Daulat Bahasa, Daulat Rakyat

Print Friendly, PDF & Email

PERSOALAN internasionalisasi bahasa Indonesia kini menerima tantangan dari dalam. Gegap gempita hasrat menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa diplomasi luar negeri, terutama di forum-forum internasional, sebagai misal ASEAN dan KAA, justru bertabrakan dengan fenomena yang memaksa bangsa Indonesia untuk memikir-ulang keadaan bahasanya.

Bambang Kaswanti Purwo mengajukan pertanyaan “Sejauh mana gejala pemudaran bahasa Indonesia di kalangan generasi muda kini tengah berlangsung?” Pertanyaan ini, dia ajukan dalam artikelnya yang diterbitkan Harian Kompas edisi 20 Juni 2015. Artikel tersebut hadir sebagai tanggapan untuk berita The New York Times,[1] yang melaporkan bahwa ‘telah lahir generasi baru anak Indonesia, yang dibesarkan di Jakarta tetapi tidak fasih berbahasa Indonesia’.

Artikel yang saya tulis ini, dalam tahap tertentu, meneruskan kegelisahan Bambang. Mungkin juga menambah cakrawala “pemudaran” bahasa Indonesia, bukan hanya ‘yang dibesarkan di Jakarta’, karena saya mengajar bahasa Indonesia di sebuah sekolah di Cirebon yang menerapkan dwi kurikulum, yakni kurikulum nasional dan kurikulum dari Cambrigde International Examination. Tindak lanjutnya, bahasa pengantar proses pendidikan mulai dari tingkat nursery (kelompok bermain) hingga junior high school (SMA) menggunakan bahasa Inggris.

Kecenderungan yang terjadi di sekolah saya adalah siswa mulai bersekolah dari nursery sampai junior high school di sekolah yang sama. Mereka tumbuh dan dibesarkan dengan bahasa Inggris dan tidak hanya terbatas pada sesi belajar berlangsung. Bahkan terdapat fenomena di beberapa siswa, dimana makian dan ungkapan emosional  mereka diungkapkan dalam bahasa Inggris. Bahasa makian (kemarahan), dalam tradisi ilmu bahasa, menempati posisi sebagai bahasa spontanitas yang cenderung nir-sadar dan dihuni oleh bahasa ibu sebagai mother tounge.

Generasi muda sekarang, generasi muda yang lahir dari generasi orang tua yang tengah menikmati posisi sebagai kelas menengah, lebih fasih berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Sebab dalam imajinasi orang tuanya, bahasa Inggris dapat lebih menjamin kehidupan masa depan si anak dengan pekerjaan atau akses pendidikan yang lebih menjanjikan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, bahasa Inggris menjadi akses terhadap kemakmuran.

Orang tua dari lapisan menengah ini tidak segan-segan mengirim anak mereka ke sekolah-sekolah mahal, hanya agar dapat mengakses pendidikan yang mengedepankan bahasa Inggris. Kelas internasional, baik dari tingkat RSBI dahulu sampai jurusan-jurusan di perguruan tinggi, tidak pernah sepi dari peminat walaupun selisih biayanya jika dibandingkan kelas reguler cukup besar. Ataupun, jika tidak cukup beruntung bersekolah di tempat yang berbahasa Inggris, tempat kursus bahasa Inggris menjamur untuk dijadikan alternatif pilihan.

Walaupun perkembangan pemudaran bahasa Indonesia ini berbanding lurus dengan penguatan antusiasme terhadap bahasa Inggris, saya tidak bersepakat bahwa fenomena ini dikatakan sebagai gejalah alamiah seperti yang disetujui oleh Bambang dengan mengikuti pendapat dari Aimee Dawis yang menjadi narasumber dalam berita diterbitkan The New York Times.[2] Saya lebih memilih memandang gejala ini memang sudah dikontruksikan dan kontruksi bukanlah sifat kealamiahan.

Secara historis, dominasi bahasa Inggris memang tidak lepas dari ideologi imperium Inggris. Di bawah misi pemberadaban bangsa-bangsa primitif atau kita bisa menyebutnya kolonialisme, bahasa Inggris menjadi bahasa resmi negara dan bahasa pergaulan di negara-negara di luar Inggris,  yang tersebar di benua Amerika, Eropa, Asia, Afrika, dan Australia. Robert Phillipson (1992) dalam bukunya Linguistic Imperialsm menyebutkan bahwa “The British empire has given way to empire of English”.[3] Tetapi pengajaran bahasa Inggris juga melayani kepentingan negara-negara donor yang mayoritas berbahasa Inggris dan berkontribusi terhadap ketidaksetaraan antara Negara Selatan dan Utara berikut eksploitasi yang terjadi di dalam hubungan di antara keduanya.

