Bentrokan antara mahasiswa dengan polisi anti huru hara / Brimob saat unjuk rasa mahasiswa di dekat gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, 1998. [TEMPO/Rully Kesuma; 25d/365/98; 25d36511]rn<br>rnDimuat majalah TEMPO 20000709-025

Pemuda, Remaja, dan Alay: Dari Politik Revolusioner Menjadi Sekadar Gaya Hidup

Print Friendly, PDF & Email

I

PRAMOEDYA Ananta Toer dalam wawancara dengan majalah Playboy Indonesia mengatakan, “Sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda. Angkatan tua itu jadi beban.” Menurut sastrawan besar Indonesia ini, hanya kalangan muda yang mampu menggerakkan sejarah, melakukan perubahan. Lihat saja tetralogi Buru yang mengisahkan tentang Minke, seorang murid sekolah menengah yang kemudian sadar akan posisi bangsanya lalu merintis pembangunan organisasi kebangsaan di Indonesia.

Tapi siapa, sih, pemuda Indonesia itu? Apakah pemuda sama dengan masa muda yang dibatasi umur? Apa dengan begitu politikus berusia muda lantas digolongkan sebagai wakil angkatan muda dalam politik nasional?

Berdasarkan Undang-Undang Kepemudaan Nomor 40 tahun 2009, pemuda didefinisikan sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan, berusia 16-30 tahun. Konsepsi ini ingin menyatakan bahwa masa muda merupakan periode peralihan dari dunia kanak-kanak menjadi dewasa. Dalam budaya Jawa, mereka yang berada pada periode ini disebut “durung Jawa” atau belum dewasa. Artinya, mereka perlu dibimbing untuk memasuki dunia orang dewasa, karena menjadi anak-anak berarti tidak memiliki kemampuan untuk menentukan segala sesuatu atas dirinya sendiri.

Sejarawan Prancis Philip Aries dalam karyanya Centuries of Childhood mengatakan, konsepsi tentang “masa kanak-kanak” sebagai ranah yang terpisah dari dunia “dewasa” baru muncul di Eropa seiring tumbuhnya gagasan tentang keluarga, rumah, hak pribadi, dan kepribadian pada Abad Pertengahan. “Masa kanak-kanak” sebagai bagian terpisah dari dunia orang dewasa menjadikan anak-anak tergantung pada dan perlu dilindungi oleh orangtua ketika di rumah. Mereka juga butuh persiapan di sekolah sebagai transisi menuju dunia dewasa. Aries juga mengatakan bahwa gagasan “masa kanak-kanak” berkembang seiring dengan adanya gagasan tentang ketergantungan. Kata-kata seperti: son, varlets, dan boys merupakan kata-kata yang ditujukan kepada masyarakat kelas bawah dalam tatanan masyarakat Eropa sebelum Revolusi Prancis. Pemahaman itu dibawa Belanda yang pernah berkuasa di Tanah Air. Maka dikenallah istilah jongos, sebutan bagi pembantu rumah tangga atau pelayan yang berasal dari bahasa Belanda jongens, artinya anak laki-laki.

Untuk dapat mencapai kedewasaan, kelas bawah dianggap harus melepaskan ketergantungannya dari kelompok yang lebih tinggi dalam masyarakatnya, seperti halnya anak-anak harus lepas dari orangtuanya. Akan tetapi bagaimana dengan anak-anak dari keluarga miskin atau buruh rendahan? Apakah mereka bahkan memiliki masa muda?

Menurut Onghokham (1977: 17), eksistensi pemuda terkait erat dengan kegiatan belajar sebelum masuk ke dalam dunia dewasa, yakni ke dalam kesatuan sosial-ekonomi. Anak-anak dari keluarga miskin tidak punya kesempatan untuk belajar dan dipaksa untuk langsung bekerja atau menikah, sehingga dengan sendirinya tidak memiliki masa muda. Dengan demikian, kategorisasi umur saja tidak cukup untuk menjelaskan masuk/tidaknya seseorang dalam golongan muda. Bagaimanapun ada proses sosial, politik, dan kultural yang memberikan makna pada kategori pemuda. Alhasil, pengalaman di dalam sejarahlah yang membentuk sosok pemuda.

