Kritik Terhadap Narasi Politik Gerakan Pelajar (Bagian 2)

Print Friendly, PDF & Email

Balasan untuk Arif Novianto

 

SEBAGAI institusi, pendidikan telah ditakdirkan untuk selalu korup dan degradatif. Bahwa universitas atau sekolah tidak lebih dari sumber penyakit di masa depan. Pesimisme semacam ini tentu dapat dibenarkan jika kita melihat betapa derasnya kritik terhadap pendidikan, terlebih khusus perguruan tinggi dan kondisi menyedihkan di berbagai universitas sebagai efek langsung dari kapitalisasi pendidikan.

Antonio Gramsci, dalam Prison Notebooks menegaskan bahwa hegemoni kultural diproduksi, disebarluaskan dan dijaga keberlangsungnya melalui aparatus negara, termasuk tentunya institusi pendidikan semacam universitas dan sekolah. Michel Foucault dari Prancis juga mengkritik institusi pendidikan dalam Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Kritik yang menyasar institusi pendidikan juga ditulis oleh Raoul Vaneigem dalam pamfletnya berjudul A Warning of to Students of All Ages. Lalu masih ada intelektual seperti Henry Giroux dengan University in Chains: Confronting the Military-Industrial-Academic Complex, atau Alex Callinicos yang menulis Universities in a Neoliberal World, keduanya juga menyerang institusi pendidikan. Hanya untuk menyebut beberapa, karena daftar ini akan menjadi sangat panjang.

Namun dari hasil pembacaan terhadap sebagian kecil kritik di atas, saya tidak menemukan poin yang mengampanyekan atau mengadvokasikan aksi untuk meninggalkan lembaga pendidikan, lebih khusus universitas sebagai solusi. Sebaliknya, hasil dari pembacaan terhadap kritik-kritik tersebut justru membenarkan pembacaan tentang transformasi nilai dan posisi universitas dalam kapitalisme kontemporer dan siasat untuk menginterupsi sirkulasi akumulasi kapital dalam institusi pendidikan.

Di tulisan terdahulu[1] saya telah menggarisbawahi hal tersebut. Bahwa ketika universitas berubah menjadi pabrik, maka merebut dan menciptakan ruang-ruang untuk dibebaskan secara berkala (temporary liberated zones) menjadi penting.[2] Pemutaran film, diskusi publik, bedah buku atau pameran, adalah beberapa jenis taktik pembebasan ruang yang memiliki batas waktu dan batas ruang di tengah kondisi institusi pendidikan yang represif dan iklim politik yang buruk di kalangan pelajar. Itu mengapa mau tidak mau, lapangan konfrontasi dalam pembebasan ruang-ruang politik tersebut tidak bisa dialihkan ke luar lingkungan kampus. Konflik asimetris di dalam kampus antara pelaku komersialisasi pendidikan dan gerakan pelajar, tidak dapat dimutasikan ke luar area di mana pusat masalah itu berakar.

Itu mengapa, saya menggarisbawahi pentingnya pengambilalihan kampus oleh gerakan pelajar. Sesuatu yang kemudian dibaca sebagai upaya untuk mengadvokasikan sikap sektarian gerakan oleh Novianto.[3] Untuk mencapai pemahaman tersebut, gerakan pelajar tidak hanya perlu membersihkan dirinya dari anasir-anasir borjuis yang menyertainya,[4] namun juga mensyaratkan pembacaan yang holistik atas narasi politik gerakan pelajar. Untuk kritik terhadap narasi politik tersebutlah, tulisan berikut ini didedikasikan.

 

Tentang Kondisi Internal Organisasi Gerakan Pelajar

Adalah benar bahwa sebuah gerakan revolusioner mestilah melampaui batasan-batasan sektoral, jenis kelamin dan orientasi seksual dan keyakinan spiritual. Namun yang menjadi persoalan, adalah landasan di balik persatuan tersebut dan bagaimana proses pembentukannya. Ini adalah inti yang tidak bisa diingkari oleh setiap kelompok gerakan yang menempatkan kapitalisme sebagai musuh yang harus ditumbangkan –termasuk gerakan pelajar.

Dalam internal gerakan pelajar, menuju pembentukan front revolusioner tersebut, akan sulit tercapai jika subjek-subjek di dalam gerakan itu sendiri adalah mereka yang pasif dan belum menemukan kejelasan mengenai posisi antagonistik mereka secara individual dengan neoliberalisme. Radikalisasi menjadi subjek revolusioner seperti yang dijelaskan oleh Guattari.

