Kisah Bidadari Yang Terdampar

Print Friendly, PDF & Email

MUNGKIN Anda sudah dengar berita ini. Beberapa hari lalu, media-media online dan media sosial heboh. Bukan. Ini tidak ada hubungannya dengan Simposium 1965. Juga tidak ada kaitannya dengan soal maaf-maafan nasional yang diperdebatkan para maha-intelek di negeri ini. Kehebohan yang terjadi ini hanya di tingkat jelata saja. Anda yang mungkin sedikit pandai dan merasa membaca banyak buku, boleh mencibirnya.

Begini. Warga Desa Kalupapi, Kecamatan Bakurun, Pulau Bokan, Kabupaten Banggai Laut, Propinsi Sulawesi Tengah, dikabarkan menemukan ‘gadis berwajah cantik yang tak lazim.’ Disebutkan oleh media online Tribunnews.com, gadis yang ditemukan nelayan itu memiliki ‘wajah seperti boneka Barbie.’ Warga pun mengatakan bahwa gadis itu adalah anak bidadari.

Konon, si gadis ditemukan di tepi pantai. Dia telanjang dan hanya ditutupi selendang transparan berwarna putih. Saat ditemukan, dia dalam keadaan menangis.

Warga desa kabarnya yakin bahwa dia adalah bidadari. Itu karena dia berbeda dengan gadis-gadis yang mereka kenal. Alisnya merah, matanya bulat lentik, dan kulitnya putih bercahaya. Dia ditemukan setelah para nelayan mendengar suara jatuh dari langit.

Rano, seorang warga di sana mengatakan, ‘Sekarang dia so (sudah) di rumah warga, di kasih baju juga jilbab.’ Penduduk desa ini memberi perlakuan yang terhormat kepada bidadari yang entah datang dari mana ini.

Dalam berita lain, disebutkan bahwa bidadari ini belum diberi nama. Warga berusaha keras menjawab teka-teki darimana gadis bidadari ini berasal. Tidak ada satupun yang berhasil. Lagi pula, bahasa yang dituturkan oleh gadis itu tidak bisa mereka mengerti.

Sensasi bidadari ini hanya berumur beberapa hari. Sebuah media online menghubungi Polda Sulawesi Tengah untuk mendapatkan konfirmasi. Lalu Polda cepat bertindak. Mereka meneruskan informasi ke jajaran bawahannya. Kemudian diketahuilah bahwa ‘bidadari’ ini hanyalah sebuah boneka.

Namun dia tidak sekedar boneka. Dia adalah apa yang dikenal dalam dunia industri erotis dengan sebutan ‘love doll’ atau ‘love toy’ alias boneka yang dipakai untuk membantu laki-laki memuaskan hasrat seksualnya. Ya, boneka seks. Industri erotis sudah mampu menciptakan boneka-boneka ‘cinta’ ini dalam ukuran manusia dan mendekati bentuk senyatanya.

Dalam hal ini, kabarnya perusahan Jepang yang paling maju dan mereka membuatnya berbahan dasar silikon sehingga mendekati kemiripan dengan bentuk anatomi manusia. Menarik bahwa polisi Indonesia yang diutus untuk menyelidiki persoalan ini dengan tepat dan cepat bisa mengidentifikasikan bahwa boneka ini berbahan dasar silikon.

***

Pada bulan Februari 1914, di kampung Bratan, Laweyan, Surakarta, seorang perempuan tua diberitakan bermimpi didatangi seorang kakek. Dalam mimpi, kakek tua itu mengatakan bahwa dhanyang Kampung Gajahan akan mempertontonkan gambar hidup di dalam sumur yang terletak di halaman rumahnya.

Mimpi itu hampir dilupakannya hingga suatu hari seorang anak kecil mengaku melihat gambar api dan harimau dalam sumur yang dimaksud. Koran Darmo Kondo segera menangkap cerita itu. Dalam artikel yang berjudul Soemoer Elok koran ini memuat cerita empat perempuan yang mengaku melihat gambar hidup di dalam sumur di depan rumah si perempuan tua.