II

Kepemudaan dalam sejarah politik Indonesia selalu terkait dengan semangat penuh vitalitas dan revolusioner. Bahkan ada yang menempatkannya sebagai aktor sejarah yang berperan sentral karena posisinya dalam berbagai peristiwa selalu dramatis dan lebih seru daripada dunia politik dewasa (Onghokham, 1977: 15). Adalah sejarawan Ben Anderson yang menggunakan kata ‘pemuda’ dalam studinya tentang revolusi di Jawa 1944-1946. Menurutnya, orang muda yang disebut sebagai golongan pemuda merupakan motor dari revolusi yang tengah bergulir. Bahkan, peranan mereka sekaligus mengalahkan peranan kaum intelegensia dan kelompok lainnya dalam kancah perpolitikan saat itu. Alhasil, dia menyebut gejolak yang terjadi pada periode itu sebagai “Revoloesi Pemoeda”.

Tanpa adanya golongan pemuda, barangkali takkan ada Proklamasi 17 Agustus 1945 karena tak ada yang menculik Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Tindakan itu telah membentuk identitas politik kaum muda karena sifatnya yang revolusioner. Walau demikian, menurut Onghokham, suasana zaman saat itulah yang membentuk pemuda. Kata pemuda merupakan sebutan sinis Belanda yang ingin kembali berkuasa pasca-angkat kakinya Jepang. Orang-orang Belanda yang baru pulang dari kamp-kamp tahanan Jepang atau tempat-tempat pengasingan kaget melihat dunia kolonial beserta berbagai produk asuhan mereka yang telah hilang, seperti tukang kebun dan baboe perempuan, termasuk golongan muda terpelajar sebagai buah Politik Etis Belanda. Di mata orang-orang Belanda, semuanya kelihatan muda dan “kurang ajar” karena menentang Belanda. Orang-orang muda memilih memanjangkan rambutnya dan berpakaian ala militer. Belanda menyebut orang-orang muda baru itu pemuda, teroris, ekstrimis, atau pelopor. Para pemuda pada periode revolusi ini memang berbeda dengan pemuda dari periode sebelumnya.

Pada periode sebelum proklamasi, kekuatan pemuda adalah pada pikiran untuk melakukan perubahan dalam masyarakatnya. Kuncinya adalah pendidikan yang memberikan cara pandang baru atas diri dan dunia di sekelilingnya dalam tatanan kolonial yang rasialis. Dalam sejarah Indonesia, cara pandang baru ini dikenal sebagai “kebangkitan bangsa”. Tak heran jika Robert Elson menyatakan bahwa gagasan tentang Indonesia sebagai entitas politik terlahir relatif baru pada awal abad ke-20, lebih lambat dibandingkan negara terjajah lainnya, seperti Cina yang pada 1912 telah menyatakan kemerdekaan. Kebangkitan tersebut sering diidentikkan dengan lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 dan kemudian mendapatkan momentum pada 28 Oktober 1928 dengan ikrar pemuda tentang bangsa, tanah air, dan bahasa persatuan: Indonesia.

Melalui pendidikan, kalangan muda bisa masuk ke dalam tatanan sosial Hindia-Belanda yang rasial. Semakin tinggi pendidikan, maka semakin dekat mereka dengan dunia berbahasa Belanda, bahasa penjajah, sehingga mereka dapat menjadi lebih “modern”. Pendidikan Barat telah melahirkan suatu generasi baru yang menyebut diri sebagai kaum muda dan mengidentifikasikan dirinya berbeda dengan generasi orangtuanya dan orang-orang yang tidak berpendidikan Barat. Mereka mengidentifikasikan diri pada gaya hidup modern Barat—misalnya, berpotongan rambut pendek yang klimis, berpakaian kemeja yang necis, bersepatu, dan menggunakan kata-kata Belanda dalam percakapan sehari-hari, serta menonton film—yang merupakan simbol kemodernan saat itu dan lambang penyejajaran diri dengan bangsa Barat. Pendidikan Barat dan usaha peniruan gaya Barat tersebut memberikan bentuk kesadaran “nasional” kaum muda sebagai bumiputra di Hindia yang bergerak bersama dengan “bangsa-bangsa” lain—yang status sosialnya lebih tinggi—menuju modernitas (Shiraishi, 1997: 39-42).

