Ayu Diasti Rahmawati: 1965: Bukan Tentang Korban vs. Pelaku Saja, Tetapi Tentang Kita Semua

Print Friendly, PDF & Email

TIAP 30 September, Indonesia selalu bertemu lagi dengan sejarah kelamnya yang belum terselesaikan dan terus menghantui hingga kini. Meski pelan dan tak jarang menemui kebuntuan, percakapan dan wacana tentang 1965 terus didengungkan oleh para pekerja ingatan dan aktivis kemanusiaan. Memperingati 51 tahun peristiwa 1965 tahun ini, kami mewawancarai Ayu Diasti Rahmawati, seorang dosen di Yogyakarta.

Ayu adalah bagian dari generasi muda Indonesia yang tadinya menganggap 1965 sebagai sesuatu yang tak ada kaitan dengannya. Sebuah percikan dalam perjalanan intelektualnya membawanya ke pencarian mendalam tentang 1965. Dalam pencariannya inilah, ia menemukan jejak-jejak sang kakek. Apa yang semula dipikirnya sebagai sesuatu yang begitu jauh, ternyata amatlah dekat. Berikut wawancara dengannya yang dilakukan oleh Sari Safitri Mohan.

 

Kapan pertama kalinya kamu mengetahui sejarah 1965 yang tidak sama dengan apa yang dipropagandakan oleh Orba?

Waktu selesai S1 dan sepanjang belajar S2. Waktu S1 aku ambil kelas tentang studi perdamaian dan setelahnya aku sering terlibat sebagai tutor kelas. Salah satu materinya adalah dealing with the past. Nah, banyak past yang dibicarakan, salah satunya tentang 1965. Setiap semester kita selalu putar filmnya Lexy (Rambadetta), Mass Grave, yang sebetulnya cukup gamblang menggambarkan tentang 1965. Tetapi saat itu aku melihatnya sebagai suatu realitas yang terpisah dengan diriku. 1965 hanya satu episode dalam sejarah Indonesia yang kupikir tidak ada hubungannya denganku. Aku juga belum secara sadar mencari tahu tentang sejarah diriku sendiri.

Kalau diingat-ingat lagi, lucu sih. Sebagai tutor kelas, aku membantu teman-teman mahasiswa untuk memahami materi kuliah. Beberapa di antaranya bahkan bikin video tentang 1965 dan aku menghubungkan mereka dengan kakekku, seorang tentara, yang kuanggap sebagai saksi sejarah. Menariknya, sebagai tentara, eyangku tidak hitam putih dalam memandang 1965. Ketika ia menjawab pertanyaan-pertanyaan temanku, dia terdengar tahu dan bisa berargumen dengan baik dan runtut tentang ideologi Marxisme. Dia bisa menjelaskan panjang lebar kenapa ideologi Marxisme tidak cocok diterapkan di Indonesia dengan menjelaskan tentang basis pemikiran Marx, materialisme, atau bahwa agama adalah candu. Nantinya aku pelajari bahwa itu adalah interpretasi yang salah tentang Marxisme. Jadi, eyangku bukan tipe yang langsung bilang, “pokoknya PKI itu salah” tapi dia bisa berargumen di level yang cukup ideologis. Selama S1, aku juga tidak terpapar buku-buku yang bercerita sebaliknya. Jadi, pengetahuan tentang 1965 itu ya passing by saja. Eyangku juga punya alasan yang bisa diterima, runtut dan logis tentang kenapa tragedi itu terjadi. Jadi, aku tidak cukup tergelitik untuk mempertanyakannya lebih lanjut.

