1965: Pembunuhan Tanpa Akhir

Print Friendly, PDF & Email

MINGGU LALU saya menonton film ‘The Look of Silence.’ Di Indonesia, film dokumenter ini diberi judul ‘Senyap.’ Saya menontonnya dalam acara Human Rights Watch Film Festival. Agak menyenangkan melihat reaksi publik atas film ini. Ada dua ratus tiket tersedia dan habis tandas. Terlebih lagi sebagian besar penonton masih duduk untuk sesi diskusi.

Saat acara diskusi, ada satu pertanyaan yang sangat menggelitik saya. ‘Mengapa pembantaian tahun 1965 tidak memancing perhatian dan reaksi dunia internasional?’ Sedikit sekali orang tahu bahwa pembantaian besar-besaran ini benar-benar pernah terjadi.

Orang akrab dengan pembantaian massal oleh Khmer Rouge di Kamboja; pembantaian besar-besaran orang Yahudi pada Perang Dunia II; genosida terhadap orang Armenia pada tahun 1915 oleh Turki; atau yang lebih modern lagi, pembantaian etnis Hutu oleh etnis Tutsi di Rwanda tahun 1994.

Namun, hampir tidak ada orang tahu akan pembantaian orang-orang Komunis di Indonesia tahun 1965. Padahal, pembantaian di Indonesia terjadi dalam skala yang tidak kurang besarnya.

Mengapa? Jawaban yang paling spontan adalah bahwa pembunuhan ini didukung oleh pemerintah Amerika dan negara-negara Barat. Suara Ted Yates, reporter TV Amerika NBC, sangat jelas dalam film ini. Bahwa pembantaian itu adalah kemenangan terbesar Amerika dalam front melawan komunisme, tanpa melibatkan satu pun prajurit, tanpa mengeluarkan sepeser pun uang dan tanpa ada satupun bom Amerika dijatuhkan.

Film ini diputar di di wilayah Greenwich Village, New York City. Ini adalah wilayah yang termasuk paling progresif di Amerika, dimana aktivis, seniman, atau intelektual berkumpul. Karena itulah, ketidaktahuan mereka akan pembantaian 1965 menjadi mencengangkan.

Namun bisa dimaklumi. Bagaimana pun juga kaum progresif ini adalah orang Amerika.

Tetapi, bagaimana dengan Indonesia?

***

Saya merasa, sebagai orang Indonesia identitas keindonesiaan saya didefinisikan oleh pembunuhan massal ini. Suka atau tidak suka, identitas itu melekat erat pada diri saya. Saya adalah bagian dari bangsa yang melakukan pembunuhan massal itu.

Memang, banyak bangsa lain juga melakukan pembunuhan massal. Hanya saja bedanya adalah bahwa bangsa-bangsa tersebut berani membicarakannya secara terbuka. Beberapa bangsa mengakui pembantaian massal itu sebagai sejarah hitam bangsanya. Dengan mengakui noda hitam ini mereka berharap untuk tidak mengulanginya.

Bahkan Kamboja, negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia, mengadili anggota-anggota Khmer Merah yang melakukan pembunuhan massal. Sekalipun tidak sempurna, toh peradilan itu memancing perbincangan yang meluas. Bangsa Khmer berusaha mencari jawaban mengapa kebiadaban itu terjadi. Dari sana mereka berharap menemukan jiwanya kembali, yang bersih dari kebiadaban.

Mendiskusikan pembantaian massal, mengenali siapa pelakunya, mengetahui mengapa pembantaian itu terjadi, dan dimana itu terjadi tentu sangat penting. Itu adalah bagian dari proses penyembuhan.

Namun, sebagai bangsa kita sebagai memilih untuk tidak melakukannya. Pembantaian massal tahun 1965 kita perlakukan seperti keluarga kita memperlakukan ‘aib.’ Kita berada dalam situasi seperti bapak yang memperkosa putrinya sendiri. Alih-alih menuntutnya dan menghukumnya seberat mungkin, kita memilih diam. Kita menolak membicarakannya. Kita bahkan menolak mengingatnya. Kita terlalu takut bahwa ‘aib’ itu akan memberikan nama buruk pada keluarga kita.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah si bapak ini kemudian memperkosa kiri-kanan. Karena dia tidak pernah dihukum oleh satu kesalahan yang berat, dia merasa bebas untuk melakukannya lagi.

Yang lebih parah lagi, kita menerima penjelasan dari si bapak itu bahwa yang terjadi bukan perkosaan melainkan karena kesalahan si putri yang menggoda dengan pakaiannya yang seksi. Kita juga menerima penjelasan itu karena takut akan kekuasaan si bapak.

Akhirnya, kita ikut mengasingkan si putri dari keluarga. Kita mengusirnya keluar dari rumah, menistanya, bahkan memukulinya.

***

Sayangnya, pembantaian itu tidak berhenti hanya pada tahun 1965. Beberapa tahun sesudahnya, kita membersihkan ‘pemberontakan’ di Kalimantan Barat. Pelakunya adalah ‘pemberontak’ ciptaan kita sendiri, yakni PGRS/Paraku. Ini adalah organisasi ciptaan tentara Indonesia ketika terjadi konfrontasi menentang pembentukan negara Malaysia.

