Catatan Kecil Sepulang dari Rumah Buya Syafii

Print Friendly, PDF & Email

 

Ilustrasi oleh nobodycorp

 

‘PERASAAN bahaya kiri belum hilang,’ tandas Buya Ahmad Syafii Maarif dengan gayanya yang khas dan blak-blakan.

Pernyataan itu disampaikan oleh Buya sebagai maksud jawaban, saat salah seorang teman saya, Mas Kelik Sugiarto, bertanya mengenai pendapat beliau seputar maraknya aksi sweeping buku-buku dan film-film yang berbau komunisme di banyak tempat, termasuk di Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal dua Juni, saya dan beberapa teman dari Pusham UII berkesempatan sowan menemui cendekiawan muslim terkemuka dan tokoh senior Muhammadiyah tersebut di kediamannya yang tenang di perumahan Pesona Regency di Jalan Kabupaten, Godean, Yogyakarta. Rumah ini merupakan rumah khusus Buya, yang biasa dijadikan tempat untuk merenung, berpikir, dan menulis kegelisahan-kegelisahannya tentang persoalan-persoalan bangsa.

‘Perasaan kecurigaan (akan bahaya kiri) itu memang umurnya lama,’ tambah Buya melanjutkan.

Padahal, menurut Buya, secara global, kekuatan komunisme itu sudah tidak ada lagi saat ini. Kalau pun ada, barangkali, itu hanya sisa-sisanya saja. Komunisme sudah lapuk di makan zaman. Ideologi komunisme sudah hancur dan mati. Lalu beliau mencontohkan negara-negara yang mulanya komunis, pelan-pelan kita saksikan, mulai berayun ke kanan dan menjadi kapitalistik.

Saya mendengarkan dan mengiyakan penjelasan Buya. Meski dalam hati, saya merasa tak sepenuhnya sependapat dengan Buya. Ada satu-dua hal yang membuat saya sangsi.

Saya kemudian memberanikan diri untuk bertanya. Dengan maksud mengimbangi pendapat Buya, saya mengajukan tesis Alan Badiou, salah seorang filsuf Prancis, tentang masa depan marxisme dan komunisme yang dulu sempat saya baca via buku Martin Suryajaya dan masih saya ingat—meski dengan ingatan yang tak sepenuhnya jelas dan samar-samar.

Dengan menyitir Badiou saya bilang dengan hati-hati  di depan Buya.

‘Buya, selama ini, terus terang, saya sering bertanya-tanya, apakah kegagalan negara-negara komunis, seperti Uni Soviet, misalnya, cukup kuat dijadikan dasar argumentasi untuk mengatakan bahwa komunisme dan marxisme itu sudah gagal? Saya merasa seperti menemukan jawabannya yang canggih dari Badiou. Menurut Badiou, kegagalan Uni Soviet itu hanya kegagalan dari salah satu bentuk—apa yang disebutnya sebagai—eksperimentasi komunisme. Sama sekali bukan kegagalan komunisme itu sendiri, seperti dibilang banyak orang yang fobia terhadap pemikiran kiri selama ini. Sebagai tesis politik, kata Badiou, Marxisme dan Komunisme itu justru merupakan tesis politik yang paripurna, karena di dalamnya terkandung nilai universal dan abadi, yaitu perjuangan untuk menegakkan keadilan ekonomi. Saya kira, begitu halnya, saat Islam memasuki masa-masa kehancuran yang begitu parah setelah sempat berkibar di masa-masa kejayaannya, apakah cukup bijak jika masa kehancuran Islam itu juga dijadikan dasar argumentasi untuk mengatakan bahwa Islam telah gagal sebagai agama dan ideologi politik? Kan tidak,’ ujar saya.

Menanggapi saya, Buya lekas-lekas menjawab: ‘tak ada tesis politik yang abadi’.

Itu saja komentarnya. Begitu datar.

Jelas, saya tak cukup puas dengan jawaban Buya. Saya mencoba maklum. Mungkin Buya tak tertarik membaca Alan Badiou yang nampak begitu jor-joran membela Marxisme dan Komunisme.

