Batu Akik, Sangkakala Krisis Ekonomi

Print Friendly, PDF & Email

PADA 1980-an, jika ada orang menyebut “batu akik” nama Tessy niscaya akan segera muncul dalam benak. Mantan marinir yang tergabung dalam grup lawak Srimulat ini sangat terkenal dengan kesepuluh cincin batu akik yang terlingkar di jemarinya yang tebal-tebal. Fakta yang sangat menarik adalah bahwa dekade 1980-an adalah kali pertama kegilaan atas batu akik merajalela—sekaligus masa ketika keadaan perekonomian sangat mirip dengan apa yang kita hadapi hari ini: perekonomian sedang booming, semua orang tengah mengeluhkan naiknya harga barang-barang, deregulasi menjadi mantra andalan pemerintah dan, yang terpenting, krisis ekonomi tengah menjelang. Semua ini nampak akrab dengan pengetahuan kita?

Tessy, nama alias dari Kabul Basuki, juga memberi kita paralelisme lain dengan dekade 1980-an. Inilah dekade ketika program acara televisi (dan radio, di masa itu) dipenuhi dengan lawak; juga merupakan dekade di mana radikalisme agama memamerkan taringnya di hadapan publik dengan pengeboman BCA dan Candi Borobudur.

Satu kebetulan, dua kebetulan, barangkali memang murni kebetulan. Tiga-empat kebetulan sekaligus? Pasti ada apa-apanya. Kita sedang mengulang sejarah: perekonomian sedang booming (setidaknya dalam ukuran pertumbuhan GDP), semua orang tengah mengeluhkan kenaikan harga-harga, deregulasi turun dari langit bak hujan deras, acara televisi dipenuhi lawak (sayangnya tidak dengan kualitas yang kita dapati pada 1980-an), radikalisme agama mulai menyeringai lagi dengan buas, demam batu akik—dan kita pun tahu: krisis ekonomi yang parah tengah menjelang, menanti dengan senyum licik di balik tikungan berikutnya.

GDP
Gambar 1: GDP per kapita Indonesia 1980-2015

 

Dengan mengetahui bahwa yang kita hadapi ini adalah krisis ekonomi, kita pun tahu bahwa teori ekonomi-politik Marxis adalah alat terkuat bagi kita untuk melakukan telaah. Tapi, seperti sepotong sayur sawi yang tersangkut di gigi setelah menyantap semangkuk mi ayam, demam batu akik terselip di antara gejala-gejala ekonomi yang jelas merupakan prekuel dari sebuah krisis. Bagaimana ceritanya sebuah kegilaan bisa berada di antara gejala ekonomi-politik yang “sejati”?

Kembar Siam Produksi dan Konsumsi

Untuk itu, kita perlu berpaling pada aspek yang terlupakan dari Teori Ekonomi-Politik yang dikembangkan MJ alias Mbah Jenggot: teori tentang konsumsi. Entah mengapa, sedikit-sedikit orang akan lari pada Teori Nilai Lebih untuk menjelaskan bagaimana kapitalisme melakukan pengisapan. Padahal, dengan membasiskan diri pada analisis mengenai komoditi, MJ menempatkan analisis tentang konsumsi secara paralel dengan analisis atas produksi.

Sebagaimana kita tahu, kerja merupakan penghasil nilai. Tiap tetes keringat rakyat pekerja menghasilkan penambahan pada kekayaan masyarakat. Dan kita ketahui pula bahwa, sejak bangkitnya sistem kelas, kelas berkuasa telah menggunakan berbagai cara untuk merampas nilai yang dihasilkan rakyat pekerja itu, untuk memperkaya diri mereka sendiri (dan membiayai upaya untuk melanggengkan kekuasaan).

