Edisi XLI/2016

Print Friendly, PDF & Email

Daftar Isi:

 

AKSES terhadap informasi serta platform-nya yang terus berkembang pesat secara langsung ataupun tidak memudahkan generasi muda kita –yang sering dicap sebagai Generasi Y, mencari dan mengetahui apapun yang diinginkan. Tak terkecuali ide-ide tentang Kiri. Mungkin ini tak disadari generasi lama, oleh generasi Kiri era 90an yang penuh dengan narasi-narasi heroisme tentang perlawanan terhadap rezim diktator. Tapi zaman terus berubah, penerimaan atas gagasan kiri tak lagi melulu didahului oleh pengalaman materil tentang ketertindasan atau bersentuhan dengan karya-karya klasik para tokoh-tokoh revolusioner.

Sering kali penerimaan akan gagasan-gagasan Kiri, atau setidaknya yang kami temui, dimulai dari hal-hal yang dinilai remeh. Dari misalnya berawal dari candu bermain game perang, yang membuat mereka paham sedikit horizon sejarah militer, lalu berakhir dengan mempelajari sejarah Bolshevik secara otodidak, dan kemudian sepakat akan gagasan-gagasannya. Tak jarang pula penerimaan, atau minimal tidak menolak gagasan Kiri karena jokes yang dilansir akun salah satu plafrom pesan instan. Salah satu akun tersebut misalnya, dalam satu kali postingan jokes tentang Kiri, tak jarang mendapat ‘like’ ratusan kali dan komentar dengan jumlah yang tak berbeda jauh.

Apa yang ingin kami sampaikan melalui contoh-contoh kecil di sini adalah ada prakondisi tertentu yang memungkinkan munculnya ‘patahan generasi’, yaitu generasi yang sama sekali berbeda dengan dengan generasi sebelumnya, yang dikondisikan sedemikian rupa untuk melanggengkan status quo. Tak bisa dipungkiri, generasi muda kita semakin terbuka dengan gagasan-gagasan yang sebelumnya sangat ditabukan. Bukan bermasud menggeneralisir, tapi akses terhadap informasi yang semakin mudah berbanding lurus dengan semakin besarnya kemungkinan-kemungkinan baru di luar apa yang ingin dikonstruksi oleh rezim yang berkuasa.

Dalam konteks demikian, pertanyaannya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan oleh kelompok Kiri kita? Tentu pertanyaan ini harus didiskusikan bersama. Tapi setidaknya, dalam Pengantar ini, satu usulan awal yang dapat ditawarkan adalah kita harus mulai memikirkan strategi diseminasi gagasan dengan kemasan yang lebih menarik. Memang agak terdengar garing, tapi bagi kami justru di sini letak urgensinya. Kemasan yang menarik adalah pintu masuk bagi pendalaman gagasan yang lebih serius dan komprehensif bagi para generasi muda yang tidak mencicipi indoktrinasi Pancasila ala Orde Baru.

Kita harus meyakinkan generasi muda, baik di pabrik, di sekolah, di sawah, di gang-gang sempit perkotaan, bahwa tak ada masa depan dalam sistem kapitalisme. Pun kita harus melawan balik ilusi-ilusi tentang kesuksesan ala borjuis yang sering dikumandangkan para motivator di televisi, dan kerap menjadi candu. Intinya, luwes dalam taktik, tapi tegas dalam prinsip. Tentu ini bukan bermaksud mengalihkan kerja kobar dan kerja tekun yang telah dilakukan sebelumnya selama bertahun-tahun, melainkan melakukan perluasan atasnya.

Dalam semangat tersebut, Left Book Review (LBR) Indoprogress kembali hadir ke hadapan sidang pembaca. Pada edisi ini, kami menampilkan tiga tulisan yang terdiri dari satu wawacara dan dua ulasan buku. Dua penulis ulasan buku ini adalah generasi muda yang tak mau tunduk pada hegemoni rezim. Elvan De Porres, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur, mengulas buku berjudul Berani Berhenti Berbohong: 50 Tahun Pascaperistiwa 1965-1966. Dalam ulasan ini Elvan membahas pembantaian 65 di tempat kelahirannya dari berbagai aspek, termasuk kelindan antara para penjagal, keluarga yang dibantai, serta institusi keagamaan yang ada di sana.

Daya Sudrajat, alumni Ilmu Politik Universitas Indonesia hadir dengan ulasan tentang buku terbaru Ben Anderson, Di Bawah Tiga Bendera. Buku ini sendiri secara umum menjelaskan bagaimana kelindan antara Anarkisme dengan gelombang antikolonialisme di berbagai negara. Ben menelusurinya melalui teks-teks sastra yang dibuat salah satunya oleh Jose Rizal, Bapak Bangsa Filipina.

Terakhir, kami menyuguhkan transkrip wawancara antara Coen Husain Pontoh, Pemimpin Redaksi Indoprogress, dengan Antonius Made Tony Supriatma, Pengamat Militer dan Peneliti Independen, tentang kegagalan reformasi TNI, serta berbagai isu terhangat tentangnya, termasuk soal friksi, serta masalah internal-struktural yang ada di tubuh angkatan bersenjata tersebut. Wawancara ini sebelumnya diterbitkan dalam bentuk video di Indoprogress TV.

Akhir kata, selamat membaca!***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.