Kritik Terhadap Istilah ‘Pelanggaran HAM Berat’ dalam UU No.26/2000

Print Friendly, PDF & Email

SEJAK UU N0.26/2000 terbit, sudah ada sembilan peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat, telah diselidiki oleh Komnas HAM. Peristiwa-peristiwa tersebut menurut urutan waktu terjadinya adalah peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti 1998, Peristiwa Semanggi 1998, Peristiwa Semanggi 1999, Peristiwa Timor Timur 1999, Peristiwa Abepura 2000, Peristiwa Wasior 2001-2002, dan Peristiwa Wamena 2003.

Penyelidikan semua peristiwa di atas dilakukan oleh Komnas HAM dengan membentuk tim ad hoc sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2) UU No.26/2000. Tim yang diberi nama “Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia” (KPP-HAM) ini dibentuk pada tahun 2001. Namun sejak 2003, berganti nama menjadi “Tim Ad Hoc Penyelidikan”.[1]

Sebagai kelanjutan dari penyelidikan KPP-HAM Peristiwa Timor-Timur dan Tanjung Priok, telah dibentuk dua pengadilan HAM ad hoc. Kedua pengadilan tersebut dibentuk berdasarkan KEPPRESS No.53/2001 yang ditetapkan tanggal 23 April 2001. Tujuannya untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di Timor Leste paska jajak pendapat dan juga peristiwa Tanjung Priok 1984.

Namun terbitnya KEPPRESS No.96/2001 pada 1 Agustus 2001, telah mengubah tempus delicti dan locus delicti yang membatasi kewenangan Pengadilan HAM ad hoc. Dalam kasus Timor Leste, pengadilan dibatasi pada peristiwa yang terjadi di wilayah Liquica, Dili dan Suai pada bulan April 1999 dan September 1999. Tindak lanjut KEPPRES tersebut adalah pengangkatan beberapa hakim ad hoc untuk mendampingi hakim di Pengadilan HAM tingkat pertama, tingkat banding dan menemani Hakim Agung di tingkat kasasi. Sementara tindak lanjut laporan KPP-HAM untuk peristiwa Abepura tahun 2000, menghasilkan pembentukan Pengadilan HAM di Makassar.

Istilah pengadilan HAM di Indonesia pertama kali ditemukan pada Pasal 104 UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang berbunyi:

Untuk mengadili pelanggar hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan tersebut harus dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun dan sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud, maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat diadili oleh Pengadilan yang berwenang.

Rumusan tersebut mengamanatkan bahwa harus dibentuk undang-undang yang mengatur tentang pengadilan HAM yang harus dibentuk dalam jangka waktu paling lama empat tahun. Tahun 1999, presiden B.J. Habibie menerbitkan PERPPU No.1/1999 tentang Peradilan HAM. Hal ini yang melandasi percepatan pembentukan undang-undang pengadilan HAM. PERPPU tersebut ikut dilatarbelakangi desakan dari Komisi Tinggi HAM PBB yang menduga adanya pelanggaran HAM berat di Timor Leste selama proses jajak pendapat tahun 1999.[2] PERPPU tersebut diumumkan 8 Oktober 1999, tiga hari menjelang pidato pertanggungjawaban di MPR.

PERPPU ini kemduian mengundang reaksi yang beragam dari berbagai kalangan. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan (KontraS)[3] misalnya, mengambil sikap menolak PERPPU tersebut. KontraS beranggapan PERPPU bertujuan memanipulasi kepentingan beberapa orang yang harus bertanggung jawab atas praktik kejahatan kemanusiaan dan perang di wilayah Timor Leste, dengan menempatkan seolah-olah hal itu merupakan kebutuhan secara keseluruhan rakyat Indonesia.

KontraS juga mengritik isu-isu penting yang diatur dalam PERPPU tersebut, terutama isu pertanggungjawaban hukum. KontraS berpendapat, kehadiran Kelembagan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyelesaian pelangaran HAM. KontraS menilai lembaga tersebut hanya bertindak sebagai pengumpul bukti awal saja. Sementara untuk pengadilan penyelesaian kasus justru diserahkan kepada lembaga penyidikan internal yang berada di tangan Polri dan TNI tanpa membuka peluang keterlibatan masyarakat dan lembaga lainnya.

