Kiai, Oase Gerakan Di Tengah Gurun Ketidakadilan dan Kemiskinan

Print Friendly, PDF & Email

Di TENGAH runtuhnya kepercayaan ummat terhadap para kiai dengan tertangkap tangan-nya K.H. Fuad Amin –Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan, yang di periode sebelumnya menjabat sebagai Bupati Bangkalan– oleh lembaga anti rasuah dalam kasus suap senilai kurang lebih tujuh ratus juta atas proyek gas di Bangkalan, berita tentang Halaqoh kebangsaan (Kompas,30 Maret 2015), dengan tema pesantren dan pemberantasan korupsi, yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dengan peserta para pengasuh pondok pesantren –Kiai– se Jawa Timur, membangkitkan rasa optimisme bagi gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Ternyata para kiai masih tetap mengambil bagian dalam mengawal konslidasi demokrasi di daerah maupun nasional.

Ada lima catatan hasil Halaqoh Kebangsaan di Tebuireng tersebut yang patut dipertimbangkan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Pertama, seluruh penyelenggara negara di semua tingkatan harus menunjukkan komitmennya sebagai pelopor pemberantasan korupsi. Kedua, presiden harus bersikap tegas dalam penanganan urusan korupsi dengan melakukan upaya-upaya politik nyata yang mengarah pada penyamaan persepsi dan penguatan institusi-institusi hukum, seperti Polri, KPK, MA, Kejaksaan, dan penegak hukum lain-nya. Ketiga, presiden harus menolak segala bentuk intervensi politik pihak manapun yang mengarah pada pelemahan dan kriminalisasi (mencari-cari kesalahan) terhadap lembaga maupun pegiat anti korupsi yang berpihak dan memperhatikan aspirasi rakyat. Keempat, mengusulkan hukuman seberat-beratnya, pemiskinan, sanksi sosial bagi koruptor serta menolak pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi mereka. Kelima, mendorong pemerintah dan parlemen untuk memberikan dukungan politik bagi penguatan lembaga anti korupsi.

Lima poin hasil Halaqoh di atas, yang telah dirumuskan oleh para kiai, tentu tidak berangkat dari realitas sosial yang semu. Rumusan rekomendasi di atas muncul atas dasar bahwa oligarki politik dan ekonomi tengah menguat dan memperluas dominasi baik di level daerah maupun nasional. Akibatnya, ummat tidak menjadi prioritas dalam menentukan kebijakan dan hukum hanya menjadi alat untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan.

 

Teladan Gerakan

Berita dan hasil rumusan Halaqoh di atas tentu mengingatkan kita pada semangat anti korupsi sosok alm. KH. Ach. Fawaid As’ad, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Asembagus Situbondo dan seorang putra mediator NU –K.H As’ad Syamsul Arifin– yang melakukan aksi blokade jalur pantura Situbondo-Banyuwangi atas kasus korupsi Kasdagate senilai Rp. 45,750 miliar yang dilakukan oleh Bupati Situbondo, Ismunarso (Kompas[1], 28-30 Oktober 2008). Aksi yang terjadi selama tiga hari itu berhasil mendesak Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) untuk segera mengeluarkan surat izin pemeriksaan Bupati Situbondo sebagai tersangka.

Kisah lain yang hari ini masih terus bergulir dan diperjuangkan di Jawa Tengah adalah kasus penolakan pembangunan pabrik semen di Rembang. Penolakan ini pula, salah satunya dimotori oleh K.H. Ach. Mustofa Bisri, nama lengkap Gus Mus. Gus Mus sebagai sosok kiai yang punya pengaruh kuat di kalangan nahdhiyyin pun angkat suara tentang pentingnya penyelamatan lingkungan dan penolakan terhadap pertambangan semen di kawasan Kendeng. Penolakan yang dilakukan oleh Gus Mus ini tentu tidak hanya dibaca sebagai penolakan terhadap pembangunan pabrik semen, akan tetapi secara mendasar merupakan perlawanan terhadap bentuk oligarki ekonomi dan politik penguasa yang tidak berpihak pada ummat-nya.

Narasi kisah tentang perjuangan dua kiai di atas lebih dari cukup memberikan inspirasi bagi para kiai atau resi lainnya untuk berbuat pada ummat-nya. Kiai, sebagai tokoh panutan ummat, tidak hanya lagi sibuk duduk berkhutbah di atas mimbar dan bersolek di depan layar kamera dengan mengajarkan ummat-nya tentang dalil-dalil ‘kesabaran’. Ummat sebagai pengikut para kiai sudah sangat sabar menghadapi kehidupan yang tak berpihak kepadanya.