Lewat pendidikan pula pemuda memperoleh peranan dan pengaruh yang besar dalam sejarah Indonesia. Sebagai kaum intelektual, mereka berperan menyerap ide-ide, lewat bacaan maupun persentuhan dengan dunia Barat, yang kemudian ditransfer ke masyarakatnya yang mayoritas buta huruf melalui suatu penyebaran informasi yang terbatas. Kematangan intelektual ini yang menurut Onghokham (1983: 12) menjadi ciri khas para pendiri bangsa, seperti Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Mereka mengatur hidup masa mudanya menurut cita-cita dan peranan yang mereka idamkan. Misalnya Sukarno, yang punya peluang untuk terjun langsung sebagai politikus pada usia 22 tahun selepas lulus dari sekolah menengah, Hogere Burgershool (HBS). Dia justru memilih untuk melanjutkan pendidikannya terlebih dulu di Technische Hogeschool (THS) sebelum mendirikan Algemene Studie Club dan kemudian menelurkan tesis Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme pada 1926.

William H. Frederick (1997: 227) mendefinisikan pemuda pada periode ini sebagai mereka yang berpendidikan modern, berasal dari keluarga kaya, kebanyakan berasal dari wilayah perkotaan, dan memiliki kesadaran politik. Karakter ini berbeda dengan pemuda pada periode selanjutnya ketika pendidikan bukan lagi menjadi pokok identitasnya. Kedatangan pemerintah militer Jepanglah yang mengubah situasi tersebut.

Pemerintah Jepang memobilisasi pemuda ke dalam berbagai organisasi politik dan militer, hal yang tidak pernah dilakukan semasa pemerintahan Hindia-Belanda. Mobilisasi ini masuk hingga ke kota-kota kecil dan pedesaan yang selama itu terpinggirkan dari pusaran politik. Pemuda yang ideal bukanlah mereka yang terpelajar, tapi terutama mereka yang berbadan sehat. Mereka adalah “pemuda perwira” (Farid, 2011: 77). Konsepsi ini menemukan bentuknya pada periode revolusi 1945-1949, setelah Jepang menyatakan kalah perang dan Belanda mencoba kembali masuk ke Indonesia yang sudah menyatakan kemerdekaan.

Di tengah kecamuk revolusi, jalan kekerasan menjadi salah satu cara untuk mempertahankan Republik yang baru seumur jagung. Para pemimpin politik dari generasi sebelumnya yang memiliki pendidikan relatif lebih tinggi tidak cocok dengan tugas yang bengis itu. Pemimpin-pemimpin yang baru muncul dengan gaya yang berbeda, dengan rambut panjang terurai, pakaian militer, dan sebuah pistol—sebagai lambang kekuasaan revolusioner—yang tersemat dipinggang, serta cara memberikan perintah yang tajam dan tegas (Reid, 1996: 91). Mereka, kebanyakan adalah para jago yang kemudian membentuk laskar-laskar perjuangan.

Jelas, pemuda dalam dua periode sejarah Indonesia di atas terkait erat dengan aktivitas politik, dan peranan pemuda yang demikian tetap berlangsung pada periode selanjutnya. Apalagi Sukarno, dengan slogannya “Revolusi belum selesai”, menjadikan aktivitas politik sebagai upaya membangun karakter bangsa. Pada periode 1950-an seiring dengan Pemilihan Umum 1955, aktivitas politik pemuda disalurkan melalui partai-partai politik (Onghokham, 1977: 22).

