Akhir dari Keluguan Teologi

Print Friendly, PDF & Email

PERTAMA-TAMA, izinkanlah saya bercerita. Peristiwanya tiga tahun lalu. Saat itu, saya baru saja menyelesaikan studi teologi, kemudian ditugaskan untuk melayani di sebuah Gereja di Jakarta.

Saya tidak ingat lagi harinya, pagi itu, saya diajak seorang rekan untuk berkunjung ke rumah jemaat, lebih tepat simpatisan Gereja. Simpatisan artinya orang yang tidak terdaftar secara administratif sebagai jemaat “resmi” Gereja.

Saya lupa nama daerahnya, tapi masih ingat sekali bau dan pengapnya gang yang kami lewati untuk sampai ke tujuan. Setelah sampai, ternyata tempat yang kami tuju bukan rumah, tapi lebih mirip kamar kosan. Ukurannya kurang lebih 2×3 m. Pekarangan kamar adalah dapur. Toilet dan kamar mandi, entah berada dimana.

Di situ, tinggallah sepasang suami-istri dengan dua anak. Anak sulung, ketika itu, sedang ke sekolah. Sementara yang bungsu digendong ibunya, dengan botol susu yang berisi teh manis. Ibunya mengaku tak mampu beli susu. Suaminya bekerja serabutan dengan penghasilan, paling tinggi, Rp.20.000/hari. Itu pun kalau beruntung.

Dengan berlinang air mata, Ibu itu bercerita kalau mereka sudah tidak mampu membayar sewa kamar untuk dua bulan. Suaminya hanya bisa tertunduk, tak mampu berkata-kata.

 

Keluguan Teologi

Di hadapan realitas itu, saya pun hanya terdiam sekaligus bertanya-tanya: “Apa peran teologi untuk menyelesaikan realitas kemiskinan ini? Bagaimana peran doktrin dan dogma, yang saya pelajari di kampus, untuk menjawab persoalan ini? Apakah teologi bisa memberi solusi atas kenyataan ini? Atau teologi hanya bisa berdoa saja dan mengharapkan mujizat; uang turun dari langit untuk membayar tunggakan sewa kamar keluarga ini?” Inilah momen dimana keluguan teologisku berakhir.

Keluguan teologi ini berakhir dihancurkan oleh realitas dunia, yang bagi saya pribadi, sangat menakutkan. Kenapa menakutkan? Karena kemiskinan adalah tirani. Dia menurunkan derajat kemanusiaan. Kemiskinan itu menindas. Dia mampu menghancurkan dasar-dasar kemanusiaan. Dia berkemampuan untuk meniadakan cinta kasih, ikatan persaudaraan, dan tentunya mengeksploitasi kemanusiaan.

Keluguan teologis adalah kebutaan pada kenyataan sosial. Dia lahir dari pengajaran yang menekankan bahwa dunia yang kita tinggali sekarang ini adalah persinggahan sementara. “Salib di muka dan dunia di belakang” adalah legitimasi bahwa dunia dan kenyataan sosial bukan yang utama. Keluguan teologis adalah ketidakpedulian teologi terhadap tanggung jawab sosial politik. Dia bersikap negatif terhadap keterlibatan teologi dalam dunia. Keluguan teologi tercermin lewat tabu politik, tabu persoalan sosial, dan tabu ekonomi.

Orientasi kelugan teologis terletak pada kehidupan nanti setelah kematian. Ini diperkuat oleh agama dengan segala ritualnya yang rumit, sistem doktrin, dan struktur hierarkisnya. Agama menjadi pemisah antara manusia dengan realitas sosialnya. Teologi dan agama yang berorientasi pada “Kerajaan Allah” yang bersifat apokaliptik, membuat manusia berpaling dari realitas dunia. Biarlah menderita di dunia sekarang, asal mendapat tempat di surga kelak; adalah asumsi dasar dari keluguan teologis ini.

 

Dampak dari Keluguan Teologi

Banyak dampak negatif yang muncul akibat keluguan teologi ini. Marx, misalnya, mengatakan, “Agama adalah keluhan para makhluk tertindas, jantung-hati sebuah dunia tanpa hati, jiwa untuk keadaan tak berjiwa … Agama adalah candu rakyat.” (A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, 1844). Dia bersifat candu karena mampu mengasingkan manusia dari realitas yang duniawi ke dunia khayali (Thesis On Feuerbach, 1845). Bahkan seorang teolog Asia, Choan Seng Song (berikutnya CSS), dengan tegas mengatakan bahwa teologi yang hanya berorientasi pada “Kerajaan Allah” apokaliptik tak lebih hanya mengajarkan sebuah ilusi (Yesus dan Pemerintahan Allah, 2010).

Dampak paling signifikan dari keluguan teologi ini adalah berkenaan pada pribadi Yesus itu sendiri. Yesus, dalam iman Kristen, yang diyakini sebagai Tuhan, akibat keluguan teologi dikerdilkan. Bukan hanya dikerdilkan, menurut CSS, Yesus malah dijinakkan. Yesus dijinakkan karena tidak memainkan peran apa pun dalam pergumulan manusia dalam usaha menegakkan keadilan dan kemerdekaan. Penjinakan Yesus ini adalah kontradiksi dalam teologi Kristen yang mengimani bahwa Tuhan terlibat dalam proses (menopang) sejarah umat manusia. Keluguan teologi ini, mau-tidak-mau, meletakkan Yesus tak lebih dari sebuah berhala.