Kita sudah sering mendengar (barangkali sampai bosan) mengenai metode pengisapan yang disebut Teori Nilai Lebih. Inilah metode pengisapan utama kapitalisme—di mana kapitalis merampas dari rakyat pekerja satu nilai tertentu, yang besarannya adalah sebuah selisih: nilai yang dihasilkan dalam proses produksi dikurangi nilai yang dibutuhkan rakyat pekerja untuk bertahan hidup. Dalam Das Kapital jilid I, Bab 23, yang diberi judul “Reproduksi Sederhana”, MJ menguraikan bahwa kedua komponen dalam persamaan nilai lebih itu adalah sebuah proses konsumsi. Uraian ini sekaligus menjelaskan bahwa Pengisapan Nilai Lebih bukanlah satu-satunya metode pengisapan yang dijalankan kapitalisme. Ada metode pengisapan yang lain, yakni pengisapan melalui konsumsi.

Kapitalisme adalah sistem dunia. Dengan demikian, bukan hanya proses produksi yang berjalan secara kapitalistik—proses reproduksi pun berlangsung secara kapitalistik. Dari sudut pandang rakyat pekerja, proses konsumsi terjadi baik dalam proses produksi maupun dalam reproduksi. Dalam proses produksi kapitalistik, rakyat pekerja mengkonsumsi bahan produksi, sasaran produksi, dan mengubahnya menjadi komoditas. Dengan pertolongan alat produksi, konsumsi ini menjadi sebuah konsumsi produktif. Sementara konsumsi yang dilakukan rakyat pekerja dengan mengandalkan upahnya adalah konsumsi pribadi. Konsumsi pribadi ini mereproduksi, memulihkan kembali, daya kerja individu pekerja—dan, karenanya, secara tidak langsung juga merupakan keuntungan bagi kapitalis. Daya kerja yang telah dipulihkan ini memungkinkan terus berjalannya produksi—hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun.

Semua ini akan baik-baik saja (bagi kelas kapitalis, tentunya) jika tingkat upah berada di level subsisten—artinya upah berada tepat di tingkat yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, tapi tidak lebih dari itu. Ketika tingkat upah sudah berada di atas level subsisten, kelas kapitalis pun mulai merasakan panas di pantat mereka.

MJ dengan gamblang menggambarkan bahwa ketika satu kebutuhan telah terpenuhi, manusia akan membuat kebutuhan yang lain. Jika rakyat pekerja sudah kenyang, kebutuhan apa lagi yang akan dibelinya dengan uang hasil upahnya? Kekhawatiran utama kapitalis adalah bahwa kelebihan kesejahteraan ini akan digunakan untuk hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan pemulihan daya kerja.  Bagi kapitalis, itu artinya tujuan pemberian upah (yakni untuk memastikan pemulihan daya kerja) tidak tercapai—ini adalah kerugian alias celaka tiga belas buat kapitalisme.

Apalagi jika kelebihan kesejahteraan ini digunakan oleh rakyat pekerja untuk meningkatkan kecerdasan mereka. Amit-amit jabang bayi! Jangan sampai kelebihan kesejahteraan ini digunakan untuk meningkatkan iuran bagi serikat buruh/tani/nelayan dll., atau untuk membeli buku (terutama buku sejarah dan politik), atau untuk menyewa bus buat demo. Naudzubillah min zalik!

Problem bagi kapitalisme adalah: begitu perekomian melesat, produksi berjalan lancar, barang melimpah di gudang, upah harus naik. Siapa yang akan mengkonsumsi barang produksi kapitalis apabila upah hanya cukup untuk makan dua kali sehari? Terlebih lagi apabila rakyat pekerja mampu mengorganisir diri, membentuk serikat, sekalipun keadaan keuangannya tak memungkinkan, bahkan mengalami represi baik secara politik maupun sosial (contohnya: dituding kiminis). Untuk memecah solidaritas rakyat pekerja, kapitalis perlu membentuk satu kelompok pekerja bergaji tinggi—yang sekarang ini menjadi penopang utama “kelas menengah”. Dengan gaji tinggi, diharap para pekerja ber-AC ini akan nyinyir pada perjuangan sesama pekerja yang masih berupah subsisten.

Adalah satu keniscayaan bagi kapitalisme bahwa, entah bagaimana caranya, upah akan naik melebihi ambang batas subsistensi. Di sinilah barang mewah, luxury goods, memainkan perannya.

