Evolusi dan Revolusi: Teori Darwin dalam Pemikiran Politik Marxis

Print Friendly, PDF & Email

Fransiskus Hugo, Mahasiswa Antropologi Universitas Padjadjaran, anggota Kelas Belajar Perhimpunan Muda

Historical Materialism and Social Evolution

Judul Buku      : Historical Materialism and Social Evolution

Penyunting      : Paul Blackledge dan Graeme Kirkpatrick

Penerbit           : Palgrave MacMillan, 2002

Halaman          : viii+244

 

 

“From the forest itself comes the hand for the axe.”

– Matisyahu

 

APA jadinya dunia ilmu hayati bila Charles Darwin (1809-1882) tidak menerbitkan buku The Origin of Species (1859) dan The Descent of Man (1871)? Meski manusia muncul melalui proses sejarah yang hadir secara objektif, namun kenyataan tersebut mungkin saja tak mampu ditangkap oleh manusia dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Mungkin saja ilmu pengetahuan yang kita miliki hari ini masih diselimuti dogma-dogma tanpa bukti nyata seperti yang terjadi sebelum abad pertengahan dan Renaissance. Bumi datar, matahari mengelilingi bumi dan manusia sejak semula berjalan dengan dua kaki di Taman Firdaus mungkin saja masih menjadi pernyataan-pernyataan andalan para pengajar di sekolah atau di kampus, apabila Charles Darwin tidak hadir dengan pernyataan mengejutkannya tentang asal mula makhluk hidup.

Pernyataan Darwin tersebut sangat membuka cara berpikir para intelektual Eropa di masanya. Meski sebelum beliau menerbitkan bukunya, ide tentang evolusi tersebut sudah sempat menjadi mainstream cara berpikir intelektual Eropa abad ke-19. Cara berpikir tersebut telah digunakan baik oleh intelektual borjuasi sebagai senjata untuk memerangi feodalisme, hingga akhirnya digunakan pula oleh para intelektual kiri untuk melawan kapitalisme. Terlepas dari siapa saja yang menggunakan cara berpikir Darwin tersebut, satu hal yang pasti ialah karya-karya tersebut membawa nuansa baru dalam ilmu pengetahuan.

Dalam ulasan kali ini saya akan membahas buku berjudul Historical Materialism and Social Evolution yang merupakan kumpulan tulisan para tokoh yang cukup terkenal di kalangan gerakan kiri internasional. Paul Blackledge, pengajar di School of Cultural Studies di Leeds Metropolitan University dan juga Graeme Kirkpatrick, pengajar di Department of Sociology University of Northumbria tampil sebagai editor buku ini. Paul Blackledge sendiri memulai buku ini dengan tulisan tentang kaitan antara materialisme historis dan evolusi. Ted Benton kemudian melanjutkannya dengan sejarah perkembangan dan pengaruh cara berpikir evolusionistik di Jerman pada abad ke-19. Selanjutnya, Paul Nolan mengisi tulisan tentang kaitan dan kontribusi Darwinisme dalam materialisme historis Marx dan Engels. Ada pula Alan Carling dengan tulisan panjangnya mengenai perdebatan evolusi sosial dan perkembangan Marxisme. Alex Callinicos juga tampil dengan tulisan yang menjelaskan tentang sejarah, eksploitasi dan opresi. Graeme Kirkpatrick dan Giusseppe Tassone juga ikut melengkapi pembahasan mengenai Habermas. Kumpulan tulisan ini lalu ditutup oleh Tony Smith yang membahas kapitalisme. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas semua tulisan tersebut satu-persatu, melainkan hanya beberapa yang menurut saya paling penting untuk diketahui.