Felix Guattari, psikiatris radikal, filsuf sekaligus seorang militan revolusioner, menjelaskan bahwa sebuah organisasi revolusioner haruslah mampu mendorong setiap orang untuk mampu mengartikulasikan frustasi akan represi dan hasrat pembebasannya sendiri.[5] Tentang bagaimana seseorang menjadikan perlawanan sebagai bagian integral dalam dirinya. Pandangan ini menolak bentuk organisasi yang menempatkan diri sebagai representasi sah akan individu-individu di dalamnya sehingga berujung pada pendiktean yang kaku dan sudah barang tentu tidak membebaskan. Problem ini bukan hanya sekedar persoalan rumusan strategi taktik semata, namun dalam analisanya Guattari menemukan bahwa akar masalahnya terletak pada sikap dan relasi antar individu dalam kelompok serta sikap dan relasi antar kelompok dengan kelompok lain yang disebutnya sebagai ketidaksadaran sosial alamiah (social nature of unconscious).

Dalam The Machinic Unconscious, Guattari memulainya dengan menempatkan ketidaksadaran di dalam ruang sosial temporer yang menggambarkan masa depan sebagai sebuah layar kemungkinan yang berkebalikan atau bertentangan dengan masa lalu yang tersedimentasi dan termaterialisasi. Yang kemudian membuka kemungkinan untuk dilakukannya rekonstruksi melalui pelafalan-pelafalan dan tindakan-tindakan de-teritorialisasi bersamaan dengan vektor-vektor bio-sosial-politik yang tampak dan memiliki potensi-potensi yang sudah dimilikinya (potentialities already becoming). Guattari menuliskan bahwa

“. . . the unconscious works inside individuals in their manner of perceiving the world and living their body, territory, and sex, as well as inside the couple, the family, school, neighborhood, factories, socius, and universities . . . In other words, not simply an unconscious of the specialists of the unconscious, not simply an unconscious crystallized in the past, congealed in an institutionalized discourse, but, on the contrary, an unconscious turned towards the future whose screen would be none other than the possible itself, the possible as hypersensitive to language, but also the possible hypersensitive to touch, hypersensitive to the socius, hypersensitive to the cosmos . . . Then why stick this label of “machinic unconscious” onto it? Simply to stress that it is populated not only with images and words, but also with all kinds of machinisms that lead it to produce and reproduce these images and words.”[6]

Penjelasan di atas terkait dengan argumentasi bahwa ada dua jenis kelompok yang memiliki sifat yang berkebalikan dalam pandangan Guattari, yang muncul lebih awal dalam teksnya berjudul Molecular Revolution.[7] Yang pertama disebut sebagai kelompok yang ditaklukkan (Subjugated Group), yaitu suatu jenis kelompok yang mengalami ketergantungan dengan kelompok lain. Ketergantungan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, eksisnya watak inferior yang memandang kelompok lain jauh lebih superior dan determinan terhadap dirinya sehingga berhak menentukan gerak dan sikap yang diekspresikan. Hal yang kedua, adanya intervensi aktif hirarkis yang datang dari kelompok determinan dan mengeksploitasi sekaligus membatasi kelompok yang dipengaruhi untuk dapat mampu bergerak secara otonom. Ketidakmampuan untuk membatasi pergerakan subyek secara otonom dikelola dengan cara memelihara feodalisme bentuk-bentuk dan aturan-aturan organisasional yang disertai pendisiplinan dan penghukuman dengan karakter militeristik.

Hal ini tampak jelas misalnya dalam penyelenggaraan orientasi di kampus-kampus ketika tahun ajaran akademik dimulai. Setiap pelajar diharuskan melewati serangkaian fase inisiasi yang menyakitkan secara fisik dan mental di bawah kontrol kelompok yang memposisikan dirinya jauh lebih berkuasa. Fase inisiasi ini ditujukan untuk menciptakan trauma yang kemudian berpengaruh pada ketersediaan ruang mental untuk mengkondisikan kepasifan seseorang. Inisiasi ini secara langsung membatasi dan secara tidak langsung membatasi potensi dan energi kreatif seorang individu ke dalam kanal-kanal resmi yang telah disediakan dan dianggap legal oleh kelompok determinan.

Ekslusifitas dan hak untuk melakukan diskriminasi yang dimiliki oleh kelompok determinan mengakibatkan kelompok yang direpresi untuk kemudian mereplikasi bentuk dan nilai yang sama kepada mereka yang dianggap lebih lemah. Hal ini kemudian menciptakan lingkaran ketertundukan yang tidak berujung, termasuk di dalam internal gerakan pelajar itu sendiri. Inilah asal muasal karakter parasitisme yang berkembang, di mana seseorang atau sebuah kelompok membangun dominasinya melalui penciptaan situasi teror dan pencurian terhadap hasil-hasil kerja produktif. Hal ini meresap sebagai nilai kelompok yang kemudian diartikulasi secara individual oleh setiap anggotanya dalam manifestasi pola pikir, pola sikap dan pola tutur.