Yang Murah Meriah dan Yang Mewah

MJ mendefinisikan “barang mewah” sebagai kelompok komoditas yang hanya dapat terbeli jika satu individu memiliki akses pada akumulasi nilai lebih. Definisi ini bermasalah karena, jika dibahasakan dari sudut pandang lain, definisinya akan berbunyi: barang mewah adalah segala sesuatu yang tak terbeli dengan upah buruh. Sudah langsung terbayang di mana problemnya?

Pertama-tama, definisi upah buruh itu sendiri adalah “cost of existence and propagation. Ini istilah yang tak mudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, karena Marx tidak memilih “cost of living” yang sekadar berarti “biaya hidup” tetapi “cost of existence”. Saya tidak tahu istilah aslinya dalam bahasa Jerman, tapi penggunaan “biaya untuk eksis” itu sangat mendasar maknanya: bukan sekadar “biaya untuk hidup”, tapi “biaya untuk hidup dalam lingkungan sosial tertentu”.

Konsekuensinya, komponen “kebutuhan untuk eksis” ditentukan oleh situasi sosial di mana buruh tersebut tinggal dan/atau latar belakang sosialnya. Seorang buruh Muslim akan selalu membutuhkan sarung atau perlengkapan solat lainnya. Seorang buruh yang bekerja di daerah dingin akan selalu membutuhkan pakaian hangat. Ini mempengaruhi apa yang akan dipandang secara sosial sebagai “kebutuhan dasar”. Setelan jas, misalnya, pasti adalah salah satu komponen dari “kebutuhan untuk eksis” bagi buruh di belahan bumi utara—tidak demikian bagi buruh di wilayah tropis.

Konsekuensi lain adalah rentannya kategori “kebutuhan untuk eksis” ini terhadpa manipulasi dan rekayasa sosial. Apakah untuk hidup seorang buruh membutuhkan rokok? Tidak. Tapi, untuk eksis, barangkali rokok lantas menjadi kebutuhan. Di sini, berlakulah hukum yang digariskan MJ dalam German Ideologi: siapa yang menguasai alat produksi material akan menguasai pula alat produksi ideologi. Dan dalam ranah konsumsi, kita kenal betul nama permainan ideologi yang dimainkan kelas yang berkuasa: iklan.

Saat ini, obat ketek sudah jadi kebutuhan untuk eksis. Siapa yang memberi tahu kita bahwa untuk eksis kita harus mengeluarkan bau harum dan bau harum itu harus datang dari obat ketek? Imaji demi imaji perempuan cantik yang memamerkan ketek mereka telah mengubah persepsi manusia (termasuk rakyat pekerja) tentang eksistensi; menggerus pengetahuan tradisional bahwa bau badan adalah hasil ketidakseimbangan hormonal yang dapat diatasi dengan konsumsi tanaman berkhasiat (terutama kemangi). Obat ketek, dengan segala pernak-perniknya, adalah hasil dari produksi material—yang hanya akan dikonsumsi kelas pekerja setelah kelas berkuasa menggunakan mesin ideologinya untuk mengubah persepsi masyarakat.

Soal ketek bau bacin ini adalah pengingat yang manjur akan adanya jalinan erat yang timbal-balik, antara produksi material dan produksi ideologi. Produksi material menghasilkan barang yang harus dipasarkan, iklan mengubah isi kepala kelas pekerja dan, ketika ideologi itu berubah, kelas berkuasa meraup profit besar, dst., dst.

Tapi, sekalipun kelas berkuasa terus berusaha menjejalkan jenis konsumsi baru, tetap saja ada banyak komoditas yang tidak akan terjangkau oleh kelas pekerja—betapapun iklan membuat mereka merasa harus memilikinya. Telepon genggam, motor, sekadar untuk contoh, tergolong komoditas semacam ini. Buruh mana yang sanggup membayar 5-6 juta perak untuk hape Samsul keluaran terbaru, atau 12-14 juta kepeng untuk skutik yang bisa ngebut nyelap-nyelip di tengah kemacetan?  