Dalam ulasan ini saya akan sedikit membedah kaitan antara teori evolusi serta pengaruhnya di dalam Marxisme, khususnya materialisme historis. Ada suatu kelebihan yang dimiliki dari cara berpikir Darwin yang menurut saya penting sekali digunakan dalam ilmu pengetahuan dan juga Marxisme. Hal ini terkait dengan kritiknya terhadap idealisme dan kenaifan cara berpikir yang pada akhirnya menjatuhkan si pemikir ke dalam jurang kegalauan. Dalam tulisan ini, saya akan membahas bahwa kelebihan Darwin tersebut tidak mampu berdiri sendiri, ia perlu sokongan cara berpikir materialisme dialektis dan historis. Sebab, apabila cara berpikir evolusionis tersebut hanya berdiri sendiri, maka secara tak langsung ia melanggengkan serta menganggap bahwa tatanan kapitalisme merupakan suatu keniscayaan serta tak dapat diubah melalui peran aktif agensi yang terorganisir.

 

Descent with Modification

Hampir semua dari kita pasti pernah mendengar tentang teori evolusi dan tak jarang yang mengaitkannya dengan Darwin. Meski pemahaman mengenai evolusi telah hadir sebelum Darwin menerbitkan karyanya, dan sebenarnya ia sendiri lebih memilih menyebutnya sebagai “keturunan dengan modifikasi atau perubahan.” Darwin berpendapat bahwa keturunan cenderung mewarisi sifat yang dimiliki oleh leluhurnya. Sifat ini diturunkan melalui genetik di dalam suatu populasi tertentu. Sifat tersebut juga cenderung terbuka dengan variasi-variasi. Namun dalam populasi tersebut juga terdapat sifat-sifat lain, yang ketika tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya, maka akan tersisih atau terseleksi digantikan sifat-sifat yang lebih unggul. Proses alami ini disebut sebagai natural selection. Dengan model evolusi seperti ini, Darwin memberikan ide tentang survival of the fittest, atau dengan kata lain keberlanjutan kehidupan bagi organisme yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi alam yang ada.[1] Proses alami ini berlangsung sepanjang sejarah perkembangan organisme atau mahkluk hidup.

Pada era sebelumnya, Jean Lamarck (1744-1829) juga sempat memiliki pandangan yang serupa namun tak sama mengenai evolusi ini. Lamarck berpendapat bahwa suatu sifat yang dimiliki organisme mampu berubah secara langsung dan individual ketika berhadapan atau beradaptasi dengan lingkungannya. Ia menegaskan bahwa binatang berubah sesuai dengan tuntutan alam sekelilingnya sehingga ia menamakan teorinya dengan acquired characteristics. Lebih jelasnya bahwa kemampuan atau penyesuaian dari sebuah organisme yang didapat semasa hidup, bisa diturunkan pada keturunan (Pope, 1984: 20). Berbeda dari pemahaman Darwin yang menegaskan bahwa evolusi merupakan proses buta yang tidak ada maksud tujuan dan dalam jangka waktu yang lama, Lamarck menegaskan bahwa ciri organisme yang hadir memiliki maksud tertentu untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Ini yang menjadi perbedaan antara pandangan Lamarck dan Darwin mengenai evolusi mahkluk hidup, selain bahwa menurut Darwin bahwa sifat organisme diwariskan melalui reproduksi secara genetis.

Darwin melanjutkan bahwa sifat-sifat yang menguntungkan akan terus diwariskan dalam satu generasi ke generasi setelahnya di dalam sebuah populasi, sehingga sifat-sifat yang kurang mampu beradaptasi dengan permintaan alam yang ada akan dengan sendirinya tersisih oleh sifat yang lebih unggul dalam beradaptasi. Hal ini pada akhirnya menciptakan suatu pandangan tentang Natural Selection atau seleksi alam. Natural selection bergantung kepada tiga kondisi. Pertama, anggota dari spesies berbeda satu dengan yang lainnya, lalu variasinya mampu diwariskan. Kedua, semua organisme memproduksi lebih banyak keturunan daripada yang bertahan hidup. Ketiga, karena tidak semua keturunan bertahan, mereka yang mampu bertahan rata-rata akan memiliki anatomi, fisiologi, atau sifat yang sesuai dengan kondisi alam yang ada (Lewin, 2005: 18).

