Waktunya Buku Kiri jadi Bahan Pembelajaran

Print Friendly, PDF & Email

BARUSAN terbit buku komik tentang Sejarah Gerakan Kiri di Indonesia. Buku yang tebal, menawan dan indah. Memang harganya cukup mahal, tapi itu layak untuk sebuah karya yang begitu menggugah. Illustrasinya ada yang jenaka dan ada yang brutal. Tiap yang jahat selalu punya telinga mirip setan. Lancip dengan muka yang licik. Soeharto salah satunya: dilukis dengan muka jahatnya. Berakal licik dengan perbuatan yang begitu kejam. Membunuh, menghukum dan membuang banyak orang yang tak bersalah. Begitu pula banyak pahlawan yang lancung dalam tindakan. Menindas gerakan kiri dengan cara apa saja. Komik ini meneguhkan kisah yang lama tak diangkat: peran terbaik dari gerakan kiri. Tentu ada banyak yang keberatan dengan kisah komik ini. Tapi komik ini membuka fakta yang selama ini dimanipulasi. Mengenai Musso dan bagaimana perannya. Tentang Amir Sjariffudin dan bagaimana hidup mereka diakhiri. Begitu pula Aidit, Njoto dan Lukman.

Tokoh-tokoh ini dibungkam oleh banyak buku sejarah. Nama mereka identik dengan pemberontak yang patut dijatuhi hukuman. Sebutan untuk Musso tak ada lain kecuali pengkhianat. PKI sendiri selalu identik dengan kumpulan orang yang suka melakukan pemberontakan. Puncak kisahnya ada di 30 September 1965. Meski sudah banyak buku berusaha untuk membuka peristiwa sebenarnya tapi buku pelajaran tak berubah. Foto lubang buaya dengan para jenderal itu masih dipasang. Seakan itu kebenaran yang mutlak dan tak bisa dibantah. Rumitnya buku pelajaran sejarah mirip dengan kitab suci: informasinya tak bisa disangsikan. Satu-satunya harapan hanya pada guru. Mungkin mereka bisa membuat metode dan informasi yang lebih berimbang. Tapi tak semua guru mau susah payah mengerjakan itu. Lebih mudah bagi mereka untuk mempercayai saja apa kata buku. Dan kita semua tahu buku pelajaran sekolah seperti adonan donat yang resepnya semua sama.

Jika tak percaya datanglah ke toko buku. Sejenak luangkan waktu ke rak buku pelajaran. Buku pelajaran itu seperti himpunan serdadu: sampulnya mirip, ketebalanya sama dan desainya tak ada beda. Hampir semua isinya adalah lembar soal. Tiap pelajaran dipenuhi dengan soal-soal yang makin lama makin buat pelajar tangkas menjawab. Ketangkasan menjawab itu kerapkali diperagakan dalam tiap lomba kecerdasan. Dijejali dengan pertanyaan yang kian lama kian brengsek: hari lahir, tanggal perundingan dan berapa lama dijajah. Bahkan untuk pelajaran tentang sistem negara pertanyaanya seputar: kewenangan, tugas dan berapa lama usia kekuasaanya. Tak ada yang menarik dalam ilmu sosial kecuali hapalan dungu yang membuat anak-anak seperti boneka yang bisa mengatakan apa saja sesuai keinginan buku. Itu sebabnya kecerdasan anak selalu identik dengan pengetahuan sains ketimbang sosial. Sains memberi anak-anak jawaban baku dan sialnya ilmu sosial pun diperlakukan seperti pengetahuan sains.

