Perjudian Jokowi?

Print Friendly, PDF & Email

SELAMA SEMINGGU lalu kantor kepresidenan pindah ke Solo. Kita semua tahu, sang presiden punya hajatan. Dia mengawinkan anaknya. Tidak istimewa, bukan? Sama sekali tidak.

Kecuali bahwa presiden kita itu ternyata sangat sederhana pribadinya. Dia mengambil mantu dari keluarga sederhana. Saksi nikahnya pun kabarnya hanya ketua RT setempat. Bayangkan. Orang nomor satu di Indonesia itu tidak mengundang sesama kepala negara ke pernikahan anaknya.

Coba tengok negeri jiran. Dua bulan lalu PM Najib Razak mengawinkan putrinya, Nooryana Najwa Najib, dengan pemuda Kazakhstan yang namanya sulit dilafalkan lidah Melayu, Daniyar Kessikbayev. Kabarnya, perkawinan itu demikian mewahnya. Untuk bunga saja, mereka menghabiskan RM 3 juta (atau kira-kira Rp 10.7 milyar!). Perkawinan ini dengan segera mengundang sensasi di internet.

Syukurlah, presiden kita sederhana. Walaupun undangan yang datang lebih dari 4 ribu orang! Seorang kawan memajang foto-foto perkawinan di Facebook. Dia bilang, dia sudah 2 jam lebih antre, namun belum juga bisa salaman dengan pengantin dan keluarganya yang ada di panggung.

Akan tetapi, saya sungguh-sungguh menganjurkan supaya Anda tidak menirunya. Cobalah Anda undang tukang becak, pedagang angkringan, tukang asongan, dan sebagainya itu ke perkawinan Anda, pasti Anda akan dicap kere!

Sederhana itu hanya milik orang-orang besar. Kalau Anda sudah cukup sederhana (baca: kere) untuk apa lagi hidup sederhana?

***

Kita kembali ke kantor kepresidenan. Sebelum mudik ke Solo, presiden Jokowi rupanya sudah mengambil keputusan penting dalam soal urusan Hankam. Yang pertama, dia mengusulkan Jendral TNI Gatot Nurmantyo yang sekarang menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) menjadi panglima TNI. Dan yang kedua, dia akan mengangkat Letjen TNI (Purn.) Dr. (H.C.) H. Sutiyoso menjadi Kepala Badan Intelijen Nasional.

Kedua orang yang akan memegang posisi penting ini adalah orang pesisir pantai utara (pantura). Jawa. Gatot Nurmantyo adalah orang Tegal, sedangkan Sutiyoso orang Semarang. Sekalipun demikin, sulit menarik hubungan antara ketiban jabatan dengan tempat asal kelahiran.

***

Sekalipun hampir setahun menjadi Kasad, kita tidak banyak tahu tentang Gatot Nurmantyo. Memang karir militernya dipampang untuk publik. Tapi kita tidak tahu, misalnya, arloji apakah yang dia pakai.

Anda tahu, sejak Jenderal Moeldoko menjadi Panglima TNI, soal arloji ini jadi penting. Moeldoko pernah dituduh media Singapura mengenakan arloji Richard Mille RM 011 Felipe Massa Flyback ‘Black Kite’ edisi terbatas (hanya ada 30 biji di dunia), yang harganya $100,000.00 atau Rp 1.3 milyar per biji. Reaksi Jenderal Moeldoko pun sangat mengesankan. Dia mengadakan konferensi pers dan di sana dia membanting jam tangan itu di depan para wartawan. Dia bilang, semua arloji mewah yang dia miliki adalah arloji KW alias palsu.

Tapi toh Jenderal Moeldoko tidak bisa lepas dari arloji. Menjelang pensiun, Jendral Moeldoko membagi-bagikan 55 ribu buah arloji kepada prajurit TNI. Lima puluh lima ribu! Pernah lihat arloji sebanyak itu?

