Tentang Idealisme dan Tanggapan Yang Salah Tanggap (Bagian 1)

Print Friendly, PDF & Email

Balasan untuk Arif Novianto

 

MUSTAPHA Khayati bersama mahasiswa-mahasiswa radikal di universitas Strasbourg, menulis pembukaan pamflet Kemiskinan Pelajar dengan begitu heroik, bahwa untuk “membuat sesuatu yang memalukan menjadi lebih memalukan lagi, adalah dengan cara mempublikasikannya”. Pamflet ini memberikan kritik pedas terkait kondisi gerakan pelajar di Prancis pra-1968 dengan menyoroti aspek “keterputusan pelajar dari kenyataan historis, sosial dan individual”.[1] Problem hampir serupa yang kurang lebih kini sedang dihadapi gerakan pelajar di Indonesia. Namun sebagian besar kritik terhadap gerakan pelajar yang tampil di IndoPROGRESS sejauh ini, belum mampu keluar dari problem moralistik. Jebakan moralis ini akhirnya membuat kritik dan polemik mengenai gerakan pelajar belum mampu mengatasi kecacatan berpikir yang akarnya, adalah ketidakberpunyaan perangkat filsafat yang ilmiah.

Itu mengapa setelah usai membaca saya menilai bahwa tanggapan Novianto mengandung kecacatan berpikir yang mendemonstrasikan keterputusan yang dimaksud Khayati di atas.

Di paragraf pertama, misalnya, Novianto secara prematur langsung menghakimi bahwa saya sedang mengadvokasikan sikap untuk mengacuhkan sejarah.[2] Pendapat jungkir balik ini merupakan pembukaan yang buruk untuk rentetan argumen berikutnya dalam keseluruhan artikel tersebut. Tulisan yang ternyata kembali mengulangi kesesatan yang juga muncul dalam artikel Novianto sebelumnya.[3] Novianto jelas tidak membaca secara teliti artikel saya.[4] Karena jika ia melakukannya, dapat dengan mudah ditemukan di bagian awal, penjelasan yang menegaskan posisi dan tujuan tulisan tersebut.[5]

Menghindar dari pembabakan sejarah yang naif dan spekulatif –seperti yang dipertontonkan Novianto– bukan sikap anti-sejarah. Sebaliknya, itu adalah bentuk ketegasan sikap intelektual sekaligus posisi politik saya untuk menolak idealisme yang mengemuka dalam kenaifan dan argumen-argumen spekulatif ala Novianto yang dibungkus dengan label sejarah. Saya meyakini bahwa sudah sepatutnya tidak ada toleransi terhadap perilaku yang tidak ilmiah seperti yang digunakan oleh Novianto dalam tulisannya yang penuh dengan tuduhan-tuduhan sepihak yang tidak jelas asal usulnya.[6]

Idealisme yang bercampur dengan ketidakilmiahan, akhirnya menjebak Novianto untuk dengan mudah menyatakan bahwa saya sedang mengadvokasikan ‘lokalitas’[7] gerakan pelajar yang sudah barang tentu sektarian. Argumentasi idealistik –dengan terma yang dipungut serampangan, kemudian berupaya ditutupi dengan meminjam Lenin, Gramsci dan Mandel. Alih-alih menjabarkan peta permasalahan, tulisan Novianto justru menggambarkan kebingungan yang ditempeli dengan apologi-apologi eskapik.

Tanggapan ini akan ditugaskan memeriksa basis pikir yang diajukan oleh Novianto untuk kemudian –sekali lagi– dibenturkan dalam bentuk kritik. Tulisan ini merupakan anti-tesis dan berkarakter antagonistik terhadap perayaan-perayaan idealisme Novianto –maupun keseluruhan analisis serupa– tentang posisi gerakan pelajar. Karena mengingat pentingnya debat ini, saya akan membagi tulisan ini ke dalam beberapa bagian. Bagian pertama tulisan ini hanya akan membahas semangat idealisme Novianto yang juga dikandung dan tumbuh di tengah gerakan pelajar di Indonesia.

 

Gagal Salto ala Novianto

Tanggapan Novianto terhadap tulisan saya adalah sebuah ketergesa-gesaan.

