Mendamaikan Islam Liberal dan Islam Progresif, Mungkinkah?

Print Friendly, PDF & Email

BEBERAPA waktu lalu, salah seorang peneliti muda dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakkir, menulis status yang bagi saya cukup menarik di halaman Facebooknya. Yaitu: mengenai “perselisihan dan ketegangan intelektual” antara Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani Ulil Abshar Abdhalla dengan Islam Progresif yang digawangi Muhammad Al-Fayyadl dan sejumlah kawan-kawannya.

Menurut Amin, perselisihan dan ketegangan intelektual antara Jaringan Islam Liberal dan Islam Progresif, dapat mudah dimafhumi karena keduanya memang berangkat dari pilihan paradigma dan pendekatan teoretik yang sama sekali berbeda. Jika yang pertama memberikan penekanan pada ‘politik rekognisi’(politic of recognition), sementara yang kedua menekankan pada ‘politik redistribusi’(politic of redistribution).

Sehingga wajar, jika Jaringan Islam Liberal, selama ini kita lihat, tak terlalu memperhatikan atau mungkin bahkan mengabaikan sama sekali isu-isu seputar ketidakadilan ekonomi struktural di dalam masyarakat. Jaringan Islam Liberal gagap dalam merespon isu-isu ketidakadilan ekonomi, tetapi sangat artikulatif dan gigih merespon isu-isu kekerasan atas nama agama, intoleransi, konflik etnis, kebebasan beragama dan lain sebagainya. Sebaliknya, Islam Progresif, memfokuskan perhatiannya pada isu ketidakadilan ekonomi akibat keangkuhan kapitalisme yang semakin radikal dalam menaklukkan dan menguasai ruang-ruang hidup keseharian, seperti misalnya penggusuran rumah-rumah rakyat, perampasan tanah-tanah rakyat dan lain sebagainya.

Namun, dalam status Facebooknya, lebih lanjut Amin—dengan mengutip pendapat Nancy Fraser (salah seorang tokoh teori kritis kontemporer yang memang banyak membahas tentang politik redistribusi dan politik rekognisi, selain tokoh lain seperti Axel Honnet dan lain-lain)–memberikan kemungkinan, seberapapun kecil, Jaringan Islam Liberal dan Islam Progressif bisa berdamai dan berjabat tangan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ketidakadilan (injustice) di dalam kehidupan sosial.

Kemungkinan ini, oleh Amin, dianggap sebagai tantangan baru intelektual muslim di Indonesia, yang menuntut dirumuskannya langkah-langkah terobosan pemikiran politik keislaman yang mampu mengintegrasikan dan menjembatani keduanya, yang saya lihat memang tampak jatuh dalam jurang sinisme intelektual yang cukup akut.

Tulisan ini sama sekali tak bermaksud untuk menawarkan bagaimana langkah-langkah terobosan yang mampu mengintegrasikan Jaringan Islam Liberal dan Islam Progresif yang dianggap memiliki tumpuan paradigma dan pendekatan teoretik yang berbeda itu. Tulisan ini hanya ingin menegaskan apakah mendamaikan Jaringan Islam Liberal dan Islam Progresif itu sesuatu yang mungkin. Sebelum menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu akan diuraikan kembali pemikiran Nancy Fraser. Nancy Fraser, saya rasa, sangat kritis membaca politik rekognisi dalam hubungannya yang konfliktual dengan politik redistribusi. Tidak hanya itu, Nancy juga sekaligus menyuguhkan tawaran menarik yang diharapkan bisa mengintegrasikan politik rekognisi dan politik redistribusi.

Dengan menguraikan kembali pemikiran Nancy Fraser, minimal, tulisan ini dapat membantu memahami perselisihan dan ketegangan intelektual Jaringan Islam Liberal dan Islam Progresif secara lebih memadai.

