Jokowi dan Jenderal-Jenderalnya

Print Friendly, PDF & Email

MUNGKIN baik untuk selalu mengingat kenyataan ini. Selama tujuh belas tahun masa paska-Orde Baru (Orba), sudah ada lima presiden yang berkuasa. Empat dari presiden itu berasal dari sipil. Ironisnya, dari tiga presiden sipil yang pernah berkuasa, tidak ada yang menjabat penuh selama lima tahun.

BJ Habibie yang ditunjuk Soeharto menggantikan dirinya hanya berkuasa setahun lima bulan. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang berkuasa sesudah Habibie hanya berkuasa setahun sembilan bulan. Gus Dur diturunkan lewat kongkalikong politik tingkat tinggi oleh orang-orang yang justru mengangkatnya. Dia digantikan oleh wakilnya, Megawati Sukarnoputri yang berkuasa selama tiga tahun tiga bulan.

Kita tahu, Megawati akhirnya turun karena kalah dalam pemilihan umum 2004. Yang mengalahkannya adalah seorang mantan jendral TNI-Angkatan Darat, Susilo Bambang Yudhoyono. Dia pernah duduk sebagai Menko Polkam dalam kabinet pemerintahan Megawati. Yudhoyono berkuasa dua periode penuh, yakni sepuluh tahun.

Presiden sipil keempat sekarang sedang berkuasa. Hampir delapan bulan masa kepresidenannya, dia terengah-engah mengonsolidasikan kekuasaannya. Kita tidak tahu apakah Jokowi menyadari kenyataan presiden sipil ini atau tidak. Namun yang jelas, Jokowi tampak mengambil ‘jalur aman’ ketika memilih Jenderal TNI Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI. Nurmantyo akan menggantikan Jendral Moeldoko yang akan pensiun pada bulan Juli ini. Pengangkatan Nurmantyo ini memang menyimpang dari ‘tradisi’ yang muncul sesudah jatuhnya Orde Baru. Ada kesepakatan tidak tertulis bahwa jabatan Panglima TNI akan digilir dari antara tiga angkatan dalam TNI.

Kali ini seharusnya adalah ‘jatah’ Angkatan Udara. Dengan diangkatnya Jendral Nurmantyo, Angkatan Udara sudah dua kali kehilangan jatahnya menjadi Panglima TNI. Pertama ketika Panglima TNI Jendral Djoko Santoso pensiun. Namun toh pada saat itu Presiden Yudhoyono memilih KASAD Jendral Moeldoko ketimbang KSAU Marsekal Ida Bagus Putu Dunia untuk memimpin TNI.

Sekalipun sering dikatakan bahwa politisi sipil seyogyanya tidak ikut campur dalam urusan internal tentara, namun tidak bisa disangkal bahwa pengangkatan pucuk pimpinan tentara adalah keputusan politik. Dalam situasi ideal, kebijakan pertahanan dibikin oleh para politisi sipil. Namun pelaksanaannya secara mendetail diserahkan pada pihak militer. Itulah sebabnya, dalam hubungan sipil militer yang sehat, komandan militer adalah orang yang bisa bekerja sama dengan pemimpin sipil.

Namun hubungan sipil-militer selalu lebih mudah dibicarakan secara teoritis ketimbang dalam praktek. Melihat karakteristik militer Indonesia, tampak bahwa Jokowi sangat berhati-hati dalam berurusan dengan militer. Sebagaimana dalam dunia perpolitikan sipil, konflik dan fasionalisme juga sangat tinggi di dunia militer Indonesia. Oleh karena itu menarik untuk mempertanyakan beberapa hal berikut: Bagaimana Jokowi mengelola hubungan dengan militer? Pertanyaan dari arah sebaliknya juga penting, yakni: seberapa besar pengaruh tentara ke dalam pemerintahan Jokowi? Untuk menjawab persoalan ini, menurut hemat saya, sebaiknya kita melihat ke dalam tentara sendiri, menelusuri konteks sosialisasi pembentukan korps perwira militer. Tingkah laku tentara Indonesia (dan tentara di banyak belahan dunia) banyak ditentukan oleh perlakuan dari para politisi yang mengendalikannya.

