Sikap Netral Presiden dan Objektivitas Hukum

Print Friendly, PDF & Email

ISU TERPANAS dalam jagat politik dan hukum di Indonesia saat ini adalah konflik KPK vis-a-vis Polri Jilid II. Konflik dimulai dari penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mewanti-wanti Presiden bahwa yang bersangkutan disinyalir kuat terlibat kasus korupsi. Merasa rekomendasinya diabaikan oleh Presiden, KPK segera menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Sejurus kemudian, Bareskrim Polri menangkap sekaligus menetapkan Bambang Widjojanto, salah satu unsur pimpinan KPK, sebagai tersangka atas dugaan menyuruh saksi menyampaikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pemilukada Kotawaringin Barat pada tahun 2010 silam (Kompas, 23/1/2015).

Aksi saling sandera antara KPK dengan Kapolri tersebut menegaskan bahwa konflik kewenangan dan juga ego institusi di antara dua lembaga tersebut masih menyala dalam sekam. Presiden Jokowi didesak untuk menjadi penengah sekaligus mengambil sikap tegas dan konkrit, guna menyelamatkan kedua lembaga dari besarnya pengaruh politik kepentingan yang berkeinginan melemahkan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Alih-alih memberi sinyal ketegasan dan keberpihakan terhadap aksi penggerogotan institusi KPK, Presiden Jokowi dalam pidato singkatnya selepas bertemu dengan unsur pimpinan kedua lembaga malah terkesan bermain aman (DetikNews, 24/1/2015). Presiden hanya memberi penegasan tentang penghormatan terhadap proses hukum yang sudah berjalan baik oleh KPK dan juga oleh Polri. Presiden menghendaki kedua belah pihak untuk menyelesaikan proses hukum secara objektif dan taat asas. Pernyataan normatif tersebut dapat ditafsirkan bahwa Presiden Jokowi bersikap netral dalam kemelut sengketa antara KPK dengan Polri. Pertanyaan kritis muncul dari sikap tersebut. Apakah dengan bersikap netral dan dengan mengedepankan pendekatan normatif-legalistik konflik KPK dengan Polri dapat diselesaikan? Lebih jauh dalam konteks hukum, apakah benar hukum negara (positif) dapat dijalankan secara objektif?

 

Telaah Hukum Kritis  

Dalam paradigma hukum kritis (critical legal studies), hukum positif baik dalam konteks perundang-undangan maupun dalam konteks penegakan/prosedural hukum dimaknai tidak semata dalam tafsir tekstual namun juga substansial. Hukum positif tidak berdiri di ruang hampa, namun terletak di ruang penuh nilai dan dinamika. Hukum positif dimaknai tidak sebagai teks-teks ‘kosong’ semata, namun sebagai entitas yang dinamis. Hukum kritis dengan jujur mengakui (sesuai dengan kenyataan empiris) bahwa hukum sejatinya lebih bernuansa pragmatis ketimbang semantik. Hukum positif dibuat dan dijalankan berdasar pada rasio kepentingan sosial, ekonomi maupun politik yang berkelindan mesra dengan dinamika hukum.

Fernando Coelho (2002) menegaskan bahwa awal mula (ontologi) dari hukum positif adalah pengalaman sosial yang tentu kaya akan nilai-nilai subjektivitas, emosional, intuitif dan terkadang praktikal. Sejatinya, hukum positif tidaklah objektif, namun inter-subjektif. Hukum positif lahir dari afirmasi-afirmasi subjek kepentingan terhadap sesuatu yang akan dianggap benar sebagai hukum. Hukum positif sebagai sebuah sistem nilai tidaklah selalu berisi nilai-nilai kebaikan, namun juga kerap berisi nilai-nilai tipu daya politik. Lebih jauh, Michel Foucault (1983) menyebut netralitas dan objektivitas hukum semata sebagai kesadaran palsu (false consciousness), yang merupakan hasil dari narasi besar kekuasaan negara yang bertujuan untuk menggerus nalar masyarakat akan banalnya hukum negara.