Menjelang berakhirnya pemerintahan Sukarno yang berujung dengan naiknya pemerintahan Suharto, para pemuda—terutama sekali para pelajar universitas maupun sekolah menengah—mendirikan kesatuan-kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, dan KAPPI untuk menjalankan peran politiknya. Maka dikenallah mereka kemudian sebagai Angkatan ‘66 dalam sejarah Indonesia. Walaupun demikian tak bisa diabaikan pula bahwa keberhasilan aktivitas politik orang-orang muda itu, khususnya mahasiswa, untuk menumbangkan kekuasaan Sukarno, tidak lepas dari dukungan tentara—terutama Angkatan Darat.

III

Berbeda dengan Sukarno, naiknya Suharto sebagai penguasa Orde Baru justru menutup layar tradisi revolusi Indonesia yang utamanya dipegang oleh mereka yang berusia muda (Shiraishi, 2001: 51). Hadirnya Orde Baru mengakhiri peranan politik pemuda. Penghilangan yang revolusioner berjalan seiring dengan penghilangan nyawa ratusan ribu orang komunis atau yang disangkakan sebagai komunis. Tak ingin gerak-gerik politik kaum muda yang revolusioner menjatuhkannya, Suharto memaksakan depolitisasi segala aspek kehidupan masyarakat. Ini dimantapkan dengan penataan sistem politik massa mengambang (floating mass) yang pada pokoknya mengusahakan agar masyarakat terjauhkan dari kegiatan politik kepartaian, ideologi, dan semacamnya, demi mencapai suatu tujuan baru, yaitu pembangunan nasional.

 

Jika pada periode-periode sebelumnya pemuda memegang peranan inti sebagai simbol nasionalisme yang revolusioner, oleh Orde Baru peranan historis ini diubah. Peranan pemuda seperti sebelumnya betul-betul hanya tinggal “sejarah”. Pemuda dikonsepsi ulang dari barisan garda depan menjadi sekadar penjaga “perubahan” yang berarti “pembaruan”, yakni mengganti rezim Sukarno (Loren Ryter, 1998: 58). Bukan nasionalisme yang revolusioner dengan semangat pengorbanan yang diinginkan Orde Baru, melainkan nasionalisme yang ditransformasikan sebagai loyalitas kepada negara (Ryter, 1998: 47). Loyalitas ini berarti menjaga program pembangunan yang tengah dijalankan pemerintah.

 

Sebagai agen sejarah pembangunan modern, kaum pemuda diinstitusikan lewat penghidupan kembali Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam Kabinet Pembangunan III pada 1978, setelah dibekukan pada 1966. Pemerintah Suharto juga membentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada 1973. Bukan hanya itu, organisasi kepemudaan yang dekat dengan premanisme seperti Pemuda Pancasila pun ditransformasikan untuk melanggengkan kekuasaannya. Ini adalah pemuda “gaya baru” yang berbeda dengan pemuda periode sebelumnya yang aktif turun ke jalan, berdemonstrasi menentang pemerintah atau intervensi asing. Aksi demonstrasi bagi pemuda gaya baru ini hanyalah hobi yang dapat menghasilkan uang (Ryter, 1998: 59). Dalam kategorisasi Orde Baru, seperti disebutkan Ryter (1998: 48), definisi pemuda dan preman justru saling berkelindan sebagaimana pergeseran makna perjuangan yang heroik menjadi perebutan lahan. Maka jangan heran kalau sering kita mendengar tentang keributan antar-organisasi kepemudaan dalam perebutan lahan parkir atau perdagangan yang tak jarang menimbulkan kematian.

