IPT 65, Hipokrisi dan Kebungkaman Kita

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi oleh Alit Ambara

 

PENYELENGGARAAN IPT 65 di Den Haag pada tanggal 10-13 November 2015, mendapat tanggapan yang hampir seragam dari pemerintah. Menko Polhukam Luhut Panjaitan, yang belakangan namanya menjadi bagian dari simbol kebangkitan Orde Baru (Orba), secara salah kaprah menganggap Belanda terlibat atas pengadilan rakyat tersebut.[1] Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, menuduh aktivis pengusung IPT 65 sebagai musuh negara. Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggapnya sebagai peradilan dagelan. Kita tidak kaget apalagi meratapi pernyataan aparatus negara tersebut karena, setidaknya, melalui pernyataan itu rakyat semakin diteguhkan keyakinnya akan gejala naiknya Orba yang hendak membungkam hak rakyat untuk berbicara dan memperjuangkan keadilan bagi dirinya. Yang dengan itu rakyat bisa belajar untuk tetap kritis dan waspada.

Berbagai argumen dimunculkan sebagai penolakan terhadap IPT 65. Meski demikian, jika dilihat satu persatu akan dengan mudah kita temukan kekeroposan argumen tersebut, karena sepertinya argumen penolakan terhadap IPT 65 lebih dibimbing oleh prasangka dan kebencian ketimbang cara berpikir yang jernih melihat peristiwa 65. Setidaknya, ada dua argumen yang paling mengemuka dalam penolakan terhadap IPT 65. Pertama, “Indonesia punya mekanisme sendiri, punya cara sendiri dalam menyelesaikan persoalan bangsa Indonesia dan tak perlu melalui IPT 65 yang diselenggarakan di Belanda”. Pernyataan tersebut, selintas terdengar luhur dan bijak yang mengensankan bahwa selama ini pemerintah Indonesia punya komitmen terhadap keadilan korban 65. Namun, karena pernyataan tersebut tidak ditopang oleh kenyataan, maka alih-alih hendak menunjukkan adanya komitmen politik untuk menyelesaikan semua pelanggaran HAM Berat masa lalu di Indonesia, justru menunjukkan kegagalannya sendiri. Bukankah segala jalan yang ditempuh sejak dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan temuan Komnas HAM atas terjadinya pelanggaran HAM Berat di masa lalu telah diabaikan semua oleh pemerintah Indonesia? Alhasil, melalui pernyataan di muka, pemerintah dengan sengaja hendak menutupi borok kejahatan Suharto dan Orba yang coba disucikan dari segala dosanya.

Kedua, “Tak ada gunanya mengungkit-ungkit masa lalu. Lebih baik saat ini kita menatap masa depan bangsa Indonesia”. Pernyataan ini juga seringkali diulang-ulang tanpa penjelasan yang jelas tentang apa maksud dari pernyataan tersebut. Kita patut bertanya, masa depan yang bagaimanakah yang bisa disebut sebagai masa depan jika melupakan masa lalunya? Tak ada satupun kebudayaan besar di dunia ini yang besar karena melupakan masa lalunya. Mereka menemukan dirinya secara baru justru ketika mereka berani menilai dengan adil sejarahnya sendiri. Orang-orang Barat mengingat kembali Yunani dan Romawi untuk menemukan jati dirinya yang baru, sembari belajar dari kebenaran dan kesalahan masa lalunya. Semua tahu, seseorang akan menjadi akil balig jika ia berani menilai dirinya secara adil atas kebenaran dan kedurajanaannya sendiri di masa lalu. Toh, jika melupakan masa lalu itu dianggap sebagai kebenaran, kenapa Al-Qur’an justru dipenuhi dengan carita-cerita masa lalu jatuh bangunnya perjuangan kebenaran melawan kebatilan? Kenapa justru berkisah tentang Abu Jahal, Abu Lahab, Firaun, Musa, Isa, Lukman Hakim, Ibrahim dll?. Tak lain agar umat Islam, –khususnya umat Islam Indonesia– bisa mengambil pelajaran masa lalu untuk masa depannya.

