Onani Intelektual Marxis

Print Friendly, PDF & Email

SEWAKTU saya sedang belajar ‘onani intelektual’, seorang tukang ‘onani intelektual’ yang sudah lebih dulu belajar mengajarkan kepada saya bahwa sebagai ideologi politik, Marxisme didasarkan pada ilmu. Marxisme itu bukan klenik atau keimanan, dan Marx bukanlah ahli nujum atau nabi pembawa kabar baik. Marxisme dibangun di atas dasar pikiran bahwa masyarakat itu bukan sekadar sekumpulan orang-orang beserta pikiran, ucapan, dan tindakan-tindakannya. Kehidupan sosial tak secentang-perenang kelihatannya secara kasat mata. Apa yang oleh mata terlihat centang perenang, sebetulnya terstruktur sedemikian rupa membentuk satu kesatuan jalinan yang mustahil dipisah-pisahkan. Mencari dan memahami struktur inilah tujuan dari ilmu Marxisme. Dalam berilmu, tentu saja kita butuh kesederhanaan. Untuk itu kita harus pisah-pisahkan berbagai segi dan unsur penyusun realitas dan menguncinya ke dalam konsep-konsep. Namun pemisahan itu hanyalah bagian dari cara berilmu; cara untuk menangkap realitas yang ada di balik tampakannya. Seperti semua representasi, pemisahan dan hasilnya, yakni konsep dan teori, bukanlah realitas, hanya perwakilannya yang digunakan dalam ‘onani intelektual’ memahami rupa dan dinamika masyarakat. Seperangkat konsep dan teori yang Marx-Engels bangun ini kemudian dikasih nama ‘materialisme historis’.

Demi berlanjutnya kenikmatan ‘onani intelektual’, saya lalu bertanya soal apa yang dimaksud ‘materialisme’ dalam materialisme historis itu. Pertanyaan ini saya ajukan karena, dalam pikiran saya, pengertian yang pertama terbersit dari materialisme ada kaitannya dengan hura-hura, senang-senang, tumpuk-tumpuk harta, dan kepercayaan bahwa di dunia ini yang ada hanya materi, tak ada jiwa, roh, dan tetek-bengek yang dipercaya orangtua sebagai adi-alami. Sebagai anak muda yang ingin kelihatan garang, tentu saja saya tak berminat sama sekali pada materialisme kalo begini artinya. Bagaimana tidak. Saya punya cita-cita; semacam ideal-ideal yang menurut saya baik dan hendak, kalau bisa, diwujudkan dalam menjalankan hidup dengan segala daya upaya. Salah satunya ialah bahwa masyarakat harus berubah sedemikian rupa menjadi suatu masyarakat yang tak hanya makmur, tapi juga adil, yang di dalamnya tak ada penindasan dan eksploitasi manusia atas manusia.

O bukan itu maksudnya, kata juru onani intelektual yang sudah ahli itu. Katanya, ‘materialisme’ merujuk pada dasar pikiran yang Marx kembangkan bahwa kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi material dari produksi dan reproduksi syarat-syarat keberadaan masyarakat mengondisikan rupa dan dinamika masyarakat secara umum, termasuk bentuk-bentuk relasi politik dan pandangan dunia. Artinya, segala sesuatu yang oleh kebanyakan orang dianggap wajar tanpa perkecualian berlaku di dalam masyarakat, termasuk pandangan tentang manusia yang baik, keluarga yang baik, atau sistem politik yang baik, misalnya, sebetulnya dikondisikan oleh rupa dan dinamika kekuatan-kekuatan produksi syarat-syarat keberadaan masyarakat. Bukan kesadaran sosial ini yang menentukan keberadaan sosial orang-orang, tapi sebaliknya.

Kalau ditengok ke urutan keberadaan, untuk adanya sama sekali masyarakat, tentu haruslah ada orang-orang hidup di dunia ini yang berpikir dan bertindak terhadap satu sama lain. Karena orang-orang hidup ini bukanlah roh, dan dunia tempat hidup mereka juga bukan surga, tentu mereka membutuhkan sarana hidup. Karena sulap, sihir, atau mukjizat tidak bisa menciptakan makanan, pakaian, dan lainnya yang dipersyaratkan untuk hidup sebagai raga secara berkelanjutan, maka kumpulan orang-orang itu haruslah memproduksinya. Dalam memproduksi sarana hidup ini mereka mau tak mau berhadapan dengan alam sebagai satu-satunya sumber daya. Dalam relasi berhadap-hadapan dengan alam dan sesama inilah masyarakat menciptakan sarana-sarana sekaligus relasi-relasi sosial produksi dalam mengelolanya.

