Pelajaran Morsy untuk Jokowi dan Partai Islam

Print Friendly, PDF & Email

PADA bulan Maret 2013, seorang kolumnis Mesir bernama Khaled Fahmy menulis sebuah artikel menarik di Ahram, harian terbesar di Mesir. Tulisannya, yang mengritik sikap Presiden Morsy terhadap para demonstran yang melakukan protes di depan gerbang istananya, diberi judul ’Apa yang tidak dipahami Morsi tentang Reformasi Kepolisian?’ Masa itu memang masa-masa ketika Mesir tengah dilanda gelombang demonstrasi yang menuntut pengunduran diri Presiden Mohammad Morsy.

Di artikel tersebut, ia menulis paragraf seperti ini:

‘Saya tidak akan menyebut-nyebut sikap yang diberikan oleh orang-orang presiden di luar istana. Saya hanya ingin mengingatkan Presiden bahwa mereformasi kepolisian bukan hal kecil yang bisa sewaktu-waktu diabaikan. Sikap Presiden yang mencoba untuk mengabaikan masalah ini akan membuat Pemilu kehilangan maknanya’

Indonesia memang bukan Mesir, tetapi apa yang terjadi hari ini mirip dengan apa yang terjadi satu setengah tahun silam di Mesir. Tentu dengan aktor yang sama sekali berbeda. Di awal kepemimpinan Joko Widodo, aktivis mahasiswa, buruh, dan gerakan sosial turun ke jalan untuk menolak kebijakan kenaikan harga BBM –yang kemudian ditanggapi dengan kekerasan oleh para polisi di Riau, Makassar, Rembang, dan berbagai kota lainnya. Mengingatkan kita pada demonstrasi menolak Dekrit Presiden Morsy di pertengahan tahun 2012.

 

Morsy dan Kejatuhannya

Saya akan sedikit memutar memori kembali ke tahun-tahun itu. Pada tahun 2011, setelah rezim Mubarak jatuh oleh demonstrasi yang kini kita kenang sebagai Arab Spring, Ikhwanul Muslimin telah muncul sebagai kekuatan terbesar yang siap menggantikan Mubarak di kursi kepresidenan. Seiring dengan proses demokratisasi, Ikhwan merespons dengan membuat partai bernama Hizb al-Hurriyah wal ‘Adalah (kemudian kita sebut FJP), bertarung dalam Pemilu, dan kemudian… menang. Di tengah tercerai-berainya kekuatan oposisi Mubarak yang lain, mereka berhasil membangun sebuah kekuatan yang patut diperhitungkan dalam  politik domestik.

Lalu, setahun kemudian, mereka mencalonkan Mohammad Morsy sebagai Presiden. Setelah perjuangan panjang Pemilihan Presiden dua putaran, mereka menang tipis atas pesaingnya, mantan penerbang dan perdana menteri Mubarak, Ahmad Shafiq. Morsy menjadi presiden dan FJP, bersama Partai Nour bikinan Salafi, menjadi partai terbesar di parlemen.

Akan tetapi cerita itu cuma awal dari kisah pendek gerakan Islamis di istana kepresidenan. Morsy mencanangkan apa yang ia sebut (atau tepatnya, apa yang dirancang oleh tanzhim/politbiro Ikhwan) sebagai Nahdha Project. Program teknokratis-populis yang dirancang untuk pemulihan ekonomi Mesir. Setelah dilanda krisis beberapa tahun sebelumnya Yah, walau tidak mirip, mengingatkan kita pada Revolusi Mental a la Jokowi.

Namun sebagaimana dikritik oleh Khaled Fahmy di Ahram, ada satu agenda yang dilupakan oleh Morsy: reformasi kepolisian! Morsy boleh saja bekerja, tapi pengabaian yang ia lakukan terhadap reformasi kepolisian Mesir menyebabkan citranya, sebagaimana terbukti di pertengahan tahun 2013, menjadi cukup buruk.

