Mengoreksi Cara Berpikir Kaum Orbais Melihat Komunis

Print Friendly, PDF & Email

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Annisa: 135)

Katakanlah, Tuhanku memerintahkan al-qisth (keadilan)(QS. Al-A’raf: 29)

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. AnNahl: 90)

 

Mukadimah

GEGER lambang palu arit karena kaos yang dipakai oleh Putri Indonesia baru-baru ini, bukanlah pertama kalinya dan satu-satunya yang terjadi di republik ini. Petani-petani yang tengah memperjuangkan hak-haknya ketika protes dengan membawa poster bergambar “seorang petani memakai caping sembari tangannya memegang arit” juga dianggap sebagai komunis. Padahal petani-petani tersebut mengorganisir dirinya di musholla atau masjid di kampung mereka. Protes ibu-ibu petani di Rembang yang menolak berdirinya pabrik Semen Indonesia di atas lahan hijau yang berpotensi besar merusak lingkungan, dianggap sebagai sinyalemen kebangkitan komunis. Sementara kita tahu, ibu-ibu pejuang tersebut selama berada di tenda perjuangan, tak pernah memekikkan slogan-slogan yang terdengar revolusioner. Mereka hanya membaca tahlil, memperbanyak sholawat dan istighosah tiap hari di dalam tendanya.

Di tempat lain di Jawa Tengah, protes petani Urutsewu Kebumen yang mengadakan solidaritas budaya dan zikir bersama yang bertujuan menggalang solidaritas dari berbagai pihak untuk mendapatkan kembali lahan pertaniannya yang diduduki oleh TNI, mendapat stempel dan tuduhan yang sama. Bahkan yang tak masuk akal, kiai seperti Imam Zuhdi, seorang kiai wira’i dan zahid sejati, dituduh sebagai komunis. Suatu hari dalam sebuah pertemuan dengan warga di masjid, beliau mengatakan pada penulis kalau dirinya diisukan sebagai komunis yang tak mengenal Tuhan dan mau bikin onar di Urutsewu.

Kondisi semacam itu tak hanya dialami oleh Kiai Imam. Hampir semua pemimpin gerakan dan pejuang keadilan di negeri ini akan diberi stempel PKI (Partai Komunis Indonesia), yang dianggap bejat, jahat dan berbahaya. Ibu Nursyahbani Katjasungkana pernah menceritakan kisah lucu tentang masyarakat Jombang yang tergusur tanahnya oleh proyek jalan tol dan industrialisasi, namun menganggap curangnya proses pembayaran ganti rugi lahan sebagai ulah PKI. Atau tetangga penulis yang kehilangan sandalnya di masjid ketika sholat jum’at, ia mengumpat bahwa yang mencuri sandalnya adalah PKI.

Gampangnya, hujatan  pada putri Indonesia yang tengah memampang fotonya di media sosial dengan memakai kaos merah bergambar palu dan arit dan stigma-stigma buruk pada para pegiat HAM dan pemimpin gerakan tani menandakan masih kuatnya warisan anti komunisme orba yang ditanam dalam kesadaran rakyat Indonesia.

Karena itu, kiranya penting bagi kita untuk mengoreksi kekeliruan-kekeliruan dan membuka selubung kebrutalan politik Orde Baru. Namun, bukankah rezim Orde Baru sudah tidak ada? Iya, Orde Baru telah tumbang. Tetapi, secara de facto kaum orbais, yaitu segerombolan orang atau golongan yang berpikir dan berpolitik dengan ideal-ideal Orde Baru, masih sangat kuat di negeri ini (atau bisa jadi paling kuat). Tujuan utama mereka adalah mengembalikan Indonesia pada situasi ketakutan, dan melalui ketakutan tersebut sebuah rezim ganas penuh kebencian hendak memancangkan kembali tonggak-tonggaknya. Sebuah rezim otoriter yang akan menghamba pada kepentingan ekonomi global di mana Indonesia dan rakyat di dalamnya dijadikan bahan bakarnya.