Terlepas dari itu semua, entah setuju atau menolak IPT 65, tak ada satu pun manusia di negeri ini yang bisa menampik kenyataan sejarah bahwa Peristiwa 65 merupakan kejahatan kemanusiaan dan genosida yang terjadi secara terencana, yang merenggut jutaan nyawa manusia dan memenjarakan ribuan orang tanpa pernah dibuktikan kesalahannya. Bahkan, seandainya semua kesaksian dan cerita di seputar Peristiwa 65 dituliskan, merekam tiap penggal luka dan deritanya, niscaya ribuan halaman tak akan cukup untuk menuliskannya. Hampir semua wilayah di Indonesia memiliki beragam cerita tentang kejahatan kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern tersebut. Khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang menjadi ladang utama pembantaian jutaan manusia tak berdosa itu.

Pembantaian yang terjadi pasca Gestok (Gerakan 1 Oktober) tersebut tak bisa dilihat sebagai pertikaian akar rumput yang terjadi secara spontan, sebagaimana selama ini dipersepsi oleh sejarawan semacam Aminuddin Kasdi.[2] Peristiwa itu adalah sebuah pembantaian yang terencana dan terkomando. Di dalam buku ‘Banser Berjihad Menumpas PKI’[3] dinarasikan dengan jelas bahwa pembantaian 65 berlangsung di bawah komando langsung militer:

“Bagaikan hewan peliharaan yang tak berdaya ke-6000 orang PKI itu digiring ke Karangdinoyo yang masuk ke dalam wilayah perkebunan Satak. Di suatu tanah lapang, ke-6000 orang PKI itu disuruh menunggu dengan dibatasi seutas benang agar tidak keluar. Dan setiap malam, setelah menerima surat perintah dari Kodim, Banser bertugas menggiring PKI ke Sumbertigo di hutan Krenceng. Sekali menggiring sekitar 30 sampai 40 orang. Di dalam hutan Krenceng itulah mereka disembelih satu demi satu dan kemudian dikubur di dalam lubang kuburan massal…”

Dari berbagai riset sejarah dijelaskan bahwa pada pertengahan bulan Oktober, Suharto mengutus Sarwo Edhi dan para komandannya ke Jawa Tengah untuk mengadakan operasi pembersihan.[4] Selanjutnya pada bulan November merembet ke Jawa Timur, dan baru pada bulan Desember terjadi di Pulau Bali.[5] Kedatangan pasukan RPKAD ke Jawa tengah dan Jawa Timur, tak hanya memprovokasi terjadinya pembantaian tapi juga secara langsung memberi komando bagi jalannya pembantaian. Bahkan mereka yang memilih netral dapat petunjuk dari RPKAD untuk ikut melakukan pembantaian terhadap PKI, jika mereka hendak menunjukkan dirinya sungguh-sungguh bukan PKI.[6] Dengan itu RPKAD tak memberi jalan lain bagi pihak anti-PKI untuk tidak melakukan aksi kekerasan. Ini terbukti dengan melimpahnya berbagai kesaksian yang mengatakan bahwa gesekan antara PKI dan kaum Sukarnois yang mendukung visi sosialisme Sukarno di satu sisi dengan kelompok agama di sisi lainnya, mulanya hanyalah pertikaian biasa. Salah seorang santri yang pernah ikut serta dalam konvoi anti PKI mengatakan, waktu itu pertikaian hanya sebatas saling ejek biasa. Pertikaian menjadi pembantaian keji setelah RPKAD dan elit politik anti PKI menyerukan penumpasan PKI hingga ke akar-akarnya, yang itu artinya legitimasi bagi terjadinya pembunuhan ekstra yudisial, perkosaan, dan seluruh tindakan keji yang tak bisa dibayangkan akal sehat manusia terhadap siapapun yang dianggap PKI.