Ilmu Sosial mirip buku menu masakan. Tiap bab menyajikan informasi yang kering dan sering bermasalah. Pada pengenalan struktur kekuasaan hanya diberikan gambaran umum tentang lembaga negara dan tugas-tugasnya. Tugas itu dihapalkan mirip mantera. Kemudian soalnya pasti berkaitan dengan hal itu. Juga ini berlaku untuk buku sejarah. Tiap peristiwa diceritakan singkat dan sederhana. Yang penting waktu berlangsungnya peristiwa: tanggal, bulan dan tahun. Jika penting sekali dicantumkan jam nya sekalian. Seperti soal proklamasi. Tapi alasan peristiwa dan bagaimana dampaknya tak diberitahu sama sekali. Masa lalu seperti mimpi yang mana ingatan kita atasnya rapuh dan lemah. Rapuh karena tak dipahami maksudnya dan lemah karena sulit melihat dampaknya saat ini. Sejarah seperti kisah masa lalu yang kenangannya begitu terbatas dan dibatasi.

Ilmu sosial yang berlaku di sekolah dasar dan menengah seperti ilmu nujum. Kamu tinggal merapal hapalan apapun untuk menjawab semua soal yang dibentangkan. Maka tiap bicara tentang ekonomi hanya ulasan tentang siapa produsen, apa jual beli dan kebutuhan itu berapa tingkatan. Ilmu ekonomi yang ditawarkan serupa dengan praktik hidup binatang: makan, membeli dan menabung. Hal yang sama ada di pelajaran kewarganegaraan dan sosial. Berisi praktik hidup yang mirip robot: ketemu orang tua yang mau seberang jalan maka apa yang akan dilakukan atau menyebutkan tentang tugas DPR. Pertanyaan yang tak perlu dijawab karena DPR sering lupa tugasnya sendiri! Puncak tragedi pengetahuan adalah pelajaran sejarah. Berisi tindakan yang tak jelas maksudnya apa dan menokohkan figur yang tak bisa dijelaskan dengan indah. Coba tanyakan pada anak sekolah apa yang diketahuinya tentang Kartini: paling yang mudah ia jawab adalah tanggal lahir dan judul karyanya. Maka nasib anak-anak sekolah yang belajar ilmu sosial mirip dengan anak-anak yang tersesat: lebih baik percaya pada apa yang dikatakan ketimbang penasaran atas apa yang diketahui.

Waktunya buku-buku kiri untuk datang menjelaskan. Kalau kehidupan ekonomi bukan tindakan jual beli yang meraup laba. Bahwa kehidupan kenegaraan bukan berisi lembaga dengan mandat yang berbeda-beda. Bahkan pelajaran bahasa bukan berisi ‘keluarga Budi’ yang konyol: Budi bantu ibu atau ayah baca koran. Tiap pengetahuan selalu membawa kehendak untuk mengubah situasi dan membentangkan kenyataan yang penuh penindasan. Begitupula sejarah penindasan yang tak diisi hanya oleh tahun dan peristiwa. Tak masuk akal menceritakan VOC serupa dengan kisah tentang Cinderella. Kekejamanya tak bisa menusuk, menyayat dan membuat kemarahan. Anak-anak sekolah melihat penjajahan Belanda mirip dengan mereka nonton manusia angkasa: dulu pernah datang lalu membuat susah kemudian dibasmi oleh para serdadu. Cerita yang membuat anak-anak tak punya kekaguman dengan pahlawan dan menciptakan kebutaan tentang arti penindasan.

Saatnya buku-buku kiri mulai muncul dengan bahasa yang mudah, jelas dan sederhana. Mudah mereka memahami kalau kekayaan itu tak mungkin hanya didapatkan dari kerja keras tapi pasti menindas. Jelas mereka memahami kalau perjuangan itu tak milik tentara tapi petani, buruh dan pelajar yang dulu juga berkorban. Karena itu buku ini sederhana tujuanya, tak menjejali anak-anak dengan informasi apalagi pertanyaan tapi rasa ‘penasaran dan keinginan melawan’. Tentu tak mungkin mengemas buku kiri seperti buku pelajaran yang sampulnya menjemukan dengan isi yang tak menaruh rasa keingintahuan. Komik sejarah gerakan kiri maupun komik kiri pada umumnya perlu jadi referensi: menggugah, menyindir dengan bahasa yang gampang dimengerti. Itu sebabnya kita memerlukan buku kiri yang lebih banyak karena ancaman dan malapetaka yang dibawa oleh banyak buku pelajaran.