Kiranya wajar kalau rakyat khawatir melihat naiknya arogansi kaum orbais akhir-akhir ini. Secara telanjang, mereka menyelenggarakan halaqah-halaqah “Bahaya Laten PKI”, memakai preman untuk menyerang dan menggagalkan terselenggaranya pemutaran film Jagal dan Senyap, pertemuan-pertemuan keluarga korban 65, hingga larangan diskusi peristiwa 65 di kampus-kampus[1]. Semua ini menjadi simptom jika kaum orbais masih ingin mencengkeramkan kuku-kukunya di negeri ini.

 

Bagaimana Kaum Orbais Melihat Komunis?

Melalui buku Katastrofi Mendunia: Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba[2] karya penyair Taufiq Ismail, dengan mudah kita akan tahu bagaimana kaum orbais melihat komunisme, khususnya PKI di Indonesia. Bagi mereka PKI tak ada benarnya. Tidak setitik pun. Tentu saja PKI bukan berarti tak ada salahnya. Namun mempersalahkannya secara brutal jauh tak ada benarnya ketimbang apapun juga. Buku tersebut dan Taufiq menjadi contoh kaffah bagaimana kaum orbais melihat komunisme. Seolah-olah semua kejahatan di dunia ini ulah kaum komunis. Bagi kaum orbais (tentu saja Taufiq di dalamnya) yang boleh ada di dunia ini adalah cara pandang mereka terhadap dunia saja, marxisme tidak, karena marxisme baginya sama-sama berbahayanya dengan narkoba.[3] Pendeknya, segala hal yang dianggap buruk, menjijikkan, ngawur, bejat, anti-tuhan, merusak tatanan, mengalalkan segala cara=PKI.

Argumen yang sering direplikasi oleh kaum orbais untuk membuktikan kekeliruan marxisme adalah bangkrutnya Uni Soviet, totalitarianisme Stalin dan Polpot. Namun kelemahan argumen tersebut adalah: pertama, meletakkan Marxisme bukan sebagai ilmu pengetahuan, melainkan hanya sebagai ideologi jumud yang kebal kritik. Kedua, melihat marxisme tidak pada nosi utama marxisme yang mengandaikan dirinya sebagai sosialisme yang ilmiah. Ketiga,menempatkan kekeliruan Marxisme pada figur semacam Stalin dan Polpot maka sama juga dengan menempatkan Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid bin Muawiyah sebagai representasi Islam.

Bagaimana rezim orba dan kaum orbais melihat komunisme dalam konteks sejarah Indonesia? Pertama, mereka menganggap komunisme (PKI) sebagai ajaran anti Tuhan dan anti agama. Namun sejauh pembacaan penulis, tak ada satu teks tertulis sekalipun dalam semua dokumen PKI yang mensyaratkan dan menganjurkan anggotanya untuk menjadi ateis dan anti agama. Dalam dokumen-dokumen resmi PKI atau dalam hampir semua pikiran tokoh-tokoh PKI, yang menggema hanya anti Imperialisme, anti kapitalisme dan anti feodalisme. Selebihnya tidak. Maka kampanye kaum orbais yang mengatakan bahwa PKI dengan sendirinya ateis terang keliru dan menyesatkan.[4]

Kedua, PKI dituduh sebagai anti pancasila. Tuduhan anti Pancasila merupakan turunan dari tuduhan anti Tuhan. PKI harus dibumihanguskan karena oleh Orde Baru dianggap mengajarkan anti Tuhan dan dengan demikian anti Pancasila (sila pertama). Tuduhan ini jelas tidak berdasar karena sejak semula PKI menerima Pancasila dan menjadi partai yang konsisten mengambil jalan revolusioner melawan Belanda. Namun sayangnya, sedikit dari pelajar dan pemuda di negeri ini yang memahaminya karena nama PKI telah dihapus dari lembaran sejarah bangsa dan ingatan kita. Sebagai contoh. Seorang Amir Syarifudin, yang merupakan otak sumpah pemuda 1928, mantan Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri di era revolusi kemerdekaan yang nantinya hidupnya berakhir secara tragis ditembus timah panas tentara di masa kabinet Hatta. Namanya, pengorbanannya untuk Indonesia, dihapus dari sejarah Indonesia.[5] Figur lain seperti Soemarsono, pemimpin pertempuran 10 November 1945 di Surabaya,[6] dicoret dari sejarah Bangsa Indonesia.