Hal penting yang harus juga dicatat adalah sistem seleksi dalam pemahaman Darwin bergerak tanpa arah yang pasti, atau dengan kata lain dengan proses yang buta dan juga tidak menegaskan adanya tingkatan dalam sejarah perkembangan mahkluk hidup karena secara mekanis evolusi bergerak tanpa tujuan apapun (Blackledge, 2002: 9). Sehingga sejak awal, Darwin telah melepaskan diri dari bias manusia-sentris yang menempatkan homo sapiens sebagai tahap tertinggi evolusi organisme.

 

Teori Evolusi dan Marxisme

Kita akan melihat garis pertemuan di antara evolusi dan materialisme historis. Teori revolusi dari Marx berelasi secara dialektis dengan teorinya tentang evolusi sosial, dimana itu berasal dari dan merupakan reaksi dari evolusi alam (Blackledge, 2002: 11). Alan Barnard (2011) menjelaskan bahwa minimal terdapat dua jenis evolusi: evolusi biologis dan evolusi sosial. Di antara keduanya terdapat evolusi teknologi. Ini senada dengan apa yang dibahas oleh Engels dalam The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man (1876) yang menyatakan bahwa kerja lah yang membawa manusia ke dalam perubahan.

“Singkatnya, hewan hanya memanfaatkan lingkungannya dan memberikan perubahannya dengan keberadaannya saja; manusia dengan perubahannya membuat alam menjadi pemenuh kebutuhannya, menaklukannya. Inilah yang menentukan, perbedaan paling dasar antara manusia dengan hewan lainnya, dan sekali lagi bahwa kerjalah yang memberikan perbedaan ini.” (Engels, 1972: 260)

Dalam kutipan tersebut, Engels menjelaskan bahwa kerja yang membedakan manusia dengan hewan. Kerja itu sendiri dimulai dengan pembuatan alat-alat tertentu (Engels 1972: 256). Dalam hal ini, manusia muncul sebagai tool maker atau pembuat alat-alat, dan inilah yang membuat manusia pada akhirnya memiliki kebudayaan, karena melalui kerjalah leluhur manusia mengenal cara berbicara dengan sesamanya, secara bertahap mempengaruhi perkembangan otak, dan pada akhirnya menghasilkan kebudayaan.[2]

Tapi sebelumnya, apakah yang menjadi syarat dari kemampuan manusia menciptakan alat-alat tersebut? Jawaban ini dapat ditemukan di dalam tulisan Engels yang sama. Engels menjawab bahwa bipedalisme (penggunaan kaki untuk berjalan) lah jawabannya. Lalu, apa yang memungkinkan bipedalisme pada leluhur manusia? Jawabannya dapat ditemukan pada masa Miocene (sekitar 7 juta tahun lalu) yang dibuktikan melalui fosil-fosil spesies Sahelanthropus tchadensis berusia sekitar 7-6 juta tahun lalu (jtl), Ororin Tugensis 6 jtl dan Ardipithecus ramidus sekitar 5,8-4,4 jtl (Mulyanto, 2011). Fosil-fosil tersebut memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang terjadi kala itu. Lantas, apa yang sesungguhnya terjadi pada lingkungan dimana leluhur kita hidup tersebut?