Perempuan pertama mengaku melihat bintang dan rembulan. Yang kedua mengaku melihat seorang haji yang sedang berdzikir. Yang ketiga melihat priyayi, dan terakhir melihat seorang haji yang dikelilingi bulan dan bintang.

Sejarawan Kuntowijoyo pernah menulis fenomena ini dan mengaitkannya dengan situasi sosial dan politik di Surakarta pada saat itu. Kota Solo sedang berada pada ‘zaman bergerak’, zaman ketika orang mulai mengenal kata ‘perkumpulan’ atau vergadering. Ini adalah zaman ketika orang mendapati bahwa mereka bisa mencapai sesuatu dengan melakukannya secara bersama. Sehingga, ada keyakinan kuat bahwa dengan pergerakan apapun bisa dicapai. Inilah zaman ‘balik boewono’ atau zaman membalik dunia. Artinya, zaman menjungkirkan tatanan. Penguasa dan kelas penguasa akan diruntuhkan. Rakyat yang hina-dina akan ditinggikan.

Persis seperti kata-kata Magnificat, ‘deposuit potentes de sede et exaltavit humiles.’

Imajinasi itulah yang kemudian menjadi dasar Indonesia. Saat itu, sekalipun kata Indonesia tidak pernah terdengar, namun semangat bergerak itu sudah mulai tumbuh. Rakyat kecil membahasakannya dalam bahasa tersendiri, yakni dalam bentuk mitos dan cerita-cerita seperti soemoer elok. Imajinasi yang mereka miliki boleh jadi terinpirasi dari cerita-cerita yang mereka dengar tentang Haji Misbach, tentang Islam yang akan mendatangkan zaman ‘sama rata sama rasa.’

***

Lalu apa kaitan antara bidadari dari Kabupaten Banggai Laut dengan Soemoer Elok dari Surakarta?

Saya memandang kejadian di Banggai Laut ini dengan sedikit rasa curiga. Pada Soemoer Elok, polisi kolonial buru-buru datang dan menutup sumur itu. Polisi tahu persis bahwa ketertiban dan keamanan bisa terganggu dengan imajinasi-imajinasi liar dari rakyat kecil yang memimpikan datangnya zaman ‘sama rata, sama rasa’ ini.

Kita lihat di zaman modern ini pun, polisi datang menemui ‘bidadari’ dan dengan segera mematahkan imajinasi bidadari. Nyatalah bahwa di mata polisi (dan kita para penikmat media sosial ini) bahwa bidadari itu tidak lebih dari sebuah alat bantu seks. Sebuah media online dengan tanpa tedeng aling-aling menampilkan bentuk telanjang dari boneka itu. Lengkap dengan bagian ‘kelamin’ yang berlobang itu.

Kita tidak tahu imajinasi macam apa yang ingin dipelihara oleh warga kampung yang menyimpan boneka ini. Yang jelas, mereka tidak meletakkannya dalam konteks seksual. Jauh dari itu. Mereka memberinya pakaian. Menghormatinya dengan tradisi agama (ya agama!) yang mereka anut. Maka boneka itu pun diberi jilbab.

Hal-hal seperti ini sesungguhnya menceritakan betapa jauhnya dunia kita—kaum melek huruf, baca buku, hidup di media sosial, dan menonton banyak video atau film—dari dunia kecil seperti di Banggai Laut itu. Dan kita selalu merasa bahwa kita berada dalam dunia yang lebih tinggi. Kita tidak perlu memahami mereka.

Seorang intelektual pernah menanyakan, apakah kaum seperti ini bisa bicara untuk diri mereka sendiri? Saya kira itu pertanyaan yang salah. Mereka sudah bicara. Kitalah yang tidak pernah mau memahaminya. Itulah kesombongan kita.

Lalu bagaimanakah nasib ‘sang bidadari’?

Akhir dari cerita ini menjadi sangat sinis. Setelah dikembalikan semata menjadi sebuah boneka alat bantu pemuas kebutuhan seks laki-laki, boneka ini akhirnya mendapat rumah baru: kantor polisi! Mungkin di sana dia akan menjalankan fungsi sesungguhnya yang diinginkan penciptanya, yakni jadi pemuas kebutuhan seksual.

Hilanglah mitos, kultus, ritual, mistik, dengan segala imajinasinya itu. ***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.