Ketiga, melihat komunisme sebagai paham yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Bagi kaum orbais, perjuangan kelas dan jalan revolusioner marxisme dianggap sebagai sikap semau-maunya, brutal, dan tak tahu aturan. Pekikan Marx, “This bursts asunder. The knell of capitalist private property sounds. The expropriators are expropriaded” (Sekam akan meledak bertebaran. Lonceng kematian hak milik pribadi kaum kapitalis telah berbunyi.Tukang rampok sekarang dirampok),[7] dianggap oleh mereka sebagai landasan pembenaran bahwa Marx dan marxisme brutal. Padahal membincangkan parameter kekerasan akan menggiring siapapun pada medan perdebatan yang tak ada sudahnya, karena hampir semua ideologi di dunia ini memiliki dimensi kekerasannya sendiri. Bahkan, kalau boleh jujur, agama apapun di dunia ini yang mengajarkan keluhuran dan kebajikan, tak ada yang tak besimbah darah selama rentang perjalanan sejarahnya. Maka menghakimi Marxisme sebagai satu-satunya ideologi penganjur kekerasan sama saja dengan menuding diri sendiri.

 

roy1Konspirasi Soeharto n Nekolim. Ilustrasi oleh Yayak Yatmaka

 

Di balik Kampanye Anti-Komunis Orba

Kampanye keji pasca 1 Oktober oleh militer berakibat fatal dengan terjadinya pembantaian besar-besaran terhadap simpatisan PKI hingga ke pelosok-pelosok desa. Strategi menghasut terbukti menuai hasilnya. Politik adu domba yang dijalankan, seperti mengatakan bahwa para kader PKI di desa-desa membikin lubang-lubang di tengah ladang tebu yang dipersiapkan sebagai kuburan para tokoh agama, menjadi semacam bensin yang ditumpahkan di atas tumpukan jerami kering di tengah ladang. Ironisnya, hingga menjelang 50 tahun peristiwa 1965,[8] yang secara brutal digerakkan oleh jenderal Soeharto dan jenderal Sarwo Edie Wibowo, kisah para PKI penggali lubang kuburan tersebut tak pernah bisa dibuktikan kebenarannya. Hampir semua pelaku kekerasan di akar rumput hanya diberi kabar oleh militer kalau PKI akan menyerang mereka. Maka itu mereka mau tak mau harus menyerang duluan. “Lebih baik memukul dulu sebelum dipukul” begitulah pandangan hidup pada zaman itu.[9]

Kampanye dan berita bohong yang disebarkan melalui harian Berita Yudha milik TNI AD mengenai kekejian dan kejahatan seksual yang dilakukan oleh Gerwani dan kejahatan “anti-Tuhan” PKI, secara spesifik hanya untuk membuat marah masyarakat Indonesia dan membenarkan pembantaian massal PKI. PKI dijadikan tumbal oleh Soeharto untuk menyingkirkan Soekarno melalui strategi yang, oleh sejumlah peneliti, sering disebut sebagai kudeta merangkak (creeping coup).

