Menguak Tabir Ilusi Kelas Menengah

Print Friendly, PDF & Email

DALAM artikel Muhammad Ridha[1] yang membahas ihwal kelanjutan diskursus kelas menengah menciptakan satu kesimpulan menarik, bahwa sesungguhnya kelas menengah Indonesia merupakan konstruksi politik dari paham kapitalisme. Artinya, dari sisi yang lain, kelas menengah hadir di permukaan akibat implikasi dari relasi produksi kapitalisme. Saya sepakat dengan kesimpulan tersebut. Namun pada tulisan kali ini, saya mencoba untuk memberikan penjelasan dari kacamata yang berbeda. Pertanyaannya adalah mengapa kapitalisme secara politik dapat mengonstruksi keberadaan kelas menengah yang, katanya, ‘ngehek’ itu?

Sebagaimana umumnya para Marxis ketahui, pembagian kerja sosial dalam kapitalisme dibuat sekompleks mungkin. Bahkan saking kompleksnya, ada pekerja (orang-orang) yang bertugas untuk membukakan pintu di sebuah kedai makanan. Tidak cuma pintu, ada pula yang sekadar bertugas untuk membersihkan kaca dan meja makan. Bukan hanya demikian, posisi jabatan di satu perusahaan, misalnya dari mulai staff, supervisior/koordinator, manager, direktur, hingga ke komisaris utama dibuat semengerucut mungkin. Mengapa begitu? Hal ini dilakukan untuk mewujudkan nilai-nilai luhur dari kapitalisme, yaitu efektif dan efisien. Dengan demikian, jika perputaran modal sudah sangat efektif dan efisien maka tenggat waktu untuk menciptakan keuntungan/laba akan semakin cepat didapatkan.

Tidak berhenti sampai di situ, sebagian individu yang masuk ke dalam sistem kerja kapitalisme dimungkinkan untuk melakukan mobilitas sosial dalam satu perusahaan. Contohnya, satu orang pekerja yang tadinya hanya menjabat staf pemasaran biasa, namun oleh karena kinerja pekerja tersebut dinilai baik maka ia mendapatkan promosi jabatan untuk naik ke posisi setara supervisior. Ini merupakan suatu prestasi yang mesti dibanggakan oleh pekerja tersebut. Karena dari hasil kerja kerasnya, ia mencapai taraf hidup yang lebih baik. Kenaikan jabatan tentu akan diimbangi naiknya gaji dan beberapa tunjangan yang didapat. Hal ini pantas untuk diperoleh, mengingat beban kerja dan tanggung jawab yang diemban oleh si pekerja berprestasi itu pun juga bertambah. Dari sini sudah mulai terlihat embrio-embrio dari kelas menengah yang nantinya sering menghujat buruh ketika berdemo. Tetapi sabar dulu, karena pada titik inilah kita akan memulai investigasi atas kehadiran kelas menengah sebagai konstruksi politik kapitalisme.

 

Dari Mana Kelas Menengah Berasal?

Jika kita telisik lebih rinci, ada yang menarik soal mengapa pembagian kerja di dalam relasi produksi kapitalisme dibuat sekompleks mungkin. Argumentasi saya gamblang menyatakan bahwa hadirnya kelas menengah karena implikasi dari pembagian kerja yang kompleks dalam relasi produksi kapitalisme itu sendiri. Muhammad Ridha pun menyatakan bahwa kelas menengah tidak mau disamakan dengan buruh-buruh pabrik. Hal ini disebabkan karena mereka yang mengaku kelas menengah mempunyai daya beli yang kuat, akses terhadap teknologi informasi yang lebih mumpuni, dan cenderung konsumtif dari segi ekonomi. Mereka lebih suka dilabeli sebagai pegawai atau karyawan, yang mempunyai status sosial lebih tinggi dibanding buruh-buruh pabrik. Menjalankan gaya hidup hedonis dan kosmopolitan pun dimungkinkan karena upah yang mereka terima dalam jumlah relatif besar ketika bekerja di suatu perusahaan.