Sementara kelompok kedua yang dimaksud oleh Guattari, adalah kelompok subyek (subject group). Karakternya yang berkebalikan dengan kelompok pertama, tampak melalui pembukaan ruang-ruang inisiatif yang otonom antar individu atau kelompok terhadap ketidakterbatasan (infinitude). Konsekuensi dari ketidakterbatasan ini adalah lahirnya pola-pola interaksi dan relasi yang baru, tawaran dan inisiatif yang aktual dan mempersempit ruang ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang menjadi penghalang.

Mencapai bentuk kelompok subjek hanya dapat dilakukan ketika individu-individu di dalam sebuah organisasi menolak untuk menjadi agen-agen yang mereplikasi, mereproduksi dan mendistribusikan tatanan nilai penegas keberlangsungan kekuasaan penindas. Dalam gerakan pelajar, hal ini termasuk menolak spekulasi-spekulasi ceroboh, pembenaran-pembenaran apologetik dan dogmatisme yang sempat saya singgung dahulu dalam artikel untuk menanggapi Arjuna Putra Aldino dan Arif Novianto.[8]

 

Perebutan dan Transformasi Ruang Sebagai Narasi Politik

Selayaknya para pekerja yang memulai ruang perjuangannya dari dalam pabrik, para pelajar juga semestinya menjadikan kampus sebagai zona yang harus direbut dan dibebaskan. Perebutan dan pengambilalihan kampus adalah prasyarat yang tidak bisa dinegasikan karena memiliki titik urgensi dalam dinamika gerakan pelajar itu sendiri. Sebabnya, institusi pendidikan adalah pabrik di mana nilai-nilai pengetahuan diproduksi dan ikut bertanggungjawab memapankan nilai-nilai sosial yang melanggengkan penindasan. Inilah seharusnya yang menjadi narasi politik gerakan pelajar sebagai titik pijakan untuk membangun aliansi politik yang revolusioner dengan kelompok tertindas lain.

Pengambilalihan kampus dalam berbagai bentuk dan level yang ditempuh, merupakan tindakan meradikalisasi internal gerakan pelajar itu sendiri. Pengambilalihan ini mesti disegerakan dan disertai dengan penolakan atas nilai-nilai yang merepresentasikan dominasi kelompok pemilik institusi pendidikan sebelumnya, yaitu modal dan aparatur ideologi. Sembari di saat yang bersamaan mengkreasikan dan pembukaan kemungkinan untuk membentuk nilai-nilai baru yang menegasikan sepenuhnya tatanan norma yang lama. Pengambilalihan dan penegasian kuasa nilai tidak bisa dilakukan tahap demi tahap, sebab ia akan merekuperasi gerakan revolusioner menjadi reformis dan normatif.[9] Satu rangkaian hentakan yang dilakukan secara kontinyu dan masif.

Lalu bagaimana merebut dan mentransformasikan ruang di dalam institusi pendidikan yang korup, hirarkis dan represif?

Gerakan pelajar di soal ini mesti, sekali lagi, mengambil inspirasinya dari sejarah panjang jatuh bangun gerakan pekerja. Perebutan ruang mestilah dipahami lebih luas dari sekedar pengambilalihan jabatan-jabatan struktural dalam institusi pendidikan, seperti yang selama ini dianggap benar. Bahwa keberadaan struktur Badan Eksekutif Mahasiswa, Majelis Permusyarawatan Mahasiswa atau Senat Mahasiswa, tidaklah memiliki nilai (bahkan dalam tataran normatif sekalipun) revolusioner. Sebaliknya yang harus dilakukan adalah mengorganisir frustasi dan memanfaatkan degradasi peran dan fungsi normatif badan-badan representasi legal untuk aspirasi politik pelajar, di kalangan massa pelajar itu sendiri. Hasil pengorganisiran dari frustasi-frustasi tersebut kemudian diartikulasikan dalam proyek-proyek alternatif yang otonom dengan karakter yang didasarkan pada ko-operasi (cooperatives). Artikulasi tersebut adalah laboratorium untuk mengujicobakan sekaligus mengilmiahkan bentuk-bentuk yang dipandang sebagai embrio dari kerja-kerja revolusioner di lapangan yang lebih luas (lintas sektor). Ujicoba tersebut harus melibatkan seluruh ragam kelompok dalam kampus yang memiliki frustasi terhadap represi kognitif dan kapitalisasi hasil-hasil kerja imaterial di dalam institusi pendidikan.