Itu mengapa KontraS merekomendasikan pencabutan PERPPU No.1/1999 tentang peradilan HAM tersebut[4].

 

 

kamisanFoto diambil dari http://v-images2.antarafoto.com

 

Mengesampingkan kritik KontraS di atas, pemerintah kemudian membentuk Pengadilan HAM melalui UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM sebagai pengganti PERPPU No.1/ 1999 tentang Pengadilan HAM. Undang-Undang tersebut memberikan ruang baru penyelesaian pelanggaran HAM berat, khususnya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Pengadilan HAM yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut merupakan pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum. Pengadilan HAM tersebut bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) dan juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat di luar batas teritorial RI yang dilakukan oleh warga Indonesia. Namun, pengadilan HAM ini tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh seorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Pelanggaran HAM yang berat yang dimaksudkan meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Secara konseptual ada kesalahan berkenaan dengan dikualifikasinya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat dalam UU No.26/2000. Hal ini disebabkan UU tersebut jelas tidak bisa membedakan antara apa yang dimaksud dengan HAM (human rights) dan kejahatan internasional (international crimes). Sebabnya, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan internasional. Hal ini terlihat dalam praktek Pengadilan Nuremberg, Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh (International Military Tribunal for the Far East, disingkat IMTFE) atau yang dikenal juga dengan Pengadilan Tokyo, International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR), dan Statuta Roma.

Istilah ‘international crimes’ pertama kali disebutkan di Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo. Pengadilan Nuremberg tersebut dibentuk berdasarkan Piagam London (London Charter)8 Agustus 1945. Piagam tersebut memberikan yurisdiksi Pengadilan Nuremberg untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Yurisdiksi yang sama juga dimiliki oleh Pengadilan Tokyo. Sedangkan The International Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY), yang dibentuk melalui Resolusi 827 Dewan Keamanan PBB, sebelum akhirnya disahkan pada 25 Mei 1993, memiliki yurisdiksi atas empat kelompok kejahatan yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia.[5].

Sementara Pengadilan Internasional untuk Rwanda (ICTR) dibentuk Dewan Keamanan PBB untuk “menuntut orang-orang yang bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional” yang dilakukan di wilayah Rwanda antara 1 Januari 1994 dan 31 Desember 1994. Pengadilan ini berkantor di Kigali, Rwanda.[6] Sejak dibuka tahun 1995, ICTR telah mendakwa 93 orang yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran serius. Para terdakwa termasuk militer dan pejabat tinggi pemerintahan, politisi, pengusaha, serta pemuka agama, milisi, dan pimpinan media. ICTR memainkan peran sebagai perintis dalam pembentukan sistem peradilan pidana internasional yang kredibel, menghasilkan yurisprudensi hukum pada genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, serta bentuk-bentuk individu dan pemanggul tanggung jawab.

ICTR adalah pengadilan pertama yang menafsirkan mengenai definisi genosida seperti yang tercantum dalam Konvensi Jenewa 1948. Pengadilan ini juga merupakan pengadilan internasional pertama yang mendefinisikan ‘pemerkosaan’ dalam hukum pidana internasional dan mengakui pemerkosaan sebagai alat praktik genosida. Dalam statutanya, lingkup kewenangan pengadilan ICTR ialah mengadili kejahatan internasional, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi Jenewa 1949 serta Protokol tambahan II tahun 1977.

International Criminal Court Statute atau yang lebih dikenal sebagai Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang melandasi terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), memilki yurisdiksi terbatas untuk mengadili kejahatan yang paling serius ( the most serious crimes) yang menjadi perhatian bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.[7]

Namun, tidak satupun dari empat pengadilan internasional yang dijelaskan di atas mengkategorikan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat. Keempat pengadilan menyebutkan kualifikasi kedua kejahatan tersebut sebagai kejahatan (crimes).

Namun, Pasal 7 UU No.26/2000 tentang pengadilan HAM justru secara tegas menyebutkan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan kemanusian merupakan pelanggaran HAM berat. Inilah poin penting untuk dikritisi dalam undang-undang tersebut. Dalam penjelasan Pasal 7 UU No.26/2000 menyebutkan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dimaksud bersesuaian dengan Rome Statute of The International Criminal Court (Pasal 6 dan Pasal 7). Namun ironisnya, dua jenis kejahatan yang disebutkan dalam UU No.26/2000 justru dikualifikasikan sebagai kejahatan paling serius (the most seriuos crimes) dalam Statuta Roma. Juga mengingkari fakta hukum bahwa Statuta Roma adalah instrumen hukum pidana internasional dan bukan instrumen HAM Internasional, sehingga Mahkamah Pidana Internasional hanya merupakan pengadilan pidana internasional bukan pengadilan HAM.

