Mangun

Print Friendly, PDF & Email

SAYA kira, saya tidak pernah dekat dengannya. Waktu itu, dia sudah punya nama besar. Dia arsitek. Dia juga intelektual publik yang disegani. Dia menulis di banyak koran. Saya berusaha menyimak tulisan-tulisannya. Dan, terus terang, saya gagal paham. Namun, agar kelihatan pintar, saya pura-pura mengerti.

Saya membaca novel-novelnya (‘Romo Rahadi,’ ‘Burung-burung Manyar’). Tidak juga merasa tertarik. Kecuali satu buku cerita rakyat dari Halmahera, ‘Ikan-ikan Hiu Ido Homa’ yang menurut saya justru diceritakan dengan sangat baik. Namun nama besarnya sungguh membikin galau remaja macam saya. Tentu, saya ingin berkenalan dengan pemikir yang statusnya diangkat menjadi selebriti oleh media—terutama media terbesar masa Orde Baru dulu.

Satu kali saya beranikan diri untuk bertemu. Saya ingin menjadi relawan di sekolahnya yang terkenal di pinggiran kali Code itu. Saya datang ke rumahnya di Gang Kuwera, Yogyakarta. Setelah memperkenalkan diri, saya utarakan niat saya untuk menjadi relawan. Dia menyipitkan matanya dan dengan sudut mata yang saya ingat persis seperti agak sinis bertanya, ‘Kamu sudah punya pacar belum?’

Pertanyaan tak terduga itu telak menghantam diri saya. Saya merasa sangat direndahkan. Apa urusannya punya pacar dengan menjadi relawan? Saya jawab pelan, ‘Belum.’ Harus saya akui, dalam hal itu saya sungguh tidak terampil. Saya sering bergurau, saya lebih dulu menolak sebelum ditolak. Dan, itulah yang selalu terjadi.

‘Tidak mungkin kamu menjalankan pekerjaan di Code itu tanpa pengertian dari pacarmu. Sana pulang dulu. Cari pacar yang bisa mengerti apa yang akan kamu kerjakan,’ demikian jawabnya.

Saya ingat, saya keluar dari halaman rumahnya, yang juga disambi menjadi tempat pemondokan untuk para mahasiswi, dengan perasaan dongkol luar biasa. ‘Asu! Asu! Asu!’ Demikian maki saya berkali-kali.

Tahun 1989, kasus Waduk Kedungombo meledak. Namanya menjadi perbincangan nasional ketika itu. Dia adalah tokoh yang mendampingi warga yang menuntut ganti rugi yang lebih layak atas tanah mereka yang digusur. Saya ingat, ketika itu, dia menulis sebuah kolom tentang tumbal pembangunan. Dia mengulas bahwa memang ada kepercayaan masyarakat untuk mengorbankan sesuatu ketika harus membangun. Korban itu namanya tumbal. Jika masyarakat mau membangun jembatan, misalnya, tumbal selalu diminta. Ia bisa berupa nyawa anak kecil atau bisa diganti nyawa binatang. Yang menjadi tumbal biasanya adalah yang lemah. Dia menentang tumbal itu dan menurutnya penduduk Kedungombo tidak layak dijadikan tumbal.

Soeharto langsung menjawabnya dengan petitih bahasa Jawa, ‘Jer basuki mawa beya.’ Alias, kemakmuran membutuhkan pengorbanan. Soeharto tentu meminta sekitar 600an lebih keluarga yang tanah dan rumahnya ditenggelamkan oleh Waduk Kedungombo untuk berkorban demi tercapainya swasembada pangan, yang menjadi mantra saat itu. Secara tidak langsung, Soeharto sangat yakin akan tumbal itu. Memang demikianlah karakternya.

Saya menyaksikan dari jauh bagaimana dia menghadapi militer yang diperintahkan untuk mengepung waduk itu. Dia mendampingi warga yang bertahan hingga rumahnya tenggelam. Dia membuat perahu dan gubuk-gubuk darurat di ketinggian untuk warga. Dia mencari jalan-jalan tikus untuk menyalurkan bantuan tanpa diketahui oleh tentara. Tentu saja, dalam siatuasi Orde Baru, ini adalah tindakan yang luar biasa berani. Tapi dia dilindungi oleh reputasinya sebagai pastur Katolik, sebagai intelektual publik, dan sebagai mantan anggota Tentara Pelajar yang terlibat dalam revolusi. Tentu tidak mudah bagi Soeharto untuk ‘menggebuk’ orang dengan reputasi yang begitu besar.