 

Menguatnya Politik Rekognisi

Ada perubahan penting dalam kajian filsafat politik dan budaya, terutama pasca runtuhnya komunisme model Uni Soviet. Atau, Nancy Fraser menyebutnya dalam masyarakat ‘post-sosialis’. Perubahan itu: pergeseran paradigma dari politik redistribusi ke politik rekognisi. Pergeseran paradigma ini juga lazim dikenal sebagai cultural turn (belokan budaya). Harus diakui, perdebatan tentang politik rekognisi dan politik redistribusi ini, tetap menjadi topik perdebatan serius dan hangat dalam kajian filsafat politik dan budaya, sampai saat ini.

Menurut Nancy, setelah komunisme Soviet hancur dan proses akselerasi globalisasi berjalan semakin cepat, terjadi banyak konflik-konflik sosial di dalam masyarakat dunia. Menariknya, kata dia, konflik-konflik sosial tersebut dipahami dan diartikulasikan dengan menggunakan idiom-idiom politik rekognisi, bukan lagi politik redistribusi seperti di masa-masa sebelumnya. Klaim-klaim politik redistribusi terlihat sudah semakin surut, jarang terdengar, dan tak terlalu menonjol. Politik redistribusi, katakanlah, mulai memasuki masa dan era senjakalanya. Pesonanya mulai memudar. Digantikan dengan politik rekognisi yang mulai mekar.

Politik rekognisi muncul sebagai tandingan bagi politik redistribusi. Bahkan, lebih dari itu, politik rekognisi dianggap bermaksud ingin menggantikan sepenuhnya ‘perjuangan’ politik redistribusi.

Berbeda dengan politik redistribusi, politik rekognisi lebih menekankan pada persoalan misrekognisi dan menganggap misrekognisi sebagai kerugian kultural. Akar dari ketidakadilan, bagi politik rekognisi, bermula karena persoalan-persoalan representasi yang merendahkan.

Meski politik rekognisi tak sepenuhnya menolak persoalan ketidakadilan ekonomi sebagaimana ditekankan oleh politik redistribusi, tetapi politik rekognisi memandang persoalan ketidakadilan ekonomi ini hanya merupakan efek kedua atau efek turunan dari persoalan misrekognisi. Dengan kata yang tegas: persoalan ketidakadilan ekonomi ini, hanya dianggap merupakan ekspresi-ekspresi sederhana dari masalah hirarki kultural dan misrekognisi. Bahkan, beberapa eksponen politik rekognisi, menuding politik redistribusi yang terlalu menekankan persoalan ketidakadilan ekonomi itu tak lain adalah bagian dari bentuk ekonomisme Marxist yang vulgar.

Sementara itu, politik redistribusi memandang ketidakadilan ekonomi merupakan persoalan yang mendasar, dan memengaruhi aspek-aspek sosial yang lainnya. Persoalan ketidakadilan ekonomi, bagi politik redistribusi, merupakan “basis”, yang menentukan bangunan “superstruktur” di atasnya.

Demikian, kita lihat, kemunculan dan menguatnya politik rekognisi, menjadi semacam rival bagi politik redistribusi, dan bahkan cenderung ingin meniadakan satu sama lain. Para eksponen dari kedua paradigma ini, saling serang, saling sinis, dan saling tuding.

Dalam konteks ini, kita bisa memahami mengapa Jaringan Islam Liberal dan Islam Progresif di Indonesia, yang dianggap mewakili kecenderungan dua paradigma dan pendekatan politik redistribusi dan politik rekognisi, juga menunjukkan perselisihan dan ketegangan intelektual dalam menyikapi persoalan-persoalan sosial (terutama soal ketidakadilan) di tanah air.

Tapi, Nancy Fraser, memiliki pembacaan yang cukup kritis terhadap politik rekognisi yang tampak mulai menonjol itu. Di bawah ini, akan dipaparkan pembacaan kritis Nancy dan solusi yang ditawarkannya. Paparan ini saya sarikan sepenuhnya dari dua tulisan Nancy yang terkenal yaitu “Rethinking Recognition” dan “From Redistribution to Recognition? Dillemas of Justice in a ‘Post-Socialist’”.

