Edisi XL/2016

Print Friendly, PDF & Email

Daftar Isi:

  1. Kapitalisme versus Iklim
  2. Yayak Yatmaka: “Aku tak terlalu peduli pada aliran dalam seni lukis, aku hanya akan terus mencatat pertarungan antar kelas yang terjadi.”

ADA situasi politik terbaru yang terjadi di Indonesia. Yang paling benderang tentu soal ‘Bangkitnya PKI’, yang dihembuskan sendiri oleh tentara, dan dipadamkan sendiri oleh mereka. Lempar batu sembunyi tangan, lalu beramai-ramai menuduh orang-orang dan menghakiminya tanpa rasa bersalah.

Isu bangkitnya PKI semakin masif setelah perhatian masyarakat Indonesia tertuju pada Simposiun 65, sebuah acara yang ‘katanya’ dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus pembantaian massal pasca G 30 S, tapi tanpa satupun keluar permintaan maaf dari institusi yang melakukan pembantaian tersebut. Tentu semuanya berkelit kelindan. Simposium yang bisa disaksikan khalayak banyak tersebut tentu membangkitkan rasa penasaran atas apa yang terjadi sebenarnya. Tentara tak pernah mau masyarakat tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Di sini, kita disuguhkan oleh dagelan khas fasis yang anti terhadap ilmu pengetahuan. Demi menjaga status quo, mereka tak segan untuk melakukan apapun di luar kerangka hukum, bahkan nalar sekalipun. Ini tercermin melalui membabi butanya aparat menangkapi orang-orang yang sekadar menggunakan pin Palu Arit, lambang yang erat kaitannya dengan Komunisme, membreidel buku-buku padahal hal tersebut sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan pembubaran acara-acara yang ingin mengkaji Komunisme/Marxisme secara ilmiah.

Heinrich Heine, sastrawan Jerman pada 1820 menulis “bila orang membakar buku, akhirnya mereka juga membakar manusia.” Dalam konteks Indonesia, aparat tidak melakukan hal tersebut secara gradual, mereka melakukan pembakaran buku dan represi terhadap fisik mereka yang membaca buku dengan serentak. Jelas, mereka anti ilmu pengetahuan, ditambah anti orang yang ingin berilmu. Mereka ingin semua orang dungu seperti mereka. Persis seperti bangsa Barbar yang menghancurkan Imperium Romawi Barat pada 410, seperti Hulagu Khan yang menghancurkan koleksi Perpustakaan Baghdad pada abad-13, dan seperti fasis SA, SS, dan Gestapo milik Nazi.

Pelarangan segala hal yang berbau Kiri di Indonesia tentu bukan sebatas pada terciderainya demokrasi, seperti argumen para liberalis kita. Lebih jauh dari itu, pelarangan ideologi Kiri di Indonesia dilakukan persis karena ideologi itulah yang mampu memblejeti fondasi terdasar sistem Indonesia hari ini: kapitalisme. Pembantaian massal bukan sebatas pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat, pembantaian massal adalah prasyarat berdirinya sistem kapitalisme di Indonesia. Rakyat yang terorganisir dengan cita-cita adil, setara, sejahtera (sosialisme) di kepalanya adalah penghalang bagi ekspansi modal.

Meski demikian, tentu Kiri Indonesia tak boleh diam saja. Justru, bagi kami, saat ini dimana mata masyarakat tertuju pada hal-hal Kiri justru adalah momen yang tepat untuk mempropagandakan apa itu Kiri yang sebenarnya. Toh, argumen kaum konservatif selalu itu-itu saja, seperti kaset butut yang diputar berulang-ulang: bahwa Kiri anti agama, bahwa PKI dulu berniat untuk mengganti Pancasila, bahwa kaum Komunis tak punya kontribusi apapun terhadap perjuangan kemerdekaan, dan lain sebagainya.

Dalam semangat untuk melakukan hegemoni tandingan, serta terus mempropagandakan sosialisme ilmiah itulah, Left Book Review (LBR) Indoprogress kembali hadir ke hadapan sidang pembaca. Dalam edisi kali ini, kami memuat satu wawancara khusus dengan Yayak Yatmaka, inisiator buku Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula, sekaligus aktor yang melawan hegemoni Orde Baru yang masih langgeng hingga hari ini dengan jalan kebudayaan, melalui puisi, gambar, lagu. Dalam wawancara tersebut Yayak bercerita mengapa ia memilih jalur tersebut, dan pandangan-pandangannya terhadap kebudayaan sebagai medium perlawanan.

Selain Yayak, kami juga menghadirkan satu ulasan buku Naomi Klein, This Changes Everything, dari Alwiya Shahbanu. Selagi pemerintah kita sibuk dengan simbol-simbol, alam terus berubah semakin tidak bersahabat karena sistem yang dominan saat ini, yang menuhankan perputaran modal sebagai syarat satu-satunya untuk terus langgeng: kapitalisme. Dalam ulasan tersebut, Alwiya menjelaskan posisi Klein bahwa tak ada cara lain melawan perubahan iklim selain melawan kapitalisme itu sendiri.

Selamat membaca, dan terus berlawan!

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.