Mahasiswa, Lembaga Bimbel dan Menteri Pendidikan

Print Friendly, PDF & Email

TULISAN Saudara Oki Alex Sartono berjudul Gerakan Mahasiswa, Riwayatmu Kini di harian IndoPROGRESS, pada Selasa, 16 Desember 2014, mengingatkan saya akan masa yang telah jauh berlalu, ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pada 2008. Saat itu, di desa yang masih langka akan jumlah kalangan intelektual, tercipta satu momen yang sangat berkesan dalam hidup saya hingga kini, yakni ‘pertemuan’ dengan Syair untuk Seorang Petani dari Waimital karya Taufik Ismail dalam kumpulan puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia yang monumental itu.

Di dalamnya, Taufik bercerita, dengan segenap sentuhan sastra, tentang seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bernama M. Kasim Arifin, yang menolak pulang selama 15 tahun, pasca dikirim oleh kampusnya ke sebuah pulau kecil di Maluku sana, Waimital, dalam rangka menjalani program semacam Praktik Kerja Lapangan (PKL). Konon, selama di pulau itu, tanpa pertolongan negara, bersama warga setempat, ia berdikari membangun peradaban berbasiskan pertanian.

Nah, dari syair tersebut, saya menangkap kesan tentang betapa ‘saktinya’ mahasiswa. Pikir saya, dengan jumlah yang seorang saja, sebagaimana yang M. Kasim Arifin teladankan, mereka mampu membuat perubahan konstruktif. Maka sejak saat itu, segelap apapun kondisi pribadi keluarga, saya memberanikan diri untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Adapun tujuannya hanya satu, dan sederhana saja, yakni sebatas ingin bertemu dengan, sekaligus menjadi, seorang mahasiswa.

Kini, tercatat hampir 4 (empat) tahun sudah sejak 2011, saya menjalani studi di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Namun, kenyataan yang dirangkum dari segenap perenungan, justru malah memporakporandakan prasangka positif saya di masa yang terdahulu. Sebabnya, mahasiswa kini, dengan segala hormat, meski tak seluruhnya, harus saya katakan bahwa, alih-alih ‘sakti’ justru malah ‘sakit’.

Paparan di bawah ini, selain mengkonfirmasi tulisan Saudara Oki Alex Sartono, juga akan mempreteli kesalah-dugaan tersebut, plus sedikit menganalisa salah sebuah sebabnya.

 

Bimbel dan Kemerosotan Intelektual Mahasiswa

Seorang mahasiswa senior yang menjadi mahasiswa di tahun 90-an tengah berbincang dengan juniornya yang angkatan 2000-an. Katanya pada sang junior, ‘kualitas intelektual mahasiswa merosot dari tahun ke tahun’. Memang, di masa sang senior, mahasiswa benar-benar disegani, bukan hanya oleh masyarakat yang menganggapnya sebagai kelas ‘elit intelektual muda yang idealis’, tapi juga oleh dosen-dosen pengajarnya yang kagum dengan betapa banyak jumlah bacaan yang mereka ’ganyang’. Mahasiswa, pada saat itu, kerap dianggap sebagai golongan cerdik pandai yang gelora idealisme mudanya demikian membuncah, sehingga mampu merobohkan sistem yang mumpuni sekalipun. Maka, adalah sebuah kebanggaan manakala mahasiswa angkatan 90-an tercatat mampu menggulingkan kekuasaan otoriter Orde Baru serta menjadi pelopor penghujatan tak berkesudahan bagi para pendosa politik di era sesudahnya.

‘Tapi itu dulu’, ujar sang senior. ‘Kini, entah mengapa daya intelektual mahasiswa merosot tajam. Mahasiswa angkatan sekarang, hanya bisa meluapkan kekecewaan dengan cara berdemonstrasi, yang celakanya hanya menggunakan format yang itu-itu saja: orasi gagap yang diisi dengan rentetan diksi garing. Atau paling banter membakar ban. Sebuah kreasi yang sama sekali tidak kreatif. Dan yang lebih mengkhawatirkan, daya intelektual mereka demikian anjlok, hingga ketika dosen meminta membuat semacam karya ilmiah, mereka mencukupkan diri dengan hanya mengutip dua atau tiga sumber dari internet yang sebagian besar kata-katanya jadi bahan jiplakan’, sambungnya lagi berpanjang lebar.

