinya dan realitas’, dimana jawabannya adalah agar manusia bisa hidup ‘normal’ dengan berpedoman hidup kepada sang Subjek sekaligus menyelesaikan masalah akan jati dirinya.

Kemudian dalam kaitannya mengenai mitos, menurut Boer, Althusser tidak menawarkan banyak hal. Althusser mencoba menjelaskan penghapusan alienasi pekerja dengan kerja melalui pembacaan kitab Kejadian soal penciptaan. Singkatnya, Althusser menggambarkan alienasi kerja telah dimulai sejak adanya mitos bahwa tindakan kerja diserahkan kepada hukum alam. Hal ini diperoleh dari pembacaan literal Althusser atas Kejadian 3 tentang dampak pembangkangan manusia terhadap Allah yang berujung pada ‘delegasi’ hasil kerja kepada tanah (hukum alam) kepada Adam, dan natur rasa sakit persalinan (juga hukum alam) kepada Hawa. Bagi Althusser, cara untuk menghilangkan alienasi pekerja dari kerja adalah eliminasi mitos dalam ekonomi dan menyerahkannya kepada mekanisme sainfitik. Roland Boer mengkritik pendekatan ini, tidak hanya karena basis eksegesis Althusser yang sarat dengan konsep Aquinas dan Agustinus tentang Allah yang self-sufficent, tapi juga bahwa konsep ini hanya berputar di ranah idealisme, dan membuat gagasan seolah-olah alienasi kerja adalah hal natural yang tak dapat dilampaui secara material. Walaupun pada akhirnya Althusser sendiri mengakui kekurangan filosofinya dan membuka ruang kembali bagi mitos untuk memberi kemungkinan baru (reprise) tentang natur alami dari alienasi.

 

Akhir Auto-Biografi?

Roland Boer menutup bab ini dengan menggambarkan perjalanan pemikiran Althusser layaknya sebuah biografi alih-alih autobiografi, dalam pengertian bahwa Althusser tidak pernah lepas dari (ditulis oleh) teologi kristen. Komitmennya yang panjang dengan gereja Katolik Perancis, terlebih interaksinya dengan para teolog seperti Jean Guitton dan Pere Hours, tidak hanya memberi fondasi bagi buah pemikiran Althusser, tetapi juga menolong Althusser melampaui pemikiran teologi pada zamannya dan membuka kemungkinan bertemunya ide-ide agama dan marxisme. Walaupun pada saat yang bersamaan, hal ini juga menjadi keterbatasan dari gagasan yang ia ajukan, dimana ia melihat agama sebagai struktur yang melanggengkan ideologi semata-mata dari pengalaman feodalisme Katolik.

Althusser, barangkali, adalah gambaran sempurna dari gagasan yang ia sampaikan sendiri. Seperti halnya Petrus yang ‘didefinisikan’ melalui ‘sapaan akrab’ Yesus, Althusser yang ‘didefinisikan’ katolisisme pun turut menjadi corong wake-up call kemungkinan-kemungkinan baru tentang agama, penghancuran kesenjangan kelas, dan alienasi pekerja.***

 

Penulis adalah aktivis Diskusi Selasaan, sebuah kegiatan diskusi teologi yang diadakan rutin setiap Selasa malam pukul 19:00 WIB di Thamrin Residence

 

Artikel ini disiapkan untuk acara Diskusi Selasaan, Gereja Komunitas Anugerah – Reformed Baptist Salemba, Selasa, 9 Agustus 2016, bedah buku “Criticsm of Heaven: Chapter 3” karya Roland Boer. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

————

[1] Althusser 1997, p. 27; Althusser 1994a, pp. 42–3.

[2] Althusser 1997, p. 27; Althusser 1994a, p. 43.

[3] Althusser 1972, p. 161, emphasis in original.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.