Orang Sabar Disayang Tuhan

Print Friendly, PDF & Email

EDUARD Bernstein pernah bilang ajaran-ajaran politiknya Marx, yaitu bahwa satu-satunya cara untuk menyulih kapitalisme dengan sistem sosialis ialah revolusi, sudah usang. Apa yang Marx gembar-gemborkan tak berlaku karena didasarkan pada analisisnya atas kapitalisme abad kedelapan belas. Kapitalisme bukanlah anak kemarin sore yang selalu telat masuk kelas dan bolos sekolah. Kapitalisme, yang disokong kaum borjuasi terdidik yang berpikiran maju, akan selalu belajar dan kalau perlu mengubah tampilan dirinya ke arah yang lebih baik untuk semua orang. Kelak, kata Bernstein, kapitalisme tak hanya akan makin baik untuk kelas kapitalis, tapi juga buat kelas pekerja yang dieksploitasinya.

Ideal-ideal kebebasan individu, yang untuk membangunnya borjuasi harus memperjuangankannya, dan merupakan postulat kebebasan keberadaan dan gerak kapital dalam mengakumulasi diri tanpa halangan-halangan buatan, telah berhasil menghancurkan sistem paling eksploitatif sekaligus paling tebal selubung takhayulnya sepanjang sejarah manusia: feodalisme. Nah, dengan kekuatan ideal-ideal itu pula kelas pekerja bisa memenangkan apa yang telah dicapai kapitalisme lewat demokrasi. Apa sih yang dicapai kapitalisme?

Seperti Marx pernah bilang, kapitalisme itu sistem yang mampu menghasilkan kekayaan yang tak pernah ada tandingnya dalam sejarah manusia. Perbudakan hanya bisa menghasilkan piramida-piramida untuk para firaun. Feodalisme hanya bisa menciptakan katedral-katedral gothik untuk para padri dan rahib. Tapi coba lihat kapitalisme. Kapitalisme tak hanya bisa menghasilkan pulau-pulau buatan dengan menguruk laut lalu mendirikan kondominium atau menara tertinggi di dunia. Kapitalisme juga menciptakan sarana-sarana hidup yang bahkan pekerja pabrik biasa pun bisa menikmatinya di rumah. Kapitalisme tidak hanya menciptakan ‘piramida-piramida’ bagi orang-orang kaya, tapi juga menghasilkan HP, kulkas, atau motor murah yang bisa dibeli pekerja. Kapitalisme tak cuma bisa menghasilkan konser-konser musik klasik mewah buat yang kaya, tapi juga panggung organ tunggal buat yang tak punya uang. Kapitalisme tak hanya menghasilkan sekolah-sekolah elite bersarana lengkap nan mahal, tapi juga sekolah-sekolah untuk nyaris semua orang yang mau sekolah. Pokoknya, kapitalisme menghasilkan kemaslahatan hidup buat semua orang dalam takaran yang massal.

Bagaimana pekerja bisa memenangkan daya dahsyat yang terkandung di jantung kapitalisme beserta hasil-hasilnya itu? Tentu lewat sistem politik demokrasi, kata Bernstein. Lewat demokrasi, semua warga setara hak politiknya. Ibarat tangan buta yang tak berperasaan, demokrasi tidak pandang seberapa kaya atau miskinnya kita. Semua orang punyak hak setara di hadapan hukum. Ketika kapitalisme berkembang, maka salah satu syarat pentingnya, yaitu golongan pekerja, juga akan berkembang secara demografis karena mereka mesti diproduksi dan direproduksi demi beroperasinya akumulasi kapital. Semakin luas cakupan industrialisasi, tentu akan diiringi makin banyaknya golongan pekerja industrial. Nah, karena politik demokrasi mengandaikan satu orang satu suara, maka niscaya golongan pekerja akan bisa menguasai aparatus negara tanpa harus revolusi. Ketika aparatus negara dikuasai, karena kelas pekerja merupakan mayoritas warga negara, berbagai legislasi yang dikeluarkannya niscaya akan sejalan dengan kepentingan kelas pekerja. Satu-satunya persoalan yang mesti dibereskan kelas pekerja, dengan demikian, hanya bagaimana menguasai aparatus pengambil keputusan negara lewat lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Atau kalau kurang memadai bikinlah lembaga-lembaga baru, tentu dengan kesepakatan dengan golongan-golongan kepentingan lain di dalam masyarakat. Sudah bukan lagi masanya untuk mempercayai bekerjanya kepentingan kelas. Semua golongan itu sama. Tak ada kapitalis, tak ada pekerja. Semuanya adalah warga. Dan setiap warga secara asasi punya kekuatan politik sama terhadap negara. Jadi, alih-alih tetap revolusioner dan ketinggalan jaman, kita mestinya menjadi demokrat dan modern.

Begitulah kira-kira argumennya Bernstein.

Ada masalah dalam argumennya Bernstein di atas. Sebagai peniru orang Inggris yang baik, Bernstein percaya bahwa masyarakat dan kelas sosial tak lebih dari kumpulan atau jumlahan orang-orang. Masyarakat dan kelas sosial sama dengan populasi. Dengan asumsi empirisis macam begini, sebetulnya tak ada yang oleh Marx disebut struktur dan kelas sosial. Setidaknya secara ontologis struktur dan kelas tidak asli. Mereka ada selagi ada orang-orang yang bisa diidentifikasi sebagai satu kesatuan. Semakin besar jumlah orang-orang dengan kategori tertentu secara demografis, makin besar pulalah kekuatan politiknya. Persoalannya, kekuatan politik itu pertama-tama mensyaratkan kesadaran sosial. Dan kesadaran sosial yang menggerakkan populasi pekerja dalam politik ini tidak niscaya kesadaran kelasnya. Bisa jadi identitas atau kesadaran etnis, asal daerah, kebangsaan, atau agama yang mengemuka dan menggerakkan pilihan-pilihan politik. Kalau sudah begini tak ada jaminan besaran populasi pekerja industrial niscaya mengarah ke terbentuknya kesadaran kelasnya dalam politik. Dengan kata lain, tidak niscaya pekerja berdiri sebagai pekerja dalam politik kewargaan.