Untuk itu, sudah seharusnya para kiai atau resi mendatangi ummatnya untuk melakukan misi-misi pembebasan, transformasi sosial, dan mengawasi pemerintah yang dhalim terhadap ummat-nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang resi Lao Tse 6 abad sebelum masehi, datanglah kepada rakyat (ummat-pen), hiduplah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu, dan bangunlah dari apa yang mereka punya. Apabila ummat sudah bisa melakukannya dengan mandiri, maka tugas seorang resi sudah cukup saja mengantarkan. Di titik ini diharapkan memunculkan para kiai organik, dalam istilah Antonio Gramsci disebut intelektual organik[2], sebagai oase panutan gerakan di saat ummat-nya hidup di antara gurun kemiskinan dan ketidakadilan.

 

Sinergi Gerakan

Hizkia Yosie Polimpung[3] mengajukan tesis bahwa kini muncul karang-karang frustasi dan pesimisme di kalangan para aktivis dan akademisi akan orientasi gerakan masyarakat sipil. Penyebabnya adalah demokrasi yang disabotase oligarki, birokratisme dan teknokratisme politik, korupsi partai politik dan politisinya, politik transaksional nir-idiologi, mahasiswa pragmatis, korporasi membeli negara, kongkalingkong dengan korporasi asing, tunduknya kedaulatan di hadapan kapital dan negara besar, serta ornop dan akademisi yang sibuk dengan aktivitas proyek masing-masing. Di hadapan tesis Yosie ini,  maka cerita perjuangan dua kiai dan hasil rumusan kegiatan Halaqoh Kebangsaan di Pondok Pesantren pimpinan K.H Sholaduddin Wahid di atas, penting untuk dijadikan peluang oleh Ornop, Ormas, dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk membangun gerakan bersama dan berkelanjutan.

Kiai yang mempunyai modal sosial dan menjadi panutan ummat bisa dilibatkan oleh para aktivis anti korupsi, demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan isu sosial lainnya untuk membangun suatu peta jalan (road map) dalam mengawal kebijakan pemerintah baik di level nasional maupun daerah. Sinergi gerakan ini sebagai salah satu momentum untuk memperkuat gerakan masyarakat sipil yang mengalami kebuntuan dalam mendobrak sistem ekonomi, hukum, dan politik yang korup. Misalnya, salah satunya membangun forum bersama dengan memaksimalkan peran kiai dan pesantrennya untuk mengawal Pemilukada yang akan diselanggarakan serentak pada 2015 di 204 daerah, terdiri atas 8 propinsi, 170 kabupaten, dan 26 kota, dari perilaku koruptif, politik uang, tidak transparan, dan akuntabel.

Dengan demikian, ini menjadi peluang bagi para aktivis dan pegiat sosial untuk tidak hanya melibatkan kelompok-kelompok warga, akan tetapi penting pula untuk melibatkan para kiai dan pesantren-nya dalam mempercepat rencana aksi gerakan. Sebaliknya, ini pula menjadi tantangan bagi para kiai sebagai salah satu tulang punggung gerakan masyarakat sipil di Indonesia, untuk tidak menjadi bagian dari prilaku politik koruptif yang tidak membebaskan bagi ummat-nya. Penting bagi para kiai untuk segera mentransformasikan gerakan moral menjadi gerakan sosial. Gerakan yang menjadi harapan bagi ummat di Indonesia untuk melawan arus menguatnya dominasi oligarki ekonomi dan politik yang terjadi di nasional maupun daerah.***

 

Peneliti di Institute for Strengthening Transition Society Studies (In-trans Institute)

 

*Catatan ini merupakan refleksi penulis paska kegiatan Halaqoh Kebangsaan:Pesantren dan Pemberantasan Korupsi di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, 29 Maret 2015.

 

———-

[1] Ono.2008. Liputan Khusus: Jalur Pantura Diblokade, Penyeberangan Ketapang Lumpuh.Kompas, 28-30 Maret 2008.

[2]Intelektual organik merupakan para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman real yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri . Lihat Kolakowski, Leszek.1978. Main Current of Marxism, Vol. III.Oxford: Clarendom Press.hal.240.

[3] Hizkia Yosia Polimpung, Di antara Karang-Karang Frustrasi dan Korupsi :Nafas Aktivisme dan Transformasi Sosial hari-hari ini, makalah disampaikan dalam pembukaan Sekolah Ideologi dan Gerakan Sosial, Malang, 14 Februari 2015.

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.