Distrik Thai*: Potret Thailand Pasca Kudeta 22 Mei 2014

Print Friendly, PDF & Email

JIKA ada yang bertanya, apa keunikan Thailand, maka saya selalu menjawab dengan sinis: kuil dan kios Seven-Eleven.

Alasan pertama tentu sudah tidak perlu saya jelaskan panjang lebar. Buddha adalah agama yang dianut mayoritas masyarakat Thailand, kecuali di beberapa provinsi di bagian Selatan (Narathiwat, Songkhla, Pattani, Satun dan Yala), di mana Islam adalah agama mayoritas.

Di daerah-daerah mayoritas Islam ini, terutama di Pattani, Yala dan Narathiwat dan beberapa distrik di provinsi Songkhla,[1] gerakan dan semangat pembebasan untuk memerdekakan diri dari monarki Thailand begitu sangat terasa. Di provinsi-provinsi yang disebutkan di atas, operasi militer Thailand dilangsungkan dalam skala besar dan meluas. Operasi militer ini juga dibarengi dengan pola-pola kooptatif, interventif dan dimidiatif.[2] Secara subjektif, saya sering membandingkan operasi militer kerajaan Thailand dengan operasi militer Indonesia di Papua. Massif dan destruktif.

Alasan kedua, disebabkan oleh kenyataan gambaran geografis dimana gerai-gerai Seven-Eleven dapat ditemukan di berbagai sudut kota-kota di Thailand. Seringkali berhadap-hadapan, dua hingga empat gerai sekaligus. Kondisi psikogeografis yang membuat seseorang secara naif dapat merasakan betapa sangat mudahnya membeli produk-produk kebutuhan harian, karena konsumen telah ditunggu tepat di depan batang hidungnya.

Namun, saya akhirnya menambahkan satu lagi keunikan Thailand yang hampir tidak mungkin diduplikasi oleh negara lain.

Kudeta!

Ya. Kudeta di Thailand secara dangkal dapat dianggap bukan lagi sesuatu yang asing, yang wah, yang heboh atau patut dikhawatirkan. Setidaknya, itu pandangan prematur yang segera didapatkan ketika militer kerajaan pimpinan Jendral Prayuth Chan-ocha melakukan kudeta pada 22 Mei yang lalu. Kudeta Prayuth ini adalah sukses ke 12 kudeta militer sejak monarki Thailand kehilangan kekuasaan absolutnya karena revolusi sosial di tahun 24 Juni 1932.[3] Belum terhitung tujuh kali percobaan kudeta lain yang dilakukan namun gagal merebut kekuasaan. Artinya, dalam hitungan matematis sederhana, setiap kurang dari lima tahun, selalu ada satu kudeta atau upaya kudeta yang dilakukan oleh militer kerajaan.

Namun di Thailand, ada larangan tegas dan keras dari junta militer bagi siapapun untuk menyebut peristiwa 22 Mei 2014 sebagai kudeta. Prayuth Chan-ocha bersikukuh bahwa tindakannya bukan dan tidak dapat disebut sebagai kudeta. Melalui berbagai pernyataan di media,[4] jendral Prayuth bersikeras bahwa tindakannya adalah upaya untuk menyelamatkan Thailand[5] dan mengakhiri krisis politik yang berlarut-larut antara pendukung Kaus Merah dan Kaus Kuning. Sejak November 2013, Bangkok memang digoyang demonstrasi berkali-kali, baik dari pendukung Kaus Merah maupun pendukung Kaus Kuning.