Padahal secara struktur sosial, mereka yang mengaku kelas menengah pun adalah sama-sama termasuk dalam kategori kelas pekerja (buruh). Karena dalam analisis kelas Marxis, mereka yang tidak punya akses untuk masuk ke dalam sarana produksi (karena hak kepemilikan pribadi dimiliki oleh kapitalis yang dijamin oleh negara), yang artinya mereka mesti menukarkan tenaga kerjanya dengan sejumlah tertentu uang (diupah), masuk pada kategori kelas pekerja (buruh). Akan tetapi, analisis tersebut pasti dikatakan tidak benar karena tidak sesuai dengan kenyataan empiris dalam fantasi dunia kapitalisme saat ini. Sebagian besar para penjabat staf, supervisor, manager, dan direktur utama (CEO) dalam suatu perusahaan pun tidak akan menerima kenyataan riil model analisis Marxis seperti di muka. Memang terkadang kenyataan yang sebenarnya itu menyakitkan. Dengan ruang kerja yang ber-ac nan nyaman, kantor perusahaan bertingkat yang berlokasi di tengah perkotaan, aktivitas pertemuan (metting) untuk membahas proyek dengan harga mencapai milyaran rupiah, dan tentunya gaji yang relatif besar menyebabkan antagonisme kelas menengah pun semakin menjadi ‘ngehek’. Pada titik inilah, kelas menengah muncul sebagai konstruksi politik dari paham kapitalisme.

Jadi, suatu perusahaan, sebagai manifestasi dari relasi kerja kapitalisme, diisi oleh orang-orang yang mewujud bagai avatar dalam kategori jabatan/posisi tersebut. Karena pembagian kerja yang kompleks, memungkinkan untuk penyebaran otoritas yang berbeda daripada status sosial (posisi/jabatan) orang-orang di dalamnya. Otoritas atau kekuatan politik staf biasa, jelas berbeda dengan otoritas supervisor. Begitu pun sebaliknya, otoritas dan kapasitas politik seseorang yang menjabat manager juga tidak sebanding dengan direktur utama. Setiap orang yang masuk dalam sistem kerja kapitalisme (perusahaan) berlomba untuk menjadi yang terbaik. Mereka berusaha sekuat mungkin agar mendapatkan posisi yang strategis dan menguntungkan di dalam suatu perusahaan. Terpenting, dalam rangka mendapatkan posisi atau jabatan tersebut, mereka harus berkonflik satu dengan lainnya. Seorang staf biasa tentu tidak ingin hanya menghabiskan sepanjang hidupnya untuk menjabat posisi itu. Ia harus mengalahkan orang-orang lain untuk menang dan bisa menduduki jabatan yang diidamkan dalam suatu perusahaan. Konsekuensi lanjutan, jika kita menerima penjelasan ini, konsep kelas dan konflik kelas ala Marxis terlihat menjadi tidak relevan pada zaman kapitalisme modern sekarang. Mengapa demikian? karena konflik kelas yang terjadi ternyata tidak berlangsung antar kategori kelas proletar dan kapitalis saja. Melainkan antara kategori-kategori yang berada dalam sistem produksi kapitalisme itu sendiri, seperti jabatan-jabatan yang tadi sudah disebutkan. Jauh lebih kompleks, sekompleks pembagian kerja yang ada di dalam relasi kerja kapitalisme.