Saya masih jengkel dengan urusan pacar itu. Bertambah parah lagi karena hingga saat itu pun saya tidak punya. Jadilah saya hanya menyaksikan dari kejauhan peristiwa Kedungombo itu muncul ke permukaan. Namun bukan berarti saya tidak terseret arusnya. Banyak kawan saya yang terjun langsung ke sana. Menariknya, banyak sekali anak-anak muda dari gereja, pada anggota Mudika (Muda-mudi Katolik) yang biasanya hanya ikut sembahyang dan latihan koor, justru menjadi tulang punggung relawan. Selain ada juga bantuan relawan dari para santri Pondok Pesantren Pabelan di Magelang asuhan KH Hamam Dja’far.

Sementara, para mahasiswa (termasuk saya!) tentu saja lebih memilih berdemonstrasi di jalanan. Selain berdiskusi hingga busa mulut mengering dan memutih di sudut bibir. Tentu, ada juga mahasiswa yang terjun langsung, seperti mahasiswa dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Mereka agak beruntung karena dibimbing oleh beberapa dosen yang lumayan radikal.

Begitulah, hiruk pikuk Waduk Kedungombo pun mereda. Dia pun mulai menapaki dunia yang baru. Dia kembali bergiat dengan dunia pendidikan. Dia mulai membuat sekolah dasar karena keprihatinannya akan situasi pendidikan di Indonesia. Saya kira, dia sangat dipengaruhi oleh pemikiran Paulo Freire. Dia ingin membikin pendidikan yang membebaskan. Bukan hanya sekedar menyalin pengetahuan dan membuat anak-anak menjadi bebek. Ide ini nantinya akan diwujudkan dalam Sekolah Mangunan.

Setelah itu dia hilang dari perhatian saya. Karena saya sendiri sibuk bekerja: meneliti tentara, menelisik masalah keturunan Cina di Indonesia, menonton Kethoprak dan dangdut, serta memberi pelatihan dan ceramah di sana-sini. Tentu ada juga pergaulan sosial. Saya mengontrak rumah di bilangan timur Yogyakarta. Banyak kawan singgah, datang dan pergi. Umumnya mereka aktivis. Kantor saya pun, yang sebenarnya tidak jauh dari Gang Kuwera, juga jadi tempat persinggahan. Kawan datang dan pergi. Entah untuk berdiskusi, mengeluh, bersenda gurau, dan tentu saja meminjam (tepatnya: meminta) duit.

Situasi politik makin memanas. Tidak saja mahasiswa yang makin sering terjun ke jalan namun juga buruh, tani, dan berbagai kelompok dalam masyarakat. Gerakan sosial makin menjadi-jadi dan semakin berani menentang Soeharto dan pemerintahan Orde Barunya. Tahun 1993, seorang aktivis buruh di Sidoarjo di Jawa Timur dibunuh dengan keji oleh tentara. Perlawanan pun semakin deras.

Kemudian tibalah Peristiwa 27 Juli 1996. Awalnya adalah konflik politik di dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Konflik ini melahirkan kepengurusan kembar di PDI, antara kepengurusan yang didukung pemerintah dan yang tidak. Kebetulan yang tidak didukung oleh pemerintah diketuai oleh Megawati Soekarnoputri. Kelompok yang terakhir inilah yang menduduki kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro, Jakarta. Kelompok yang didukung pemerintah berusaha mengambilalih kantor ini. Dan itu dilakukan dengan dukungan militer dan preman yang menyamar menjadi anggota PDI pro-pemerintah.

Pemerintah Soeharto dengan cepat menuduh sebuah partai kecil, yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang didirikan oleh anak-anak muda dua minggu sebelum peristiwa berdarah itu, sebagai dalang semua kekacauan politik ini. PRD tidak takut mengaku dirinya beraliran sosialisme dan tidak malu mengaku beraliran Marxis. Pendirian PRD seolah-olah mengencingi rejim Soeharto di mukanya karena pondasi mendirikan Orde Baru adalah anti-Marxis, anti-komunis dan anti semua yang berbau kiri. Anehnya, anak-anak muda ini dengan kurang ajar menafikan semua yang ditabukan Orde Baru. Tidak heran, Orde Baru menyatakan partai ini partai terlarang saat baru dua minggu usianya.

Militer bergerak dengan cepat. Mereka menangkapi aktivis-aktivis PRD. Kemudian penangkapan itu dibarengi dengan perintah tembak di tempat. Persis pada saat itulah saya menerima pesan dari kawan-kawan di Jakarta: Kita bergerak untuk melakukan upaya penyelamatan. Pesan lanjutannya adalah saya harus ke Gang Kuwera.

Saya arahkan Vespa tua saya ke sana dan mengetuk pintu rumah kantornya. Dia sendiri yang membuka pintu dengan tergopoh-gopoh. Saya ingat, saat itu dia hanya bercelana pendek dan wajahnya sangat ramah. Dia tampak persis seperti Noriyuki ‘Pat’ Morita, aktor Amerika keturunan Jepang yang bermain dalam film Karate Kids itu. Dia bilang sedang menyelesaikan sebuah artikel tentang mengapa kita tidak boleh memusuhi anak-anak muda. Kami membicarakan strategi penyelamatan. Kami setuju, anak-anak yang kemungkinan dalam bahaya diharapkan datang satu per satu (‘jangan bergerombol,’ begitu selalu pesannya) ke rumahnya di Pasturan Jetis besok selepas maghrib.