Pembangunan bagi pemerintah Orde Baru adalah kelanjutan dari perjuangan merebut kemerdekaan. Membangun merupakan cara untuk mengisi kemerdekaan yang telah direbut. Dengan demikian, nilai-nilai kejuangan perlu untuk dilestarikan, seperti kata Suharto, “(…) agar dapat menjadi landasan, kekuatan, dan daya dorong bagi perjuangan bangsa kita selanjutnya. Yakni perjuangan mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia tidak sampai putus di tengah jalan karena kehilangan kekuatan dan semangat, kehilangan elan pembangunan. Nilai-nilai kejuangan dan elan itu tetap penting dalam tahun-tahun pembangunan di hadapan bangsa kita. Sebab tahun-tahun itu nanti akan penuh dengan ujian dan tantangan berat, terutama karena berbagai perkembangan ekonomi yang tidak menguntungkan pembangunan kita.” (Soeharto, 1989: 559).

Kegiatan politik yang melibatkan orang muda pada masa Orde Baru terbatas hanya pada kalangan pelajar di universitas yang disebut mahasiswa. Akibatnya, aktivitas politik orang muda semakin elitis karena hanya sedikit pemuda yang dapat meneruskan pendidikan di bangku kuliah. Mahasiswa memang merupakan kategori yang terpisah dari pemuda dalam konsepsi Orde Baru. Dalam beberapa peristiwa aksi, seperti aksi penolakan pembangunan proyek “Miniatur Indonesia” pada akhir 1971, mahasiswa justru harus berhadapan dengan para pemuda Orde Baru. Layar revolusioner, yang dalam pengertian sangat rendah merupakan kekritisan anak muda, semakin meredup dengan terjadinya Peristiwa Malari dan gerakan mahasiswa 1978, serta dibungkam dengan penerapan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Pemuda yang politis semakin menghilang dan hanya ada di KNPI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), atau Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), yang ketiganya menjadi jalan untuk masuk ke dalam Golongan Karya (Golkar), organ politik milik pemerintah Orde Baru. Posisi pelajar, mahasiswa, golongan muda, atau orang-orang yang berada di luar pemerintahan, berada di tempat yang rendah dalam hierarki Orde Baru. Ini karena pada dasarnya Orde Baru merupakan orde militer yang berbentuk hierarki birokrasi dan teknokrat (Onghokham, 1977: 22).

IV

Selain mengonstruksi ulang definisi pemuda dari yang revolusioner menjadi sekadar penjaga rezim, serta mengalihkan peran politiknya kepada sekelompok kecil mahasiswa, Orde Baru terus menciptakan proyek baru kepemudaan. Anak muda, baik lelaki maupun perempuan, mengalami pendefinisian ulang. Istilah pemuda yang berkonotasi politik dan revolusioner bergeser menjadi remaja, atau kadang-kadang disebut pelajar, yang apolitis. Remaja digambarkan sebagai kumpulan orang yang belum matang, cenderung bergerombol, kadangkala mengenakan seragam sekolah, tidak disiplin, gampang naik darah, liar, dan yang terutama tidak bermakna penting. Dengan begitu, mereka perlu diatur, didisiplinkan, serta dituntun oleh para orang tua (Shiraishi, 2001: 237). Menurut antropolog James Siegel dalam Solo in the New Order, dalam definisi budaya Orde Baru seseorang tidak serta-merta menjadi remaja karena berusia muda, tapi karena memiliki selera dan aspirasi yang menandakan bahwa dirinya seorang remaja. Selera dan aspirasi para remaja tersebut tecermin dalam kegemarannya pada musik pop dan mode pakaian yang terbaru, yang sedang ngetren, yang pada umumnya mengacu pada perkembangan di negeri Barat. Dengan kata lain, menjadi remaja adalah sebuah gaya hidup.

Tetapi tidak semua anak muda menjadi remaja. Hanya anak muda kelas menengah perkotaan yang memiliki akses terhadap konsumsi kosmopolitan yang dapat menjadi remaja. Remaja, dengan demikian, bukan semata temuan pemerintah Orde Baru yang memang menginginkan anak-anak muda menjadi apolitis, melainkan sebagai persilangan sejarah antara kepentingan pemerintah dan kepentingan modal. Remaja lahir dari rahim kapitalisme, percampuran antara kebutuhan negara dan kepentingan pasar melalui kebijakan pendidikan masyarakat dan penggambaran media (Luvaas, 2009: 62).