 

Menghindari Konfrontasi

Satu hal yang paling dihindari oleh pemerintahan Jokowi adalah berkonfrontasi dengan kubu tentara. Agaknya itulah yang bisa dipahami dari pengangkatan Jendral Nurmantyo. Dia adalah pilihan yang aman. Berbeda dengan Yudhoyono yang tahu betul politik internal tentara dan dianggap sebagai ‘orang dalam,’ Jokowi adalah orang awam yang berasal dari luar. Salah satu kehandalan pemerintahan Yudhoyono adalah kemampuannya mengontrol militer. Hampir semua pimpinan militer yang ada saat ini adalah hasil dari formasi yang dilakukan Yudhoyono.

Ketika baru saja naik ke kekuasaan, tampak sekali ada rasa ketidakpercayaan (mistrust) militer terhadap Jokowi. Ini tidak mengherankan. Saat pemilihan presiden, hasil pemilihan di sekitar barak-barak militer memperlihatkan Jokowi kalah telak dari Prabowo Subianto, yang adalah juga mantan jendral. Namun seiring waktu, tentara rupanya bisa mengambil posisi terhadap Jokowi dan pihak Jokowi pun tidak berusaha mengintervensi urusan-urusan ke dalam tentara.

Pelajaran terpenting dalam masa awal pemerintahan Jokowi didapat dari pencalonan Kapolri. Pencalonan Komjen Budi Gunawan menimbulkan badai politik yang cukup keras menghantam pemerintahan Jokowi. Koneksi Budi Gunawan dengan partai-partai politik, khususnya dengan PDIP dan Megawati Soekarnoputri, telah memunculkan konflik terbuka. Sekalipun Jokowi menyelesaikannya dengan mengangkat Wakapolri menjadi Kapolri, namun toh pada akhirnya dia menelan pil pahit. Budi Gunawan berhasil menjadi Wakapolri dan hanya menunggu giliran untuk menjadi Kapolri. Kekalahan inilah yang pelajaran pahit untuk Jokowi. Pemilihan Nurmantyo menjadi Panglima TNI agaknya dipilih untuk menghindari konflik ini.

Jenderal Nurmantyo adalah lulusan Akmil kelas 1982. Dia lahir di Tegal, Jawa Tengah, 13 Maret 1960. Saat ini dia berusia 55 tahun. Dengan demikian, jika semuanya berjalan baik, Nurmantyo akan memegang jabatan Panglima TNI cukup lama, yakni 2 tahun 8 bulan. Dia baru akan pensiun pada 13 Maret 2018. Ini kurang lebih setahun sebelum pemilihan umum 2019. Jika pemerintahan Jokowi selamat, pemilihan umum ini akan menentukan apakah dia bisa maju ke periode kekuasaan kedua.

Jelaslah posisi Jendral Nurmantyo sangat strategis baik secara politis maupun secara komando. Sebagai Panglima TNI dia memiliki kewenangan penggunaan kekuatan dan komando atas pasukan yang ada pada ketiga matra. Namun penggunaan kekuatan ini harus disahkan dengan keputusan politik dari panglima tertinggi TNI, yakni presiden. Secara politik, jabatan Panglima TNI adalah setara dengan posisi kabinet. Dengan demikian, Panglima TNI memiliki kekuasaan mimbar (the bully pulpit) yang juga besar.

Yang paling penting adalah Panglima TNI bisa berbicara kepada presiden sebagai wakil TNI. Posisi ini sedemikian penting karena hingga saat ini TNI masih dianggap sebagai kekuatan politik terkuat di Indonesia. Sebagai kekuatan politik, TNI memiliki kepentingan-kepentingannya sendiri, entah itu berkaitan dengan pertahanan negara, kepentingan institusi TNI, atau pun kepentingan para elit TNI sendiri.

Perlu juga diingat bahwa hampir seluruh elit TNI yang ada saat ini dididik dalam iklim Dwifungsi. Mereka diharapkan untuk mengisi jajaran paling elit negeri ini. Mereka dilatih untuk menjadi kekuatan yang tidak sekedar berdiam di dalam barak dan mengasah ketrampilan untuk membela negara. Hingga saat ini pun, naluri untuk turut campur dalam soal-soal politik dan kemasyarakatan masih tetap tinggi di kalangan TNI. Selain itu, TNI masih memiliki infrastruktur kekuasaan hingga ke desa-desa di seluruh Indonesia.