Tapi sekali lagi, tidak ada hubungan antara arloji dengan ketepatan waktu. Jadi kalau Anda ada acara dengan Jenderal Moeldoko dan beliau terlambat, itu bukan salah arlojinya. Itu karena Jenderal Moeldoko, sama seperti kita, orang Indonesia yang memang selalu kena masalah lalu-lintas dan akhirnya terlambat.

Nah, ada sedikit yang kita ketahui dari Jenderal Nurmantyo: dia mendalami ‘proxy war.’ Pernah dengar perang seperti ini? Idenya sederhan: Ini perang antara dua pihak yang tidak saling berhadap-hadapan namun menggunakan pihak ketiga untuk mengalahkan musuh. Kasarnya, seperti Anda naksir cewek tapi tidak berani omong langsung, terus minta adik Anda yang masih SD untuk kirim salam. Romantis bukan? Iya. Persoalannya adalah proxy war adalah perang dan bukan roman!

Dalam perang macam ini tidak kelihatan siapa kawan dan siapa lawan. Musuh menggunakan ‘non-state actors’ untuk menyerang. Dalam satu ceramahnya, Gatot Nurmantyo menjelaskan bahwa proxy war ini bisa dikenali dengan adanya gerakan separatis, demonstrasi massa (termasuk mahasiswa dan buruh), dan bentrok antar-kelompok. [1]

Kalau Anda melihat grafik makalah Jendral Gatot dalam presentasinya tentang ‘Peran Pemuda Dalam Menghadapi Proxy War’, niscaya Anda akan yakin betapa seriusnya musuh yang melakukan proxy war ini. Model analisis ini bisa diterapkan dimana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja.

Bulan April kemarin, Jenderal Gatot berdialog (ceramah, tepatnya) dengan aparat pemerintah daerah, DPRD, tokoh agama dan tokoh pemuda di Yogyakarta. Dalam ceramah itu, dia menyampaikan fakta yang mengejutkan. Dalam tiga tahun terakhir ini, katanya, ada 21 kasus dimana mahasiswa membakar fasilitas kampusnya. Ini tidak main-main.

Menariknya, Jenderal ini membikin perbandingan dengan pasien rumah sakit jiwa. Dia menemukan bahwa tidak ada kasus pembakaran oleh pasien RSJ terhadap rumah sakitnya!

‘Pasien gila saja tidak pernah membakar rumah sakitnya sendiri. Ini mahasiswa gimana? Tapi bukan saya sebut mahasiswa gila lho,’ kata Gatot.[2]

Jenderal Gatot mengatakan bahwa hal ini terjadi karena ‘proxy war’ yang sudah terjadi di Indonesia. Selain itu, karena perubahan kebudayaan hasil rekayasa negara asing. Budaya kita sudah disusupi paham asing, ujarnya.

Saya bayangkan peserta ceramah Jendral Gatot manggut-manggut cemas karena proxy war ini.

Jenderal yang tamatan Akmil 1982 ini ternyata juga amat takut dengan komunisme. Di sela doa bersama prajurit TNI untuk memperingati hari Kesaktian Pancasila, Selasa 30 September 2014, dia dikutip mengatakan, ‘Ada aliran baru, yaitu Neo Komunis yang seolah-olah mengedepankan demokrasi di kehidupan sehari-hari. Bagi Indonesia, komunisme merupakan bahaya laten dan musuh bersama.’

Dia, Gatot Nurmantyo, baru berusia lima tahun ketika peristiwa G30S yang diikuti pembantaian atas kaum komunis itu terjadi.

Bisa dimaklumi juga kalau Jenderal Gatot ini jengkel terhadap demokrasi. Pada satu kesempatan berceramah di depan organisasi Pemuda Pancasila (ya, PP yang baju loreng merah-oranye di film Jagal itu!), dia mengatakan, ‘Demokrasi kita saat ini adalah kerakyatan yang dipimpin oleh kekuatan dengan cara voting,’ ujarnya. Demokrasi itu soal menentukan pilihan. Akan tetapi, sesuatu yang benar tidak selalu disukai banyak orang. ‘Yang banyak belum tentu benar,’ katanya.