Keesokan harinya, selusin lebih anak-anak ini datang ke Jetis. Kemudian dia memberikan instruksi. ‘Saya akan tempatkan kalian terpencar-pencar. Tergantung kadar bahaya kalian. Ada yang akan ditempatkan di pastoran desa, di susteran, di Salam (rumah retret yang dikelolanya), dan yang paling berbahaya akan saya titipkan hidup dengan pasangan kakek nenek di atas di lereng Merapi dekat Magelang-Muntilan’ demikian jelasnya. ‘Saya minta kalian selalu siap. Di dalam tas yang bisa kalian bawa, harus selalu siap satu stel pakaian, pakaian dalam, sabun kecil dan sikat gigi. Setelah kalian ditempatkan, tolong cermati tempat itu. Cari celah untuk jalan keluar yang paling cepat dari rumah itu.’ demikian nasehatnya. ‘Usahakan untuk tidak berkomunikasi dulu satu sama lain. Saat ini kita tiarap dulu.’

Akhirnya sampailah pada kesimpulan yang luar biasa ini, ‘Kekuatan yang kalian hadapi adalah kekuatan yang sangat brutal, yang tidak mengenal belas kasihan, yang sama sekali tidak mengenal apa yang namanya kemanusiaan. Saya harap kita tidak main-main. Kalian harus sangat berdisiplin menghadapinya.’ Dia menekankan bahkan revolusi memerlukan disiplin!

Kemudian mulailah pekerjaan apa yang kami namakan ‘pendistribusian.’ Anak-anak ini diantarkan ke tempat pengungsian. Mereka diharapkan mengungsi untuk sementara waktu. Di sini, lagi-lagi saya memperhatikan mereka yang bergerak mengantar kawan-kawan muda ini ke pengungsian mereka. Sebagaimana di Kedungombo, anak-anak muda yang tahunya hanya sembahyang rosario dan latihan koor itulah yang paling banyak bekerja. Merekalah yang menyetir mobil, menyediakan konsumsi dan perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan saat pengungsian, hingga memastikan tempat pengungsian benar-benar aman.

Malam itu, setelah pertemuan, saya berbincang dengannya. Saya tanyakan, apakah anak-anak muda ini akan bisa disiplin? ‘Tentu saja tidak ada,’ katanya sambil tersenyum. Dugaan ini benar. Belum lewat seminggu, saya mendapat laporan bahwa orang-orang yang seharusnya mengungsi terlihat berkeliaran di kampus. Mereka saling kontak dan berusaha untuk berkomunikasi satu sama lain. Pengungsian ini pun pelan-pelan bubar setelah pentolan-pentolan PRD ditangkapi satu per satu.

Kerja bareng kami berakhir di situ. Kerja itu memperlihatkan karakternya yang sangat berbeda dengan status selebritis yang dibingkaikan media massa kepadanya. Saya melihatnya sebagai orang yang sangat taktis. Dia tahu persis cara menghadapi ‘musuhnya.’ Dia dikelilingi oleh orang-orang yang sama sekali tidak diduga akan melakukan kerja yang amat politis: anak-anak Mudika, tukang becak di derah Jlagran, sepasang kakek nenek di lereng Merapi, hingga ke pastur-pastur paroki dan kiai-kiai desa yang menjadi kawannya sejak lama.

Dari situlah saya mengerti, mengapa dia menolak saya menjadi relawannya sekitar satu dekade sebelumnya. Kerja-kerjanya memerlukan penyangkalan diri yang luar biasa. Ilusi sebagai intelektual, yang merasa tahu segala jawaban akan segala persoalan di muka bumi ini, tentu tidak akan bisa melakukan kerja-kerja sederhana yang menuntut ketaatan dan kedisiplinan pada tujuan.

Minggu yang lalu, dia yang bernama YB Mangunwijaya atau lebih dikenal dengan nama Romo Mangun genap 17 tahun meninggal. Seorang kawan mengirimkan foto makamnya yang berlumut di halaman belakang Seminari Kentungan, tempat dia pernah belajar teologi mempersiapkan diri menjadi imam Katolik. Makam yang amat sederhana. Saya beruntung mengenal sisi hidupnya yang tidak banyak diketahui orang. Namun justru dari sisi itulah saya belajar paling banyak dari hidupnya.

Lalu, bagaimana ceritanya dengan pacar? Ah, sudahlah. Jangan tanya-tanya itu lagi.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.