Masalah dalam argumen Bernstein, lagi-lagi, berasal dari empirisme yang tersirat di dalam caranya memandang masyarakat dan kelas. Ditambah sejumput Weberianisme (dan Weber adalah Kantian yang baik), selalu diandaikan bahwa negara itu kekosongan yang bisa diisi oleh apa saja. Upaya-upaya setiap oranglah yang membentuk lembaga-lembaga di dalamnya. Karena setiap orang bebas mengupayakan kepentingannya sebagai warga lewat demokrasi, maka mungkinlah rupa dan dinamika negara selaras dengan kepentingan populasi pekerja.

Pengandaian bahwa kepentingan pekerja senantiasa berpolitik dengan kesadaran akan kepentingan kelasnya agak bermasalah. Identitas dalam hubungan produksi bukanlah satu-satunya identitas sosial yang disandang orang per orang. Ada ribuan identitas sosial yang bisa menguasai kesadaran orang. Dan ada ribuan lagi yang bisa menggerakkannya. Tanpa persoalan dalam hubungan produksi (antara kapitalis dan proletariat), belum tentu kesadaran akan kelasnya mengemuka. Nah, persoalannya, masalah dalam hubungan produksi biasanya hanya mengemuka ketika terjadi krisis dalam perekonomian, ketika persaingan bisnis mempersempit kesempatan kapitalis individual untuk terus-menerus mengakumulasi kapital, ketika krisis meninggalkan hanya dua pilihan buat para penguasa sarana produksi: apakah melanjutkan model distribusi kekayaan yang sekarang ada dan dengan demikian tetap memelihara sejumlah tertentu golongan pekerja dengan semua fasilitas mereka peroleh selama ini, dan itu berarti porsi kekayaan yang bisa diakumulasi mengecil, atau menyelamatkan daya tumbuh kapital dengan membekukan atau memindahkan operasinya ke tempat dimana mereka bisa bertumbuh lebih tinggi dan dengan demikian menghancurkan standar hidup kelas pekerja? Tak ada pilihan ketiga. Tak bisa kapitalis melanjutkan pola distribusi seperti biasa tanpa dihancurkan oleh kapitalis lain yang tidak melakukannya. Ingat ya, kita ada di dunia bukan untuk beramal soleh, kita bisnis. Dan bisnis harus untung. Kalau lembaga-lembaga yang ada (sistem pengupahan, serikat pekerja, dan jaminan sosial pekerja, misalnya) kini tidak untung dan menghambat akumulasi kapital, kami berhenti saja menjadi kapitalis kalau tidak menghancurkannya!

Di sisi lain, ketika krisis produksi terjadi, pekerja yang terdepak dari hubungan produksi kapital atau menurun standar hidupnya karena kapitalis memilih menyelamatkan kapitalnya ketimbang standar hidup pekerja, tak serta merta menyadari ada yang tidak beres dengan tatanan sosial yang ada. Tak serta merta pekerja menyadari ada yang tak beres dengan sistem kerja-upahan dan dengan demikian dengan sistem kapitalis itu sendiri. Bisa jadi, yang mereka sadari langsung sekadar bahwa majikan-majikan kasat mata mereka, yang kebetulan dari etnis atau golongan sosial tertentu, atau secara imajiner dibayangkan berasal dari ‘negeri asing’, tak lagi bisa mempekerjakan mereka. Atau bisa jadi yang muncul ke kesadaran sekadar bahwa pemerintah tak becus membela kepentingan pekerja dengan asumsi bahwa negara netral sejak lahir.

Lagi pula, karena cakrawala politik kelas pekerja tak pernah lebih dari soal upah dan jaminan sosial (yang kedua-duanya mengandaikan negara yang tak netral itu), maka pilihannya hanyalah sabar menunggu membaiknya kondisi ekonomi seperti sedia kala (tentu sambil sesekali menekan pemerintah demokratis), lalu kembali bekerja-upahan seperti sedia kala pula. Tak ada masalah dengan tatanan sosial. Kalaupun kita kena masalah, seperti dipecat karena krisis atau turunnya standar hidup pekerja pada umumnya misalnya, itu tidak berasal dari relasi produksi kapitalis yang memang eksploitatif sejak dalam kandungan. Mereka barasal dari tindakan-tindakan keliru para elite ekonomi dan politik. Dengan demikian, untuk membereskannya mari kita diskusikan dengan kepala dingin; kita bangun kelembagaan baru atau memperbaiki yang sudah ada sehingga bisa mencegah kesewenang-wenangan segelintir oknum. Urusan dengan tatanan sosial, serahkan saja pada Tuhan.

Buat kawan Bernstein, seperti semua Weberian yang baik, sebagai warga negara yang baik, memang begitulah mestinya pekerja bertindak dalam politik negara. Ingat ya, orang sabar itu disayang Tuhan.***

 

Jatinangor, 23 Nopember 2015

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.