Eksperimentasi dan pengilmiahan dalam proyek-proyek ko-operatif tersebut bertugas untuk melacak dan memberikan hasil investigasi mengenai capaian dari upaya internal gerakan pelajar membersihkan dirinya dari anasir-anasir borjuisme. Landasan material yang dihasilkan dari ujicoba tersebut itulah yang seharusnya digunakan sebagai kompas untuk menemukan batu penjuru materialisme dialektika dan dialektika historis gerakan pelajar. Kerja-kerja ini adalah bentuk kerja imaterial yang -sekali lagi-, menghasilkan relasi sosial sebagai produk.[10]

Kerja-kerja ilmiah revolusioner dengan sistem ko-operatif bertujuan menginterupsi dan menghalau cara produksi dan distribusi pengetahuan yang lama untuk kemudian menggantikannya dengan cara produksi dan distribusi yang baru. Metode ini dapat diterapkan dalam kelompok-kelompok berukuran kecil (mikro) yang mengesksperimentasikan otonominya dalam bentuk-bentuk yang khas (particular) untuk kemudian kemudian menghubungkan dirinya satu dengan yang lain untuk melampaui batasan-batasan geografis. Kelompok-kelompok inilah yang akan menjadi subjek mikro politik dalam bentuk komunisme ventura.[11] Inilah bentuk kerja-kerja imaterial (kognitif) oleh gerakan pelajar yang akan menghindarkan dirinya untuk sekedar terjebak dalam glorifikasi mengenai narasi-narasi besar tetapi tidak menyadari bahwa landasan gerak dan pikirnya bertumpu pada idealisme dan ketertundukan terhadap tatanan nilai dominan.***

 

Penulis adalah editor IndoPROGRESS

———-

[1] Andre Barahamin, “Menolak Memori dan Romantika: Proposal Awal Tentang Otonomi Kognitif untuk Skema Perebutan Ruang dalam Institusi Pendidikan” Harian IndoPROGRESS, 6 April 2015, diakses 22 April 2015. https://indoprogress.com/2015/04/menolak-memori-dan-romantika-proposal-awal-tentang-otonomi-kognitif-untuk-skema-perebutan-ruang-dalam-institusi-pendidikan/

[2] Temporary liberated zones adalah terma yang digunakan untuk menjelaskan upaya-upaya interuptif yang membebaskan di tengah situasi yang represif. Awalnya, pembebasan ruang-ruang tersebut tercipta dalam rentang waktu dan zona geografi yang terbatas. Semacam terapi kejut yang dilakukan berkali-kali di berbagai titik, sebelum kemudian meluas dan menciptakan ruang-ruang bebas (liberated zones) yang permanen.

[3] Arif Novianto, “Menolak Paham Sesat Lokalitas Gerakan: Mengaitkan Kembali Memori Akar Sejarah Pergerakan Mahasiswa di Indonesia”, Harian IndoPROGRESS. 13 April 2015, diakses 22 April 2015. https://indoprogress.com/2015/04/menolak-paham-sesat-lokalitas-gerakan-mengaitkan-kembali-memori-akar-sejarah-pergerakan-mahasiswa-di-indonesia/

[4] Andre Barahamin, “Tentang Idealisme dan Tanggapan Yang Salah Tanggap”. Harian IndoPROGRESS. 27 April 2015, diakses 27 April 2015. https://indoprogress.com/2015/04/tentang-idealisme-dan-tanggapan-yang-salah-tanggap-bagian-1/

[5] Felix Guattari, The Machinic Unconscious: Essays in Schizoanalysis. terj. Taylor Adkins (Los Angeles: Semiotext[e], 2011)

[6] Guattari, loc.cit hal.10

[7] Felix Guattari, Molecular Revolution: Psychiatry and Politics. terj. Rosemary Sheed (London: Penguin, 1984)

[8] Barahamin, “Menolak Memori dan Romatika”, Harian IndoPROGRESS. 13 April 2015

[9] Mario Tronti, “The Strategy of Refusal” dalam Autonomia: Post-Political Politics. eds. Sylvere Lontringer dan Christian Marazzi (Los Angeles: Semiotext[e], 2007)

[10] Saya menyarankan agar diskusi mengenai bentuk-bentuk kerja immaterial dan perbedaannya dengan bentuk-bentuk kerja material harus benar-benar diseriusi oleh gerakan pelajar. Sebab tampak jelas dalam bantahannya, Novianto tidak mengerti soal ini. Lebih lanjut silahkan baca Maurizio Lazzarato, “Immaterial Labour”, terj. Paul Collili dan Ed Emory, hal. 132-146, dalam Radical Thought in Italy, (eds). Paolo Virno dan Michael Hardt (Minneapolis: University of Minnesota, 1996)

[11] Dimitry Kleiner The Telekomunist Manifesto, Network Notebooks 03 (Amsterdam: Institute of Network Cultures, 2010).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.