Saat ini kita semua hidup dalam bayang-bayang peristiwa 65. Karena berbagai perubahan mendasar kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini sedikit banyak dimungkinkan oleh peristiwa tersebut. Orientasi pembangunan negara,[7] bergesernya haluan ekonomi, relasi rakyat-negara, berulangnya kejahatan negara terhadap rakyatnya, bisa dilacak asal usulnya dari peristiwa ini.

 

alit2Tentara bersiap mengeksekusi tertuduh PKI. Foto diambil dari http://www.japanfocus.org

 

Saya sendiri masih ingat sebuah cerita diwaktu kecil tentang bagaimana para simpatisan Soekarno dan PKI dihabisi. Sekitar 200 meter sebelah utara rumah saya, di sebuah kebun di tepi sungai, ada sumur ditumpuki batu dimana jasad Pak Amir (dalam dialek Jawa Timur kami menyebutnya: wak Amir) yang diduga sebagai simpatisan PKI dimakamkan (lebih tepatnya dibuang). Dari berbagai penuturan saksi sejarah, lelaki yang setiap hari berprofesi sebagai guru ngaji tersebut dihabisi di sebuah acara hajatan pernikahan. Dada dan perutnya ditusuk berulangkali dengan bambu runcing hingga tewas. Tubuhnya roboh bersimbah darah persis di depan tempat duduk sepasang pengantin, ketika ia hendak memberikan ceramah pernikahan. Persoalannya sepele, wak Amir dibunuh karena ia seorang guru ngaji yang simpatik dengan PKI.[8] Di desa lain, saya juga mendengar seseorang yang mengisahkan kakak perempuannya dikubur hidup-hidup di tengah ladang tebu, hanya karena suami kakak perempuannya diduga sebagai aktivis SOBSI. Ia sendiri mendengar suara jeritan kakak perempuannya ketika digorok lehernya dengan klewang, yang suaranya jauh lebih mengerikan dan menyayat hati ketimbang suara sapi yang dipotong lehernya. Atau seorang ibu yang bercerita rumahnya diobrak abrik sekelompok orang berpakaian hitam dengan membawa klewang dan celurit. Sembari menyusui anaknya yang masih bayi, sang ibu tersebut lehernya dikalungi celurit dan dipaksa membaca syahadat. Sementara suaminya dipukuli hingga babak belur. Ia bingung kenapa ia dipaksa bersyahadat, padahal mereka Islam sejak lahir. Penyebabnya karena suaminya bekerja sebagai buruh rendahan di sebuah pabrik gula dan dianggap sebagai PKI. Atau tentang seorang lelaki yang rumahnya tak jauh dari salah satu pabrik gula di Jombang, yang dibunuh selepas ia menyelesaikan shalat subuh. Masih memakai sarung dan peci, ia dijemput paksa dibawa ke ladang dan dihabisi. Fatalnya, meski beriman ia tetap dianggap sebagai ateis karena pilihan politiknya.[9] Ini persis sebagaimana yang ditimpa Sehat, seorang ketua SOBSI Blitar. Ia diseret oleh Banser ke atas truk ketika tengah menjalankan ibadah shalat. Mereka menganggap Sehat hanya berpura-pura shalat untuk cari selamat. Sepanjang perjalanan Sehat terus berzikir, meski begitu ia tetap dibunuh.[10] Untuk melihat betapa mencekamnya situasi saat itu, dalam kesaksiannya, FX Harsono[11] mengatakan:

“Seringkali saya melihat mayat tergeletak di perempatan, seperti ada satu orang pemain bass drum dari Pemuda Rakyat, namanya Tiong An, atau mungkin Ping An. Dia dibunuh di perempatan, mayatnya ditaruh di perempatan dan selama dua hari tidak ada satu Sampai kemudian membusuk dan diambil oleh Kodim, dikubur di mana saya tidak tahu.”