 

statik.tempo.coFoto diambil dari http://statik.tempo.co

 

Pentingnya KASAD

Untuk pemerintahan Jokowi, persoalan siapa yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat menjadi sangat penting. Jabatan KASAD adalah jabatan terkuat kedua di dalam TNI. Ini karena TNI-AD merupakan angkatan dengan jumlah personil terbesar di dalam TNI. Tidak itu saja, TNI-AD lah yang sesungguhnya memiliki infrastruktur kekuasaan di seluruh Indonesia. Organisasi TNI-AD berjenjang dari pusat hingga ke desa-desa.

Untuk jabatan KASAD, Jokowi memiliki tujuh pilihan. Mereka semua berpangkat Letnan Jendral. Sebagian dari mereka akan memasuki usia pensiun. Akan tetapi beberapa dari mereka masih akan berdinas cukup panjang.

Siapakah mereka itu?

 

  1. Letjen TNI Muhammad Munir

Muhamad Munir saat ini menjabat sebagai Wakasad. Dia lahir di Kendal, Jawa Tengah, pada 28 Oktober 1958. Saat ini Munir berumur 56 tahun. Dia hanya 1 tahun 3 bulan menjelang usia pensiun.

Munir adalah lulusan Akmil kelas 1983, adik kelas dari Jendral Nurmantyo. Dia memiliki jalur karir yang hampir sama dengan Nurmantyo. Mereka sama-sama besar di Kostrad. Munir bahkan mendahului Nurmantyo menjadi Pangkostrad. Ketika dia diangkat menjadi Wakasd pada 5 Juni 2013, jabatan Pangkostrad yang dia tinggalkan sebelumnya diganti oleh Nurmantyo. Hanya saja, ketika jabatan Kasad lowong, akibat Jendral Budiman diberhentikan oleh Yudhoyono berkaitan dengan skandal Babinsa pada Pemilihan Presiden 2014, Nurmantyo naik menjadi Kasad sementara Munir tetap menjadi Wakasad.

Munir pernah menjadi ajudan Presiden Yudhoyono selama enam tahun (2004-2010). Setelah itu karir militernya meroket. Jabatan yang cukup lama sebagai ajudan pribadi Yudhoyono membuatnya tahu seluk-beluk Istana Merdeka.

Jabatan bintang empat sebagai Kasad sudah dua kali melesat dari genggaman Munir. Pertama ketika Yudhoyono memilih Jendral Budiman sebagai KASAD. Namanya masuk dalam daftar nominasi. Setelah Jendral Budiman diberhentikan, namanya kembali masuk dalam daftar nominasi. Namun Yudhoyono memilih Gatot Nurmantyo untuk menduduki jabatan KASAD.

 

  1. Letjen TNI Mulyono

Mulyono lahir di Boyolali, Jawa Tengah pada 12 January, 1961. Saat ini dia berusia 54 tahun. Usianya sekarang berjarak tiga setengah tahun dari usia pensiun. Dia adalah lulusan Akmil 1983, satu kelas dengan Muhammad Munir. Perjalanan karirnya termasuk biasa-biasa saja. Dia memulai karirnya di Kodam VII/Wirabuana di Sulawesi Selatan. Selanjutnya dia menjalani berbagai tugas sebagaimana layaknya calon elit perwira Angkatan Darat. Dia pernah bertugas di satuan tempur, satuan pendidikan, dan satuan territorial. Mulyono adalah lulusan terbaik Seskoad tahun 1999.

Sebelum menjabat sebagai Pangkostrad, Mulyono adalah Pangdam Jaya (14 April- 27 September 2014). Dalam periode yang sangat singkat menjadi Pangdam Jaya tersebut, Jakarta dipimpin oleh Jokowi sebagai gubernur. Namun hanya berselang dua minggu setelahnya, Jokowi memilih untuk tidak aktif sebagai gubernur karena mencalonkan diri sebagai presiden.