 

Dua Problem Politik Rekognisi

Politik rekognisi menjadi perspektif yang dominan saat ini. Hanya saja, menurut Nancy, politik rekognisi memiliki dua problem dalam dirinya. Nancy menyebut dua problem politik rekognisi tersebut the problem of displacement dan the problem of reification. Nancy memandang dua problem ini cukup serius dan menjadi rintangan tersendiri bagi perjuangan politik rekognisi saat ini dan ke depan.

Problem displacement terkait dengan keinginan politik rekognisi untuk menggantikan sepenuhnya perjuangan politik redistribusi dan menganggap dirinya sebagai satu-satunya perspektif yang memadai dan cukup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ketidakadilan (injustice) dalam kehidupan sosial. Padahal, kata Nancy, proses akselerasi globalisasi ekonomi yang mengakibatkan semakin agresifnya perluasan kapitalisme yang menyebabkan ketidakdilan yang semakin luas dan mendalam, merupakan fenomena dan fakta sosial yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Sementara, problem reifikasi, terkait dengan pengidentikkan politik rekognisi dengan semata-mata politik identitas. Sehingga politik rekognisi pada akhirnya dianggap potensial mendorong– baik langsung maupun tidak langsung— primordialisme, separatisme, dan lain sebagainya, dengan alasan memperjuangkan pengakuan identitias dari sebuah kelompok tertentu.

Oleh sebab itu, dalam tulisan-tulisannya, Nancy serius menawarkan cara baru dalam mendekati dan memahami politik rekognisi. Sebuah cara yang diharapkan oleh Nancy sendiri dapat mengatasi dan minimal mengurangi problem displacement dan problem reifikasi. Cara ini juga diharapkan dapat mengintegrasikan politik rekognisi dan politik redistribusi. Sebab dalam banyak masyarakat, kata Nancy, persoalan ketidakadilan ekonomi (maldistribusi) dan masalah misrekognisi kadang melebur menjadi satu, tak bisa dipisahkan. Persoalan misrekognisi terkadang bertalian cukup erat dengan masalah ketidakadilan ekonomi, begitu sebaliknya. Sehingga konsekuensinya, kata Nancy, bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut, sebenarnya dapat diselesaikan dengan “satu pukulan”. Pada titik ini, gagasan Nancy untuk mengintegrasikan politik rekognisi dan redistribusi menemukan rasionalisasinya. Bagi Nancy, tak mungkin seluruh persoalan ketidakadilan hanya mampu diselesaikan oleh politik rekognisi semata.

Dalam rangka memenuhi gagasannya untuk mengintegrasikan politik rekognisi dan politik redistribusi serta mengatasi problem displacement dan problem reifikasi, Nancy terlebih dahulu menelanjangi ‘pendekatan biasa’ yang selama ini biasa dipakai untuk memahami politik rekognisi. Pendekatan biasa tersebut disebut oleh Nancy sebagai ‘model identitas’ yang dapat dirujuk pada gagasan Hegelian dalam memandang identitas.

Menurut Hegel, identitas itu dikonstruksi secara dialogis, melalui proses-proses pengakuan (recognition) timbal balik. Pengakuan (recognition), bagi Hegel, ditandai oleh sebuah hubungan atau relasi timbal balik yang ideal di antara subjek-subjek. Dan masing-masing subjek diamsusikan memiliki posisi dan kedudukan yang ekual dan terpisah satu sama lain. Relasi antara subjek ini bersifat konstitutif: satu subjek akan ‘eksis’ bila diakui dan mendapatkan pengakuan (recognition) dari subjek yang lain. Pengakuan (recognition) ini menjadi penting dalam mengembangkan perasaan diri si subjek. Namun, jika relasi-relasi itu mengalami suatu distorsi, dengan kata lain, subjek yang satu tak mendapatkan pengakuan (recognition) dari subjek yang lain, maka terjadi misrekognisi: bisa berupa pendislokasian, peminggiran, peliyanan, dan lain sebagainya. Maka proyek perjuangan politik rekognisi adalah untuk membantu ‘mengadvokasi’ subjek yang mengalami peminggiran dan peliyanan tersebut dalam sebuah kontestasi dengan subjek (identitas dan kultur) yang dominan.