Di sinilah keperkasaan kapitalisme finansial datang sebagai ksatria berzirah putih. Dengan fasilitas kredit konsumsi, komoditas yang tadinya “hanya dapat dikonsumsi apabila kelas pekerja punya akses pada nilai lebih” sekarang bisa dinikmati pula oleh kelas pekerja. Kredit konsumsi telah mengacaukan definisi MJ tentang barang yang murah dan barang yang mewah.

Mengapa Barang Mewah Dipasarkan Massal?

Pada titik ini, teori MJ tentang konsumsi tidak lagi dapat membantu kita; terutama karena simbah sendiri terlalu menganggap remeh peran kredit dalam siklus kapital. Apa yang saya tuliskan di bawah ini adalah sebuah hipotesis, dugaan terkalkulasi, yang memperhitungkan fakta-fakta material dan idelogis yang dapat ditemui di lapangan hari ini.

Satu kenyataan yang sangat mencolok adalah bahwa jenis industri yang memberi tingkat keuntungan paling tinggi bagi kapitalisme adalah industri komoditas massal. Dari daftar 20 merek yang teratas dalam hal meraup keuntungan, hanya satu yang benar-benar digolongkan barang mewah: Louis Vuitton—lainnya produk massal. Tingkat profit per item barang mewah mungkin lebih besar daripada produk massal—tapi produk massal jelas menang kuantitas. Tingkat peraupan keuntungan yang begitu besar ini tentu mendorong tiap produsen untuk terus menjejalkan komoditas mereka pada rakyat pekerja. Menarik juga untuk dicermati bahwa dari daftar 20 besar itu, tidak satupun yang benar-benar merupakan “kebutuhan hidup”; mereka semua adalah “kebutuhan eksis”.

Tabel 1 Daftar 20 Merek Teratas versi Forbes

Rank Brand Brand Value 1-Yr Value Change Brand Revenue Company Advertising Industry
#1 Apple $145.3 B 17% $182.3 B $1.2 B Technology
#2 Microsoft $69.3 B 10% $93.3 B $2.3 B Technology
#3 Google $65.6 B 16% $61.8 B $3 B Technology
#4 Coca-Cola $56 B 0% $23.1 B $3.5 B Beverages
#5 IBM $49.8 B 4% $92.8 B $1.3 B Technology
#6 McDonald’s $39.5 B -1% $87.8 B $808 M Restaurants
#7 Samsung $37.9 B 8% $187.8 B $3.8 B Technology
#8 Toyota $37.8 B 21% $171.1 B $3.8 B Automotive
#9 General Electric $37.5 B 1% $129.1 B Diversified
#10 Facebook $36.5 B 54% $12.1 B $135 M Technology
#11 Disney $34.6 B 26% $26.4 B $2.8 B Leisure
#12 AT&T $29.1 B 17% $132.4 B $3.3 B Telecom
#13 Amazon.com $28.1 B 32% $87.5 B $3.3 B Technology
#14 Louis Vuitton $28.1 B -6% $10.1 B $4.6 B Luxury
#15 Cisco $27.6 B -2% $48.1 B $196 M Technology
#16 BMW $27.5 B -5% $83.5 B Automotive
#17 Oracle $26.8 B 4% $38.8 B $79 M Technology
#18 NIKE $26.3 B 19% $28.3 B $3 B Apparel
#19 Intel $25.8 B -8% $55.9 B $1.8 B Technology
#20 Wal-Mart $24.7 B 6% $313 B $2.4 B Retail

 

Fakta kedua yang harus dipertimbangkan adalah dampak psikologis beban utang, baik pada individu maupun pada masyarakat secara kolektif. Saat ini telah menjadi konsensus bahwa utang bisa berakibat buruk pada kesehatan mental individu. Orang yang berutang cenderung sulit bersikap kritis terhadap atasan, karena khawatir hal itu akan berakibat pada kemampuannya membayar utang. Sikap submisif lantas bisa menular ke seluruh komunitas yang terlibat utang. Kelas pekerja yang submisif, yang mudah menyerah, sangat disukai kelas berkuasa.