Selama bertahun-tahun di bawah Mubarak, polisi menjadi entitas yang, meminjam Foucault, panoptik:  memata-matai dan mengontrol semua aktivitas warga negara dengan kuasa yang mereka miliki. Mesir punya istilah khusus untuk ini: mabahits amn daulah (sebangsa intelijen) yang menjadi alat negara untuk merepresi musuh-musuh politiknya. Tak salah jika beberapa sastrawan Mesir, bahkan hingga sastrawan Indonesia macam Habiburrahman el-Shirazy, menggambarkan bagaimana menakutkannya lembaga ini dalam beberapa novelnya: penangkapan, mata-mata, hingga fitnah bisa berlangsung kapan saja dan kepada siapa saja.

Corak kepolisian yang sangat represif inilah yang kemudian, di masa Morsy, menjadi poin kunci untuk menjelaskan mengapa masa pemerintahannya tidak bisa benar-benar aman. Akhir tahun 2012, Morsy mengeluarkan dekrit yang membuat kekuasaan presidensialnya menjadi sangat kuat. Konteksnya sebetulnya sederhana: agar Majelis Konstitusi (semacam Konstituante/pembuat UUD) bisa bekerja dengan baik tanpa gangguan parlemen. Namun, Dekrit justru memunculkan resistensi yang baru. Baik oposisi maupun aktivis-aktivis gerakan yang turun ke jalan ketika Arab Spring menolak dekrit tersebut.

Alasan dekrit memang politis, dan kita kemudian tahu apa yang terjadi: Majelis Konstitusi menggolkan draft Konstitusi yang menyisipkan kata ‘Islam’ sebagai dasar negara.

Kendati demikian, walaupun sukses dengan Konstitusi baru yang akhirnya lolos setelah diajukan via referendum (kepada seluruh rakyat Mesir), Morsy harus menghadapi tantangan berikutnya: semakin banyak orang yang menutut dirinya mundur. Awal tahun 2013 menjadi babak baru dalam politik Mesir. Tokoh-tokoh kunci oposisi seperti Ahmed Shafiq, Hamdeen Sabbahi, dan Muhammad el-Baradei bertemu dan membentuk koalisi yang bernama Front Penyelamat Nasionalkoalisi yang cair namun menjadi penyeimbang kekuasaan Morsy yang kuat. Bertemunya mereka di forum tersebut membuat kekuatan kelompok oposisi semakin terkonsolidasi, dan terus mencoba menjegal kepemimpinan Morsy baik dari dalam maupun dari luar parlemen.

Agak berlebihan mungkin kalau saya menyebut Front itu tak jauh berbeda dengan Koalisi Merah Putih di Indonesia (yang di dalamnya ada PKS, partai Islamis Indonesia), tetapi sebetulnya tujuan Front ini sebetulnya jelas: mengkritik besar-besaran apa yang dilakukan oleh Morsy dan koalisi Islamisnya di istana kepresidenan. Dalihnya macam-macam, dari penyeimbang hingga mitra kritis dan lain sebagainya.

Namun sayangnya, respons Morsy juga keras. Di sini kritik Fahmy itu jadi penting: kegagalan Morsy mengontrol polisi membuat situasi kemudian tidak lagi memihak dirinya. Perkembangannya, para polisi justru bertindak represif dengan memukuli para demonstran di beberapa tempat, terutama di Port Said dan depan istana kepresidenan. Harian Egypt Independent (Al-Masry al-Youm), yang memang tidak suka pemerintah, secara rutin menampilkan pemberitaan tentang kekerasan polisi di media mereka.

Fenomena semacam ini kemudian memberikan energi tersendiri kepada oposisi untuk memukul pemerintahan Morsy. Mereka tahu mereka tidak bisa berbuat apa-apa di parlemen, maka oposisi kemudian mendukung gerakan-gerakan protes yang turun ke jalan menuntut Morsy mundur. Represi yang dilakukan oleh polisi membuat mereka semakin bersemangat untuk demonstrasi dan protes.

Karena kegagalan Morsy melakukan reformasi kepolisian ini, pemberitaan di tahun 2013 bukan dipenuhi oleh kegemilangan Nahdha Project Morsy, tetapi justru oposisi yang semakin banyak turun ke jalan! Mei tahun 2013, giliran pemuda yang turun ke jalan. Satu kelompok pemuda membentuk poros baru yang namanya Tamarrodl dan kemudian beraliansi dengan oposisi untuk menuntut Morsy mundur. Suara semakin banyak. Tamarrodl membuat petisi untuk menuntut Morsy mundur dan mengklaim jutaan suara tanda tangan atas dukungan tersebut.