Soeharto memulai rencana sistematisnya dengan menyingkirkan orang-orang yang loyal terhadap Soekarno atau kelompok yang mendukung secara aktif arah politik Soekarno. Melalui propaganda anti komunis dan dibantu kekuatan mahasiswa dan Angkatan Darat, Soeharto berhasil melenyapkan mereka yang dianggap kiri (komunis). Selanjutnya, ia mengerahkan kekuatan mahasiswa dan pasukan tidak dikenal (sesungguhnya pasukan RPKAD) ke istana saat sidang kabinet berlangsung tanggal 10 Maret 1966, sehingga berhasil memperoleh Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)[10]. Penggunaan Supersemar sebagai landasan hukum pembubaran PKI, penangkapan sejumah menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September, dan perombakan keanggotaan MPRS, pada akhirnya melahirkan Tap MPRS Nomor IX/MPRS/1966.

Mulusnya perjalanan karier politik Soeharto tak lepas dari peranan Amerika Serikat (AS) melalui CIA. Sejak sebelum Gerakan 30 September meletus, AS telah rajin memberikan bantuan, khususnya kepada Angkatan Darat, untuk pelaksanaan program operasi karya militer-sipil (civic mission). Program ini bertujuan untuk membentuk kekuatan anti komunis yang diharapkan mampu membendung kekuatan komunis. Program civic mission semakin gencar dilakukan setelah PKI dituduh sebagai dalang tunggal peristiwa pembunuhan terhadap para jenderal AD. Dengan demikian, setelah Peristiwa 30 September 1965, banyak terjadi pembantaian terhadap kaum komunis (PKI) yang secara moral dan material didukung oleh AS. Demikian pula ketika Soeharto dan Angkatan Darat muncul sebagai kekuatan baru yang berhasil menekan Presiden Soekarno, AS mulai menawarkan berbagai bantuan kepada “pemerintahan baru” itu untuk pemulihan keadaan Indonesia yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Tawaran AS ini disambut dengan tangan terbuka oleh Soeharto dan para pendukungnya.

Dengan melihat peran utama Soeharto dalam penumpasan PKI di Indonesia, hingga diangkat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) sekaligus Menteri/Panglima Angkatan Darat, juga dukungan penuh AS di belakangnya, menunjukkan pada kita bahwa tujuan kampanye anti komunis Soeharto dan kaum orbais adalah pertama, pembantaian ’65 dipakai alat untuk meraih kekuasaan Soeharto. Kedua, konspirasi politik internasional, khususnya AS untuk menggulingkan kekuatan kiri di Indonesia yang anti imperialis. Ketiga, kepentingan AS dan kapitalis Barat untuk merebut sumberdaya alam yang melimpah di Indonesia pasca pembantaian 65.

 

Catatan Akhir

Dampak dari kepicikan cara berpikir yang ditanamkan ke dalam kesadaran rakyat Indonesia oleh rezim orba begitu mengerikan, sehingga penolakan kaos bergambar palu arit dan hal-hal sepele lainnya menjadi lebih penting ketimbang perjuangan penderitaan yang dihadapi rakyat itu sendiri. Padahal justru partai berlambang pali arit itu lah yang memelopori pengorganisasian kekuatan buruh dan menjadi garda depan melawan Belanda di masa awal perjuangan kemerdekaan. Ketika Muhammadiyah berdiri pada 1912 untuk menghalau laju gerakan Kristenisasi yang dilakukan oleh kaum penginjil Kristen yang dibawa oleh pihak Belanda, atau NU pada 1926 untuk menjadi anti tesis atas menguatnya semangat purifikasi dan pembaruan yang diusung oleh Muhammadiyah, pada tahun yang sama kaum komunis yang dianggap brutal, bejat, dan amoral oleh kaum orbais hari ini, telah mendirikan partai yang modern hanya untuk satu tujuan: Melawan Belanda. Ini dimungkinkan oleh pemahamannya akan pentingnya politik kelas ketimbang politik identitas.