Tak jauh berbeda dengan Jombang dan Blitar. Di Banyuwangi, begundal-begundal desa, yang biasanya kerjanya merampok dan memperkosa, semacam Anwar Congo dalam film Jagal, diberi tugas militer setempat untuk memburu dan menjagal simpatisan Sukarno dan PKI. Saat itu di Banyuwangi banyak mayat, laki-laki dan perempuan, yang tergeletak di tanah atau digantung di perkebunan kopi di pinggir hutan.[12]

Terdengar tragis memang tetapi itulah faktanya. Pembantaian, penyiksaan, perkosaan di masa 65 bukanlah cerita yang dibuat-buat. Soe Hok Gie memberi kesaksian yang memilukan:

“. . . di akhir tahun 1965 dan sekitar permulaan tahun 1966, di pulau yang indah ini telah terjadi suatu malapetaka mengerikan, suatu penyembelihan besar-besaran yang mungkin tiada taranya dalam zaman modern ini, baik dari waktu yang begitu singkat, maupun dari jumlah mereka yang disembelih”.[13]

Siapapun bisa melupakan cerita-cerita tersebut. Tapi satu hal yang harus diingat: Mereka adalah manusia. Manusia yang sama dengan Kivlan Zen, Taufik Ismail, Jokowi, Gus Dur, Gus Mus, dll, yang mempunyai hak hidup yang sama.

Jika kita amati lebih jauh pembantaian terhadap para Sukarnois dan eskponen PKI, tak lain adalah sebagai awal —pretext dalam bahasa John Rossa– dari kudeta merangkak dan berkuasanya Orba dan menjadi pintu masuknya modal asing ke Indonesia, yang menghisap kekayaan sumber daya alam Indonesia melalui UU Penanaman Modal Asing tahun 1967, yang diberlakukan oleh rezim Orba segera sesaat setelah ia berkuasa. Dimana paham neoliberalisme pertama kali diperkenalkan di Indonesia melalui Kontrak Karya dengan Freeport di Papua.[14] Praktik politik yang mensenyawakan otoritarianisme dengan kapitalisme oleh Orba inilah yang kelak melahirkan “birokratisme predatoris” sebagaimana disebut oleh Richard Robison.

Setelah lima puluh tahun peristiwa 65, kita patut bertanya: Hendak kita letakkan dimanakah korban-korban semacam Wak Amir dan lain-lainnya, dalam kesadaran berbangsa kita? Jika semua temuan sejarah telah menunjukkan dengan terang bahwa peristiwa itu tidak terjadi secara tiba-tiba tapi terencana di bawah komando tentara.[15] Jika semua telah sadar bahwa pasca Gestok ribuan nyawa dibunuh atas perintah Suharto. Jika semua telah tahu bahwa ada ribuan nyawa melayang tanpa pernah diputuskan apa kesalahannya, ribuan keluarga direnggut kebahagaiannya, ribuan perempuan diperkosa, mengapa kita semua masih bungkam atas kejahatan Kemanusiaan di tahun 65-66? Apakah masih ada alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa peristiwa 65 tak lanyak diungkapkan kebenarannya? Apakah masih ada alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa mereka yang dibunuh, diperkosa, dihancurkan kebahagiannya itu dibenarkan oleh agama? Tak ada satupun dalil naqli (agama) ataupun aqli (akal) yang bisa membenarkan kejahatan peristiwa 65.

Sedemikian, sehingga sulit untuk mengakatakan bahwa peristiwa 65, dengan ratusan ribu manusia tak berdosa bukan sebagai Kejahatan Kemanusiaan. Peristiwa tersebut terang sebagai kejahatan kemanusiaan. Bahkan semua analisis, kajian dan himpunan berbagai narasi yang berserakan di seputar 65 sudah seharusnya diletakkan dalam kerangka ini: Kejahatan kemanusiaan. Bahwa ada kejahatan yang sangat keji dan tidak manusiawi yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa itu tak boleh lagi ditutup-tutupi sebagai upaya bersama penyembuhan luka bangsa. Kesembuhan hanya akan dicapai ketika semua pihak berani meminum pil pahit pengakuan sejarah kelamnya –meski sesaat menimbulkan rasa tak enak, bahkan sesak—agar kelak jiwa dan tubuh bangsa ini sehat kembali. Hanya melalui itulah bangsa ini akan sembuh dari luka sejarah masa lalunya yang kelam.