Kegagalan undang-undang ini adalah kesalahan interpretasi tentang konsep kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tercantum dalam Statuta Roma. Sehingga istilah pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) dalam UU No.26/2000 harus diganti menjadi istilah ‘kejahatan’ sesuai dengan rumusan yang tercantum pada Pasal 5 Statuta Roma, yaitu mendefinisikan kedua tentang konsep kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan paling serius (the most seriuos crimes).

Oleh sebab itu, Indonesia seharusnya meratifikasi Statuta Roma dan memasukkan kejahatan internasional serta prinsip-prinsip hukum pidana internasional ke dalam sistem hukum pidana naisonal. Fakta bahwa sistem hukum Indonesia masih belum menunjukkan komitmen serius dan efektif setelah meratifikasi konvensi internasional. Padahal keseriusan implementasi konvensi internasional ke dalam produk hukum nasional adalah salah satu cara menunjukkan komitmen pemerintah dalam penegakan hukum.***

 

Penulis bekerja Peneliti di LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan)

 

———-

[1] Liputan peristiwa yang diselidiki oleh setiap tim ad hoc dapat mencakup hanya satu peristiwa saja (dalam hal ini KPP HAM Peristiwa Tanjung Priok 1984, KPP HAM Peristiwa Timor Timur 1999, KPP HAM Peristiwa Abepura 2000, dan Tim Ad Hoc Peristiwa Kerusuhan Mei 1998) atau lebih dari satu peristiwa (dalam hal ini KPP HAM Trisakti 1998, Semanggi 1998, dan Semanggi 1999 serta Tim ad hoc Peristiwa Wasior 2001 – 2002 dan Peristiwa Wamena 2003). Untuk lebih jelas sila lihat Naskah Akademik Amandemen Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

[2]Berdasarkan Resolusi Komisi Tinggi HAM PBB tahun 1999, dibentuk International Commission of Inquiry on East Timor (ICIET), untuk melakukan penyelidikan atas kemungkinan adanya pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum humaniter internasional di Timor Leste sejak Januari 1999. Dalam laporannya komisi ini memperlihatkan adanya bukti-bukti pelanggaran atas ham dan hukum humaniter internasional serta merekomendasikan perlunya dibentuk mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku melalui pembentukan tim penyelidik independen oleh PBB untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut, serta pembentukan tribunal di tingkat internasional. Dua rekomendasi inilah yang sangat mempengaruhi lahirnya resolusi Dewan Keamanan PBB No 1264 yang diadopsi pada tanggal 15 September 1999 dalam sidangnya yang ke 4045. Dalam resolusi ini Dewan Keamanan menyerukan agar dilakukan pertanggungjawaban atas para pelaku.
[3] Kontras merupakan salah satu NGO yang memiliki visi untuk mewujudkan demokrasi yang berbasis pada keutuhan kedaulatan rakyat melalui landasan dan prinsip rakyat yang bebas dari ketakutan, penindasan, kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia atas alasan apapun, termasuk yang berbasis gender. Dan misi untuk Memajukan kesadaran rakyat akan pentingnya penghargaan hak asasi manusia, khususnya kepekaan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan negara.Memperjuangkan keadilan dan pertanggungjawaban negara atas berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran berat hak asasi manusia melalui berbagai upaya advokasi menuntut pertanggungjawaban negara.Mendorong secara konsisten perubahan pada sistem hukum dan politik, yang berdimensi penguatan dan perlindungan rakyat dari bentuk-bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

[4]www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=113, Disarikan dari Siaran Pers Komisi Untuk Orang Hilang dan Kontrak Tindak Kekerasan, No. 49/Kontras/X/99 tentang PERPPU Peradilan HAM, diunduh 17 Desember 2014

[5]http://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Tribunal_for_the_former_Yugoslavia, diunduh 18/12/2014

[6] Lihat http://www.unictr.org/en/tribunal

[7] Lihat Article 5 Rome Statute of the International Criminal Court

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.