Dede Mulyanto (2015) menjelaskan bahwa habitat leluhur manusia adalah Afrika, namun pada masa Miocene sekitar 10-7 juta tahun silam, perut bumi menghisap satu sisi dan mendorong bebatuan di sisi lain di sepanjang Afrika bagian timur. Hal ini menciptakan bentuk bumi baru yang dikenal dengan Lembah Retakan Besar. Selain itu juga terjadi perubahan drastis iklim bumi ketika lapisan es di kutub meluas. Hal tersebut berdampak pada perubahan iklim yang menyebabkan hutan hujan tropis berkurang dan berganti menjadi padang rumput yang luas. Di Afrika, beberapa jenis kera terpisah dan tidak bergaul jutaan tahun dengan spesiesnya karena terhalang Lembah Retakan Besar. Dalam konteks ini, leluhur simpanse memilih tinggal di sebelah barat lembah dan leluhur manusia terdesak ke sebelah timurnya, sedangkan sebagian besarnya lagi punah (Mulyanto 2015: 162). Dari sana muncullah jenis-jenis primata baru yang mana di antaranya merupakan leluhur dari gorilla, simpanse dan manusia.

Dari tekanan ekologis tersebut, kera-kera purba yang memilih tinggal di sekitar Lembah Retakan Besar akhirnya beradaptasi pada lingkungan baru yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Lingkungan baru yang ditinggali leluhur manusia merupakan lingkungan yang sangat sulit sehingga proses adaptasi pun diharuskan, jika tidak mau punah karena kondisi alam. Beberapa proses adaptasi yang dilakukan di antaranya adalah makanan yang dikonsumsi serta penggunaan bipedalisme. Untuk yang terakhir, ia pada akhirnya berdampak pada perkembangan anggota tubuh lainnya, seperti penggunaan tangan untuk membuat alat-alat hingga berkembangnya otak dan organisasi sosial.

Saat manusia lahir di muka bumi dan membentuk organisasi sosial, maka perkembangan selanjutnya adalah organisasi sosial itu sendiri mengalami perubahan-perubahan. Bentuk-bentuk masyarakat, di satu sisi, merupakan adaptasi dari kondisi lingkungan yang ada, sedangkan di sisi lain alam ditaklukan dan disesuaikan dengan keadaan masyarakat itu sendiri. Orang Bushmen yang masih berburu dan meramu, orang-orang Eskimo yang masih berburu, orang-orang nomad di Monggolia atau orang-orang Jakarta yang memilih bermacet-macet setiap pagi dan sore pasti memiliki proses adaptasi masing-masing dengan alamnya dan dengan corak produksi yang sedang eksis. Dari sini, kita dapat melihat bahwa perubahan dan perkembangan masyarakat akan berbeda satu dengan yang lainnya.

Mengapa masih terdapat beberapa masyarakat yang hidup dengan corak produksi berbeda dari kita? Marvin Harris (1978) mengatakan bahwa salah satu sebabnya adalah pengaturan atau pembatasan populasi dalam suatu kelompok, khususnya dalam kelompok berburu-meramu. Pada kelompok berburu-meramu, apabila produksi meningkat, maka reproduksi populasi pun akan meningkat. Reproduksi yang meningkat akan mengakibatkan kelompok tersebut harus mengintensifkan produksi untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Oleh karena itu, beberapa kelompok masyarakat tetap mempertahankan corak produksi mereka masing-masing karena bermaksud untuk mempertahankan stabilitas kelompoknya.

Demikian hal penting yang harus kita ketahui: kita tidak dapat menyamakan semua bentuk masyarakat yang ada sekarang dengan proses perkembangan masyarakat yang kita tinggali hari ini. Relasi kerja upahan yang menjadi dasar kapitalisme memang merupakan relasi yang mendominasi kehidupan kita hari ini, namun bukan berarti relasi-relasi yang sebelumnya hadir hilang sepenuhnya. Oleh karena itu, sejak semula tidak ada yang tetap, bahkan bentuk masyarakat itu sendiri. Berbedanya kondisi lingkungan membuat kebudayaan pada suatu masyarakat tertentu berbeda dengan masyarakat lainnya.