Dalam memproduksi sarana hidup ini juga mereka mau tak mau berhadapan dengan sesama lewat relasi sosial produksi tertentu. Sekarang, misalnya, ada orang-orang yang bisa tetap hidup tanpa langsung berhadapan dengan alam dengan tangan mereka. Karena mereka itu mahluk hidup, meski mereka tak perlu kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tinggal leha-leha ke Bali tiap pekan, mereka tak akan bisa tetap hidup tanpa ada orang-orang lain yang berhadapan langsung dengan alam lewat kerja mereka. Kedua pihak terikat satu sama lain ke dalam satu relasi. Relasi sosial mereka dengan orang-orang yang bekerja memproduksi sarana hidup ini, menurut Marxis, ialah relasi produksi. Relasi produksi ini bukanlah sesuatu yang sejak azali ditentukan oleh kekuatan ilahiah, tapi dikondisikan oleh kekuatan material produksi yang tersedia. Bukan pula ditentukan oleh kehendak dan keinginan orang per orang. Ketika daya kekuatan material masihlah rendah, yakni ketika teknologi masih begitu sederhananya sehingga nyaris tak ada surplus yang bisa dihasilkan, bukan pilihan atau kehendak oranglah bila mereka bekerja sama satu sama lain untuk memproduksi sarana hidupnya. Tapi ketika daya dari kekuatan material produksi begitu besar sehingga surplus melimpah, bukan pilihan atau kehendak orang-oranglah bila orang-orang kemudian terpilah lewat pembagian-pembagian kerja yang konsekuensinya pada distribusi hasil kerja dari golongan yang bekerja. Hanya pada taraf ketika surplus melimpah dan limpahan ini kemudian disalurkan lebih banyak ke golongan yang tidak bekerjalah kemungkinan untuk adanya orang-orang yang bisa hidup tanpa bekerja, tapi dengan mengambil alih hasil kerja pihak lain.

Perubahan dalam daya kekuatan produksi menjurus ke perubahan relasi produksi. Perubahan relasi mengubah kedudukan orang-orang ke dalam lingkup-lingkup dunia tertentu yang berbeda. Dunia-dunia tertentu inilah yang mengondisikan bagaimana orang memandang dan bertindak atas diri dan orang lain. Jadi, ‘materialisme’ dalam materialisme historis merujuk pada cara pandang atas kekuatan-kekuatan apa yang membentuk rupa dan dinamika masyarakat beserta lembaga dan pandangan dunianya. Bagi materialis, bukan lembaga-lembaga sosial, kesadaran, dan pandangan dunia yang ada di dalam masyarakat atau kelompok-kelompok sosial tertentu yang menentukan rupa dan dinamika relasi material dan relasi produksi, tapi sebaliknya. Karenanya pula, perjuangan orang-orang di ranah material inilah yang menjadi kunci perubahan masyarakat seluruhnya.

Itulah pelajaran pertama yang saya peroleh ketika pertama kali belajar onani intelektual Marxis dari ahlinya.

Waduh, setelah dipikir-pikir, ternyata onani inetelektual lama juga ejakulasinya ya. Kalau teori-teorian macam begini yang dionani oleh para intelektual Marxis yang tak pernah susah payah rapat komite berjam-jam sampai subuh mempersiapkan unjuk rasa serikat buruh, yang tak pernah berkeringat dan berdarah-darah mengoordinasi perlawanan atas upah murah, bukannya nikmat yang didapat, tapi pusing yang diraih. Bagaimana tidak, seperti onani pada umumnya, yang bisa diperbuat cuma membayang-bayangkan realitas lewat konsep-konsep abstrak. Tak seperti persetubuhan yang asli, tukang onani hanya bisa mencumbu struktur dan tendensi eksploitasi kapitalistik yang tak kasat mata, bukan panas tubuh berboroknya yang langsung terindra. Lagi pula, dari pembayangan selama proses onani inetelektual itu, yang dihasilkan hanyalah bayangan-bayangan baru di benak yang keberadaannya hanya bisa dinikmati dengan pembayangan baru juga. Tentu saja ada pertukaran hasil-hasil pembayangan ini di antara para intelektual. Tapi tetap saja yang dihasilkan dari pertukaran ini tak lebih dari bayang-bayang, meski mungkin lebih memerinci realitas yang sedang dibicarakan. Lagi pula, tak ada pelajaran langsung yang bisa disumbangkan kepada proses persetubuhan langsung dengan kapitalisme kecuali konsep-konsep dan teori-teori abstrak. Padahal, buat mereka yang menyetubuhi langsung, yang diperlukan bukanlah konsep dan teori, tapi resep manjur untuk praksis-praksis yang bisa mengubah letak tubuh kapitalisme supaya pas dengan kepentingan kelas pekerja.

Jadi, sebetulnya apa sih pentingnya onani inetelektual? Kalau ditimbang-timbang, tak ada secuil pun sumbangsih yang bisa diambil dari kegiatan onani intelektual selama kita percaya bahwa kapitalisme itu tak lebih dari peristiwa yang berlangsung dihadapan mata telanjang kita; bahwa tak ada yang namanya struktur atau mekanisme eksploitatif di balik tindak-tanduk orang-orang yang melampaui dan tak bergantung pada kesadaran orang per orang. Selama kita percaya satu-satunya realitas kapitalisme ialah realitas yang kasat mata yang bisa langsung kita setubuhi, tentu onani intelektual hanyalah kegiatan buang-buang waktu para pengecut yang tak jelas juntrungnya buat kemenangan perjuangan kelas pekerja.***

 

Jatinangor, 7 Desember 2015

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.