Tentu dia membayangkan seorang nabi atau bahkan Ratu Adil. Tidak terlalu sulit untuk membayangkan jenderal ini percaya pada orang kuat. Dia lulusan Akmil 1982. Ini adalah generasi muda yang dilatih untuk ber-dwifungsi. Karir militer tidak berhenti pada militer. Terbuka kesempatan luas untuk menjadi apa saja: pejabat sipil, pengusaha, politisi, dan sebagainya.

Jadi tidak perlu heran kalau Jenderal Gatot, dalam rangka ulang tahun Kostrad, kemudian memilih untuk berziarah ke makam Soeharto.

 

gatotFoto diambil dari http://idquote.info

***

Pagi hari 29 Mei, 2007. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sedang dalam kunjungan ke Sydney, Australia Tiba-tiba kamarnya diketuk. Ada beberapa polisi negara bagian New South Wales tiba-tiba memaksa masuk. Rupanya, dia dipaksa untuk memberikan keterangan atas terbunuhnya wartawan di Balibo, Timor Leste, saat terjadi perang pendudukan wilayah itu tahun 1975.
Dia pantas marah karena dia pernah belajar di the Australian Army Command and Staff College di Melbourne dan Canberra pada tahun 1989-1990. Dia tidak diapa-apakan saat itu. Mungkin karena saat itu Australia mendukung pendudukan Indonesia atas Timor Leste.

Sutiyoso meniti karirnya di kesatuan elit Kopassus. Sebagai perwira muda, dia terlibat dalam invasi Indonesia terhadap Timor Leste yang memakan korban sepertiga dari penduduk daerah itu. Dia bertempur hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hampir semua pengalaman bertempurnya adalah melawan rakyat Indonesia sendiri.

Di Kopassus itulah karirnya bersinar. Di sana dia bahkan sampai ke jenjang wakil Komandan Jenderal sebelum dipindah menjadi Komandan Korem Surya Kencana di Bogor. Namanya semakin moncer karena dia dianggap berhasil mengamankan KTT APEC 1994.

Perjalanan karir terpenting Sutiyoso terjadi 27 Juli, 1996. Dialah yang bertanggungjawab atas penyerbuan terhadap kantor pusat DPP PDI yang diketuai Megawati Soekarnoputri. Dia menjalankan tugas dari Soeharto itu dengan sebaik-baiknya dan dengan kekerasan berhasil mengenyahkan kepengurusan Megawati di PDI (yang kemudian berubah menjadi PDIP) dan menggantinya dengan pengurus boneka yang tunduk pada Soeharto. Hal yang lazim pada jaman itu.

Sekalipun terlibat secara langsung dalam peristiwa kekerasan terhadap pendukung PDIP, toh itu tidak menghalangi Megawati untuk mendukung Sutiyoso dalam pemilihan gubernur DKI tahun 2002. Itu membuktikan kehandalan Sutiyoso dalam berpolitik. Sekaligus juga mematahkan anggapan bahwa Megawati itu pendendam.

Masa jabatannya sebagai gubernur juga meninggalkan beberapa warisan penting seperti bus TransJakarta dan larangan merokok di tempat-tempat umum. Warisan lain adalah Forum Betawi Rempug (FBR), yang setia bedemonstrasi mendukung putra yang bukan Betawi ini.

***

Jelas, dua orang yang dipilih Jokowi ini sangat keras berbau Orba. Tidak apa-apa sebenarnya. Siapa sih politisi, tentara, polisi atau politisi jaman Reformasi yang tidak berbau Orba? Bahkan, tidak jarang kita lihat mereka yang beroposisi terhadap Orba ternyata berpola pikir yang sama dengan Orba. Untuk saya, Orba itu ya penguasanya, ya oposisinya.

Sebagai orang yang lahir dan besar sepenuhnya bersama Orde Baru, saya sangat akrab baik dengan ide proxy war maupun dengan figur seperti Sutiyoso. Saya tidak bisa tidak bertanya pada diri saya sendiri: apakah yang baru dari proxy war ini? Apa bedanya dengan ucapan-ucapan pejabat-pejabat militer jaman Soeharto yang rajin sekali mengatakan ‘disusupi oleh kepentingan asing’? Dilihat dari sisi ini, proxy war terdengar seperti kuliah pengantar strategi pemerintahan Orba.