Kurang dari 24 jam setelah melakukan kudeta, Prayuth membentuk National Council for Peace and Order (NCPO/Dewan untuk Kedamaian dan Ketertiban) untuk menjalankan kekuasaan.[6] Badan ini kemudian membubarkan parlemen, memberlakukan jam malam, menerapkan sensor ketat terhadap media, dan menginstruksikan agar angkatan laut, angkatan udara dan kepolisian juga bersepakat dan bergabung dengan NCPO. Menyusul kemudian adalah penangkapan terhadap figur-figur yang dianggap menentang kekuasaan NCPO, seperti Chalerm Yubamrung[7] dan Yingluck Shinawatra.[8]

Tiga hari berselang, pada 26 Mei, Raja Bhumibol Adulyajev memberikan dukungan terbuka kepada Prayuth.[9] Dukungan ini sebenarnya sudah dapat diprediksi sejak Raja Bhumibol secara tersirat menyatakan dukungannya dua hari sebelumnya.[10] Prediksi mengenai dukungan pihak keluarga Kerajaan memang sudah terendus sejak awal, mengingat Prayuth adalah perwira militer loyalis[11] yang juga merupakan salah satu tokoh kunci militer dalam kudeta yang berlangsung tahun 2006. Saat kudeta yang sukses menggulingkan PM Thaksin Shinawatra tersebut berlangsung, Jendral Prayuth menjabat sebagai Deputi Komandan tentara yang bertugas menjaga Bangkok dan area sekitar ibukota.

Kudeta 22 Mei juga secara khusus berbeda jika dibandingkan dengan kudeta-kudeta militer yang pernah terjadi sebelumnya. Dalam kudeta kali ini, NCPO dan Jendral Prayuth tidak memberikan batas kepastian kapan pemilu akan diadakan dan mengembalikan kekuasaan kepada kekuatan sipil sebagai sinyal berakhirnya kudeta[12]. Sebaliknya, sang jendral yang berada di ambang pensiun justru secara terbuka mengakui rencananya di hadapan media untuk mengangkat diri sebagai perdana menteri[13] dan telah mendesain program jangka panjang untuk Thailand di masa depan.[14]

Lalu bagaimana prospek demokrasi di Thailand? Menjawab pertanyaan ini, saya mencoba memaparkan kekuatan dari kelompok-kelompok yang selama ini gigih menentang kediktatoran militer.

 

 

andre1Aksi massa kelompok Kaus Merah Foto diambil dari www.sbs.com.au

 

Kaus Merah

Penentangan terhadap kudeta 22 Mei paling keras datang dari kelompok Kaus Merah yang didirikan pada tahun 2006 dengan nama Democratic Alliance Against Dictatorship (DAAD). Mereka kemudian mengubah namanya menjadi United Front for Democracy Against Dictatorship (UDD).[15] Kelompok ini pada awalnya merupakan respon langsung terhadap kudeta militer yang sukses menjungkalkan Thaksin Shinawatra dari kursi perdana menteri satu bulan sebelum pemilihan umum digelar di tahun 2006.[16] UDD secara umum dapat dikatakan berafiliasi dengan Pheu Thais, partai politik yang berhasil mengantarkan kakak beradik Shinawatra ke tampuk kekuasaan.[17] Basis utama Kaus Merah datang dari kalangan petani[18] yang bermukim daerah kultural yang disebut Isaan[19] di bagian Timur Laut. Daerah-daerah pendukung utama di Isaan terletak di Nakhon Ratchasima, Sakhon Nakhon, dan Khon Kaen. Daerah penyangga lain datang dari dua provinsi terbesar di daerah utara yang berbatasan dengan Myanmar, yaitu Chiang Mai dan Chiang Rai.[20]

Kaus Merah sejak awal berdirinya telah memoisiskan diri sebagai oposisi People Alliance for Democracy (PAD) atau lebih dikenal dengan sebutan Kaus Kuning.[21] Konflik politik ini dimulai ketika Thaksin Shinawatra berhasil menduduki kursi perdana menteri di tahun 2001. Kubu yang pertama, yaitu Kaus Kuning, melandaskan dukungannya di seputaran kekuasaan monarki, militer, birokrat dan Partai Demokrat. Kubu yang lain dengan dipimpin oleh Thaksin, terdiri dari beragam partai politik dan secara informal didukung oleh kekuatan Kepolisian.[22] Masing-masing kubu juga membangun faksi yang saling berhadap-hadapan di dunia bisnis Thailand,[23] hingga akhirnya Thaksin disingkirkan melalui kudeta 19 September 2006.