Kembali pada Engels, yang perlu ditekankan adalah tangan manusia bukan hanya alat untuk memproduksi sesuatu atau untuk bekerja, namun merupakan hasil dari kerja itu sendiri (Engels, 1972: 252). Kerja inilah yang menjadi prasyarat manusia, yang pada akhirnya mampu menjinakkan alam dari mulai dari mendomestifikasi hewan, membuat irigasi hingga membangun gedung-gedung pencakar langit. Nuansa dialektis yang diberikan Engels dalam kata-kata tersebut membuktikan bahwa meski alam mengkondisikan manusia, namun manusia juga mampu mengkondisikan alamnya dalam batas-batas tertentu yang memungkinkan. Misalnya, dengan limbah pabrik atau pembabatan hutan tanpa henti, manusia sebenarnya sedang menyediakan prakondisi bagi kehancuran alam yang ditempatinya dengan lebih cepat.

 

Antara Evolusi dan Revolusi dan Jalan Keluar MDH

Pemahaman tentang teori evolusi yang diwariskan Darwin ternyata berpengaruh terhadap pemikir-pemikir setelahnya, bahkan memunculkan gerakan-gerakan yang mempengaruhi sejarah Eropa dan dunia. Pengaruh tersebut memberikan warna baru dalam perjuangan kelas di Eropa, khususnya di Jerman, ketika setiap golongan dalam masyarakat saat itu mulai menggunakan cara berpikir Darwin untuk membenarkan kepentingan kelasnya masing-masing. Mulai dari golongan liberal yang hendak menumbangkan tatanan feodal sepenuhnya hingga golongan sosialis yang mencoba menumbangkan kapitalisme itu sendiri.

Untuk yang disebutkan di belakang, beberapa pemikir yang melakukan hal tersebut adalah Marx dan Engels. Namun, seiring perkembangan gerakan sosialis, terjadi perpecahan di dalamnya: kalangan Marxis mekanis yang mentah-mentah mereduksi materialisme historis ke teori evolusi serta Marxis voluntaris. Kaum mekanistik beranggapan bahwa kejatuhan kapitalisme merupakan sebuah keniscayaan, meskipun tanpa adanya peran aktif dari agensi yang terorganisir. Sebaliknya, kaum voluntaris beranggapan bahwa peran agensi lebih utama ketimbang hanya merupakan produk pasif dari proses sejarah yang objektif. Dapat disimpulkan, kalangan yang pertama menginterpretasikan marxisme secara deterministik, sedangkan kalangan yang kedua adalah produk dari cara pandang teori evolusi nir materialisme historis.

Terdapat dua permasalahan dari cara berpikir para mekanis dan voluntaris tersebut. Yang pertama, sebagaimana kaum evolusionis pada umumnya, mereka beranggapan bahwa apa yang ada saat ini merupakan tatanan masyarakat yang alami. Bedanya, kaum mekanis percaya bahwa kontradiksi internal kapitalisme niscaya akan membawa keruntuhan kapitalisme, sedangkan para evolusionis tidak. Sedangkan permasalahan kaum voluntaris adalah kepercayaan buta akan kemampuan agensi dalam mengubah jalannya sejarah tanpa melihat struktur dimana agensi tersebut berada. Pandangan ini justru akan membawa para pengikutnya ke dalam idealisme.