Sejarah resmi selalu menyatakan bahwa pembantaian 1965 dimulai dari usaha kudeta Gerakan 30 September (G30S). Sejarah yang sama mengajarkan bagaimana jenderal-jenderal Angkatan Darat ditangkap dan disiksa oleh gerombolan G30S, yang sesungguhnya dipimpin oleh perwira-perwira muda Angkatan Darat. Mereka disiksa habis-habisan, muka mereka disilet, kemaluan dipotong, dan dipukuli.

Dari narasi itulah muncul pembantaian massal. Pelakunya, sebagaimana kelihatan dalam film ‘The Look of Silence’ bukanlah tentara melainkan ‘massa’ atau rakyat yang marah terhadap PKI.

Hal yang serupa diulangi dalam menangani PGRS/Paraku di Kalimantan Utara, yang kebetulan disokong oleh etnis Cina. ‘Pemberontakan’ ini berhasil dipadamkan karena penculikan dan kemudian pembunuhan sembilan orang Dayak –diantaranya adalah Temenggung. Orang-orang Dayak ini disiksa sebelum dibunuh. Setelah meninggal, kelaminnya dipotong dan dimasukkan ke dalam mulut dan didadanya terdapat kain bertuliskan aksara Cina. Kemudian diketahui bahwa penculikan dan pembunuhan ini adalah bagian dari operasi ‘psywar’ (perang psikologis) yang dilakukan oleh pihak militer.

Kematian sadis itulah yang disebarkan. Seorang petinggi militer dengan terus terang mengakui adanya operasi militer untuk mendorong orang-orang Dayak melakukan ‘pengayauan’ terhadap orang-orang Cina. Pihak militer dengan aktif mendampingi orang-orang Dayak melakukan pembunuhan dan pengusiran orang-orang Cina dari pedalaman Kalimantan Barat.

Pembantaian itu tidak berhenti di sini. Satu dekade berikutnya, kita mengirim pasukan untuk menginvasi negara tetangga kita yang kecil. Sepertiga penduduknya habis, entah karena peluru atau karena kelaparan akibat strategi perang.

Tidak berapa lama kemudian, kita melihat pembantaian-pembantaian terjadi di Talangsari, Lampung; di Tanjung Priok, Jakarta; dan di seantero Indonesia dengan alasan membasmi preman. Belum lagi pembantaian secara sistematis yang kita lakukan di Aceh dan Papua.

***

Kita, sebagai bangsa, didefinisikan oleh apa yang kita lakukan atas nama Indonesia. Suka atau tidak suka, kita juga didefinisikan oleh sekian banyak pembantaian massal yang dilakukan atas nama bangsa Indonesia. Dan itu akan terus berlangsung jika kita tidak melawannya dan melakukan definisi ulang atas apa artinya menjadi ‘orang Indonesia’ itu.

Saya seringkali mendengar orang berbicara dengan topik ‘Menjadi Indonesia.’ Beberapa buku sudah ditulis dengan topik yang sama. Ada juga lomba esei untuk mahasaiswa dengan judul seperti itu.

Namun, ada yang hilang dalam semua perbincangan dan diskusi ‘menjadi Indonesia’ itu. Tidak ada satu pun perbincangan ‘menjadi Indonesia’ itu terkait dengan pembantaian massal 1965 dan pembantaian-pembantaian yang terjadi sesudahnya. Bisu. Senyap.

Semua pembantaian massal itu adalah aib kita sebagai bangsa. Dia harus kita kubur dalam-dalam. Kita tabu membicarakannya. ‘Yang lalu biarlah lalu,’ demikian selalu dalih para pembunuh yang muncul dalam film ‘The Look of Silence.’ Kita tidak mau mengungkap luka lama sekalipun luka itu hadir terus menerus dengan pembunuhan-pembunuhan massal yang lain.

***

Ketika sedang merenungkan soal ini, tiba-tiba saya ingat pada sebait kalimat dari Dr. Martin Luther King, Jr. yang diucapkan saat menyampaikan eulogy atas kematian tiga anak korban pengeboman sebuah gereja di Birmingham, Alabama. Dr. King mengatakan bahwa kita tidak usah terpaku hanya kepada siapa yang membunuh melainkan kita harus lebih menaruh perhatian kepada ‘sistem, cara hidup , dan filosofi yang menghasilkan para pembunuh tersebut.’[1]

Hampir mustahil untuk menjadi orang Indonesia masa kini tanpa menanggung beban pembunuhan massal itu. Kita ada dalam sistem, cara hidup, dan filosofi yang menghasilkan para pembunuh itu. Kita lakukan itu demi tegaknya ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia.’ Kita menerima filosofi ini dengan sukarela dalam hidup sehari-hari kita. Kita didefinisikan oleh pembunuhan massal itu.

Jika Anda membisu maka Anda menerima definisi ini. Saya menolaknya. Untuk itulah saya bersuara. ***
———

[1] ‘They say to us that we must be concerned not merely about who murdered them, but about the system, the way of life, the philosophy which produced the murderers.’ Lihat, http://kingencyclopedia.stanford.edu/encyclopedia/documentsentry/doc_eulogy_for_the_martyred_children/

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.