Remaja merupakan buah dari budaya pop yang mulai tumbuh subur pada masa Orde Baru, terutama pasca-boom minyak era 1970-an yang memunculkan orang-orang kaya baru. Kehadiran remaja berjalan seiring dengan semakin mantapnya pengaruh industri kapitalisme dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan konsumsi. Waralaba makanan cepat saji McDonald’s membuka gerai pertamanya di Indonesia di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta, pada 23 Februari 1991. Restoran ini segera menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda menengah-atas yang ingin merasakan sensasi Amerika dengan menikmati burger atau ayam goreng dan minum kola. Pusat-pusat perbelanjaan pun dibangun di sejumlah wilayah yang juga menjadi area berkumpul dan bersosialisasi anak-anak muda sambil berbelanja atau sekadar duduk-duduk di restoran cepat saji. Pada 1990-an pula mulai populer istilah ABG (Anak Baru Gede) dan anak gaul untuk menggambarkan remaja yang senang pergi ke mal-mal.

Mundurnya Suharto dari kursi presiden pada 1998 menjadi tantangan untuk mengkaji pemuda pasca-Orde Baru. Karakter pemuda seperti yang didefinisikan pada masa Orde Baru masih terasa hingga saat ini. Namun suasana zaman yang berbeda, yakni kebebasan yang lebih dalam berekspresi dan memperoleh informasi, membuka peluang untuk mengkaji tema tentang pemuda. Salah satu fenomena yang menarik untuk diamati adalah “alay”.

V

Alay, yaitu akronim “anak layangan” atau “anak kelayapan” yang populer sejak medio 2010-an, merupakan sebutan bagi anak-anak muda dengan gaya yang dianggap norak dan kampungan. Agak sulit untuk mendefinisikan alay secara tepat. Ada yang melihatnya dari penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan (Ekky Imanjaya, 2010), ada pula yang menggolongkan alay berdasarkan pilihan lagu (Lhuri Dwianti Rahmartani, 2011). Namun gambaran umum tentang alay adalah anak muda dari kelas menengah-bawah yang ingin masuk ke dalam lingkaran budaya konsumsi global. Mereka memiliki keinginan atas produk-produk fesyen bermerek yang biasanya merupakan produk impor, tetapi keterbatasan finansial menyulitkan mereka untuk mencapai memiliki barang-barang tersebut. Maka, mereka memakai produk-produk pakaian, sepatu, jam tangan, dan berbagai pernak-pernik lain dengan merek palsu. Mereka juga memiliki ketertarikan pada musik pop yang mereka dengar di radio atau tonton di acara-acara musik di televisi.

Tentunya definisi di atas bias kelas karena dilihat dari kacamata kelas menengah-atas yang secara ekonomi lebih mampu. Perhatikan lirik lagu ciptaan Ronal Surapradja dan Tike Priatnakusumah, artis sekaligus penyiar di stasiun radio JakFM, pada 2010 berjudul “Aku Anak Alay” di bawah ini, yang merupakan parodi lagu Eminem dan Rihanna berjudul “Love The Way You Lie”:

(Dibilang standar nggak ngetren

Gak apa karena aku kurang dokat

Dibilang standar gaya lebay

Gak apa karena aku memang alay

Aku anak alay)

 

Aku anak alay yang manis

Badan kurus kering dan tipis

So… aku diakui disuka meski kadang dibenci

Kami punya cara untuk berekspresi

Silakan dihapal ini ciri-ciri kami

 

Kami pakai baju distro kelas dua

Gua gak peduli yang penting kita bisa gaya

Celana melorot kelihatan boxer

Angin kena pantat berasa seerr

Bau badanku unik bau matahari

Meski begitu ku tetap merasa seksi

Rambutku sering disebut ramires

Rambutku agak miring otak agak gak beres

SMS campur huruf angka dan tanda baca

Bikin yang baca kesal lempar hape ke kaca

Kerjaanku penonton bayaran di TV

Tiap hari joget tanpa ekspresi seperti zombie

 