Buku pelajaran itu memanipulasi kesadaran. Anak-anak pelajar tumbuh dengan kesadaran palsu tentang semua hal: negara hanya dimengerti melalui sistem dan aparatnya. Sejarah dimengerti hanya pada narasi yang telah dipotong sana sini. Hinggap dalam situasi ini kenyataan sosial seakan sebuah kepastian yang tak dapat diubah sama sekali. Menyaksikan kemiskinan seperti sebuah takdir dan memahami ketidak-adilan dalam persoalan moral semata. Itu sebabnya sejarah kemudian dimengerti hanya deretan peristiwa yang berisi kejadian, tokoh dan waktu. Tak lagi dipahami sebagai pertarungan antara kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat yang akan memberi pengaruh di masa depan. Maka belajar sejarah mirip dengan belajar membaca: kamu memahaminya dalam sebuah kepastian yang tak lagi bisa digugat apalagi disangsikan.

Buku pelajaran kemudian mengekalkan sikap masa bodoh. Anak-anak tak marah melihat kenyataan karena sejak awal kenyataan diantarkan dalam situasi yang netral. Penjajah itu datang tapi lama kelamaan pergi karena dilawan dengan seadanya. Proklamasi itu dibacakan dengan jadwal hari, jam dan tanggal yang memang sudah dikatakan berulang-ulang. Seoalah peristiwa penculikan ke Rengasdengklok hingga perundingan tajam mengenai isinya tak harus dituturkan. Maka tindakan Soekarno untuk baca proklamasi mirip dengan tindakan Soeharto dalam menumpas G 30 S. Karena tiap perbuatan hanya diukur dari tanggal peristiwa dan siapa yang melakukanya. Bukan hanya itu pengenalan tentang tugas dan wewenang negara diutarakan dalam bahasa yang konyol dan tragis: apa itu tugas DPD, wewenang Kepala Daerah hingga isi peraturan. Seakan-akan semua institusi itu terbit seperti matahari yang memang tugasnya memberi kenyamanan hidup sehari-hari. Maka wajar jika anak-anak pelajar tak terlampau bangga dengan bangunan sistem kekuasaan dan juga tak begitu sangsi dengan wewenang yang dimilikinya.

Buku pelajaran kemudian menimbulkan efek destruktif terutama bagi terpeliharanya kesadaran kritis. Anak-anak percaya kalau kenyataan yang disebut dalam buku pelajaran memang begitu dan jika ada yang menggugatnya mereka akan menolaknya mentah-mentah. Jika tak percaya tanya pada anak pelajar tentang PKI: sebagian bisa jadi bilang pemberontak, sebagian bisa katakan takut meyebutnya dan sedikit yang percaya kalau kekuatan politik ini dulunya legal. Maka anak-anak muda yang terhimpun pada gelombang anti komunis sebenarnya merupakan anak-anak rohani yang dibesarkan oleh buku pelajaran. Kobaran mereka untuk duel, menganiaya dan merusak tumbuh melalui buku pelajaran yang berisi bab tentang pemberantasan komunis. Pelajaran yang memuat ketrampilan serdadu dalam memukul apa yang disebut sebagai ‘pemberontak’. Hikmah pelajaran itu hanya satu saja: pukullah orang yang memang disebut dalam buku pelajaran sebagai musuh.

Yang lebih bahaya lagi, buku pelajaran menimbulkan keengganan untuk mengubah kenyataan sosial. Tiap kenyataan sosial sudah dianggap sebagai keniscayaan yang tak bisa diubah. Karena tak bisa diubah maka ada kemalasan untuk ‘mempertanyakan apalagi menyangsikan’. Tiap anak tahu betapa busuknya perbuatan pejabat publik yang bernama korupsi. Tapi tak ada kemarahan yang terbit karena itu semua. Sebab semua perbuatan itu dianggap sebagai ‘kekhilafan’. Seakan para pejabat korup itu hanya lupa dalam mengamalkan Pancasila. Dan tiap orang bisa lupa karena lupa itu pembawaan tiap manusia. Tentu hal ini membuat kesadaran politis pelajar tak bisa mudah diungkit karena buku pelajaran memang tak memberi anjuran untuk protes apalagi marah. Tiap ada cerita tentang pemberontakan maka serdadu dengan mudah menaklukannya. Mirip seperti kisah Marvell dimana serdadu datang sebagai jagoan dan semua pelajar dibayangkan sebagai penonton.