Ketika belajar S2 di Amerika, awalnya aku mau belajar soal pengungsi. Sampai kemudian ada satu mata kuliah yang membicarakan soal Truth and Reconciliation Commission (TRC). Di kelas ini, dosennya tanya ke aku: “Bagaimana dengan di Indonesia? Banyak yang mati ‘kan? 500 ribu sampai sejuta. Munir gimana?” I never knew about numbers before. Jadi dari pertanyaan dosenku itu, aku lalu penasaran untuk mencari tahu. Menariknya, untuk ujian kelas TRC, aku harus bikin semacam MOU yang mengatur hak dan kewajiban TRC di sebuah negara, bagaimana kejahatan kemanusiaan didefinisikan, sumber pendanaan, pengelolaan, dan lain-lain. Gara-gara ujian akhir yang sangat kompleks dan rinci seperti itu, mau nggak mau aku harus meneliti. Aku harus tahu angka-angka, apa saja yang terjadi, dinamika politiknya gimana, supaya aku bisa membayangkan format TRC seperti apa yang pas untuk Indonesia. Di titik itulah, aku jadi membaca banyak hal yang kemudian jadi semacam membuka kotak pandora. Ndilalah, momennya tepat juga dengan filmnya Joshua Oppenheimer yang baru keluar, The Act of Killing. Aku juga ketemu sama orang-orang yang menuntun pencarianku. Bisa dibilang, that search finally defined my graduate study.

Nah terus di titik itu, setelah tahu lebih banyak hal selama tahun 2011-2012, aku bertanya-tanya sebelum pulang ke Indonesia buat riset: nggak mungkin deh keluargaku nggak berhubungan dengan ini semua. So, dari pencarian yang tadinya bersifat kognitif untuk keperluan tugas berubah arahnya menjadi personal.

Ada beberapa hal dalam hidupku yang sebelumnya tidak langsung mendapat jawabannya. Misalnya, ibuku pernah cerita kalau pada tahun 60an, ada masa-masa kalau kakekku harus pakai kode jika pulang ke rumah. Mereka tinggal di barak tentara di Magelang, yang seharusnya merupakan daerah aman. Kalau sampai bapaknya sendiri pulang harus pakai kode, itu apa sebenarnya yang terjadi? Aku juga sering membaca di ruangan kerja kakekku. Di salah satu lemarinya, ada buku-buku tentang Mao, tulisan Bung Karno, Tan Malaka dan sebagainya.“Ini apa nih?” begitu saja dulu yang terlintas.

Fast forward tahun 90an. Aku dulu tinggal di Bengkulu. Saat itu eyangku dan teman-temannya punya usaha perkebunan. Bapakku kerja di sana. Ketika Suharto lengser, orang-orang di sekeliling perkebunan itu langsung datang, menuntut tanahnya kembali, dan kemudian membakarnya. Karena itulah aku pindah ke Yogya. In a way, this was an unanswered, questionable displacement for me. Kenapa kok tiba-tiba ada orang datang dan main bakar? Kenapa mereka begitu marah dan aku akhirnya harus pindah ke Yogya to start things all over again? Ini pun tidak terjawab.

Ketika aku belajar tentang 1965, semuanya terhubung pelan-pelan. Eyangku sebagai seorang tentara kurasa terlibat di dalam proses purge itu. Apalagi aku tahu belakangan bahwa banyak kelompok merah di Magelang, termasuk tentaranya. Hal ini menjelaskan kenapa eyangku harus mengambil alih kepemimpinan karena komandan batalyonnya ternyata merah. Dan tentu saja setelah itu, eyangku kariernya menanjak, sama seperti tentara-tentara lain.

Aku pun memberanikan diri untuk mencari tahu di mana eyangku waktu itu. Namanya ternyata tertulis di situs salah satu batalyon sebagai komandan pertamanya dengan prestasi terlibat dalam pemberantasan G-30S/PKI. Ini yang kemudian membuatku bertanya-tanya sejauh apa keterlibatan eyangku. Aku juga membaca banyak buku dan dan menemukan fakta tentang perampasan tanah oleh tentara pasca 1965, yang mengingatkanku akan pengalaman buruk tahun 1999 di Bengkulu yang membuatku harus pindah ke Yogya itu. Aku bertanya-tanya, jangan-jangan mereka semarah itu karena dulu tanahnya dirampas.