Aksi tanpa perhitungan yang didorong spirit idealisme. Tindakan yang akhirnya mendorong penulisnya jatuh dalam misinterpretasi atas teks. Idealisme Novianto membuat dirinya tiba pada kesimpulan yang terpenggal-penggal atas tulisan saya. Ia memulai ketersesatannya dalam labirin idealisme dengan menyepakati argumentasi saya bahwa penting ‘… untuk mendorong kajian-kajian ilmiah terhadap gerakan mahasiswa’. Namun di saat yang bersamaan tidak mampu menyadari bahwa hal tersebut mustahil terjadi jika tidak ada pembersihan terhadap idealisme di tengah gerakan pelajar. Kerja-kerja revolusioner yang ilmiah adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan ketika penyakit borjuis –yaitu idealisme– masih menjadi tulang punggung filsafat para aktifis pelajar.

Novianto sejak awal telah gagal melihat bahwa memori dan romantika adalah adalah sumber kemunduran gerakan pelajar hari ini.[8] Keduanya tanpa disadari telah merekuperasi pengetahuan sejarah dan materialisme (histomat), yang akibatnya misal tampak pada pengambilan kesimpulan, taktik dan strategi secara prematur, analisa sejarah yang spekulatif dan pembacaan ekonomi-politik yang dogmatis dan tidak ilmiah. Akibat-akibat itu muncul dan saya temukan dalam tulisan Aldino dan Novianto. Akibat-akibat yang sama juga kemudian akhirnya mendorong lahirnya tanggapan keras dari saya. Respon tersebut adalah cara untuk menelanjangi dan membongkar idealisme kedua penulis sekaligus memberikan tawaran taktik yang disertai dengan alasan-alasan penjelas.

Namun keinginan luhur Novianto untuk terus meyakinkan diri –sekaligus mewakili mereka yang sependapat dengannya– bahwa memori dan romantika adalah sesuatu yang tepat dibutuhkan oleh gerakan pelajar, mendorong dirinya kemudian tampil membela pendekatan idealistik secara membabi buta. Kali ini untuk membenarkan diri, Novianto secara sengaja bersembunyi di balik gagasan-gagasan semacam Blok Historis dan Organisasi Revolusioner. Alih-alih menolong, hal tersebut justru makin mengekspos betapa idealisme –yang merupakan puncak dari filsafat borjuis– sukses meracuni para aktifis pelajar hingga membuat analisa yang diproduksi kemudian dalam posisi jungkir balik. Novianto gagal sejak awal untuk menemukan inti dalam tanggapan saya.

Misal dengan penggunaan Kundera untuk membela diri[9], yang tidak lebih dari parodi yang gagal untuk melucu. Novianto secara harafiah mengartikan memori yang dimaksud Kundera persis seperti memori yang menjadi sasaran kritik saya. Novianto sengaja mengacuhkan fakta keras bahwa sebelum melancarkan kritik, saya telah terlebih dahulu mendefinisikan dalam tulisan tersebut apa yang dimaksud dengan memori sebagai target serangan kritik-kritik:

Memori yang dimaksud di sini adalah, aksi-aksi pembiaran – yang tentunya dilakukan secara sengaja, dilakukan oleh setiap orang di dalam gerakan pelajar untuk membiarkan ingatan mengambil peran sebagai basis analisa. Warisan-warisan yang didasarkan pada memori ini kemudian direpetisi dan dalam beberapa kasus mencapai titik absolut, sehingga menutup ruang diskusi kritik lebih lanjut. Peran utama memori menunjukkan bentuknya semisal dalam lemahnya kesadaran untuk melakukan dokumentasi terhadap berbagai arsip kesejarahan gerakan pelajar itu sendiri.

Kita dapat dengan mudah menemukan bahwa hingga hari ini serikat-serikat pelajar di Indonesia tidak memiliki catatan internal organisasi yang dapat dijadikan bahan studi. Segala bentuk perdebatan, kesepakatan dan kritik-otokritik dalam berbagai kelompok pelajar hanya tampil dalam bentuk oral yang cenderung bias. Kelemahan pengarsipan tersebut akhirnya mengurung gerakan pelajar dalam pengulangan-pengulangan yang mengarah kepada dogmatisme dan tentu akhirnya patronisme terhadap tokoh-tokoh tertentu yang dianggap memegang kunci terhadap sebuah iven di masa lalu.[10]