Apakah kita yang lahir belakangan, yang memulai mengajukan koreksi dan evaluasi cara berpikir kaum orbais yang tak hanya naif, ahistoris (la tarikhiyah), tapi juga brutal tersebut? Bukan. Sekali lagi bukan kita. Apalagi penulis. Tapi Gus Dur sang guru bangsa al alim allamah yang dengan besar hati dan pikiran jernih mengajari bangsa ini untuk bersikap jujur dan adil melihat sejarah bangsanya. Gus Dur telah memulai mengambil prakarsa mengenai pengembalian hak-hak sipil para eks komunis dan keluarga korban pembantaian 1965-1966 dengan mengizinkan para eksil di luar negeri untuk pulang ke tanah air dan secara terbuka meminta maaf terhadap keluarga korban pembantaian 65-66. Beliau juga sangat gigih mempromosikan gagasan pencabutan Tap MPRS No.XXV / MPRS / 1966.[11]

Bangsa ini tak akan sehat sebelum mampu jujur dan melepas beban luka sejarahnya dengan memperjuangkan terwujudnya rekonsiliasi 65 dan mengembalikan hak-hak politik korban dan keluarga korban pembantaian1965-1966. Namun sejak tahun 2006, pemerintahan SBY tidak pernah serius dan abai menjalankan amanat perundang-undangan terkait pembentukan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR). Menurut Amiruddin Al Rahab dari Elsam, produk hukum dan UU yang telah diabaikan itu, antara lain Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, yang mewajibkan pembentukan KKR; UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR; dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.[12] UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mengharuskan KKR terbentuk 5 April 2005.[13] Tanpa rekonsiliasi kita akan terus cacat sebagai bangsa.

Maka sudah menjadi tugas pemuda dan generasi selanjutnya untuk mengambil tongkat estafet perjuangan mengatakan yang benar sebagai benar, menyingkap selubung kepalsuan sejarah Orde Baru dan menyudahi kampanye anti komunisme oleh kaum orbais, agar generasi mendatang tak lagi menanggung beban sejarah dan terus memendam dendam. Itu hanya mungkin kalau keadilan ditegakkan, yaitu diputuskan yang salah sebagai bersalah. Negara harus bertanggung jawab dan meminta maaf pada korban dan keluarga korban karena, sebagaimana diungkapkan oleh Kiai Afifuddin Muhajir (semoga Allah selalu merahmatinya) dalam Halaqah beberapa waktu lalu di Pesantren Nurul Jadid Paiton, “yang dibunuh belum tentu bersalah dan yang membunuh belum tentu benar”.

Berdasarkan laporan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat[14] pada Peristiwa 1965-1966, terdapat sembilan (9) bentuk pelanggaran kemanusiaan yang terjadi, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan dan kerja paksa, pengusiran atau pemindahan paksa, perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, dan penghilangan paksa.

Sayangnya, hingga saat ini banyak pihak yang masih bertahan di posisi kaum orbais dalam melihat PKI, dan Komunis, bahwa sudah sepantasnya kaum komunis untuk terus diburu dan ditumpas sampai kapanpun juga. Bahkan, ketika partai komunis di negeri ini sudah tidak ada. Kaum orbais masih terus menakut-nakuti generasi muda akan bahaya PKI. Seandainya, sekali lagi seandainya, para demagog Orde Baru mau sedikit jujur dan berlaku adil sejak di hati dan pikirannya, maka mereka akan mengatakan: “membunuh dengan alasan yang tak pernah jelas, tidak pernah dibenarkan oleh agama apapun juga, khususnya Islam”. Lebih-lebih, Islam menganjurkan keadilan (al-adalah)[15]karena kata Allah dalam al-Qur’an, keadilan mendekati taqwa dan Islam melarang berlaku sewenang-wenang kepada siapapun dan apapun juga. Namun mengapa kaum orbais justru terus mengajarkan dendam? Semoga Tuhan berkenan membukakan pintu hatinya.

Namun yang jelas bagi pemuda, sebagaimana pesan Soekarno dalam pidato Tahun vivere pericoloso, mestilah menjadi garda depan perubahan dengan mengambil jalan vivere pericoloso, yaitu hidup menyerempet marabahaya. Karena ingat! musim semi akan tiba, hanya jika kita menjemputnya! Wallahu a’lam bi al shawab ***

 

Versi awal tulisan ini pernah disampaikan sebagai pengantar diskusi dalam acara nonton bareng film “Senyap”, 11 Maret 2015 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta.