Kemudian aku mencari data tentang perusahaan perkebunan itu dan bertanya pada ibuku. Ternyata memang daerah perkebunan itu dulu daerah merah. Nah, nyambung kan jadinya. Jadi aku berpikir: ok, eyangku terlibat 1965 makanya kariernya menanjak sama seperti banyak tentara lain. Di tahun-tahun 80an, ada perpecahan di tubuh tentara antara yang pro dan kontra Suharto. Eyangku termasuk yang kontra karena Suharto mulai korup. Makanya dia di-Dubes-kan tetapi tidak mau, dan akhirnya memilih pensiun dini. Kawan-kawannya yang berkarir lebih panjang kemudian mengajak eyangku untuk bikin perkebunan di Bengkulu tadi, di atas “tanah negara” yang tentunya sebagian adalah rampasan pasca 1965. Ini menjadi akar konflik yang tidak kelihatan. Warga di sekitar perkebunan selalu merasa bahwa perkebunan berdiri di atas tanah mereka yang diambil secara paksa, makanya ketika Suharto jatuh mereka punya momen untuk mengambilnya kembali dengan kekerasan sama seperti saat perampasan dulu yang penuh dengan kekerasan pula. Sementara aku, di tahun 1999, merasa sebagai korban karena pengalaman buruk perebutan tanah dan pembakaran. Di titik ini aku merasa proses pencarianku menghasilkan sesuatu yang lebih dari sekedar mengetahui tentang fakta bahwa eyangku salah. Karena aku bisa melihat bagaimana problem kekerasan 1965 yang tidak terselesaikan berhasil menjadi setting kekerasan di tahun 1999.

Peran eyangku selama 1965 baru terkonfirmasi setelah aku pulang ke Indonesia untuk riset. Dia cerita bahwa saat itu ia menerima daftar dari Kodam Diponegoro yang berisi orang-orang yang harus ditangkap. Orang-orang ini harus diserahkan kembali ke Kodam Diponegoro di Semarang. Aku tanya ke eyangku pada Januari 2013, saat itu beliau sudah mulai sakit-sakitan: “Eyang merasa bersalah, nggak?” Dia menjawab setelah diam beberapa saat: “Tapi aku tidak membunuh.” Pada bulan Mei 2013, beliau meninggal dunia sebelum aku menyelesaikan studiku. Percakapan itu menjadi salah satu percakapan terakhir kami.

 

Apa yang terjadi padamu dan bagaimana perasaanmu tentang konfirmasi dan jawaban eyang ini padamu?

Aku dan eyangku sangat dekat, kami bersahabat. Bayangkan sahabatmu datang suatu hari dan mengutarakan salah satu rahasianya yang selama ini selalu dipendam. Rahasia ini berisi memori kekerasan yang membuatnya gamang, karena merasa bersalah dan takut dihakimi di saat yang sama. Seperti itu atmosfer yang terasa—ketika aku mengajukan pertanyaanku, air muka eyangku berubah. Aku tahu ia sedih dan ragu di saat yang sama karena yang bertanya cucunya sendiri! Di satu sisi, tentu aku sedih dan menyesal mengapa eyangku harus terlibat. Tetapi di sisi lain, aku sangat menghargai kejujurannya. Kejujuran yang tidak hanya terdengar lewat pengakuan, tetapi terbaca dari raut wajahnya yang berubah sendu. Aku tahu pasti deep down ia menyesal.