Tidak perlu melakukan demonstrasi yang berbasis kelas sosial (pekerja yang terorganisasi) karena itu hanya akan membuat macet jalanan yang nantinya bisa menyebabkan kerugian ekonomi akibat tersendatnya arus lalu lintas yang membawa komoditas. Lebih baik bekerja yang tekun, cerdik, dan memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin agar bisa promosi jabatan. Semakin tinggi jabatan, semakin besar pula gaji dan kapasitas yang didapat. Pada akhirnya, secara realitas empiris, dalam suatu perusahaan seolah para pekerja dibuat sibuk untuk berkonflik satu dengan lainnya. Dengan iming-iming gaji dan tunjangan yang besar ketika naik jabatan, mereka berjibaku untuk menyingkiran pekerja lainnya. Dari gejala ini, lagi-lagi semakin terlihat bahwa kapitalisme berhasil untuk mengonstruksi kelas menengah secara politik.

 

 

ngehek2Gambar diambil dari www.republika.co.id

 

Konflik ‘Semu’ Antar Kelas Pekerja

Dalam studi literatur, model analisis konflik kelas seperti yang telah dijelaskan di atas sebenarnnya sudah dicetuskan oleh sosiolog bernama Ralf Dahrendorf. Ia menaruh perhatian lebih pada konsep kelas dan konflik kelas menurut Karl Marx. Salah satu kritik Dahrendorfh (1959) tertuang dalam karyanya yang berjudul Class and Class Conflict in Industrial Society, yang menyatakan bahwa eksistensi dari orang-orang yang hidup pada zaman industri, atau [bahkan] situasi kelas, berbasis pada posisi mereka di dalam suatu produksi bukan pada relasi kelas [kapitalis-Proletar] itu sendiri. Artinya, dalam pengertian Dahrendorf, kelas ditentukan bukan dari kepemilikan sarana produksi dan pertukaran tenaga kerja dengan upah, melainkan dari posisi/jabatan seseorang pada sebuah sistem produksi tersebut. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya di dalam produksi itu terjadi pembagian kerja dan konsekuensi dari adanya pembagian kerja adalah persebaran otoritas politik yang diterima oleh orang-orang di dalamnya. Maksudnya, seperti yang telah dijelaskan di muka, bahwa otoritas setiap jabatan/posisi yang ada di suatu perusahaan pastilah berbeda-beda. Pada titik ini, produksi yang ada di pikiran Darhendorf ialah produksi dalam relasi kerja kapitalisme yang tentunya bisa mewujud dalam rupa perusahaan atau pabrik. Jika kepentingan kelas pekerja selalu mengarah pada upah dan perbaikan kualitas hidup, maka kapitalisme sudah menyediakan wadahnya. Bekerjalah dengan tekun dan cerdik, niscaya si pekerja tersebut akan diangkat posisinya dalam suatu sistem produksi ke jabatan yang lebih tinggi dan tentu dengan otoritas politik yang lebih besar pula. Jadi, tidak perlu demonstrasi turun ke jalan hingga mogok kerja atau yang lebih radikal melakukan revolusi sosial dan mendirikan kediktatoran proletariat, karena itu hanya akan mengancam stabilitas ketentraman politik yang sudah dibangun oleh sistem kapitalisme.

Darhendorf juga menaruh perhatian pada kemunculan kategori kelas yang baru yaitu, kelas menengah. Masih dalam buku yang sama, di salah satu sub-bab ia memberikan judul “The New Middle Class”. Kelas pekerja hari ini, jauh dari kata kelompok homogen yang tidak terampil [unskilled] dan orang-orang miskin, pada kenyataannya telah terjadi pembedaan strata secara kasat mata. Di sini juga, sejarah memainkan posisi pentingnya, dengan peranan yang dipegang [kelas pekerja] menjadi beragam dan diiringi oleh konflik di antara mereka (Darhendorfh, 1959:49). Maksudnya, oleh karena perkembangan sejarah, saat ini banyak dari kelas pekerja sudah memiliki keterampilan yang mumpuni. Maka dari itu, karena ia sudah memiliki keterampilan yang baik, maka upah yang diterima pun tinggi dan sudah barang tentu kualitas hidup juga semakin membaik dengan kemampuan mereka dari sisi ekonomi. Jadi, tingkat keterampilan berbanding lurus dengan tingkat upah yang diterima oleh si pekerja. Semakin memiliki ketrampilan, semakin besar kemungkinan ia untuk menduduki jabatan strategis dan akhirnya menerima upah yang besar.