 

  1. Letjen TNI Lodewijk Freidrich Paulus

Lodewijk Freidrich Paulus lahir di Manado pada 27 Juli 1957. Tepat di bulan Juli ini, kalau tidak diperpanjang oleh presiden, Paulus akan memasuki masa pensiun karena usianya yang menginjak 58 tahun.
Paulus meniti hampir seluruh karir militernya di Kopasssus. Dia pernah menjadi Danjen Kopassus (2011-2013). Selain itu, dia pernah menjabat sebagai Panglima Kodam I/Bukit Barisan.

Karena karirnya di Kopassus, Paulus memiliki latar belakang yang kuat sebagai perwira intelijen. Dia juga pernah memimpin satuan penanggulangan terror Kopassus (Sat-81 Gultor Kopassus).

Namun faktor usia agaknya akan membatasi peluang Paulus untuk menjadi KASAD.

 

  1. Letjen TNI Sonny Widjaja

Sonny Widjaja lahir di Klaten, Jawa Tengah pada 1 Januari 1958. Saat ini dia berusia 57 tahun. Dia hanya kurang lima bulan lagi memasuki masa pensiun.

Widjaja adalah lulusan Akmil 1982. Dengan demikian dia adalah kawan satu angkatan Gatot Nurmantyo. Saat ini, Widjaja menjabat sebagai Komandan Sesko (Sekolah Staf dan Komando) TNI. Dia pernah bertugas sebagai Pangdam Siliwangi (2012) dan Asisten Operasi KASAD (2014).

 

  1. Letjen TNI Waris

Sebagaimana Sonny Widjaja, Waris pada tahun ini akan berusia 58 tahun. Dia lahir di Malang, Jawa Timur pada 12 Desember 1957. Ini membuat dia hanya lima bulan menjelang usia pensiun.

Saat ini, Letjen TNI Waris menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas). Ini adalah sebuah lembaga non-struktural yang langsung berada di bawah presiden. Tugasnya adalah membantu presiden untuk membentuk kebijakan pertahanan negara.

Waris banyak menghabiskan karirnya sebagai anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Dia sudah bergabung dengan Paspampres sejak jaman Suharto. Hal itu pulalah yang mengantar dia menjadi Komandan Paspampres (2010). Jabatan penting lainnya yang dipegang adalah sebagai Panglima Kodam Jaya (2011). Sejak tahun 2012, Waris terpancang di Wantanas. Namanya pernah beredar sebagai calon KASAD pada tahun 2013. Namun saat itu, Yudhoyono menjatuhkan pilihan kepada Moeldoko.

 

  1. Letjen TNI Ediwan Prabowo

Kalau ada orang yang diperhitungkan serius untuk menjadi calon KASAD saat ini maka dia adalah Ediwan Prabowo. Lahir di Jakarta pada 4 Oktober 1961, Ediwan saat ini baru berusia 53 tahun. Dia adalah lulusan Akmil 1984. Dia adalah pemegang bintang Adhi Makayasa – Tri Sakti Wiratama yang diberikan kepada lulusan terbaik Akmil.

Ediwan saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jendral Departemen Pertahanan. Dia juga pernah menjabat sebagai Pangdam Brawijaya (2013-2014). Sebelumnya, selama kurang lebih tiga tahun dia menjadi Sekretaris Pribadi Presiden Yudhoyono.

Yang menarik adalah latar belakang kesatuan. Dia tidak berlatar belakang infanteri melainkan dari artileri medan (Armed). Dalam sejarah militer Indonesia, belum pernah ada perwira dari kesatuan Armed yang menjadi jendral penuh. Sementara, kesatuan Zeni Tempur telah menyumbang tiga perwira menjadi KSAD yakni Jendral GPH Djatikusumo (KSAD pertama), Jendral Try Sutrisno (1986-1988) dan Jendral Budiman (2013-2014).
Memiliki latar belakang kesatuan artileri medan mungkin bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan untuk Ediwan. Kekuatannya adalah dia akan menjadi sejarah sebagai orang Armed pertama yang berbintang empat. Kelemahannya ada pada pemerintahan Jokowi yang lemah. Jokowi membutuhkan aliansi dengan yang kuat dan itu akan didapatinya dari infantri.

 

  1. Letjen TNI Syafril Mahyudin

Syafril Mahyudin lahir di Padang, Sumatera Barat, pada 27 April 1958. Saat ini dia berusia 57 tahun. Dia akan pensiun sekitar sembilan bulan lagi. Syafril berasal dari kesatuan infantri. Dia adalah lulusan Akmil 1982.