Di tengah perdebatan tersebut, V. I. Lenin (1870-1924) dan Leon Trotsky (1879-1940) tampil menjembatani jarak di antara kedua belah pihak (Blackledge 2002: 29-30). Blackledge (2002) menjelaskan bahwa Lenin menjembatani jarak antara momen subjektif (yang lebih terepresentasi melalui para voluntaris) dan objektif (yang diwakili oleh kaum mekanis) dalam proses sejarah melalui praktek revolusioner. Dengan ini, Lenin mengangkat kembali apa yang ditegaskan oleh Marx dalam Theses on Feuerbach (1888) yang pertama yaitu “kelemahan yang paling utama dari semua materialis yang ada sebelumnya (termasuk Feuerbach) ialah bahwa hal ihwal, kenyataan, hal-hal inderawi dibayangkan hanya merupakan bentuk suatu objek, atau bagian dari kontemplasi, bukan sebagai aktivitas inderawi manusia itu sendiri, praktis.” (Marx 1998: 569). Apa yang ingin dikatakan Lenin adalah bahwa kehidupan sosial pada dasarnya merupakan praktis, ia juga merupakan hasil dari aktivitas tertentu manusia dan manusia sendiri dapat mengubah kehidupan sosial tersebut, tetapi tetap pada batas-batas yang ditentukan oleh kenyataan materiil. Misalnya, manusia dapat mengubah batu menjadi patung yang beragam rupa, tetapi tidak bisa mengubahnya menjadi telur persis karena telur berada di luar batasan-batasan yang diberikan kenyataan materiil seperti batu.

Dengan demikian, Lenin berkontribusi dalam memecahkan dinding penghalang kedua kubu tersebut dengan cara berpikir dialektis. Hal inilah yang selanjutnya ditambahkan oleh Trotsky yang memberikan contoh Revolusi Rusia 1917. Dengan Lenin masuk ke dalam “rantai kekuatan historis yang objektif”, terciptalah percepatan proses pembelajaran di dalam Bolshevik dan pada akhirnya terjadilah revolusi Rusia tahun 1917 yang mampu mempengaruhi kondisi objektif, bahkan mengubahnya. (Blackledge, 2002: 30). Dapat disimpulkan, tanpa Lenin maka revolusi akan sulit atau bahkan mustahil diwujudkan. Dalam hal ini, Trotsky mengaitkan momen objektif dan subjektif dengan memberikan suatu mediasi, yaitu melalui Bolshevik sebagai partai politik yang revolusioner. Menurutnya, individu akan mampu memiliki peran di dalam proses sejarah hanya apabila mereka mampu mengkondisikan kesadaran kelas secara kolektif untuk mengubah tatanan yang ada.

 

Kesimpulan

Dari uraian singkat di muka, kita dapat mengetahui bahwa evolusi dan materialisme historis memiliki relasi yang khas, khususnya dalam melihat perkembangan sejarah umat manusia. Evolusi memberikan kita pemahaman akan objektifnya sejarah perkembangan organisme mahkluk hidup di bumi. Ia juga memberikan suatu penyadaran yang nyata namun sedikit pahit, bahwa manusia hanya secuil bagian bagi alam dan keberadaannya sangatlah kebetulan. Sedangkan materialisme historis memberikan kita pandangan akan suatu kondisi di mana manusia, yang karena evolusinya, pada kondisi tertentu memungkinkan untuk melakukan reaksi balik terhadap alamnya.

Hal yang berbahaya dari evolusi itu ialah pemahaman tentang perkembangan sejarah, termasuk keniscayaan masyarakat kapitalisme. Karena di satu sisi ia berpikir secara mekanis, maka konsekuensinya evolusi akan cenderung melanggengkan tatanan yang sedang eksis. Oleh karena itu, dengan materialisme historis, cara berpikir evolusioner tersebut dapat diimbangi. Pada ujung pemahaman kita, relasi antara teori evolusi dan materialisme historis penting untuk diaplikasikan dalam cara berpikir, bukan hanya untuk berpikir itu sendiri, melainkan juga dalam ranah praksis.

Problem struktur dan agensi atau kondisi objektif dan peran subjektif memang merupakan perdebatan yang sering muncul dalam memahami Marxisme. Hal ini hanya dapat diluruskan menggunakan cara pandang MDH, sebagaimana Lenin dan Trotsky tawarkan. Dengan MDH, baik strukur maupun agensi, keduanya berpengaruh dalam perjuangan mencapai revolusi. Di satu sisi, kondisi objektif memang mengkondisikan faktor subjektif, namun di sisi lain, meminjam istilah Althusser, subjek atau agensi juga mampu melakukan timbal balik bagi kondisi objektif dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan sebelumnya. Perlu ditambahkan, peran agensi untuk melakukan timbal balik terhadap kondisi objektif hanya dapat terjadi apabila agensi tersebut merupakan bagian dari suatu media tertentu. Dalam perjuangan menuju sosialisme, tentu saja partai revolusioner lah media yang paling tepat.