Maka pengetahuan sosial bukan lagi mampu mengasah kepekaan sosial tapi menumpulkan kepedulian. Mereka mengetahui situasi sosial dengan perasaan tentram dan damai, bukan marah apalagi kecewa. Diantarkan anak-anak tentang nama ibu kota, tugas kepala negara hingga masa jabatan bupati. Seakan-akan jabatan publik itu sebuah jabatan bergilir yang mirip piala. Maka anak-anak lalu melacurkan keyakinan perubahan hanya pada apa yang dikonsumsi sehari-hari dan memberontak pada situasi yang meyentuh langsung kepentingan mereka. Betapa gilanya mereka membeli barang apa saja hingga mereka bisa brutal melawan sekolah yang telah jadi musuh mereka puluhan tahun. Bahkan sebagian memeluk keyakinan keagamaan dengan total untuk bersiap menyongsong kematian dan hari akhir. Kepastian mereka dalam melihat masa depan hanya pada kesempatan ujian dan ikut organisasi keagamaan.

Itu sebabnya buku kiri penting untuk diketahui. Setidaknya buku-buku kiri itu mampu memberi alternatif atas sejarah tiap tatanan sosial. Bahwa negara serta semua perangkatnya itu muncul bukan karena sebuah gejala alam, tapi sebuah proses sosial. Dimana ada pertarungan, konflik dan sarat dengan penindasan. Memberikan anak pemahaman yang komplit, meyentuh dan menggugah membuat mereka paham mengapa korupsi bisa terjadi dan kenapa aparat bisa berkhianat. Bahkan mereka bisa disentuh kepekaan dan emosinya untuk mengubah karena tiap orang dipahami sebagai subyek sejarah. Sebagai subyek sejarah itu mereka berhadapan dengan kekuatan struktur yang bisa memanipulasi, menindas dan mengancam. Itu sebabnya sejarah dituturkan bukan sebagai serangkaian peristiwa tapi pertarungan antara kekuatan yang mempertahankan kemapanan dan mereka yang mau mengubah kenyataan.

Karenanya buku kiri membuat anak-anak punya tanggung jawab sosial. Mereka bukan kumpulan kurcaci yang keinginannya hanya jadi petarung dan juara. Tapi anak-anak yang dibesarkan oleh kepedulian, empati dan solidaritas. Disaksikan oleh mereka bagaimana Kartini memberontak melalui surat-suratnya. Diberitahukan pada mereka betapa Soekarno sejak muda sudah hidup dalam organisasi, bertemu dengan ide-ide besar kemudian dijatuhi hukuman. Keinginannya untuk membuat negeri ini bisa berdaulat dilakukan dengan taktik anak muda: berorganisasi, berpidato dan berdemontrasi. Dikenalnya prinsip-prinsip marxisme untuk memahami apa itu kapitalisme. Tak ada kekayaan yang diperoleh hanya dengan kerja keras dan ikhlas. Dipastikan mereka telah merampas dan merampok milik rakyat. Tapi perampok tak bisa dilawan hanya dengan memanjatkan doa apalagi dengan berkelahi. Taktik organisasi dengan merumuskan ide-ide perlawanan yang harusnya ditanam. Hampir semua pejuang memiliki masa muda yang penuh ide-ide kiri.