Apa yang bisa kulakukan? Tentunya aku tidak bisa serta merta menjauhi eyangku setelah aku mengetahui fakta baru ini. Namun aku juga tidak bisa membelanya mati-matian dan menutup mata atas pengalaman kekerasannya. Kejujurannya justru memotivasiku untuk berupaya agar kekerasan yang sama tidak pernah terulang lagi, sehingga tidak ada kemanusiaan yang terenggut—baik itu milik korban maupun pelaku. Aku ingin sekali meminta maaf atas nama kakekku pada semua yang mengalami kekerasan di tangan negara atau militer sejak 1965. Aku tahu ini tidak seberapa, tidak ada artinya dibandingkan penderitaan yang sudah terjadi tetapi semoga permintaan maaf di level individu menjadi awal yang cukup berarti untuk rekonsiliasi. Aku pun yakin kakekku akan melakukan hal yang sama.

 

Gimana pembahasan atau diskusi tentang 1965 di tengah keluargamu setelah kamu pulang dengan pengetahuan baru?

Di keluargaku sendiri, meskipun keluargaku tentara, ada juga beberapa anggota keluarga besar yang jadi korban. Jadi, hal ini bikin ibuku dan adikku rajin sekali mencari tahu dan membaca tentang 1965. Beberapa keluargaku ada juga yang masih suka protes kenapa jauh-jauh ke Amerika, yang dipelajari malah soal 1965. Aku sih nggak masalah dan malah jadi tahu bagaimana aku harus jalan dengan aktivismeku.

Sampai sekarang, di luar ibuku, di dalam keluargaku yang berlaku adalah seperti ini: baiklah, kita tahu sama tahu saja, tapi nggak usah dibahas.

 

Bagaimana aktivisme-mu tentang 1965?

Satu hal yang jadi refleksiku adalah: kalau kita sepakat bahwa diskursus negara tentang 1965 sudah menjadi hegemon, mungkin kita terlalu naif jika mengharapkan institusi sebesar negara mau berbesar hati untuk meminta maaf. Hegemoni terjadi ketika ia bisa mengatur psyche kita secara tidak sadar. Ia terepresentasi dalam berbagai institusi sosial dan diterima sebagai praktik sehari-hari tanpa kita mempertanyakannya. Nah, wacana 65 itu sudah merembes di semua hal, dari agama, keluarga, pendidikan, dan lain-lain. Begitu hegemonik wacananya, sehingga di level operasional, kalau institusi sebesar negara dituntut minta maaf soal 1965, mereka bisa nanya balik: “Lho kita salah apa?” dan diskusinya akhirnya tidak ke mana-mana.

Hal yang bisa dilakukan untuk membuat upaya kita sedikit lebih maju adalah dengan berupaya menyerang hegemoni itu dari banyak sisi. Membuat diskusi, oke. Simposium, oke. Bikin web, oke. Bikin IPT, oke. Tapi jangan lupa juga hal yang kecil-kecil, ruang kelas misalnya. Apa yang diajarkan di ruang-ruang kelas itu punya efek. Menggunakan space yang tersedia di kampus untuk membuat wacana alternatif terhadap wacana dominan, misalnya, menjadi hal yang sama pentingnya. Jadi gerakan besar aktivisme 1965 jangan-jangan bisa dimulai dengan hal yang kesannya kecil tapi banyak dan beragam.

Selain itu, mungkin karena latar belakang keilmuanku adalah studi perdamaian, aku berusaha memahami bahwa memang tidak gampang membuat orang yang dulunya berkonflik habis-habisan untuk berekonsiliasi. Lihat saja di Amerika Serikat, Afrika Selatan, atau Irlandia Utara sekarang. Sudah ada proses-proses perdamaian tetapi orang masih hidup dalam prasangka antara kulit putih dan kulit hitam, antara yang Katolik dan Kristen, antara pro-Inggris dan kontra, sampai sekarang. Jadi, kalau kita mau melakukan rekonsiliasi, mencari kebenaran atau keadilan, barangkali kita sebaiknya nggak hanya membicarakan generasi pertama saja, tapi juga generasi berikutnya yang terpapar sisa-sisa stereotipe, prasangka, dan macam-macam yang melanggengkan kekerasan itu. Karenanya, menurutku, upaya mencari penyelesaian untuk 1965 juga harus dilengkapi dengan usaha mempersiapkan audience-nya, yaitu generasi kedua dan (terutama) ketiga, dengan pemahaman yang cukup soal pentingnya hak asasi manusia, perdamaian, dan konsep nirkekerasan sehingga ketika mereka diajak diskusi soal 65 ya mereka sudah siap.