Bagi Nancy, ‘model identitas’ ini, secara teoretik dan politik, dipandang problematis. Karena hemat Nancy, dengan menyamakan politik rekognisi dengan politik identitas, politik rekognisi dianggap dapat mendorong pada problem reifikasi dan juga problem displacement yang sudah disinggung di atas.

Setelah mengkritik ‘model identitas’, Nancy lalu mengajukan ‘model status’ yang dibandingkannya secara diametral dengan ‘model identitas’. Dalam ‘model status’, pada intinya, Nancy ingin mengatakan bahwa relasi yang ekual juga dapat mengalami rintangan ketika beberapa subjek mengalami kekurangan sumber-sumber ekonomi untuk berinteraksi dan membangun relasi dengan subjek yang lain. Dengan kata lain, ketidakadilan ekonomi, dalam banyak kasus, justru dapat membentuk kesulitan subjek-subjek tertentu untuk berpartisipasi dalam sebuah relasi dengan subjek yang lain.

Nancy menyadari sepenuhnya, seberapapun politik rekognisi memiliki beberapa kecacatan serius dalam dirinya, kita, kata dia, tak bisa sepenuhnya menolak dan membuang politik rekognisi ke keranjang sampah. Dia sendiri memilih untuk memahami politik rekognisi dengan cara yang baru.

Menurutnya, apa yang dibutuhkan saat ini, adalah sebuah politik rekognisi alternatif yang dapat menyelesaikan persoalan misrekognisi, tetapi tanpa mendorong problem displacement dan problem reifikasi. Sekaligus juga mampu mengintegrasikan politik rekognisi dan politik redistribusi. Bagi Nancy, ‘model status’ yang ia tawarkan menyediakan basis untuk itu.

 

Menimbang Tawaran Nancy

Setelah dipaparkan pembacaan kritis Nancy terhadap politik rekognisi dan solusi yang ditawarkannya, mari kembali lagi ke pertanyaan awal tulisan ini: mungkinkah Jaringan Islam Liberal dan Islam Progresif yang dianggap mewakili kecenderungan pendekatan politik rekognisi dan politik redistribusi, dapat saling berdamai satu sama lain? Jawabannya bisa mungkin, tapi juga bisa tidak.

Bisa mungkin didamaikan, jika kita sepakat, perselisihan dan ketegangan antara Jaringan Islam Liberal dan Islam Progresif, disebabkan karena tumpuan paradigma dan pendekatan teoretik keduanya yang memang berbeda. Jika kita bisa bersepakat dengan ini, perselisihan dan ketegangan antara Jaringan Islam Liberal dan Islam Progresif, minimal di level dan secara teoretik, bisa didamaikan. Cara baru yang ditawarkan Nancy dalam memahami politik rekognisi, setidaknya memberikan pijakan dan fondasi ke arah itu.

Tetapi juga bisa tidak mungkin didamaikan, jika perselisihan dan ketegangan antara Jaringan Islam Liberal dan Islam Progresif, dianggap bukan hanya disebabkan oleh pilihan paradigma dan pendekatan teoretik keduanya yang berbeda. Melainkan, disebabkan oleh kompleksitas faktor. Asumsi bahwa perselisihan dan ketegangan antara Jaringan Islam Liberal dan Islam Progresif disebabkan karena keduanya bertumpu pada paradigma dan pendekatan teoretik yang berbeda, bisa jadi dianggap terlalu menyederhanakan persoalan karena mengabaikan konteks kesejarahan dan faktor sosio-politik di Indonesia yang turut membingkai muncul dan terbentuknya kedua kelompok tersebut ***

 

Penulis adalah alumni Kajian Budaya dan Media UGM, bergiat di Pusham UII Yogyakarta.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.