 

Artikel ini sebelumnya telah di muat di media Islam Bergerak. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

 

————-

[1]Sampai saat ini pihak militer secara rutin mengadakan pertemuan-pertemuan di tingkat kabupaten-kabupaten untuk menggalang dukungan kampanye anti-Komunisme. Mengulangi tuduhan-tuduhan lama sebagaimana semboyan yang dikeluarkan oleh Dinas Militer Kodam VH/Diponegoro “Fitnah Lebih Kejam dari pembunuhan Dan akan lebih kejam lagi bila fitnah diiringi dengan pembunuhan. Namun itulah yang dilakukan oleh PKI terhadap bangsa Indonesia dalam sejarah pertumbuhannya guna mempertahankan dan memperjuangkan tegaknya Negara Proklamasi 17 Agustus l945”.

[2]Secara spesifik penulis telah menanggapi pandangan-pandangan Taufiq Ismail dalam buku tersebut melalui sebuah esai panjang “Memahami Fundamentalisma-Fasisma Taufiq” di tahun 2012 lalu.

[3] Penulis percaya bahwa seandainya cacing lenyap dari muka bumi ini maka akan hancurlah kehidupan di muka bumi. Namun tak pernah bisa percaya, bahkan setitik pun atas  pikiran Taufiq Ismail yang mengatakan bahwa seandainya marxisme lenyap dari muka bumi maka baiklah dunia.

[4]Untuk melihat secara jernih apakah tuduhan PKI sebagai organisasi anti Tuhan perlu kiranya membaca pemikiran tokoh-tokoh utama PKI sejak partai ini didirikan pada 23 Mei 1920. Juga bisa dilacak pada Manuskrip PKI yang ditulis oleh, Busjarie latif – Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920 – 1965), Bandung: Ultimus, 2014.

[5]Tentang persahabatan Amir dengan kawan-kawannya, baik sekali dibaca tulisan sahabatnya dari Partai Masyumi, Dr. Abu Hanifah, “Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifudin” dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae (ed.), Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1981, hlm. 189‐218. Sebagai nostalgia, Abu Hanifah mengenang Amir ketika sama‐sama di asrama Menteng antara tahun 1928‐1931: “Kalau kebetulan waktu ujian, perdebatan tidak ada, dan masing‐masing terus masuk kamar. Di gedung hanya terdengar mahasiswa‐mahasiswa yang masih main billiard atau bridge. Kira‐kira pukul 12 malam, mulai kembali bunyi‐bunyian. Amir Sjarifudin melepaskan capek dengan menggesek biolanya, biasanya ciptaan Schubert atau satu  serenata yang sentimentil. Ini tanda bagi saya buat membalas. Sayapun mengambil biola dan membunyikan lagu‐lagu yang sama. Terdengarlah teriak dari kamar Yamin, bahwa kami harus diam, sebab ia sedang sibuk bekerja. Ia sedang menterjemahkan karangan Rabindranath Tagore yang harus masuk ke Balai Pustaka bulan itu juga. Malahan Amir Sjarifudin bertambah asyik menggesek biolanya, sehingga Yamin berteriak‐teriak, dan kami bersama ketawa terbahak‐bahak”.hlm. 193.

[6]Untuk mengetahui lebih lanjut, kiprah, sumbangsih Soemarsono dalam masa genting mempertahankan kemerdakaan Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan, lih. Harsutejo, Soemarsono, Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 Yang Dilupakan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010.

[7] Karl Marx, Capital, London: J. M. dent and Sons Ltd, 1957, hlm. 846.