Agaknya, kelas menengah terletak di antara dua kelas lainnya (buruh dan kapitalis). Upah yang diterima membuat mereka keras kepala untuk menyadari di mana posisi mereka, masuk ke dalam kelas berkuasa atau kelas buruh (Dahrendorf, 1959:53). Maka, dari titik inilah sebenarnya kelas menengah mulai mengalami kegamangan. Mereka orang-orang yang sesungguhnya masuk dalam kategori kelas pekerja, namun karena satu dan lain hal (misalnya mereka memiliki kemampuan yang baik dan dianugerahi posisi/jabatan yang strategis sehingga mendapatkan upah yang besar) mereka seakan dibuat kepayang oleh sistem yang membuat nyaman. Bayangkan upah yang besar, tunjangan atau bonus yang banyak, dan fasilitas menguntungkan yang diterima tentunya menawarkan ketentraman tiada tara. Meminjam istilah Butet; “kapitalisme adalah sistem yang paling memanusiakan manusia”. Gejala ini secara tidak langsung menyebabkan kelas menengah menjadi garda terdepan sebagai pembela garis keras dari kelas kapitalis itu sendiri. Mengapa demikian? Karena mereka, para pekerja berkerah putih (meminjam istilah Dahrendorf “white-collar”), tentu akan terganggu dan membela mati-matian bilamana ada semacam gerakan yang bertendensi untuk menumbangkan kapitalisme.

Dilema menjadi kelas menengah yang dikonstruksikan secara politik oleh kapitalisme semakin kentara, tatkala mereka harus memainkan peran ganda dalam dua ranah konflik yang berbeda. Pertama, kelas menengah harus berjibaku dengan konflik antar pekerja di tempat kerja (perusahaan atau pabrik) mereka masing-masing. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan posisi strategis yang membuahkan upah dan tunjangan yang besar dalam sebuah sistem produsksi. Kedua, mereka mesti membantu para kapitalis agar sistem kapitalisme terus berjalan. Artinya, kelas menengah pun juga harus bersitegang dengan para pekerja yang ‘sadar’ mengenai struktur relasi kerja kapitalisme yang di dalamnya terkandung bermacam kontradiksi dan itu membuat mereka yakin bahwa sistem (kapitalisme) harus diganti. Jadi, secara realitas empirik para pekerja seakan terpecah belah dengan kepentingan yang berbeda-beda. Hal ini jelas sangat menguntungkan kelas kapitalis, karena mereka berhasil menciptakan sebuah ilusi kelas baru (kelas menengah) yang berfungsi untuk menjaga kestabilan politik dan legitimasi mereka. Para kapitalis pun semakin gencar untuk mengeruk laba, tidak ada lagi yang bisa mengganggu mereka. Dukungan dari pekerja berkerah putih (kelas mengengah) membuat mereka semakin percaya diri bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi yang paling manusiawi dalam sejarah umat manusia. Kelas pekerja yang turun ke jalan untuk berdemontrasi hingga mogok kerja dan dengan tuntutan kenaikkan upah setiap tahunnya, dianggap tidak tahu diri. Jika memang mau menuntut kesejahteraan, maka bekerjalah dengan baik, tertib, serta patuhi aturan yang ada. Niscaya para kapitalis akan memberikan upah yang besar pula.