 

Siapa yang menyiapkan?

Kampus. Sebagai pemutus rantai kekerasan, kampus itu vital perannya. Karena di level kampus, generasi ketiga bisa diperkenalkan dengan keadilan sosial, solidaritas, emansipasi, HAM, dan perdamaian.

 

Bagaimana dengan di luar kampus? Siapa yang menurutmu bisa melakukannya?

Siapapun. Yang aku ingin bilang adalah kalau kita mau mencari penyelesaian 1965, kita nggak cukup untuk mendorong pencarian kebenaran saja. Harus ada ruang-ruang di mana orang dididik untuk menghargai pentingnya pencarian kebenaran. Misalnya, mengapa pencarian kebenaran penting dalam penegakan HAM, lalu bagaimana melatih jurnalis meliput pelanggaran HAM. Ini dapat berkontribusi terhadap pemenuhan hak korban juga pemenuhan keadilan. Ini penting sekali. Dan pekerjaan ini tidak bisa direduksi menjadi beberapa keyword. Kerja menuju rekonsiliasi, kebenaran, dan keadilan itu kerja besar yang harus dilakukan secara kolektif. Aku memandang pekerjaanku sebagai aktivisme juga akhirnya karena di dalam berbagai kesempatan, aku berusaha menyinggung dan membahas tentang 1965.

 

Tentang penyelesaian kasus 1965, apa yang menurut kamu belum ada atau kurang di kita?

Aku sempat berefleksi soal ini dan ada beberapa tawaran argumentasi yang tentunya bisa didebat dan dibicarakan. Pertama, kita semua meneriakkan keinginan untuk rekonsiliasi. Tapi rekonsiliasi itu apa? Ada yang bilang rekonsiliasi itu duduk bersama dan minta maaf. Ada yang bilang minta maaf itu harus disertai dengan reparasi. Ada yang bilang, untuk generasi kedua dan ketiga, rekonsiliasi yang sifatnya reparatif mungkin sudah tidak jadi prioritas. Nah, permasalahannya, cara orang membayangkan rekonsiliasi itu sangat tergantung dengan cara kita memelihara ingatan. Aku ngobrol dengan seorang anggota Lekra yang tahu betul seluk beluk ideologi organisasi. Menurutnya, rekonsiliasi itu bukan hanya soal reparasi. Tapi kalau aku nanya sama petani di Klaten tentang rekonsiliasi, jawaban mereka lain lagi. Menurut mereka rekonsiliasi itu ya soal menaikkan derajat hidup mereka. Di level ini kemudian, kita mungkin harus sering ngobrol bukan hanya tentang pencarian kebenaran peristiwa 1965 saja tetapi juga tentang berbagai ekspektasi rekonsiliasi ini.