Sementara IPT 65 sendiri merupakan satu langkah maju untuk mendorong segera terwujudnya rekonsiliasi nasional dengan dilatari oleh kejujuran dan keadilan, yaitu adanya pengakuan pemerintah atas terjadinya kejahatan kemanusiaan pada peristiwa 65, permintaan maaf (bukan sebagaimana selama ini dipelintir militer bahwa IPT menuntut pemerintah meminta maaf kepada PKI) dan rehabilitasi korban 65. Yang melalui itu semua, bisa kita petik ibrah (pelajaran) bersama agar peristiwa serupa tidak terulang kembali di bumi Nusantara.

Lebih-lebih, bila melihat gejala naiknya Orba saat ini, dimana petani-petani yang terlibat dalam sengketa agraria juga masih seringkali di-PKI-kan agar dengan mudah bisa diintimidasi. IPT 65 memberi harapan pada apa yang pernah diusung oleh presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. 25 tahun 1966 tentang pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme di Indonesia, sebagai langkah awal mematahkan impunitas dan menghapus stigma yang ditimpa keluarga korban 65.[16] IPT 65 merupakan salah satu pilihan yang paling tepat dengan tiadanya good will dari pemerintah Indonesia untuk menuntaskan pengungkapan kebenaran peristiwa 65.

Umat Islam tak boleh bungkam. Karena kebungkaman umat Islam atas peristiwa 65 yang merenggut ratusan ribu nyawa manusia, dan yang telah menjadi pintu masuknya kapitalisme global di Indonesia yang hingga saat ini menguras habis kekayaan SDA Indonesia, tak lain adalah mengingkari perintah Allah agar menegakkan keadilan dan menjadi saksi yang adil karena Allah, sebagaimana dalam Al-Qur’an:

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS 4 An Nisa’ ayat 135)

Sekali lagi kita tak boleh lagi diam. Meski kejahatan itu dibangun di atas alasan yang terdengar relijius dan masuk akal, kejahatan tetaplah kejahatan. Pembantaian tetaplah pembantaian. Tak ada alasan apapun yang sanggup menopangnya, sekalipun terdengar relijius dan masuk akal. Karena itu, jika keadilan tidak ditegakkan maka semesta gagasan keadilan dan kemanusiaan yang kerap kita wartakan sebagai bentuk ketaatan kita atas imperatif agama menjadi sia-sia dengan kebungkaman kita atas Kejahatan Kemanusiaan 65. Karena itu seluruh kekuatan perubahan sudah seharusnya membangun satu barisan perjuangan bersama menemukan kembali Indonesia yang hilang. Indonesia yang menjunjung tinggi “kemanusiaan yang adil dan beradab”, Indonesia yang memperjuangkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Karena pengungkapan kebenaran, pelurusan sejarah, penegakkan keadilan bukan hanya tanggung jawab IPT 65, tapi tanggung jawab kita semua karena korban sesungguhnya peristiwa 65 adalah seluruh rakyat Indonesia. Kita semua korban 65. ***

 

Penulis adalah santri Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, pernah belajar di Pesantren Tebuireng Jombang, Madrasah Huffadh Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, dan STF Driyarkara Jakarta. sekarang aktif sebagai aktivis Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan SDA.

 

Tulisan ini sebelumnya merupakan makalah yang disampaikan dalam diskusi “IPT 65 dan Penggaran HAM Masa Lalu” di MAP Fisipol UGM Yogyakarta pada tanggal 17 November 2015.