Esok harinya, sang junior masuk kelas. Sialnya, entah kebetulan atau tidak, dosen bercerita tentang tema yang sama. Bahwa mahasiswa angkatan belakangan lebih jongkok dibanding angkatan yang telah lalu. Kemudian, beliau memberikan penjelasan yang lebih aneh tapi masuk akal: Kemerosotan ini bukan hanya karena gencarnya sumber informasi praktis, tapi pula karena menjamurnya lembaga-lembaga Bimbel (Bimbingan Belajar).

Setelah saya pikir-pikir, ada benarnya juga. Ya, lembaga-lembaga Bimbel telah membekali siswa yang hendak masuk universitas tentang cara-cara praktis untuk bisa memecahkan soal. Jargonnya: semakin praktis semakin baik. Akibatnya, siswa tidak lagi dididik untuk bisa memecahkan masalah kehidupan, melatih nalar dan berpikir kritis, melainkan justru didesain untuk mampu berpikir praktis, cepat, enteng sesuai rumus pengajaran dari para tutor Bimbel. Soal-soal yang sejatinya dibuat untuk melatih para siswa berpikir terstruktur, sistematis dan logis, justru malah dijadikan mainan.

Dampaknya fatal. Universitas-universitas yang memiliki nama yahud, yang dulu hanya bisa dimasuki oleh orang-orang berpotensi so good, kini dibanjiri input manusia produk bimbel: Yang tidak bisa memecahkan masalah kehidupan, alih-alih membangun peradaban. Yang hanya bisa merengek demi mendapatkan rumus praktis, alih-alih berpikir kritis. Yang manakala dosen meminta mereka menulis, mereka akan lebih suka menjiplak tulisan yang sudah ada di ‘Mbah Google’, dibanding menggelindingkan roda kreatifitas berpikir mereka yang lama tak terpakai.

So, benarkah demikian? Tentang teori ‘Dampak Bimbel’ ala sang dosen, tentu masih bisa diperdebatkan. Tapi tentang kemerosotan intelektual mahasiswa, para dosen umumnya memiliki kesimpulan yang sama dengan sang mahasiswa senior. Sederet kasus jual-beli nilai yang terjadi di perguruan tinggi, setidaknya bisa menjadi cerminan atas hal tersebut.

Lantas, terhadap sederet argumentasi di atas, kerap saya terima respon semacam ini : Oooh …Jadi ceritanya Bimbel yang salah, gitu?yang pastinya datang dari orang yang masih terlibat dalam dunia per-Bimbel-an. Tapi, tunggu dulu. Hal di atas baru merupakan klaim. Dan sebuah klaim, sebaiknya punya dasar pijakan ilmiah, paling tidak, ada studi khusus tentangnya. Jadi mari kita jadikan itu sebagai hipotesis awal saja. Lagipula, ini bukan masalah Bimbel-nya belaka, melainkan pula menyangkut hal yang lebih besar daripada itu, yang ironisnya adalah buah dari reformasi yang konon diperjuangkan mahasiswa angkatan 90-an sendiri.

 

 

mas

 

Reformasi dan Budaya Penunjukkan Menteri

Selepas reformasi, pejabat pemerintah konon diangkat secara lebih demokratis. Partai politik bertaburan di mana-mana, konon pula katanya mewakili aspirasi masyarakat yang memang heterogen. Presiden juga akhirnya dipilih rakyat. Lantas jajaran pemerintah dipilih oleh presiden. Para pembantu presiden, dalam hal ini menteri-menteri, dipilih oleh presiden sesuai dengan kedekatannnya, atau sesuai konstelasi politik yang menaunginya dan/atau sesuai dengan kepentingan sang presiden. Mereka, hampir mustahil dipilih berdasarkan kompetensinya dalam bidang tertentu.