Dia pernah menjadi sebagai Danrem 031/Wirabima di Pekanbaru, Riau. Sekalipun berasal dari kesatuan infantri, Syafril lama meniti karir di bidang inspektorat (pengawasan). Dia pernah menjadi inspektorat di Kostrad, Kemenko Polhukam, hingga ke jabatan sekarang ini sebagai Inspektorat Jendral TNI.

Tujuh perwira tinggi ini berpeluang untuk menjadi KASAD. Dalam prosedur TNI, sebuah dewan yang bernama Dewan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) akan memilih tiga nama untuk diajukan kepada presiden sebagai calon KASAD. Presiden kemudian memilih satu dari tiga nama tersebut. Tentu Jokowi akan memilihnya berdasarkan berbagai pertimbangan.
Yang menarik untuk dilihat adalah peta perubahan generasi di dalam TNI, khususnya di dalam TNI-AD. Siapapun yang dipilih oleh Jokowi, mereka bisa dipastikan akan berasal dari Akmil lulusan tahun 1982 hingga 1984. Setelah pelantikan KASAD maka gerbong mutasi akan berjalan lagi. Lulusan Akmil kelas-kelas dibawahnya akan mengisi posisi yang ditinggalkan entah karena pensiun atau karena naik ke jabatan yang lebih tinggi.

Dengan demikin, selama lima tahun masa kekuasaan Jokowi, hampir bisa dipastikan bahwa angkatan tahun 1980an akan mendominasi elit militer. Adakah angkatan 1980an ini berbeda dengan angkatan-angkatan lainnya?

 

Naiknya Angkatan 1980an

Lagi-lagi perspektif ini akan menolong kita untuk memahami Akmil angkatan tahun 1980an ini. Seorang yang menamatkan pendidikan di Akmil tahun 1980 pasti tahu bahwa lima tahun sebelumnya Indonesia menginvasi negara tetangganya yang kecil, Timor Leste. Keadaan belum sepenuhnya stabil di sana. Pasukan gerilya perlawanan masih kuat dan masih mampu melakukan serangan mematikan.

Sebagai prajurit yang baru lulus dan berpangkat Letnan Dua, sudah tentu penugasan pertama adalah ke daerah perang. Mereka yang baru lulus ini biasanya menjadi komandan kompi. Merekalah ujung tombak dalam operasi-operasi militer anti-gerilya yang dilancarkan Indonesia terhadap gerilya perlawanan di Timor Timur.

Pada saat itu, di dalam negeri juga masih dilakukan operasi-operasi militer yang bertujuan untuk mengontrol kehidupan masyarakat sipil. Kopkamtib masih ada. Tentara melakukan kontrol yang sangat ketat pada kehidupan masyarakat sipil.

Pada tahun 1982, pemerintah Soeharto melakukan operasi pembasmian kejahatan – yang secara teramat sinis disebut sebagai ‘Petrus’ (pembantaian misterius). Operasi ini bertujuan untuk memberantas premanisme. Namun pada akhirnya, tentara menghimpun para preman ini ke dalam organisasi yang bernama ‘Pemuda Pancasila.’

Setahun kemudian, arsitek dari operasi pemberantasan preman ini, Letjen L.B. Moerdani diangkat oleh Soeharto menjadi Panglima ABRI dan merangkap Panglima Kopkamtib. Moerdani dikenal sebagai jenderal yang keras, yang tidak pandang bulu dalam melibas apa yang dianggapnya akan menghalangi kekuasaan Orde Baru, rezim yang didukungnya. Hanya setahun setelah menjadi Panglima ABRI, meletus peristiwa pembantaian Tanjung Priok.

Semua kejadian tersebut menjadi bagian dari hidup sehari-hari seorang perwira. Karena itulah sangat penting bagi kita untuk memahami konteks dimana seorang perwira muda tumbuh, terbentuk dan meniti karirnya. Konteks inilah yang menjadi bagian dari sosialisasi seorang perwira muda dan mempengaruhi cara pandangnya tidak saja terhadap isu-isu keamanan tetapi juga terhadap isu-isu sosial politik.