Tapi sudahlah, mari kembali ke persoalan masih kuatnya perasaan bahaya kiri yang dikemukakan Buya di awal tadi. Pernyataan Buya tersebut cukup melegakan, ya setidaknya bagi saya.

Di tengah-tengah banyaknya pendapat dari tokoh-tokoh Islam dan jenderal-jenderal yang menghembuskan (lagi) aroma panas perang  terhadap komunisme karena khawatir bangkit di Indonesia, pernyataan Buya seperti oase yang mendinginkan.  Alih-alih mendukung mereka, Buya malah dengan tenang seperti ingin bilang: kebangkitan komunisme yang belakangan sering didengung-dengungkan itu tak benar-benar objektif. Itu hanya sekedar ‘perasaan’ mereka saja. Ya, perasaan ketakutan yang tak berdasar, dibuat-buat, bahkan kadang memalukan.

Semangat Buya ini, sepintas mirip seperti semangat Gus Dur saat dulu dengan enteng dan penuh kelakar bilang di televisi: ‘PKI aja kok ditakuti,’ ujarnya saat menjawab pertanyaan host program Kick Andy, Andy F. Noya.

Tapi Buya bukan Gus Dur. Saat saya bertanya lebih jauh pada Buya tentang perlukah negara minta maaf terkait tragedi 65. Buya menjawab tegas, ‘tidak perlu’. Beliau tak sepakat dengan itu.

‘Kira-kira kenapa Buya?’ kejar saya dengan tetap hati-hati.

Argumentasi Buya kira-kira begini: sekalipun ada korban dan kejahatan HAM di sekitar tahun 65, tetapi kata beliau, jangan dilupakan, PKI sendiri bukan ‘partai yang suci’. Buya menceritakan pengalamannya sendiri bagaimana PKI melakukan intimidasi dan teror terhadap lawan-lawan politiknya. Termasuk aktivis-aktivis Islam seperti dirinya. Buya khawatir, jika negara minta maaf, PKI kemudian dianggap benar dan lepas dari dosa-dosa politiknya.

Jawaban Buya ini membuat saya gelisah dan bertanya-tanya. Maklum, selama ini saya berpandangan, terkait tragedi 1965, negara perlu dan harus minta maaf. Menurut hemat saya, kekhawatiran Buya tak berasalan. Sebab, permintaan maaf negara tak bisa dipersempit dan dilokalisir hanya sekadar permintaan maaf pada PKI. Banyak korban kekerasan ‘65 justru bukan orang-orang  PKI, tetapi warga negara yang tak tahu apa-apa dan tentu saja tak bersalah.

Tapi saya tak sempat menyampaikan pendapat saya ini pada Buya dan mendengar bagaimana responnya. Kondisinya tak mendukung, karena Buya harus cepat-cepat pergi setelah mendapatkan telpon dari seseorang yang saya tak tahu entah siapa, di ujung telpon yang juga entah di mana. Waktu kami bertemu Buya memang tak panjang. Apalagi, pagi itu, Buya baru saja tiba di Yogyakarta. Tentu, kami harus sadar diri.

Kami kemudian segera pamit pulang. Saya cium tangan Buya dengan penuh takzim, seperti biasa saya lakukan jika saya sowan dengan kiai-kiai dan guru-guru saya di kampung, di Madura. Tradisi khas santri.

Tapi di dalam perjalanan pulang dari rumah Buya, di atas sepeda motor yang berlaju sedang, saya tak henti-hentinya memikirkan pernyataan-pernyataan Buya: yang sebagian melegakan saya, sebagian lagi menggelisahkan  dan membuat saya bertanya-tanya.***

 

Tulisan ini adalah catatan wawancara pribadi sebagai peneliti/penulis. Versi wawancara lengkap dengan Buya Ahmad Syafii Maarif akan terbit dalam bentuk cetak di Majalah Pusham UII edisi 8. Tulisan ini tidak merefleksikan atau mewakili kebijakan redaksi Majalah Pusham UII. Tanggungjawab secara etis berpulang kepada peneliti/penulis. 

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.