Namun penting untuk dipahami bahwa Kaus Merah adalah sebuah front luas yang terdiri dari berbagai macam kelompok sosial dan grup-grup politik. Meskipun Kaus Merah selalu disederhanakan sebagai alat politik Thaksin semata, hal yang sebenarnya luput dilihat adalah bagaimana dinamika dan benturan-benturan ideologis dari komponen-komponen yang ada di dalam kelompok ini.[24] Termasuk di dalamnya adalah eksponen-eksponen Partai Komunis Thailand (PKT).

Argumen di atas dapat dibaca dengan melacak jejak historis tentang pengaruh PKT dalam periode aktifnya yang memang sangat terasa di daerah utara, timur laut dan selatan, namun tidak memiliki dukungan yang signifikan di Bangkok dan daerah sekitarnya.[25] Dukungan itu terlihat jelas ketika PKT melancarkan perang rakyat untuk meruntuhkan monarki Thailand di tahun 1965.[26] Daerah Isaan merupakan medan utama dari konsep gerilya tersebut.

Perang gerilya rakyat tersebut berakhir dengan dikeluarkannya Instruksi Perdana Menteri 66/2523 pada 23 April 1980 pemerintah Thailand.[27] Instruksi 66/2523 adalah pendekatan non-militer dengan memberikan amnesti penuh bagi mereka yang terlibat dalam perang rakyat tersebut sebagai wujud dari rekonsiliasi nasional setelah periode perang yang berlangsung selama 15 tahun.[28] Amnesti ini juga memulihkan hak-hak kader-gerilyawan PKT untuk terlibat dalam politik, termasuk kemudian mendirikan partai atau ikut berkompetisi dalam pemilihan umum.[29] Amnesti dan pendekatan yang persuasif tersebut tidak pernah mendapatkan dukungan dari kalangan militer Thailand, yang menilai hal tersebut sebagai kemunduran kedaulatan monarki.[30]

Meski terlibat secara aktif dalam Kaus Merah, sejatinya pengaruh eksponen PKT, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Siam Merah, tidak terlalu signifikan dalam menentukan strategi politik. Namun kelompok ini memainkan peranan penting dalam isu-isu agraria populis, dan mendapatkan dukungan dari kalangan petani pendukung Kaus Merah. Salah satu tokoh utama Siam Merah adalah Jakkrapop Penkair, mantan menteri kabinet di periode kepemimpinan Thaksin yang kini sedang berada di pengungsian. Kelompok ini dikategorikan sebagai salah satu elemen garis keras Kaus Merah.[31]

Namun, pengaruh Siam Merah dalam Kaus Merah masih kalah dibandingkan dengan Kelompok Oktober (Octobrists), yang memiliki latar belakang intelektual dan lebih populer di kalangan pelajar Thailand.[32] Kelompok Oktober merujuk kepada mantan-mantan aktifis sayap kiri yang aktif pada periode gerakan mahasiswa tahun 1970-an di Thailand. Kelompok ini berperan besar dalam sejarah perpolitikan Thailand, seperti gerakan demokratik 1992, berbagai gerakan sosial yang berlangsung di pertengahan dekade 90-an, hingga reformasi politik diakhir tahun 1990-an.[33] Figur-figur kunci Kaus Merah seperti Waeng Tojirakan, Wisa Khantap, Woraphon Phrommikabut dan Arisman Phongruangrong, merupakan bagian dari Kelompok Oktober.

Penting untuk digarisbawahi bahwa pada masa awal konsolidasi, pendukung Kaus Merah didominasi oleh pendukung partai Thai Rak Thai (TRT). Thaksin Shinawatra menggunakan TRT sebagai kendaraan politik hingga menduduki kursi perdana menteri sebelum akhirnya partai ini dibubarkan oleh pemerintah pro-monarki pada tahun 2007. Kebanyakan massa pendukung Kaus Merah pada periode awal ini hanya memiliki intensi untuk melindungi Thaksin karena kebijakan-kebijakan populisnya, terutama tentang isu agraria dan isu pendidikan.[34] Pergeseran ideologis dalam Kaus Merah terjadi secara perlahan, seiring juga terjadinya pergeseran ideologis yang dialami oleh Kaus Kuning.