Terakhir, harus kita tekankan lagi bahwa tatanan hari ini bukanlah asali sejak fajar Homo sapiens, bukan pula tatanan yang jatuh dari langit, melainkan sejarah yang penuh dengan evolusi dan revolusi. Tatatan kita hari ini merupakan hasil ciptaan, tepatnya kerja manusia, pada waktu dan kondisi tertentu. Karena itu, kita tidak bisa hanya diam termangu di depan laptop menunggu kehancuran kapitalisme sambil membaca tulisan ini. Bukan berarti juga kita harus pergi ke pulau-pulau terpencil di Pulau Seribu membangun komune-komune (liburan) sambil meneriakan “Do it yourself!” atau membuat kelompok gerilya bersenjata dan masuk ke Hutan Raya Bogor sambil sesekali menembaki Koramil. Yang diperlukan saat ini adalah menguatkan fondasi Marxisme menggunakan ilmu pengetahuan ilmiah serta adanya partai politik revolusioner dengan tujuan menumbangkan kapitalisme untuk menggantikannya dengan sistem yang lebih maju, sosialisme.

 

Pustaka Tambahan

Barnard, A. (2011). Social Anthropology and Human Origins. Cambridge: Cambridge University Press.

Blackledge, P., & Kirkpatrick, G. (2002). Historical Materialism and Social Evolution. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Callinicos, A. (2004). The Revolutionary Idea of Karl Marx. London: Bookmarks Publications.

Engels, F. (1972). The Origin of The Family, Private Property and The State. London: Lawrence & Wishart.

Harris, M. (1978). Cannibals and Kings: The Origins of Cultures. Glasgow: William Collins Sons & Co Ltd.

Lasker, G. W. (1973). Physical Anthropology. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Lewin, R. (2005). Human Evolution : An Illustrated Introduction. Malden, MA: Blackwell Publishing.

Marx, K., & Engels, F. (1998). The German Ideology. New York: Promotheus Books.

Mulyanto, D. (2011). “Engels tentang Evolusi Manusia: Catatan Pendahuluan Atas Gagasan Friedrich Engels (1820-1895) tentang Alur Evolusi Manusia dan Peran Kerja di Dalamnya”, Antropologi Indonesia Vol. 32 No. 1, hlm. 50-64.

Mulyanto, D. (2013). “Kontradiksi Bipedal-Ensefalisasi dan Prakondisi Biologis Organisasi Sosial Primitif Manusia: Sebuah Tafsir Materialis-Dialektis”, Jurnal Pemikiran Marxis IndoprogressVol. 1 No. 2, hlm. 31-50.

Mulyanto, D. (2015). “Prakondisi Anatomis Kerja: Rekonstruksi Paleoantroplogis Teori Engels perihal Evolusi Tangan”, dalam D. Mulyanto, Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels (pp. 157-182). Serpong: Marjin Kiri.

Pope, G. (1984). Antropologi Biologi. Jakarta: CV. Rajawali.

—-

[1] “In his book Darwin presented the idea of evolution through natural selection. This natural process, he said, causes ‘survival of the fittest’ or continued life for those types of animals and plants best adjusted to the conditions in which they live, and death for those that are not so well adjusted to these conditions.”(Lasker, 1961: 16)

[2] “First labor, after it and then with it, speech–these were the two most essential stimuli under the influence of which the brain of the ape gradually changed into that of man, which for all its similarity is far larger and more perfect.” (Engels, 1972: 255)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.