Adalah Alfred W. McCoy, seorang sejarahwan dari University of Wisconsin, yang pernah meneliti soal ini[1]. McCoy membandingkan dua lulusan di Akademi Militer Filipina, yakni Angkatan 1940 dan 1971. Kedua angkatan ini sangat berbeda satu sama yang lain. Angkatan 1940 berusaha untuk menjauh dari politik. Sekalipun sesungguhnya banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik.

“Sebagai tentara yang hidup dalam masyarakat yang disusupi oleh politik patronase,” demikian tulis McCoy, “Angkatan 1940 terus menerus menghadapi tekanan untuk melakukan kompromi [agar terlibat dalam politik]. Karir mereka memerlukan pencarian jalan tengah peran militer dalam masyarakat yang demokratis – tunduk kepada politisi tanpa menjadi politis; memegang senjata tapi tidak melakukan kekerasan; sangat kuat namun tidak punya kekuasaan” (hal. 7-8). Sekalipun sulit, Angkatan 1940 berhasil melakukannya.

Angkatan 1971 menampilkan wajah yang sangat berbeda. Dua puluh tahun setelah keluar dari akademi, para perwira menengah angkatan ini melancarkan enam kali kudeta gagal. Dalam kudeta gagal yang terakhir, mereka dipaksa untuk bergerilya di bawah tanah dan melakukan perampokan, penculikan, serta teror bom. Persis semua hal inilah yang dilawan oleh perwira-perwira Angkatan 1971 dalam formasi awal mereka menjadi prajurit Angkatan Bersenjata Filipina (AFP).

Mengapa semua hal ini terjadi? Apa yang salah dengan Angkatan 1971?

Jawabannya terletak pada sosialisasi para perwira muda ini. Beberapa bulan setelah mereka lulus dari akademi, Marcos mengumumkan keadaan darurat perang. Dia kemudian menjadi diktator yang memerintah dengan dekrit, membungkam kritik dengan teror, dan memadamkan pemberontakan Muslim di Mindanao dengan kekerasan senjata. Para perwira muda Angkatan 1971 harus melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor demi menyangga kediktatoran Marcos. Merekalah yang melakukan interogasi terhadap aktivis-aktivis anti-Marcos. Mereka jugalah yang menyiksa, menculik, dan melakukan pembunuhan illegal terhadap para aktivis ini. Mereka yang menjadi pelaksana perang brutal terhadap pemberontak Muslim di wilayah selatan.

Marcos berhasil membuat tentara-tentara Angkatan 1971 (dan juga angkatan dibawahnya) sebagai pahlawan justru dengan melakukan kekerasan. Para perwira ini tidak lagi menganggap ketentaraan sebagai sebuah profesi. Tentara tidak lagi semata hanya menjadi alat untuk membela dan mempertahankan eksistensi negara dari musuh-musuh asing. Mereka mulai memiliki pandangan politik sendiri terhadap isu-isu sosial dan politik di dalam masyarakat. Mereka juga menganggap diri sebagai sebuah kekuatan yang harus diperhitungkan dalam politik Filipina. Sialnya, semua visi politik mereka lahir dari pengalaman-pengalaman brutal mereka dalam melakukan interogasi, teror, penculikan, dan semua pekerjaan-pekerjaan kotor demi mempertahankan kediktatoran Marcos.

Tentara Indonesia tentu berbeda dengan tentara Filipina dalam soal tradisi dan keterlibatannya politik. Namun, mau tidak mau, harus diakui bahwa pengalaman dan sosialisasi seperti lulusan Akmil Angkatan 1971 Filipina juga dialami oleh rekan-rekannya di Indonesia. Seperti yang sudah disebutkan di atas, Angkatan Akmil 1980an mengalami semua yang dialami oleh perwira-perwira Filipina.

 

Kekuasaan Angkatan 1970an

Tidak bisa disangkal bahwa militer lulusan akhir tahun 60an dan awal tahun 1970an menguasai politik Indonesia sejak Soeharto tumbang. Sekalipun terdepak dari politik, tidak berarti militer Indonesia kehilangan pengaruh politiknya. Memang, secara institusional militer tidak lagi berpolitik. Namun kepentingan-kepentingan politik militer tetap terjaga dengan baik. Tidak ada politisi yang berani mempersoalkan pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang pernah dilakukan oleh militer, misalnya. Juga, hingga saat ini, hampir tidak ada elite militer terjerat kasus korupsi. Sistem hukum yang memberikan perlindungan kepada militer bekerja dengan sebaik-baiknya.