[8]Selama pembantain peristiwa1965-1966, para sejarawan memperkirakan setidaknya 500.000 sampai 1 juta nyawa rakyat Indonesia telah terbunuh. Sementara Jenderal Sarwo Edie, komandan RPKAD mengaku korban peristiwa 65 mencapai 3 juta nyawa. Tentang berbagai versi jumlah korban peristiwa pembantaian tersebut, lihat Robert Cribb, “Introduction: in the Historiography of the Killings in Indonesia” dalam Robert Cribb (ed.), The Indonesian Killings 1965 – 1966: Studies from Java and Bali, Melbourne: Centre for Southest Asian Studies, Monash University, 1990, hlm. 12.

[9]Hampir semua pelaku kekerasan atau saksi di akar rumput yang pernah penulis temui tak tahu menahu perihal siapa penggali lubang kubur di kebun atau ladang tebu sesungguhnya. Mereka hanya diberi informasi oleh petugas militer di lapangan yang datang ke tokoh-tokoh agama dan tokoh politik lokal dengan membawa daftar nama tokoh yang hendak dibunuh PKI. Mengenai hal inibisa juga dibaca “tentara, Santri dan Tragedi Kediri” dalam, Pengakuan Algojo 1965, Jakarta: Tempo Publishing, hlm. 10 – 19. Juga lih. Yusuf Hasyim, Killing Komunists, dalam John H Mc Clynn at. al. (ed), Indonesia in The Soeharto Years: Issues, Incidents and Images, untuk melihat lebih jernih bagaimana sikap politik kaum sarungan menyikapi peristiwa 65.

[10]Supersemar yang kemudian diartikan sebagai transfer of authority dari Presiden Soekarno kepada Soeharto dan diimbangi oleh berbagai tindakan politis Soeharto yang dianggap berpihak pada keinginan rakyat banyak, membuat Soeharto berhasil diangkat sebagai Pejabat Presiden RI pada tanggal 12 Maret 1967 melalui Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967. pada tanggal 27 Maret 1968, Jenderal Soeharto dilantik secara resmi sebagai Presiden RI kedua melalui Tap MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968.

[11] Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Jakarta: ELSAM, 2004, hlm. 7.

[12] Kompas, Kamis, 12 Oktober 2006.

[13]Lih. Budiman Tanuredjo, Menanti Respons Istana Soal KKR, Kompas, Kamis 16 Februari 2006. Secara khusus penulis sendiri menulis, “Jalan Terjal Menuju Rekonsiliasi” Makalah diskusi untuk memperingati 48 tahun peristiwa 65 yang mencoba merekam perjalanan rekonsiliasi dan mengenai betapa susahnya membangun jalan Rekonsiliasi 65 di Indonesia. Pihak-pihak yang terlibat, khususnya pelaku dari pihak TNI, selalu menghalang-halangi jalannya proses rekonsiliasi dan pemulihan kehormatan, rehabilitasi, dan pengembalian hak-hak politik korban dan keluarga korban 65.

[14]Mengenai pelanggaran HAM Berat, Lih. Pasal1 ayat (2) UU 26/2000. Pelanggaran HAM Berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara dalam Pasal 9 UU 26/2000, secara spesifik dan terinci yang dimaksud dengan pelanggaran HAM Berat adalah: salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara  sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan; g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai halyang dilarang menurut hukum internasional; i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid.

[15]Konsep keadilan dalam perspektif Alquran dapat dilihat pada penggunaan lafadz adil dalam berbagai bentuk dan perubahannya. Muhammad Fuad Abdul Baqiy dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz, mengemukakan bahwa Lafadz adil dalam Alquran disebutkan sebanyak 28 kali yang terdapat pada 28 ayat dalam 11 surah. Lihat Muhammad Fuad Abdul Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz Alquran, Indonesia: Maktabah Dakhlan, 1939, hlm. 569-570. Lafadz al-‘adlu sendiri merupakan sebuah konsep yang mengandung beberapa makna, di antaranya, oleh al-Baidhawi yang dikutip oleh Abd. Muin Salim menyatakan bahwa al-Adl bermakna al-inshaf wa al-sawiyyat artinya: berada di pertengahan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.