Akan tetapi, bukan Tamarrodl yang menjadi aktor utama di balik turunnya Morsy. Oposisi memainkan bola panas dengan melakukan lobi pada tentara. Klimaksnya sudah kita ketahui semua: militer akhirnya turun tangan. Juli 2013, Morsy ditangkap dan Abdel Fattah al-Sisi (kini jadi presiden) mengambil alih kekuasaan. Situasinya berbalik: polisi justru menangkapi dan merepresi simpatisan Ikhwan. Demokrasi berada di titik yang sangat nadir di Mesir.

Siapa yang bertepuk tangan? Tentu saja bukan kelompok liberal, aktivis-akitivis Kiri, atau kaum Nasseris, melainkan tentara! Ya, mereka sukses menempatkan Abdel Fattah as-Sisi sebagai penguasa baru di Mesir, membebaskan Mubarak, dan menangkap aktivis-aktivis muda progresif yang kemudian mencoba mengkritik pemerintahannya.

 

 

polisi2Represi aparat kepolisian terhadap ibu-ibu penolak pabrik semen di Rembang.
Foto oleh www.selamatkanbumi.com

 

Pelajaran untuk Indonesia

Apa hikmah yang bisa dipetik dari cerita Mesir bagi Indonesia? Sekali lagi, Mesir memang bukan Indonesia, tapi peta politiknya mirip sekali: polarisasi kekuatan terbelah dua di dalam negeri. Pemilu 2014 membagi peta politik menjadi dua kekuatan besar, Koalisi Merah Putih yang dipimpin Gerindra dan Golkar serta Koalisi Indonesia Hebat pimpinan PDI-Perjuangan. Partai Islamis seperti PKS bergabung di sisi oposisi. Polarisasi ini mengingatkan kita pada koalisi pro-referendum dan Front Penyelamat Nasional di Mesir.

Dalam demokrasi, polarisasi tentu sah-sah saja, bahkan sesuatu yang biasa di negara-negara yang menganut sistem parlementer. Yang jadi persoalan adalah kontrol atas kekuatan-kekuatan koersif yang diamanahi senjata untuk menjaga keamanan. Khaled Fahmy telah memotret bagaimana kegagalan Morsy memahami problem sederhana bernama ‘reformasi kepolisian’, juga kegagalannya menciptakan militer yang profesional dan mengembalikan mereka ke barak, menjadi bumerang yang mengantarkan pada kepergiannya dari kursi kepresidenan.

Jokowi mungkin bukan Morsy. Tapi, mestinya, ada satu hal penting yang harus diambil pelajaran: kepolisian harus dikontrol agar tak menyalahgunakan ‘senjata’ yang diamanahkan pada mereka. Kejadian di Makassar dan Riau, dimana polisi bertindak sangat represif dengan masuk ke masjid dan memukuli demonstran, adalah hal yang tidak dibenarkan. Fenomena terbaru, kita juga mendengar hal yang sama di Rembang. Kali ini lebih parah: polisi menyerang para penolak pabrik semen, mayoritas di antaranya perempuan, yang ingin menyampaikan penolakannya. Polisi tidak hanya beringas, tapi juga tak bisa dikontrol oleh Presiden yang katanya ‘suka blusukan’.

Di sekeliling Presiden ada orang-orang semacam Andi Widjojanto atau Rizal Sukma yang dulu katanya terlibat dengan proyek bernama ‘Reformasi Sektor Keamanan’. Lalu, kita bisa bertanya: reformasi sektor keamanan macam apa yang ingin ditampilkan di era Jokowi jika kepolisian, institusi yang sangat terkait dengan keamanan sipil, tak bisa mengendalikan dirinya dan justru memukul rakyatnya sendiri?

Reformasi sektor kepolisian ini tentu bukan hal sepele, dan juga bukan semata tugas Kapolri. Belajar dari Morsy, mengendalikan kepolisian adalah tugas Presiden. Adalah tugas seorang presiden untuk memastikan polisi dan tentara bekerja secara profesional sesuai dengan yang ditugaskan. Dengan kata lain: mengontrol kepolisian agar tidak membabi-buta memukuli rakyatnya sendiri adalah tugas Jokowi!