Dalam hal ini, kerap kali Menteri Pendidikan bukanlah ahli pendidikan. Sejak reformasi, jabatan ini selalu diisi oleh orang yang terdidik, tapi tidak punya latar belakang dunia pendidikan. Mereka duduk di pucuk pimpinan Kementerian Pendidikan, tanpa tahu banyak apa itu pendidikan. Karena mereka tidak tahu apa-apa tentang pendidikan, maka sejak reformasi, kebijakan pendidikan selalu saja jauh lebih banyak menuai kontroversi dibanding kesepakatan.

Di Indonesia, mungkin tak ada satu pun ahli pendidikan yang sepakat bahwa harus ada Ujian Nasional (UN) dalam secuil bidang saja, yang menjadi standar utama kelulusan siswa setelah tiga tahun belajar di sekolah menengah. Logika yang paling sederhana pun pasti menyangkal bahwa kebijakan itu tepat, baik dalam tataran ide maupun praksis. Jika mau jujur, semua guru sekolah menengah pun menolak ujian aneh semacam itu. Tapi berhubung memang Menteri Pendidikan-nya kerap merupakan orang yang tidak paham tentang pendidikan dan/atau ada sekian tangan yang bermain di belakangnya, maka kebijakan itu tetap dipertahankan.

Nah, karena UN yang mengerikan itu ada, maka Bimbel yang semula nyata merupakan lembaga pendidikan luar sekolah, yang membantu anak untuk belajar lebih baik, lebih intensif dan lebih efektif (tapi tidak serta merta efisien, praktis atau enteng), kini bermetamorfosis menjadi lembaga pendidikan yang menawarkan ‘Kelulusan UN 100 persen’ bagi siswa yang dibinanya.

Lantas, Bimbel jadi semakin banyak, tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Dalam stiker iklan yang mereka tempel di tiap pintu Angkutan Kota (Angkot), hampir semuanya menawarkan cara praktis untuk lulus. Sekolah-sekolah pun mewajibkan atau menganjurkan siswanya untuk masuk bimbel. Guru-guru tidak akan sanggup menahan beban yang akan ditanggung seandainya siswa didiknya tidak lulus UN. Perkara kelak sang guru akan bekerjasama dengan guru lainnya untuk membuat ‘Panitia Kecurangan’ adalah soal lain. Tapi bahwa Bimbel telah berubah dari lembaga baik-baik menjadi lembaga oportunis di dalam bingkai komersialisasi pendidikan adalah masuk akal kini.

 

Penutup

Berhubung sekarang hampir semua mahasiswa yang masuk universitas adalah produk Bimbel, yang begitu mengedepankan hasil akhir, kepraktisan dan jalan pintas, maka kemerosotan intelektual mereka menjadi dapat kita mengerti. Saya pribadi sebagai seorang mahasiswa, melihat dan menyadari dengan seyakin-yakinnya bahwa kualitas lulusan universitas hari ini, memang jauh di bawah kualitas para pendahulu mereka di jenjang yang sama. Apakah karena Bimbel? Sekali lagi, silahkan diperdebatkan, tapi bahwa Bimbel menjamur subur dikarenakan kebijakan UN adalah nyata. Dan bahwa telah terjadi degradasi intelektual mahasiswa, pun sekali lagi itu nyata.

Dan, apakah itu tanggung jawab pemerintah? Semoga saja iya. Sebab kini, saya sedang menaruh harapan lebih, pada Menteri Pendidikan, yang meski tidak an sich berlatarkan dunia pendidikan, tapi nampaknya punya passion yang cukup terhadap ranah yang kerap jadi objek pengabaian ini. Di tengah budaya penunjukkan menteri yang kerap sarat akan kepentingan politik praktis tadi, saya melihat beliau sebagai sebuah anomali, ditunjuk karena kompetensi.

Jadi, mohon jawab kegelisahan saya ini, Pak Anies Menteri. Segera evaluasi metode evaluasi dengan ujian aneh semacam itu.***

 

Penulis adalah peneliti di Leadership Institute

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.