Bila dilihat dengan seksama daftar politisi yang paling berpengaruh di tingkat nasional, kita akan mendapati sekian banyak politisi yang berlatar belakang militer. Yang paling besar tentu saja Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (Akmil 1973), yang pernah mendominasi politik Indonesia selama sepuluh tahun. Di belakang Yudhoyono berdiri mantan-mantan elite militer. Kemudian kita lihat nama-nama lain seperti Wiranto (AMN 1968), Prabowo Subianto (Akmil 1974), AM Hendropriyono (AMN 1967), Agum Gumelar (AMN 1969), Sutiyoso (AMN 1968), Luhut Panjaitan (Akmil 1970). Beberapa di antara mereka mendirikan partai politik baru. Sementara sebagian yang lain masuk ke dalam partai politik yang telah ada dan memakai partai tersebut untuk kendaraan menuju kursi kekuasaan.

Generasi 1970an (yang mencakup juga sebagian dari akhir 1960an) memiliki karakter yang sedikit berbeda dengan generasi tahun 1980an. Sebagian dari mereka masih mengalami ‘pemberantasan G30S,’ dimana tugas utamanya adalah menghabiskan anggota-anggota Partai Komunis Indonesia. Sutiyoso dan AM Hendropriyono, misalnya, terjun langsung dalam operasi militer terhadap PGRS/Paraku di Kalimantan Barat.

Yang terpenting adalah sumbangan angkatan ini dalam proses invasi dan aneksasi terhadap Timor Leste pada tahun 1975. Karena ini adalah operasi gabungan maka hampir dipastikan seluruh perwira lulusan akademi militer dari semua matra terlibat dalam operasi ini. Ini adalah operasi militer yang skalanya jauh lebih besar dari Operasi Komando Mandala (yang dipimpin Soeharto) untuk merebut Papua. Operasi ini juga operasi yang lebih besar dari Konfrontasi untuk mengagalkan pembentukan Malaysia.

Invasi dan aneksasi Timor Leste tidak berlangsung sebentar. Segera setelah menduduki kota-kota penting di daerah ini, militer Indonesia harus berhadapan dengan perang gerilya berkepanjangan. Perang gerilya adalah perang yang sangat brutal dan sarat dengan dimensi politik. Bukan rahasia bahwa perwira-perwira militer Indonesia menerapkan taktik-taktik intelijen untuk menciptakan kekerasan. Selain itu mereka juga melakukan pengawasan, penculikan, penahanan illegal, dan penyiksaan saat melakukan interogasi.

Sayangnya, kebrutalan itu tidak berhenti pada daerah perang. Kebrutalan itu pun merambah ke tanah air, persis sama seperti yang dilakukan oleh perwira-perwira Filipina yang bekerja mempertahankan kediktatoran Marcos. Sasaran mereka adalah para aktivis dan oposisi terhadap pemerintahan Soeharto. Ketika taktik untuk memecah belah oposisi jinak dalam tubuh PDI tidak berhasil, dan kemudian malah memunculkan PDIP di bawah pimpinan Matriarch Megawati Soekarnoputri, militer merancang operasi penggulingan Megawati dengan merebut markas kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro, Jakarta. Perwira yang merancang operasi itu tidak lain adalah Sutiyoso yang saat menjabat sebagai Pangdam Jaya dan Kepala Staf-nya, Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun tidak ada operasi untuk memberangus oposisi yang lebih brutal ketimbang penculikan para aktivis di tahun 1997. Operasi yang dilakukan dengan pola yang sangat mirip dengan yang dilakukan terhadap aktivis-aktivis kemerdekaan di Timor Leste. Operasi menjelang Soeharto jatuh ini dilakukan oleh sebuah tim dari Kopassus.