Jadi, kapitalisme bukan hanya bisa mengonstruksi secara politik akan hadirnya kelas menengah. Lebih dari itu, secara tidak langsung kapitalis pun berhasil untuk membuat ‘konflik semu’ di dalam kelas pekerja itu sendiri. Lewat kelas menengah, kapitalis seakan mempunyai benteng yang kokoh dan kuat. Pekerja dihadapkan dengan pekerja, bukan dengan kapitalis. Padahal secara struktural keberadaan kelas menengah adalah bagian dari kelas pekerja juga. Karena setinggi apapun jabatan yang emban dan sebesar apapun juga upah yang diterima, orang-orang yang mengaku kelas menengah tetap diupah oleh di kapitalis. Namun demikian, karena intervensi yang dilakukan kapitalis menyentuh tataran politik (superstruktur), hal itu membuat sebagian kelas pekerja mendaku bahwa dirinya adalah kelas menengah. Segala kenyaman yang ditawarkan membuat kelas menengah ‘gerah’ ketika ada segerombolan buruh yang turun ke jalan sembari berpikuk untuk hak-hak sebagai pekerja dipenuhi oleh pemerintah. “halah!! Bikin macet aja nih buruh-buruh degil pada demo. Kalo mau kaya ya kerja yang bener. Jangan demo aja dibanyakkin”- umpatan seorang kelas menengah yang sedang melaju dengan mobilnya untuk bertemu client.

 

Bagaimana Selanjutnya?

Kelas menengah adalah entitas yang sesungguhnya secara realitas tidak pernah ada. Artinya, kehadiran kelas menengah itu hanya ilusi belaka. Kelas menengah hadir karena murni konstruksi politik dari kapitalisme. Keberadaannya mengemuka hanya pada tataran empiris, yang memang ditujukan untuk membuat kenyataan riil semakin sulit untuk dijelaskan (konflik antara kelas pekerja dan kapitalis). Satu hal lagi yang mesti disadari oleh para kelas menengah, bahwa pembagian kerja yang kompleks dalam relasi kerja kapitalisme menyimpan suatu kontradiksi, yaitu semakin rumit pembagian kerjanya maka semakin rentan pula bagian-bagian dari pembagian kerja yang kompleks ini untuk dihilangkan. Maksudnya, bisa saja satu posisi/jabatan atau bahkan satu divisi dalam satu perusahaan dihilangkan dalam suatu rangkaian produksi. Jadi, sebenarnya mendaku menjadi kelas menengah pun tidak bisa dikatakan aman juga (atau naik kelas). Karena sesungguhnya mereka juga masih terancam oleh PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

Seorang guru pernah berujar kepada saya, kehilangan zona nyaman adalah hal yang paling ditakuti siapapun, sekalipun zona nyaman yang ada tak memberi kepuasaan cukup layak dalam hidup.[2] Saya pikir hal itulah yang dirasakan oleh kelas menengah saat ini. Sebenarnya mereka sadar bahwa mereka sejatinya adalah seorang pekerja. Tenaga kerja mereka diperas untuk menghasilkan laba buat para kapitalis dan lalu mereka diupah. Namun demikian, mereka menikmati buah dari sistem kapitalisme ini, bahkan sebagian dari mereka menyatakan bahwa sistem kapitalisme ini merupakan sistem yang adiluhung. Pertanyaannya adalah apakah sistem lain (seperti sosialisme, komunisme, atau bahkan Khilafah) mampu memberikan kenyamanan yang sama atau bahkan melebihi dari kapitalisme saat ini? Pada titik inilah diskusi dan gerakan lebih lanjut dibutuhkan. Akhirul Kalam Walluhu Alam Bissawab.***

 

Penulis adalah lulusan antropologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung & redaktur di RumahKiri.org

 

Kepustakaan:

Darhrendorfh, R. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford University Press: California.

Gani, S. 2012. Zona Nyaman Kaum Buruh. Dapat diakses di http://sadikingani.com/zona-nyaman-kaum-buruh/

Ridha, M. 2016. Memahami Kelas Menengah Indonesia. Dapat diakses di https://indoprogress.com/2016/02/memahami-kelas-menengah-indonesia/

 

————–

[1] https://indoprogress.com/2016/02/memahami-kelas-menengah-indonesia/

[2] http://sadikingani.com/zona-nyaman-kaum-buruh/ 2012

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.