Novianto menarik garis lurus asosiasi bahwa memori adalah sejarah itu sendiri. Sehingga ia bisa menarik kesimpulan bahwa “… rakyat Indonesia terputus dari memori yang menjadi sumber semangat perjuangan ‘menyelesaikan revolusi nasional Indonesia’ yang telah mengalami pergulatan selama 300 tahun dan terbentuk selama tahun 1912-1965.”[11]

Penyakit idealisme berselimutkan slogan dan rekuperasi narasi-narasi radikal seperti yang diidap Novianto, bukanlah hal yang baru. Di Prancis, hal yang sama pernah muncul ketika Alexandre Kojeve mengampu kuliah di Ecole des Hautes Etudes di Paris, di rentang tahun 1933-1939. Kojeve dalam kuliah-kuliahnya, secara implisit mengkampanyekan pemahaman bahwa Marxisme adalah konsekuensi logis dari Hegelianisme.[12] Secara sederhana dapat diartikan bahwa, bagi Kojeve masyarakat komunisme dapat dicapai –melalui Hegel– ketika pada terciptanya sebuah Negara Universal yang homogen, yang di dalamnya telah berhasil mendamaikan pertentangan kelas dan alienasi.

Kojeve dalam bentuknya yang lebih kacau dan serampangan, hadir dalam advokasi Novianto yang berpendapat bahwa ‘[g]erakan mahasiswa saat ini perlu memahami bahwa ia tidak bertujuan untuk menciptakan sesuatu yang baru’.[13] Hal ini lebih kurang mungkin dapat digunakan untuk menimbang alasan mengapa aksi-aksi gerakan pelajar tidak kreatif, membosankan serta repetitif secara taktis. Dalam level strategis, hal tersebut dapat juga digunakan untuk menjelaskan keyakinan Novianto yang berpendapat bahwa ‘melakukan pembabakan gerakan sejarah mahasiswa Indonesia dari masa ke masa’[14] secara asal-asalan, dipenuhi dengan tuduhan-tuduhan yang tidak ilmiah[15] adalah cara menemukan akar sejarah(?).

Sebagai seorang penanggap, Novianto justru mengajukan diri sebagai bukti hidup lain dari aktifis pelajar yang mengidap methodical myopia.[16] Yang landasan berpikirnya dibangun di atas histomat idealisme yang telah saya jelaskan.[17]

 

Idealisme Gerakan Pelajar

Idealisme Novianto di atas, merefleksikan apa yang juga tengah berkembang di gerakan pelajar di Indonesia. Idealisme yang kemudian menjadi batasan yang gagal dilampaui gerakan pelajar. Menyesatkan dan merusak.

Kerusakannya dapat ditelusuri dengan fragmentasi di tengah berbagai kelompok pelajar yang saling memandang dirinya tidak terhubung antar satu dengan yang lainnya. Dengan mudah kita dapat mengambil contoh bagaimana gerakan LGBTQ di kampus tidak terkoneksi dengan gerakan pecinta lingkungan. Bagaimana lingkar studi yang membicarakan soal pluralisme gagal bertemu dengan mereka yang mendiskusikan soal penelitian transformatif. Juga pers kampus yang belum bergandeng tangan dengan kelompok musik alternatif atau kelompok budaya tanding (kontra-kultur).

Peta kelompok-kelompok pelajar hari ini serupa para militan naif pengejar surga yang menganggap dirinya paling benar, sementara yang lain: salah!

Masing-masing kelompok ini percaya, yakin, menghidupi dan berkembang di atas pondasi puncak filsafat borjuis, yaitu idealisme. Tiap-tiap kelompok di lingkungan kampus memandang dirinya adalah representasi yang paling sah dari generasi yang menolak tunduk pada dekadensi generasi sebelumnya. Berebut pengaruh layaknya peliharaan korban domestikasi.[18] Tiap kelompok menenggak ilusi bahwa mereka adalah yang paling radikal atau paling progresif, namun ternyata tidak lebih tolol antara satu dengan yang lainnya. Rapuh dan lemahnya upaya membangun front lintas kelompok pelajar di dalam sebuah kampus, tidak lain karena para aktifis pelajar impoten untuk memerangi wabah idealisme. Filsafat borjuis ini sukses merasuki gerakan pelajar dan membuat masing-masing hidup dalam dogma, saling menuduh dengan intrik, serta terlalu pengecut untuk berdebat secara terbuka, demokratis dan ilmiah.