Bahasa Inggris menduduki posisi dominan dalam bidang sains, komputer, farmasi, teknologi, buku, penelitian, perdagangan internasional, pelayaran, penerbangan, media massa, jurnalisme, politik luar negeri, kebudayaan dan olahraga anak muda, dan sistem pendidikan. Luasnya domain penggunaan bahasa Inggris membuatnya selalu dipelajari sebagai bahasa asing (foreign language). Bukan itu saja, bahasa Inggris secara masif membuat segregasi antara kelompok negara tidak maju, dengan salah satu faktornya adalah tidak menguasai bahasa Inggris karenanya tidak dapat mengakses kemajuan dari bidang-bidang tersebut dan kelompok negara maju yang memproduksi kemajuan di bidang-bidang tersebut.

Di ranah keindonesiaan sendiri, kemapanan bahasa Inggris sebagai bahasa kemajuan sudah dilegitimasi oleh tiga institusi kunci sekaligus. Pertama, lembaga pendidikan sebagai institusi kebudayaan sangat masif menempatkan literatur belajar berbahasa Inggris sebagai literatur yang berkualitas, kiblat kemajuan ilmu pengetahuan dengan sendirinya mengarah kepada negara-negara Utara dan karenanya pula salah satu penentu dalam seleksi peserta didik adalah kemampuan bahasa Inggrisnya karena itu menentukan kemampuannya mengikuti proses pendidikan, pengajaran bahasa Inggris yang mendapat alokasi waktu yang hampir menyamai pengajaran bahasa Indonesia, dan yang paling paripurna adalah untuk jenjang pendidikan tinggi, seorang peserta didik hanya dapat lulus dan mendapat gelar kesarjanaan setelah memiliki kemampuan berbahasa Inggris dengan standar tertentu.

Standar kelulusan dengan kriteria tertentu berbahasa Inggris tersebut menentukan kehidupan selanjutnya dari peserta didik yang lulus tadi, karena institusi ekonomi seperti korporasi menyaratkan bahwa karyawan yang berkualitas dan berkemampuan produksi yang baik adalah mereka yang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang fasih karena alat-alat produksi yang ada di Indonesia banyak didatangkan dari negara maju-berbahasa Inggris. Dalam proses rekruitmen karyawan, fasih berbahasa Inggris adalah salah satu kunci untuk mengakses pekerjaan yang menjanjikan kesejahteraan.

 

bahasaIlustrasi gambar diambil dari http://www.quickmeme.com

 

Institusi terakhir, adalah negara sebagai institusi politik yang memiliki kewenangan untuk menentukan regulasi dalam kehidupan bersama. Penetapan bahasa Inggris sebagai salah satu pelajaran wajib di institusi pendidikan tidak lain adalah produk politik dari negara. Negara, sebagaimana orang tua kelas menengah, memiliki imajinasi bahwa mengajarkan bahasa Inggris adalah salah satu upaya untuk memajukan Indonesia. Di samping itu, seleksi aparatur negara juga menyaratkan kemampuan bahasa Inggris dengan standar tertentu dan untuk kenaikan jabatan atau pangkat dalam karir aparatur negara juga menyaratkan hal yang sama. Akses-akses terhadap beasiswa yang diberikan negara pun sama, menyertakan kemampuan berbahasa Inggris sebagai syarat kuncinya. Belum lama ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun memberikan pendapatnya tentang beasiswa dari negara tersebut, dengan diktum yang berhak mendapatkannya adalah mereka yang ilmu dan bahasa (Inggris)-nya excellent.[4]

Perkembangan bahasa mengikuti perkembangan manusianya. Diktum ini pun sama berlakunya dengan diktum bahwa bahasa mati bersama manusianya. Melihat perkembangan bahasa Indonesia pun dapat menjelaskan perkembangan manusianya. Dengan melihat daftar lema yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terkait bidang-bidang yang disebutkan di atas dihuni oleh lema serapan dari bahasa Inggris. Istilah ilmiah yang memuat konsep yang sejalan dengan ilmu pengetahuan yang didatangkan dari negeri-negeri Utara pun memenuhi daftar istilah yang memenuhi karya ilmiah, misalnya. Konsepsi hubungan kata dan pikiran yang berkembang dalam suatu masyarakat ini diajukan oleh Wierzbicka,[5] dengan menyebut sebuah ide gagasan (the notion of culture) budaya sebuah masyarakat dapat diintepretasikan dari dari kata kuncinya (the notion of key words).

Tulisan ini bukanlah sebuah ajakan menolak beramai-ramai bahasa Inggris. Tulisan ini hanya mencoba berkontribusi untuk memikirkan kembali kebudayaan kita sebagai bangsa. Bahasa adalah salah satu media terbentuknya sebuah budaya melalui interaksi antarmanusia, tetapi bahasa juga merupakan produk kebudayaan yang tidak akan mungkin lepas dari manusia pemilik bahasa tersebut. Argumentasi yang dicoba disusun hanya hendak memberi pandangan bahwa sebagai bangsa, kita gagap kalau tidak disebut gagal mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari kekayaan budaya nusantara ini: Indonesia memiliki 700 lebih bahasa daerah namun untuk memuat konsep-konsep makna (petanda) yang berasal dari negeri-negeri Utara hasil dari transfer ilmu pengetahuan, informasi, dan teknologi tidak mampu memuatnya dalam bentuk penanda. Kebudayaan nusantara yang sering kita sebut dalam istilah kearifan lokal hanya kita puja sebagai pariwisata yang menghasilkan devisa.