Pertanyaan saya berikutnya adalah mengapa Jokowi mengambil keputusan ini? Karena minggu ini semua perhatian tumpah ke Solo, tiba-tiba saya teringat pada antropolog James Siegel. Dia pernah membikin karya ethnografis yang diberi judul ‘Solo in the New Order.’ Sebenarnya, saya tidak mau bicara teori yang mbulet ruwet itu, tapi sedikit saja mungkin ada gunanya.

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang hirarkis, termasuk dalam berbahasa. Orang Jawa berbicara dalam kromo inggil (halus, tinggi) dan ngoko (kasar, rendah). Lalu, tingkatan bahasa yang mana yang dipakai oleh orang Jawa bila ia berbicara dengan dirinya sendiri? Bahasa yang mana yang merupakan bahasa pertama? Ngoko, demikianlah kesimpulan Siegel. Oleh sebab itu, setiap peralihan dari ngoko ke kromo memerlukan penerjemahan (translation). Bahasa kromo dipakai untuk menunjukkan hormat, ketundukan, atau pengakuan atas kekuasaan.

Nah, yang menarik adalah tidak semua hal yang ngoko bisa diterjemahkan ke dalam kromo. Siegel mengidentifikasi beberapa hal yang menurutnya ‘aneh.’ Seperti ketika harus berhadapan dengan angka, misalnya. Dia memperhatikan kebiasaan orang Solo berjudi, karena pada jaman studi itu dibikin undian Porkas atau SDSB masih diperbolehkan.

Banyak orang memperjualbelikan nomor-nomor baik. Bahkan setelah nomor baik didapat, tidak ada kepastian bahwa nomor itu akan keluar dalam undian. Oleh karena itu, nomor harus di mistik. Misalnya nomor 29 adalah 2 ditambah 9, maka akan jadi 11. Tambahkan dan kurangkan dengan satu maka kita akan dapat angka 10 dan 12. Baliklah kedua angka itu sehingga menjadi 01 dan 21. Dua nomor itulah yang harus dipasang.

Angka-angka taruhan itu tidak bisa ditundukkan sekalipun sudah ‘dimistik’ dan dibolak-balik. Dengan demikian, hampir mustahil ia bisa diterjemahkan menjadi sesuatu yang kromo.

Barangkali, perjudian inilah yang sedang dilakukan oleh Jokowi dengan mengangkat Gatot Nurmantyo dan Sutiyoso. Mungkin ini adalah kalkulasi politik yang matang. Dia tahu persis resikonya.

Selama ini, Jokowi berusaha untuk berbicara memakai kromo inggil kepada kawan dan lawan politiknya. Sampai saat ini, dia tidak atau belum menggunakan bahasa politik ngoko. Akibatnya, dia dipukuli kiri-kanan, Namun realitas politik akan memaksanya bicara dalam bahasa ngoko.

Bagaimana kalau Jendral Gatot Nurmantyo kemudian berubah menjadi versi Indonesia dari Jendral Prayut Chan-o-cha?

Lalu bagaimana dengan Sutiyoso? Ah, ini yang sulit. Sudahkah Anda melihat selfie Sutiyoso dengan artis Chika Jessica? Carilah di Google. Foto selfie itu menunjukkan kehandalan Bang Yos dalam melakukan penggalangan.

Selain itu, mungkin dengan menjadi Kepala BIN, dia akan lebih mudah menyelinap ke Australia untuk reunian di tempat dia dulu belajar.***

 

————-

[1] https://wiramakara.files.wordpress.com/2014/03/ringkasan-peran-pemuda-dalam-menghadapi-proxy-war-jpeg.pdf

[2] http://news.liputan6.com/read/2217252/ksad-mahasiswa-sampai-bakar-kampus-apa-ini-namanya

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.