 

Re-Orientasi Teologi

Kehidupan seharusnya menjadi pusat perhatian agama. Akibatnya teologi harus berinteraksi langsung dengan kehidupan. Teologi harus menatap kehidupan secara jujur. Disinilah teologi memainkan perannya sebagai perantara antara Allah, manusia dan sesamanya.

Dalam usaha menemukan kembali orientasi teologi; Yesus adalah teladan. Yesus, dalam iman Kristiani, diimani sebagai wujud inkarnasi wahyu Tuhan yang mengambil rupa sebagai manusia (Filipi 2:7). Inti ajaran Yesus, masih menurut CSS, tertulis di Matius 6:10, “datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.” Kerajaan Allah menjadi pusat hermeneutikanya dalam usaha memahami karya Yesus.

Dengan demikian, “Apakah Kerajaan Allah itu?” Kerajaan Allah, basileia tou theou (Yunani), diterjemahkan CSS sebagai pemerintahan Allah. Dia menolak menggunakan istilah “Kerajaan Allah ” karena dianggapnya tidak mengungkapkan pesan Yesus tentang pemerintahan Allah. Bahkan dia katakan, istilah itu keliru karena “kerajaan” memberi kesan wilayah nasional, sistem feodal, dan struktur monarki; singkatnya sebuah budaya otoritarianisme.

Apakah pemerintahan Allah itu? Pemerintahan Allah (PA) bukanlah sebuah lembaga. PA adalah sebuah aksi, tindakan yang konkret, dan jelas. Dia adalah gerakan kolosal. PA adalah penggenapan Manifesto Nazaret, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Lukas 4:18-19).

Artinya, ketika orang lapar dikenyangkan, ketika mereka yang menangis tertawa, ketika yang tertindas menemukan keadilan dan kemerdekaan, dan ketika mereka yang berputus asa akan kehidupan memperoleh kembali harapannya, PA pun jadi nyata. Dengan begitu, PA tidak bersifat nanti, tapi sekarang. PA adalah pemerintahan di surga yang diturunkan ke bumi.

Untuk mewujudkan ini, teologi akhirnya berorientasi sebagai pemberdayaan. Pemberdayaan berarti membuat mereka yang tertindas mampu (berdaya) keluar dari penindasan. Dalam fungsi inilah teologi, mau-tidak-mau, harus terlibat dalam analisis terhadap akar dari penindasan itu sendiri. Tanpa analisis terhadapnya, teologi tidak akan mampu menjalankan peran sebagai pemberdaya. Apalagi, menemukan jalan keluarnya.

Dosa ditenggarai sebagai akar dari penindasan. Seperti kata Gustavo Gutierrez, dosa dipahami bukan dalam matra individual, moral, dan spiritual semata. Dosa adalah penolakan terhadap Allah dan sesama. Dosa adalah struktur opresif yang mengeksploitasi manusia oleh manusia. Dosa merupakan pengalienasian manusia dan akar dari eksploitasi (A Theology of Liberation, 1971). Dosa adalah masalah kemasyarakatan, kelembagaan, struktural, dan sistemik. Allah adalah pencipta (Kejadian 1), termasuk manusia. Jadi barang siapa merusak (dalam bentuk apa pun, termasuk penindasan) terhadap manusia, merupakan tindakan yang melawan Allah.

Jika dosa adalah persoalan struktural, maka penggenapan PA akan selalu berada dalam situasi konflik. Konflik dengan struktur yang menindas; struktur penguasa. Dalam situasi inilah maksud perkataan Yesus menjadi jelas, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” (Matius 10:34). Walau PA bukanlah sebuah lembaga atau partai politik, tapi gerakannya bervisi (bersifat) lebih politis daripada keagamaan.

 

Kesimpulan

Untuk sebuah dunia yang lebih baik, agama perlu berubah. Perubahan agama juga sebuah perubahan arah berteologi. Perubahan yang dibutuhkan dalam sebuah agama haruslah sebuah perubahan yang radikal. Sebuah perubahan dengan implikasi teologis yang mendalam terhadap hubungan kita dengan Allah dan sesama manusia. Dalam hal inilah, keadilan menjadi tujuan utama.

Keadilan selalu berbicara tentang hubungan antar sesama manusia. Re-orientasi teologis untuk pemberdayaan menuju terciptanya keadilan bukanlah sebuah pilihan. Ini adalah tanggung jawab religius dan integritas teologis. Tanpa usaha ini agama, seperti kata Lenin, tak ubahnya hanyalah minuman keras spiritual yang menindas dan membebani rakyat (Sosialisme dan Agama, 1905).

Manusia harus merdeka karena Allah adalah Pribadi yang merdeka!***

 

Penulis adalah alumnus STT Bandung dan pegiat di Ut Omens Unum Sint, Jakarta

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.