Kebudayaan nusantara perlu ditafsirkan secara sistematik untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan mungkin teknologi. Konsep ketahanan pangan yang diterapkan orang Baduy (Dalam) sejak dari kepemilikan lahan yang tidak dapat diperjualbelikan, beras yang tidak diperdagangkan, dan lumbung yang dijauhkan dari perkampungan adalah salah satunya.[6] Konsep ketahanan yang dipraktikkan suku Baduy Dalam sangat berlainan dengan program kemandirian pangan yang dicita-citakan Presiden Jokowi. Program lumbung padi dunia yang menyasar Merauke lahir dari nalar defisit pemikiran dan takluk pada nafsu akumulasi kapital. Tanah Merauke akan dicetak menjadi 1.2 juta hektar sawah dan untuk itu “pemerintah akan memasok benih, pupuk serta membangun infrastruktur irigasi, jalan, jembatan dan pelabuhan selain juga sarana pendidikan pertanian di kawasan tersebut. Sebaliknya, swasta akan memproduksi beras dengan pola kerjasama inti dan plasma, serta menggaji para petani,” kata Presiden.[7] Program lumbung padi dunia ini mengorbankan kedaualatan rakyat Merauke sebagai pemilik lahan dengan mengalihkan kepemilikannya kepada swasta dan rakyat Merauke menerima upah. Rakyat dijadikan buruh oleh negaranya sendiri. Mungkin presiden juga menyadari program kemandirian pangan yang dilakukan dengan pengalihan kepemilikan ini akan menimbulkan konflik, karenanya untuk memastikan jalannya program ini TNI AD akan mengawal.[8]

Masyarakat Baduy Dalam memandang alam bukan hanya sebagai sumber penghidupan tetapi juga sebagai acuan tata hukum dan tunjuk ajar. Tabu-tabu yang melingkungi aktivitas pengolahan alam adalah ekspresi dari kesadaran akan itu. Larangan menjual beras lahir dari kesadaran perputaran uang yang hanya berpusat pada konsumsi bahan pokok seperti beras di masa paceklik misalnya; larangan menanami kelapa sawit karena kelapa sawit hanya bernilai ekonomi ketika ditanam dengan jumlah besar dan untuk itu tenaga kerja dan modal besar diperlukan.[9] Lebih jauh lagi, masyarakat Baduy Dalam setia memandang aktivitas bertani dan menanamnya didasarkan pada nilai guna bukan bersandar pada cara pandang nilai tukar. Pandangan dunia adalah kebudayaan itu sendiri. Hasrat menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional sebagai bentuk pemartabatan bahasa akan tuna guna dan jauh panggang dari api jika martabat rakyat Indonesia diturunkan menjadi konsumen dan buruh, karena pemartabatan bahasa sejatinya adalah pemartabatan manusianya. Dan kata lain dari martabat adalah berdaulat.

Lalu untuk apa kita meributkan kedaulatan bahasa Indonesia yang goyah karena pencabutan aturan berbahasa Indonesia untuk tenaga kerja asing, walaupun kita tahu bahwa aturan itu merupakan salah satu instrumen untuk mendukung iklim investasi di Indonesia, dan walaupun kita juga tahu bahwa investasi yang digadang-gadang sebagai cara kemajuan itu telah merampas kedaulatan rakyat atas tanahnya?***

 

Penulis adalah alumni FIB Universitas Jenderal Soedirman

 

Kepustakaan:

[1] Purwo, Bambang Kaswanti. ‘Bahasa Kita di The New York Time.Kompas, 20 Juni 2015

[2] As Spread, Indonesians Fear for Their Language. http://www.nytimes.com/2010/07/26/world/asia/26indo.html?_r=0 diakses 17 Juli 2015

[3] Phillipson, Robert. 1992. Linguistic Imperialism. New York: Oxford University Press.

[4] ‘Pemerintah sediakan Rp. 20 trilin untuk beasiswa S2 dan S3.’ Liputan 6. http://news.liputan6.com/read/2252403/pemerintah-sediakan-rp-20-triliun-untuk-beasiswa-s2-dan-s3 diakses 17 Juli 2015

[5] Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Cultures Through Their Key Words. New York: Oxford University Press.

[6] Laksono, Dhandy. https://www.facebook.com/permalink.php?id=735935876489949&story_fbid=750621785021358 diakses kembali 17 Juli 2015.

[7] Presiden Berharap Merauke Jadi Lumbung Padi Dunia. http://regional.kompas.com/read/2015/05/10/16412501/Presiden.Berharap.Merauke.Jadi.Lumbung.Padi.Dunia diakses 17 Juli 2015

[8] TNI AD Kawal Program Kedaulatan Pangan Jokowi. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/16/173635414/tni-ad-kawal-program-kedaulatan-pangan-jokowi

[9] Laksono. Op.Cit.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.