(Dibilang standar nggak ngetren

Gak apa karena aku kurang dokat

Dibilang standar gaya lebay

Gak apa karena aku memang alay

Aku anak alay)

 

Ababil ABG labil

(Aku anak alay)

Ababil ABG labil

Kartunis Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad (2008: 66) juga mempopulerkan stereotip serupa dalam kumpulan kartun mereka berjudul 100 “Tokoh” yang Mewarnai Jakarta.
Kartunis Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad (2008: 66) juga mempopulerkan stereotip serupa dalam kumpulan kartun mereka berjudul 100 “Tokoh” yang Mewarnai Jakarta.

Sejarah kehadiran alay sebetulnya sama dengan kemunculan anak-anak muda crossboy era akhir 1960-an dan awal 1970-an, kemudian remaja, ABG, atau anak gaul pada 1990-an. Mereka lahir dari fenomena budaya pop yang seiring makin gencarnya ekspansi industri kapitalisme yang didukung banjirnya arus informasi. Informasi memegang peran penting bagi terbentuknya subkultur baru. Hadirnya remaja atau alay saat ini tidak lepas dari begitu derasnya arus informasi yang diperoleh. Banjir arus informasi ini memberikan pengetahuan secara cepat mengenai perkembangan yang terjadi di belahan dunia lain.

Perkembangan musik rock pada era 1960-an sampai 1970-an, misalnya, tidak lepas dari pengaruh pembukaan saluran informasi melalui radio Australia atau Voice of America (VoA) oleh Angkatan Darat untuk mematahkan pengaruh komunisme pada anak muda. Bahkan William H. Frederick (1982: 107) menilai, pengaruh musik rock Inggris dan Amerika lebih dulu masuk ketimbang kegiatan ekonomi Barat pada masa Orde Baru. Namun akses informasi pada era 1960-an dan selama masa Orde Baru hanya terbatas pada mereka yang memiliki kemampuan secara ekonomi. Hanya anak-anak muda dari keluarga-keluarga yang mempunyai radio, televisi, atau mampu membeli majalah hiburan, piringan hitam, serta kaset dari grup-grup musik yang sedang populer saat itulah yang memiliki akses memperoleh informasi. Dengan demikian, mereka dapat menampilkan dirinya sebagai remaja yang memiliki selera dan aspirasi gaya hidup sesuai perkembangan di negeri Barat.

Jatuhnya Suharto mengubah hal itu. Arus informasi semakin deras, dapat dikatakan seolah tiada batas, dan memberikan dampak yang lebih luas. Melalui televisi, media cetak, dan terutama internet yang sebelumnya hanya diterima kalangan terbatas, akses terhadap informasi seolah tak terhentikan. Semua lapisan masyarakat dapat memperoleh informasi tentang budaya pop yang sama mengenai makanan, pakaian, musik, atau film. Gencarnya pembangunan, terutama sejak 1980-an, meski sempat terhenti pada periode krisis 1997-1998, memberikan akses kepada masyarakat untuk masuk ke dalam lingkungan kehidupan modern melalui konsumsi. Kehadiran pusat-pusat perbelanjaan yang tidak hanya di pusat-pusat kota, tetapi hingga ke daerah-daerah pinggiran, semakin mendorong keinginan anak muda secara umum untuk menjadi bagian dari kebudayaan konsumsi tersebut. Pergi ke mal adalah salah satu acara mengisi waktu luang yang biasa dilakukan keluarga Indonesia.

Anak-anak muda Indonesia pasca-Suharto dari semua lapisan memiliki akses yang sama untuk masuk ke dalam budaya konsumsi. Pada era Suharto hanya remaja gaul dari keluarga kelas menengah-atas yang suka nongkrong di mal, makan di restoran, menghadiri pentas musik, dan memakai pakaian yang berbeda yang menandakan kemudaannya. Namun Indonesia pasca-Suharto memberikan akses-akses tersebut ke semua lapisan masyarakat. Perbedaannya hanya pada: Nongkrong di mal mana? Makan di restoran apa? Menonton pentas musik apa dan di mana? Apa merek pakaiannya? Dengan kata lain, perbedaannya adalah pada persoalan finansial, uang yang menyokong gaya hidup mereka.