 

———-

[1] Pernyataan Luhut Panjaitan selanjutnya bisa dilihat di http://internasional.kompas.com/read/2015/11/12/11291751/Salah.Kaprah.soal.Pengadilan.Rakyat.1965.di.Belanda

[2] Lih. Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah, Aski Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, Surabaya: Yayasan Kajian Citra Bangsa & Centre Indonesian Communities Studies, 2009.

[3] Op.cit., hlm. 155.

[4] Lambert. J. Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung

Karno, Jakarta: Grasindo, 2005, hlm. 132

[5] Baskara. T. Wardaya. Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga

G30S, Yogyakarta: Galangpress, 2006, hlm. 172

[6] Agus Sunyoto, Banser Berjihad Menumpas PKI, Tulungagung: Lembaga Kajian dan Pengembangan PW. GP. Ansor Jawa Timur dan Pesulukan Thoriqoh Agung Peta Tungagung, 1996 hlm. 273

[7] Untuk hal ini bisa dibaca dalam Richard Robison, The Rise of Capital, Australia: Asian Studies Association of Australia, 1986.

[8] Ketika masih kecil, sepulang yasinan dan diba’an (pembacaan kasidah cinta kepada Nabi) tiap Kamis malam Jum’at, setiap lewat kebun di tepi sungai yang ada sumur pembuangan mayat Wak Amir, anak-anak kecil berebut lari paling kencang, karena dari cerita rakyat di desa, di kebun tersebut hantu Wak Amir seringkali menampakkan diri.

[9] Yang tak saya sebut namanya karena yang memberi kesakisan tidak berkenan namanya disebutkan.

[10] Op.cit., hlm. 111-112.

[11]Kesaksian FX Harsono mengenai ‘Pembersihan PKI di Blitar, 1965-1968’ dalam Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia, Jakarta: Elsam, 2012, hlm. 128.

[12] Wawancara dengan bapak M, pada tanggal 20 Agustus 2015. Beliau merupakan salah satu saksi pembantaian 65 di Banyuwangi. Ketika peristiwa 65 meletus, beliau telah berumur 26 tahun dan bekerja di perkebunan.

[13] Stanley dan Aris Santoso (ed), Soe Hok Gie: Zaman Peralihan, Jakarta: Gagas Media, 2005, hlm. 191.

[14] Belakangan, masyarakat adat suku Amungme Papua, menuntut ganti rugi sekitar 3 miliar dollar AS atau senilai Rp 36 triliun atas hak tanah ulayat suku Amungme yang mencapai 212 hektar yang telah digunakan untuk operasional PT Freeport Indonesia, dan 4-5 pegunungan di areal itu yang dijadikan lokasi eksplorasi tambang PT Freeport Indonesia, selama 48 tahun. Lih. harian Kompas edisi 30 Juni 2015, di halaman 24 dengan judul “Suku Amungme Tuntut Ganti Rugi ke Freeport”.

[15] Berdasar berbagai penelitian ilmiah dan pengungkapan sejarah yang terus berkembang, kita semua saat ini telah tahu bahwa otak dibalik pembantaian 65-66 adalah Soeharto dan Sarwo Edie selaku jenderal RPKAD.

[16] Saat itu setidaknya 12 LSM mendukung usulan presiden Abdurrahman Wahid untuk mencabut TAP MPRS No. 25 tahun 1966 yang dianggap bertentangan dengan HAM. Dalam pernyataannya, Kedua belas LSM tersebut: ELSAM, Cesda, LP3ES, LBH Jakarta, LaPASIP, MIK, PBHI, KAPTN, KIPP, Solidaritas Perempuan, PIJAR, Serikat Demokrat Sosial, dan Solidamor, menyatakan bahwa upaya mencabut Tap MPRS tersebut merupakan langkah awal untuk membuka ruang bagi proses demokratisasi dan penghormatan HAM di Indonesia, khususnya bagi terwujudnya rekonsiliasi. Pencabutan TAP MPRS, menurut pandangan beberapa LSM itu, merupakan salah satu dasar terpenting bagi pelaksanaan rekonsiliasi. Lih. Kompas, 4 Mei 2000.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.