Dalam konteks konflik kelembagaan di atas, hukum positif yang normatif-legalistik tidaklah dapat menjamin pemenuhan rasa keadilan dan jaminan akan kesetaraan dalam proses penyidikan (equal treatment in due process of law). Kedua institusi memiliki posisi tawar dan akses terhadap kekuasaan yang tidak seimbang. Polri sebagai institusi yang lebih mapan dan berada dekat dengan spektrum kekuasaan, pastilah memiliki nilai tawar dan akses politik elit yang lebih besar ketimbang KPK. Sedangkan KPK hanyalah lembaga ad hoc yang tentu kedudukannya lebih inferior. Bersikap netral dan mempercayai proses hukum yang dianggap ‘objektif’ dalam konteks kekuasaan yang timpang justru dapat berimbas pada diskriminasi terhadap entitas yang secara politik lebih lemah.

Hukum positif yang normatif hanya dapat memberi keadilan dan juga kepastian, bila diaplikasikan dalam keadaan atau konteks berlakunya hukum yang seimbang. Hal yang tentu dirasa mustahil dapat terjadi. Kenyataannya, realitas hukum dan politik selalu banal dan diskriminatif. Realitas yang sudah digambarkan dengan jujur oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651), sebagai “homo homini lupus”, keadaan ketika manusia menjadi serigala bagi manusia lain. Bersikap netral dalam kondisi yang timpang sama halnya dengan membiarkan ‘serigala’ menjadi-jadi.

 

Strategi Jalan Memutar

Presiden Jokowi memang terkesan sangat berhati-hati dalam berpihak, dikarenakan konstelasi politik di sekitar Istana yang sangat kuat menekan. Tidak bisa dinafikan bahwa Presiden adalah jabatan politik, dan politik memiliki logikanya sendiri. Walau tidak secara tersurat menyatakan keberpihakan, tindakan Presiden Jokowi membentuk tim independen guna mengawasi proses penyidikan KPK dan Polri patut diapresiasi sebagai wujud hadirnya negara dalam konflik dua lembaga tersebut.

Presiden memang tidak bisa secara langsung dan terang-terangan melakukan intervensi, semisal dengan meminta penyidik menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3), baik bagi Budi Gunawan maupun Bambang Widjojanto. Namun Presiden Jokowi dapat membuat kebijakan-kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat membuka akses keadilan kepada lembaga yang termarginalkan. Strategi jalan memutar (detour strategy) ini dapat menyelamatkan Presiden Jokowi dari tekanan kelompok-kelompok kepentingan (pressure groups) di sekitar Istana. Presiden Jokowi juga harus bertindak hati-hati untuk menghindari ancaman pemakzulan. Kebijakan yang diambil Presiden Jokowi bisa dimaknai sebagai wujud antisipasi terhadap proses hukum normatif-legalistik. Konteks kebijakan Presiden Jokowi mengafirmasi perkataan hakim agung Amerika Serikat, Richard Posner yang berkata; “keadilan dan kesetaraan hanya bisa dicapai lewat kebijakan.”

Walhasil, rakyat Indonesia sudah muak dengan praktik kotor koruptor di negeri ini. Presiden Jokowi dituntun untuk selalu ingat akan salah satu janji kampanye Pilpres silam, untuk menjadi panglima pemberantasan korupsi di Indonesia. Komitmen terhadap rakyat haruslah menjadi ‘hukum’ tertinggi bagi Presiden Jokowi. Bila mana kepentingan koalisi politik bertentangan secara diametral dengan suara rakyat dan hati nurani, Presiden tentu harus berani keluar dan berontak dari pusaran arus politik kepentingan. Apakah Presiden Jokowi cukup bernyali untuk melawan titah kebijakan koalisi parpol? Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Gubernur Jakarta, Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama. Rakyat yang akan menilai sendiri nyali pemimpinnya.***

 

Penulis adalah dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat. PhD Candidate dari TC.Beirne School of Law, University of Queensland, Australia.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.