Lalu soal memori: ingatan mana yang perlu dan harus direkognisi. Ketika kita bicara kekerasan massal, pasti sebelumnya ada proses dehumanisasi: dia harus jadi musuh dan tidak punya hak hidup sehingga kudu dibasmi. Jangan-jangan rekonsiliasi bukan cuma soal mencari kebenaran proses dehumanisasinya bagaimana, tapi mengembalikan human-nya itu dengan merekognisi kehidupan mereka sebelum di-dehumanisasi. Banyak sekali bapak ibu penyintas yang ditangkap di tahun 1965 karena ide-ide mereka yang sangat brilian. Sejauh ini dalam pengamatanku, diskusi tentang 65 seringkali berkutat soal apa yang terjadi selama dan setelah 1965, bagaimana kekerasan terjadi, bagaimana mereka disiksa dan sebagainya, which is good! Tetapi untuk bisa membuat generasi kedua dan ketiga berpikir bahwa kita kehilangan sesuatu yang berharga, kita juga harus mulai bertanya siapa manusia-manusia yang dihilangkan kemanusiaannya ini, siapa para penyintas sebelum 1965. Beberapa dari mereka itu guru, misalnya, yang punya pemikiran brilian tentang pendidikan di Indonesia. Yang jadi korban sebetulnya adalah the first generation of intellectual of Indonesia. Mereka adalah mahasiswa, guru, dokter, pengacara, dosen pertama di Indonesia. Kebayang ‘kan betapa berharganya orang-orang ini. Tetapi, cara kita mendiskusikannya itu baru sampai pada tahap apa dan bagaimana hak mereka dilanggar. Kita belum sempat berefleksi tentang apa sebenarnya yang hilang.

Framework tentang mencari kebenaran ini sangat dikotomis antara korban dan pelaku. Namun jangan lupa pada mereka yang undecidable, yang nggak terlibat langsung dalam konflik tapi terkena dampaknya karena terhegemoni oleh wacana dominan atau mengalami penderitaan karena menjadi keluarga korban. Inisiatif-inisiatif yang seharusnya bisa merangkul para undecidables ini masih kurang menurutku.

Terakhir, proses rekonsiliasi sangat bergantung pada kemampuan seseorang untuk menjadi terbuka, inklusif, dan berpikir kritis. Kalau upaya mendorong rekonsiliasi ini terpisah dari inisiatif-inisiatif yang sifatnya mendorong keterbukaan, inklusivitas, pemahaman terhadap HAM, atau berpikir kritis, ya susah. Karena kita akan selalu menghadapi massa yang denial yang tidak memiliki keinginan dan mungkin kemampuan untuk mengolah informasi baru yang shocking.

 

Menurutmu, dari berbagai upaya agar orang ingat tentang 1965 – pemutaran film atau diskusi misalnya – kenapa kok penggerebekan dan pembubaran sebagai sebuah strategi masih saja laku?

Ketika ada wacana rekonsiliasi diluncurkan, yang punya stake adalah generasi kedua dan ketiga. Mereka sudah hidup bertahun-tahun dengan prasangkanya masing-masing. Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi itu kan membutuhkan proses panjang dalam merenungkan pengalaman hidupnya sendiri. Setiap penggerebekan ada massanya. Kenapa masih laku, ya mungkin karena mereka sudah menghabiskan sekian tahun hidup di dalam konteks yang disediakan dan dibangun Orde Baru. Mereka tidak melihat 65 sebagai konflik politik tapi melihatnya dalam narasi besar soal good vs evil. Ini didukung dengan kenyataan banyak juga yang tidak tahu, atau tahu tetapi memilih cuek ketika penggrebekan atau pembubaran terjadi.

 

Apa modal kita sekarang yang bisa dipakai untuk maju soal 1965?

Pertama, aku pikir kita punya anak-anak muda bersemangat yang melek teknologi. Yang kedua, kita punya elit yang lagi sibuk sama masalahnya sendiri. Dan kita bisa memanfaatkan rupture itu. Selama kita tahu caranya beraktivisme sembari memperhatikan keamanan dengan frame yang nggak terlalu ngajak berantem, kita sebetulnya bisa memanfaatkan dua hal ini. Penekanannya sebaiknya lebih ke soal membuat gerakan penyelesaian 1965 ini tidak cuma milik atau urusan korban dan pelaku, tapi ini milik dan urusan semua orang Indonesia. Karena yang hilang itu banyak sekali. Nggak hanya orang atau anggota keluarga tetapi juga kemanusiaan, practice, value, bahkan ide-ide alternatif tentang bagaimana mengelola bangsa ini.***

 

#1965SetiapHari #Living1965

Wawancara ini sebelumnya telah dimuat di 1965setiaphari.org. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.