Televisi bukan sekadar kotak kaca yang memberikan citraan imajinasi bagi penontonnya, melainkan juga memberikan sarana bagi masyarakat untuk melompat ke kelas status di atasnya. Acara-acara televisi seperti Akademi Fantasi Indonesia (AFI), Indonesian Idol, Kontes Dangdut TPI, Voice of Indonesia, serta berbagai ajang pencarian bakat lainnya memberikan kesempatan kepada semua kelas masyarakat untuk masuk ke dalam dunia hiburan, tampil di televisi, dan menjadi populer, hal yang sebelumnya hanya dapat dijangkau oleh masyarakat kelas menengah-atas. Anak-anak muda menengah bawah pun lalu bisa tampil di televisi dengan menjadi penggembira di acara-acara musik.

“Gerombolan Alay”, Sumber: Mice Cartoon, Kompas Minggu, 12 Februari 2012.
“Gerombolan Alay”, Sumber: Mice Cartoon, Kompas Minggu, 12 Februari 2012.

Bersamaan dengan itu, dengan kebebasan yang mekar pada periode pasca-Orde Baru ini, bermunculan pula anak-anak muda yang kreatif dengan gerakan “Do It Yourself” (DIY). Mereka mendirikan distro, membuat zine, menyelenggarakan konser musik independen, dll. Meskipun muncul pula pertanyaan, sejauh mana kebebasan tersebut memunculkan beragam kreativitas. Penelitian Ronny Agustinus (2011) tentang perkembangan video amatir menunjukkan bahwa kuasa media-media arus utama, terutama media Jakarta, sebagai pusat-pusat produksi narasi, tidak serta-merta terdesentralisasi dengan adanya jaringan “demokratis” internet. Alih-alih memunculkan keanekaragaman berekspresi dari ribuan pribadi yang berbeda, kemudahan berinternet justru memassalkan tren hegemonik yang telah melanda ribuan orang. Secara retoris Ronny bertanya, apakah jaringan internet akan meragamkan ekspresi atau jangan-jangan  justru menyeragamkan ekspresi?

VI

Jadi siapa pemuda Indonesia? Menyitir definisi Siegel, kemudaan tidak terbatas umur seperti yang diangankan dalam Undang-Undang Kepemudaan. Maka jangan heran kalau kita menemukan pemuda, remaja, dan alay pada diri seseorang, meskipun dari segi usia sebetulnya tidak muda lagi. Tentu pilihannya ada pada masing-masing individu, apakah ingin menjadi pemuda yang penuh vitalitas dan semangat yang revolusioner atau cukup menjadi remaja, sekadar berpuas diri dengan komodifikasi gaya hidup. Jangan heran pula kalau kita melihat bapak-bapak dan ibu-ibu bergaya layaknya remaja dengan alasan sedang pubertas kedua, ketiga, dan seterusnya.

Dalam politik, maka, keinginan untuk menerapkan afirmasi politik kaum muda, sebagaimana afirmasi politik perempuan, bakal menemukan persoalan. Bukan saja belum jelas, siapa yang akan mewakili kaum muda dalam politik di tengah arus informasi yang semakin terbuka. Yang juga tidak dapat diabaikan adalah bahwa politik kaum muda erat kaitannya dengan gagasan dan kehendak ingin melakukan perubahan. Mereka, misalnya, akan memilih mati-matian berdebat memperjuangkan gagasan di parlemen ketimbang bergenit-genit di layar TV. Jadi siapa wakil politik kaum muda sekarang? Apakah mantan aktivis mahasiswa seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon, artis Anang Hermansyah, atau Edhie Baskoro?

_________________________________

*Aria W. Yudhistira, bekerja di Katadata Indonesia (ariatama@gmail.com)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.