Itu mengapa dalam tulisan sebelumnya, saya mengambil posisi untuk menimpakan kesalahan berubahnya kampus sebagai tukang stempel korporasi[19] kepada gerakan pelajar.[20]

Para aktifis pelajar enggan mengakui bahwa gurita idealisme telah meracuni cara pikir, cara bicara dan cara bertindak mereka. Hal tersebut dibuktikan dengan gagalnya para aktifis pelajar menginterupsi ekspansi kapitalisme global di dalam kampus. Pengepungan UGM oleh masyarakat Rembang, berbagai pelarangan aktifitas memutar film Senyap di dalam kampus, hanya sedikit bukti bagaimana gerakan pelajar sebenarnya gagal secara memalukan di dalam kampus. Kegagalan menginterupsi kapitalisme kognitif di dalam kampus, karena gagal mengorganisasikan diri dengan baik. Gagal mengorganisasikan diri dengan baik karena gagal menemukan pegangan berpikir yang tepat. Kegagalan-kegagalan ini kemudian bercampur dengan keengganan untuk melakukan oto-kritik secara radikal dan holistik. Peranakan keduanya adalah semangat yang mendorong para aktifis pelajar untuk berupaya mencari pelipur lara revolusi di luar institusi pendidikan. Delusi ini membuat banyak aktifis pelajar tidak menyadari bahwa mereka sedang mengekspor wabah bernama idealisme yang dibungkus dengan label heroik: bunuh diri kelas!

Dan kita menemukan hari ini bahwa gerakan pelajar justru tidak berkontribusi dalam gerakan rakyat secara maksimal. Dalam beberapa kasus, justru menjadi biang kerok perpecahan di gerakan rakyat. Sebabnya tentu jelas: landasan taktis dan strategis gerakan pelajar bernafaskan idealisme.

Idealisme membuat gerakan pelajar juga belum mampu menyelesaikan berbagai problem banal menyoal dikotomi di sekitar geliat politiknya. Persoalan tentang organisasi ekstra dan/atau organisasi ekstra. Mengenai mana yang lebih penting: kemampuan orasi di atas mobil pick up atau kemampuan menerjemahkan dengan baik. Tentang mana yang lebih revolusioner: mendesain sampul buku untuk Marjin Kiri dan Ultimus atau melempar molotov di jalanan. Soal siapa yang lebih progresif: para penulis di Mojok.Co atau mereka yang menulis di IndoPROGRESS. Atau debat soal mana yang lebih penting: demonstrasi atau pengarsipan.

Soal-soal di atas tidak akan mungkin bisa ditemukan jawabannya bila, idealisme adalah pegangan filsafat gerakan pelajar. Itu mengapa, kritikan terhadap internal gerakan pelajar seharusnya tidak berputar-putar di lapis permukaan. Ia mesti menukik ke dalam dan menyasar pondasi di mana kegamangan-kegamangan itu bertumpu. Dan tugas tersebut mau tidak mau diemban oleh para aktifis pelajar itu sendiri. Sebab seperti yang telah saya ingatkan sebelumnya bahwa garis depan peperangan gerakan pelajar adalah kampus itu sendiri. Dan dalam perang, para pengecut adalah mereka yang lari meninggalkan pos pertahanan tanpa sekuat tenaga mempertahankannya.

Artinya, jika pembersihan dan pelucutan total terhadap idealisme ini berhasil, gerakan pelajar setidaknya telah selangkah lebih maju untuk menjadi revolusioner.***

 

Penulis adalah editor IndoPROGRESS

 

———-

[1] Mustapha Khayati, “Tentang Kemiskinan Hidup Mahasiswa”, Pustaka Situasionis Internasional, 2 Oktober 2013, diakses 13 April 2015. http://situasionis-internasional.blogspot.com/2013/10/obsessed.html

[2] Arif Novianto, “Menolak Paham Sesat Lokalitas Gerakan: Mengaitkan Kembali Memori Akar Sejarah Pergerakan Mahasiswa di Indonesia”, Harian IndoPROGRESS, 13 April 2015, diakses 13 April 2015, https://indoprogress.com/2015/04/menolak-paham-sesat-lokalitas-gerakan-mengaitkan-kembali-memori-akar-sejarah-pergerakan-mahasiswa-di-indonesia/