Namun semua catatan buruk itu tidak menghalangi para perwira ini untuk masuk ke dalam politik. Megawati pun ‘mengampuni’ Sutiyoso dengan mendukungnya mencalonkan diri kembali sebagai gubernur DKI Jakarta tahun 2002. Bahkan kini, Sutiyoso akan memegang kendali Badan Intelijen Nasional (BIN), sebuah bidang yang menjadi keahliannya, khususnya ketika melakukan operasi-operasi intelijen di bawah rejim Soeharto. Demikian pula AM Hendropriyono, yang sekalipun tidak memegang posisi resmi dalam pemerintahan Jokowi namun punya pengaruh cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi.

Pemerintahan Jokowi pun sangat tergantung pada Luhut Binsar Panjaitan, seorang bekas jendral yang diangkatnya menjadi Kepala Staf Kepresidenan.

 

Masa Depan

Sangat jelas bahwa masa kepresidenan Jokowi akan diwarnai oleh lulusan Akmil periode 1980an. Sementara, itu pengaruh angkatan-angkatan sebelumnya, seperti angkatan akhir 1960an dan 1970an, akan masih tetap kuat. Seluruh anggota angkatan ini sudah pensiun dari dinas militer. Namun pengaruh mereka secara politik masih akan sangat besar.

Agaknya, tidak akan banyak hal yang bisa diperbuat oleh Jokowi bila menyangkut soal-soal militer. Dia jelas tidak menginginkan politisasi militer aktif secara berlebihan. Bahkan kalau bisa dia akan menuruti semua kemauan militer sejauh itu bisa dipenuhi terutama dalam hal-hal yang menyangkut persenjataan dan kesejahteraan prajurit.

Secara diam-diam pun sudah terdengar kabar bahwa militer memiliki ‘veto’ untuk kebijakan-kebijakan yang dirasakan menyangkut kepentingan strategis militer. Jokowi harus mengurangi target pencapaian dalam kebijakan soal Papua, misalnya, karena tentangan dari pihak militer. Bisa jadi veto militer ini akan merambah ke persoalan-persoalan lain seperti perburuhan atau perkebunan di daerah perbatasan, misalnya. Yang perlu dikuatirkan adalah bila pengusaha dan politisi mengeksploitasi kekuatan veto untuk meneruskan kepentingan ekonomi dan politik mereka. Sekali hal itu belum tampak saat ini.

Hal lain yang juga akan mempengaruhi pemerintahan Jokowi adalah faksionalisme dan nepotisme di kalangan militer sendiri. Militer Indonesia mengembangkan jaringan patronasenya sendiri. Tidak jarang juga patronase ini mengikutkan hubungan nepotistik. Kadang juga muncul ketegangan akibat persaingan antar-patron ini. Ketegangan ini pernah muncul pada saat pemilihan presiden di antara jenderal-jenderal dan perwira-perwira yang mendukung Prabowo Subianto (yang adalah juga jenderal) dan pendukung Jokowi. Kini persaingan pun muncul di kalangan jenderal-jenderal yang memiliki akses ke dalam pemerintahan Jokowi. Dua orang yang paling berpengaruh terhadap pemerintahan Jokowi, AM Hendropriyono dan Luhut Binsar Panjaitan, keduanya memiliki menantu yang bertugas ‘mengawal dan menjaga’ Jokowi. Mayjen Andika Perkasa (Akmil 1987), menantu AM Hendropriyono, menjadi Komandan Paspampres. Sedangkan menantu Luhut Panjaitan, Kol. Inf. Maruli Simanjuntak (Akmil 1992), menjadi komandan Group A Paspampres.

Langkah Jokowi dalam menentukan KASAD akan sangat mewarnai hubungan pemerintahan Jokowi dan militer di masa-masa mendatang. Promosi KASAD dan pensiunnya beberapa perwira tinggi setaraf Letnan Jendral beberapa bulan ke depan akan mendorong promosi dan rotasi besar-besaran di dalam TNI-Angkatan Darat. Mungkinkah Jokowi mampu mempengaruhi promosi ini dengan menjaganya supaya tetap profesional?

Sungguh tidak mudah bagi Jokowi dalam menata tentara. Akankah presiden sipil ini mengikuti jejak tiga presiden sipil terdahulu?***

 

————-

[1] Alfred McCoy, Closer Than Brothers: Manhood at The Philippine Military Academy, New Haven: Yale University Press, 1999.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.