Refleksi Petisi Big Bang

Print Friendly, PDF & Email

DULU ketika masih kuliah di FIB UI, saya berteman dengan Sira, Konrad, dan Yulia. Sira dan Konrad—yang ganteng itu, namun hal ini bukan menjadi fokus tulisan ini—berasal dari Jerman dan Yulia dari Ukraina. Suatu hari, kami jalan-jalan ke Kemang menumpangi mobil teman Sira, Setelah makan di Detos, dengan angkutan umum kami menuju Halte Bus UI untuk berjumpa beberapa teman lainnya. Seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, maka tak ada angkot yang tak ngetem. Apalagi di depan mall. Angkot kami dengan sabarnya ngetem sekitar 15 menit. Saya, yang sejak lahir tinggal di Indonesia, sama sekali tidak merasa aneh dengan ketentraman supir angkot ngetem. Bahkan niat untuk mengeluh pun tak terbersit sama sekali. Bagaimana tidak. Angkot ngetem di Indonesia, Jakarta khususnya, sewajar kucing mengeong. Tidak perlu dikomentari.

Tapi buat Konrad, Sira dan Yulia yang baru sebulan berada di Indonesia, angkot ngetem menjelma hal yang membingungkan, bahkan memancing frustrasi. Saya masih ingat, si ganteng Konrad berkata kepada saya demikian, “You guys [orang Indonesia] are too patient, it can’t be called as patience anymore.” Dan saya masih terus ingat wajahnya, eh, kata-katanya itu. Itulah pertama kalinya saya sadar, betapa kita orang Indonesia ini kelewat sabar. Selang beberapa tahun, saya kembali makan bersama orang asing. Kali ini dari Belanda. Bram namanya. Jika diperbandingkan dengan Konrad, Bram masih kalah kegantengannya. Tetapi lagi-lagi, bukan itu permasalahannya. Kami berempat, saya, Bram, Uday, dan Friska, bertemu di Beer Garden SCBD. Karena lapar, saya pun memesan makanan dari menu yang ada. Saya lupa persisnya saya pesan apa. Kalau tidak salah, steak with teriyaki sauce or sort of….lah. Intinya, daging sapi yang dihidangkan dengan saus teriyaki. Makanannya sangatlah tidak menyenangkan di lidah. Dagingnya alot dan sausnya pun bukan saus teriyaki; lebih mirip kecap asin dipadukan dengan bawang bombay. Yah, barangkali memang salah saya juga memesan makanan di tempat minum bir. Makanan tentu bukan menjadi prioritas utama, batin saya. Tetapi, hati kecil saya yang lain pun berdialektika; jika memang tak mampu menyajikan makanan, seharusnya tidak dicantumkan di dalam menu.

Perihal makanan yang tak menyenangkan itu pun saya ceritakan kepada ketiga teman tadi. Menanggapi maklumat saya, Bram mengatakan hal yang belum pernah saya dengar langsung seumur hidup saya: “You should call the manager.” Saya sering sih mendengar dan menyaksikan hal itu di film-film Amerika. Tapi seumur-umur, baru kali ini saya mendengarnya langsung. Saya lantas menjelaskan kepada Bram bahwa di Indonesia tidak ada budaya memanggil manager. Eh, Bram malah menawarkan diri untuk memanggilkannya melalui pelayan. Saya akui, saya sedikit ketar-ketir kala itu. Wah, komplen ke manager? Kira-kira bakalan ribut nggak ya? Masuk TV nggak ya? Tidak lama berselang, manager pun datang. Mungkin karena yang memanggilnya adalah seorang bule. Atas komplain saya, ia lantas minta maaf. Mungkin di dalam hatinya si Manager itu memaki, “Anjrit, yang komplen Cina Jakarta ternyata’. Apapun itu, makanan saya pun dianggap free. Saya tak tahu sebelumnya bahwa hal seperti itu bisa terjadi di Jakarta. Ketika beberapa waktu yang lalu saya membuat petisi di change.org tentang Konser Big Bang di Jakarta, tiba-tiba saja saya ingat dua kejadian di atas. Betapa orang Indonesia itu sungguh-sungguhlah teramat sangat sabar terhadap ‘penindasan’.

Mungkin karena sejarah bangsa kita ini yang dijajah beratus-ratus tahun lamanya. Kita sangat enggan mengajukan protes dan menuntut hak kita. Dalam hal petisi ini dan dua cerita di atas, hak sebagai konsumen. Salah satu dosen saya yang berasal dari Jerman pernah berkata bahwa salah satu karakter orang Indonesia adalah “mencari harmoni”. Saya sendiri tergolong insan Jakarta dan Indonesia yang sudah terbiasa dengan ‘penderitaan’.

Naik KRL Jabodetabek secara rutin selama 5 tahun membuat level toleransi saya akan penderitaan sangatlah tinggi. Jika fasilitas dan pelayanan commuter line saat ini, yang sesungguhnya juga belum manusiawi-manusiawi banget, itu pun sudah diacungkan jempol oleh kita-kita kaum urban di Jakarta ini, Anda tentu bisa bayangkan apa yang terjadi dengan KRL di era 2005-2010-an lalu. Jika hanya sekadar berdesak-desakan, kegencet, kepanasan di konser, atau sekadar kehausan saja, tentu saya tak akan semarah itu hingga membuat petisi. Tapi karena ini sungguh kelewatan makanya saya mau ‘repot-repot’ membuat petisi. Lalu apa yang mau dicapai dengan petisi ini? Jawaban untuk pertanyaan ini akan terdengar sangat bullshit, tapi saya sungguh-sungguh. Saya mau sebanyak mungkin orang tahu sehingga promotor akan memperbaiki kinerja mereka di konser berikutnya. Keuntungan secara personal—baik saya sendiri maupun untuk penonton konser Big Bang lainnya—jelas tidak ada. Mengharapkan uang dikembalikan jelas tidak mungkin. Momen konser Big Bang sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi. Tujuan saya agar jangan sampai ada fans lainnya yang dikecewakan seperti kami kemarin.

Ada yang bilang petisi itu lebay, berlebihan. Menurut saya, komentar seperti itu berasal dari tipe orang yang masih mencari ‘harmoni’ di dalam kehidupan mereka. Ada yang berkata, bagaimana jika promotor yang lain jadi takut membawa Big Bang atau artis-artis mancanegara lainnya ke Indonesia? Jika promotor itu tidak bisa memberikan pelayanan—minimal sesuai dengan apa yang diiklankan mereka—menurut saya, ya sebaiknya tak usah bawa sama sekali saja. Sebagai konsumen, kami hanya menuntut agar apa yang dijanjikan kepada kami sebagai konsumen terlaksana dengan baik. Bayangkan saja, misalnya, Anda membeli tiket pesawat business class dan ternyata ketika berada di dalam pesawat anda menemukan tempat duduk anda sebaris bersepuluh dan makanan yang disediakan adalah sepotong roti ditambah Aqua gelas. Tidakkah Anda akan memprotes? Pengalaman dengan petisi ini membuat saya lebih berani untuk mengajukan protes bila saya yakin hak saya sebagai konsumen dilanggar. Hak sebagai konsumen saja dengan seenaknya dilanggar di negeri ini. Apalagi hal-hal lainnya yang melampaui sekadar sebagai konsumen? I am brave enough to call the manager now. And I hope so do you.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.