Itu sebabnya buku kiri akan mengenalkan apa yang hilang dalam pembelajaran: tentang penindasan dan bagaimana cara melawan dan kemudian mengubahnya. Penindasan konsep yang tak dikenal sama sekali. Benar anak-anak kenal dengan penjajahan tapi wajah sesungguhnya penjajahan mereka tak pernah mengerti. Penjajahan itu dalam komik Sejarah Gerakan Kiri muncul melalui gambar orang kelaparan, orang diinjak hingga kepalanya dipotong. Kenyataan ini tak pernah diantarkan dalam buku pelajaran sehingga anak-anak asing dengan konsep penindasan. Penindasan ini dilakukan oleh mereka yang kuat, kaya dan berkuasa. Selalu sasarannya mereka yang lemah, miskin dan tak berdaya. Lewat pengenalan atas penindasan anak-anak pelajar akan mengerti lebih mendalam tentang penindasan yang berjalan dalam hitungan abad. Tanam paksa merupakan penindasan yang keji dan diikuti kemudian dengan romusha. Bahkan pada bentuk kontemporernya, penindasan bisa terjadi pada buruh, petani, nelayan dan orang miskin kebanyakan. Memberikan anak-anak pengenalan tentang penindasan akan membuat mereka tahu arti perlawanan.

Maka buku pelajaran waktunya mengenalkan gerakan kiri yang terus-menerus melawan penindasan. Adalah mereka yang melakukan perlawanan terbuka dan berani untuk pertama kalinya. Bahkan yang terlibat di dalamnya juga para petani, ulama dan orang biasa. Senjata mereka bukan bambu runcing seperti adegan karnaval Orba, tapi keyakinan kiri yang tangguh dan militan. Ada yang bisa menulis, kemudian mengorganisir hingga melakukan sabotase. Imbalan untuk mereka adalah dibunuh, dibuang dan diburu. Betapa mengaggumkan kalau anak-anak pelajar dapat cerita tentang Musso yang pemberani atau Tan Malaka yang pada usia muda sudah melanglang buana. Begitu pula tentang Tjipto Mangunkusumo yang nekat atau Amir Syarifuddin yang memiliki pidato tajam. Mereka tidak melawan dengan bekal senjata tapi ketajaman pikiran dan keberanian untuk menentang hal yang sudah mapan. Sungguh sangat ganjil jika pahlawan hanya terbit pada hari lahir dan tanggal menyerah. Santapan pelajaran yang membuat anak bisa mabuk kebodohan.

Soalnya tinggal bagaimana tradisi penulisan buku kiri mulai meyentuh hal-hal prinsip dan sederhana. Tentang penindasan bisa dituturkan dengan bahasa mudah atau diantarkan dengan gambar yang menarik. Soal kesenjangan bisa dimunculkan melalui kisah yang tragis dan keji. Singkatnya hidup tidak diterima apa adanya melainkan digugat ketimpanganya. Biar anak-anak tahu kalau kebenaran kerapkali berdiri diatas tiang penindasan dan kekejian. Sebab hanya dengan cara itu kita bisa mempertahankan tradisi berfikir kiri sejak dini. Anak mengenal marxisme tidak dengan kekuatiran tapi kebanggaan dan kegembiraan. Sebab tak ada kebahagiaan yang hakiki kecuali mengenal kenyataan dan keinginan untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik. Setidaknya Marxisme punya kemampuan untuk itu: menyingkap eksploitasi dan menyuntikkan harapan atas perubahan. Seandainya kita mampu membuat buku pelajaran seperti itu, rasanya tak perlu lagi menghapal hari lahir Kartini tapi apa yang kita bisa perbuat untuk melawan struktur yang menindas yang masih bertahan hingga saat ini. Struktur yang membuat Kartini terbelenggu, di eksploitasi dan dikucilkan. Melestarikan pikiran Kartini bukan dengan cara lomba busana melainkan bagaimana kita mewarisi semangat perlawanannya. Buku Kiri niscaya bisa melakukan itu dan komik sejarah gerakan kiri mengawalinya lebih dulu.***

 

Penulis adalah aktivis Social Movement Institute

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.