[3] Arif Novianto, “Kemana Arah Gerakan Mahasiswa Sekarang?: Dar Refleksi Menuju Aksi”, Harian IndoPROGRESS, 25 Maret 2015, diakses 13 April 2015. https://indoprogress.com/2015/03/kemana-arah-gerakan-mahasiswa-sekarang-dari-refleksi-menuju-aksi/ nyagulatan Indonesia hari ini ng rang-dari-refleksi-menuju-aksi/i-pendidikan

[4] Andre Barahamin, “Menolak Memori dan Romantika: Proposal Awal Tentang Otonomi Kognitif untuk Skema Perebutan Ruang dalam Institusi Pendidikan”, Harian IndoPROGRESS, 6 April 2015, diakses 13 April 2015, https://indoprogress.com/2015/04/menolak-memori-dan-romantika-proposal-awal-tentang-otonomi-kognitif-untuk-skema-perebutan-ruang-dalam-institusi-pendidikan/

[5] Dalam tanggapan tersebut (di paragraf 1 dan 2), saya dengan jelas menuliskan dua tujuan utama artikel tersebut. Sekaligus batasan yang harus diambil sebagai konsekuensi pilihan dan sikap politik saya sebagai penulis.

[6] Novianto rupanya tidak membaca tulisan saya dengan serius. Di paragraf kedua, saya telah gamblang menjelaskan alasan mengapa saya menolak pendekatan spekulatif Novianto.

[7] Novianto sejak awal bermasalah dalam penggunaan terma. Rujukannya mengenai lokalitas yang dialamatkan untuk membicarakan gerakan pelajar merupakan pengandaian yang buruk, tidak ilmiah dan sudah barang tentu menyesatkan. Hal ini melengkapi gambaran utuh bahwa Novianto sebenarnya tidak paham apa yang sedang ia bicarakan.

[8] Agar para pembaca dapat mengerti apa yang saya maksudnya dengan memori dan romantika, silahkan tengok artikel saya sebelumnya.

[9] Novianto, loc. cit. Paragraf 4, kalimat 2 dan 3

[10] Barahamin loc. cit. Paragraf 5 dan 6

[11] Novianto, loc. cit. Paragraf 4 kalimat 6. Angka 300 tahun yang diajukan Novianto juga merupakan contoh spekulasi lain dalam tulisannya. Angka ini muncul secara misterius tanpa disertai penjelasan apapun. Jika penulisnya mengacu pada gosip 350 tahun penjajahan VOC, maka sudah barang tentu dapat dipahami bahwa pengetahuan sejarah Novianto adalah rongsokan dari masa lalu. Mengingat di kalangan para peminat sejarah hari ini, angka 350 tahun penjajahan Belanda terhadap Hindia telah lama dianggap sebagai bualan romantik yang sama sekali tidak ilmiah.

[12] Kuliah Kojeve ini diikuti oleh beberapa tokoh seperti Merleu-Ponty, Jacques Lacan, Andre Breton dan Georges Bataille. Lebih lanjut silahkan baca: Alexandre Kojeve, Introduction to the Reading of Hegel (Ithaca: Cornel University Press, 1996)

[13] Novianto, loc. cit. Paragraf 3

[14] Ibid

[15] Barahamin, loc. cit. Paragraf 12

[16] Barahamin, loc. cit. Paragraf 9

[17] Barahamin, loc. cit. Paragraf 14

[18] Saya menemukan relasi antara domestikasi peradaban dengan polarisasi idealistik di berbagai kelompok pelajar. Lebih lanjut soal domestikasi, sila baca: Jacques Camatte, Against Domestication, terjemahan dalam bahasa Inggris oleh David Loneragan. http://www.marxists.org/archive/camatte/agdom.htm

[19] Zely Ariane, “Agar Tak Jadi Stempel dan Tukang Stempel Korporasi”, Editorial IndoPROGRESS, 30 Maret 2015, diakses 14 April 2015 https://indoprogress.com/2015/03/agar-tak-jadi-stempel-dan-tukang-stempel-korporasi/

[20] Barahamin, loc. cit. Paragraf 18.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.