Sementara itu, politisi Islamis Indonesia macam Anis Matta, Fahri Hamzah, atau Mahfudz Siddiq bisa jadi bukan Hamdeen Sabbahi atau aktivis Tamarrodl. Akan tetapi, belajar dari Mesir, mestinya para ustadz ini dapat menangkap satu hal: bahwa terlepas dari ketidaksukaan mereka dengan kebijakan yang diambil oleh Jokowi, institusi-institusi demokrasi harus tetap dijaga. Tidak perlu menempuh jalan yang sudah pernah diambil para aktivis oposisi yang sudah menumbangkan ‘kakak kandung’ mereka di Mesir.

Aktivis Tamarrodl dan elit Front Penyelamat Nasional semacam Sabbahi atau el-Baradei telah membuat sebuah kekeliruan yang tidak boleh diulangi: menyerahkan ‘leher’ demokrasi ke kokang senjata para tentara. Mereka tidak paham bahwa demokrasi itu adalah harga yang sangat mahal. Artinya, mungkin aktivis-aktivis mahasiswa offside yang berkata bahwa oposisi perlu bekerjasama dengan tentara, perlu diingatkan bahwa harga untuk mengembalikan proses-proses demokrasi itu sangat mahal dan tidak bisa dibayar dalam waktu singkat.

Lantas, apa yang perlu dilakukan? Perilaku represif aparat ke aktivis mahasiswa di Riau dan Makassar memang perlu kita kutuk bersama-sama karena perilaku mereka tak lebih baik dari serdadu ISIS di Iraq. Akan tetapi, ada satu hal yang harus pula didorong: reformasi kepolisian! Agar aktivis mahasiswa tidak diadu dengan perwira-perwira muda yang tak tahu apa-apa, yang hanya mendengar perintah pimpinan. Kalau interpelasi DPR terkait kenaikan harga BBM saja bisa didukung, mengapa agenda sepenting ini kurang dikawal?

Pendeknya, tentara dan polisi mesti kita dorong supaya profesional. Polisi perlu diajarkan bahwa mereka adalah bagian dari rakyat dan ungkapan demonstrasi rakyat seharusnya tak dibalas dengan senjata. Lalu, tak perlu masuk ke wilayah yang lebih dalam ke ranah-ranah politik praktis. Biar bagaimanapun, polisi bukan tentara yang boleh membunuh musuh. Persepsi tentang ‘musuh’ dan ‘kawan’ tidak bisa ditujukan untuk warga negara yang hanya mengekspresikan aspirasi mereka. Profesionalisasi polisi dan tentara inilah yang perlu dikawal oleh aktivis mahasiswa Islam yang saban pekan turun berdemonstrasi menolak kenaikan harga BBM.

Cukuplah pengkhianatan aktivis mahasiswa Generasi ‘66 yang menjual diri kepada tentara diinsyafi: bahwa masih banyak cara yang lebih baik untuk ditempuh daripada menjual tubuh demokrasi pada tentara. Ajakan apapun untuk menghancurkan tatanan  demokrasi atau kembali pada Orde Baru harus kita tolak bersama-sama.

Belajar dari Morsy, kita akan tahu apa yang akan terjadi ketika konflik dibiarkan berlarut-larut: datangnya Abdel Fattah as-Sisi! Jenderal satu itu bukan tiba-tiba muncul. Ia adalah Menteri Pertahanan yang ditunjuk oleh Morsy sendiri untuk menggantikan seniornya, Marsekal Tantawi. Tapi di tengah kemelut yang gagal diselesaikan orang-orang sipil, orang-orang semacam Sisi muncul. Lengkap dengan senjata dan ketakutan.

Oleh sebab itu, bagi Jokowi dan para penentangnya, yang sedang dalam posisi berhadap-hadapan, tak ada jalan lain selain menarik pelajaran dari Mohammad Morsy dan Hamdeen Sabbahi. Percayalah, ini pembelajaran kita dalam berdemokrasi, bung!***

 

Penulis adalah Editor Jurnal KAMMI Kultural, tinggal di Sleman

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.