Terlebih lagi, dengan adanya kesempatan mengkonsumsi barang mewah, kelas pekerja bukan lagi “tidak punya apa-apa yang patut dicemaskan, kecuali rantai yang mengikat di kakinya.” (Ini terjemahan bebas dari “had nothing to lose but their chain.”) Kelas pekerja sekarang punya hape Samsul, motor skutik yang bisa ngebut, televisi layar datar, mungkin juga AC (air conditioner, bukan Angin Cepoi-cepoi). Dan tentu saja, koleksi batu akik mereka.

Seberapa rela kelas pekerja yang sudah mencicip kenikmatan dunia ini untuk melepaskan semuanya dalam perjuangan? (Jawab sendiri, ya.)

Tapi Tidak Usah Pesimis…

Karena MJ masih punya pegang kartu ceki di balik piritan kartunya. Kegagahan ksatria kapitalisme finansial dalam menyelamatkan si gadis industri yang tengah dirundung malang itu tidak menghasilkan kisah berakhir bahagia. Ini disebabkan oleh terbelahnya kapitalisme ke dalam kekuasaan nasional. Ketika kapital finansial negara A mengekspor kredit ke negara B, dan menjebak kelas pekerja di negeri B untuk menelan bulat-bulat konsumsi barang impor lewat kredit, ia mematikan faksi borjuasi nasional di negara B. Negara B masih bisa meraih pertumbuhan ekonomi dengan menghambakan industrinya pada borjuasi negara A—jenis yang populer disebut “komprador” di sini. MJ menjelaskan bahwa, jika negara A terhantam krisis, krisis itu akan “pindah” dan hinggap di negara B.

Saat ini, berkat Tiga Setan Besar, IMF-Bank Dunia-WTO, semua negara di dunia sudah terjerat dalam jejaring utang-piutang. Bahkan Bos Besar Amerika Serikat pun terikat dalam temali iblis ini. Seperti tumpukan kartu, krisis A akan memicu krisis B, terus ke C, ke D, berputar seperti gasing. Sejak akhir 1980-an, kapitalisme global tak pernah lepas dari krisis. Satu negara lepas, yang lain jatuh. Dan sebagaimana yang ditulis simbah sekian ratus tahun lalu, krisis overproduksi ini senantiasa muncul dalam wujud krisis keuangan. Dengan tepat, MJ mengenali bahwa sistem utang adalah gir yang menghubungkan kapitalisme industrial dengan kapitalisme keuangan.

Dengan demikian, kemunculan banyak barang mewah yang dipasarkan massal secara kredit, serta kemunculan kembali kegilaan akan batu akik, adalah satu pertanda. Bangkitnya selera rakyat pekerja untuk mengkonsumsi barang mewah adalah sebuah sangkakala: bahwa kapitalisme tengah mencari jalan keluar bagi kelebihan produksi di gudang-gudang mereka. Dan sebagaimana diramalkan Dukun Jenggot, siklus over produksi dan siklus utang ini akan bertabrakan—cepat atau lambat. Jika negara kreditor goyang, Indonesia akan jatuh dalam krisis keuangan yang parah.

Bersiaplah, Susun Barisan

Perhatikan lagi grafik yang dilampirkan di bagian awal tulisan ini. Camkan lagi betapa mirip garis tren di kedua segmen. Kegilaan akan batu akik juga sudah kembali muncul. Ia adalah Penunggang Kuda Hari Kiamat, Raphael a.k.a. Israfil. Kemunculannya adalah peringatan: krisis ekonomi akan segera menghantam.

Kelas pekerja sama sekali tidak siap menghadapi krisis ekonomi 1998—sehingga pergolakan yang terjadi kemudian ditunggangi oleh borjuasi kelontongan, yang sekarang tengah sibuk menggarong Republik ini dari gedung parlemen. Apakah kelas pekerja akan kembali tidak siap menghadapi krisis ekonomi yang menjelang ini?

Selamat berbelanja.

 

Jakarta, 30 Juni 2015


* Tulisan ini pernah dimuat di laman prp-indonesia.org. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.