Jika Kaus Kuning seiring waktu bergerak ke arah yang lebih konservatif, anti-demokrasi, nasionalisme sayap kanan, maka Kaus Merah semakin bergerak ke arah yang berlawanan[35]. Pergeseran dalam Kaus Merah menuju ide-ide tentang demokrasi dan radikalisme gerakan massa juga ikut dipengaruhi oleh elemen-elemen radikal di dalamnya, semisal Siam Merah dan Kelompok Oktober.

Namun peristiwa penting yang menandai pergeseran secara ideologis Kaus Merah adalah kudeta Thaksin, yang kemudian menyadarkan banyak pendukung kelompok ini mengenai pentingnya demokrasi elektoral yang demokratis.[36] Respon penentangan terhadap kudeta 2006 dan desakan untuk penyelenggaraan pemilu yang demokratis, justru berkali-kali dihadapi dengan strategi represif yang dipilih oleh rezim Abhisit Vejjajiva, yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Salah satu peristiwa penting dalam perkembangan gerakan Kaus Merah terjadi ketika Abhisit mengerahkan kekuatan militer untuk membubarkan paksa demonstrasi besar-besaran Kaus Merah pada Mei 2010. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Songkran Berdarah.[37]

 

Gerakan Mahasiswa Thailand

Meski Siam Merah dan Kelompok Oktober ini memiliki kecenderungan garis politik yang bertetangga, kenyataan di lapangan membuktikan bahwa kedua kelompok ini merupakan faksi paling aktif yang terus bertarung untuk memperebutkan pengaruh di kalangan pelajar-mahasiswa Thailand.[38] Daerah-daerah utama yang menjadi target basis pengorganisiran di luar Bangkok adalah Universitas Chiang Mai (CMU) di daerah Utara dan Universitas Khon Kaen (KKU) di bagian Timur Laut. Kedua universitas ini secara politik dan budaya, merupakan simbol perlawanan terhadap dominasi Universitas Chulalongkorn yang dianggap merupakan representasi dari para loyalis monarki. Kedua universitas tersebut juga tampil sebagai alternatif gerakan mahasiwa di Bangkok, yang selama ini berpusat di Universitas Thammasat sebagai ikon.

Universitas Thammasat memang dianggap sebagai ikon gerakan mahasiswa Thailand kontemporer. Pada dekade 1970-an, universitas ini menjadi pusat gerakan mahasiswa demokratik sebelum akhirnya dihancurkan militer yang ditandai dengan pembantaian mahasiswa pada 6 Oktober 1976. Peristiwa berdarah yang dikenang kemudian sebagai Pembantaian Thammasat 1976.

Konteks terjadinya Pembantaian Thammasat 1976, tentu saja tidak terlepas dari konflik Perang Dingin yang saat itu berlangsung antara kekuatan US dan USSR paska Perang Dunia Kedua[39]. Salah satu pemicunya adalah ketakutan militer loyalis monarki bahwa Thailand akan menjadi negara komunis, setelah menyaksikan kemenangan partai komunis di Vietnam dan Laos.

Sebelum terjadinya Pembantaian Thammasat 1976, gerakan mahasiswa Thailand mengalami perkembangan dan penguatan yang siginifikan di akhir dekade 1960-an. Pengorganisiran ide dan gerakan massa oleh mahasiswa di periode ini akhirnya sukses mengakhiri periode dua dekade diktator militer pada 14 Oktober 1973. Setelah kemenangan demokratik ini, gerakan mahasiswa mengalami kemunduran yang kemudian dimanfaatkan oleh kekuatan pro-monarki untuk menyusun kembali kekuatan mereka.[40] Konsolidasi militer ini kemudian diakhiri dengan serangan brutal ke Universitas Thammasat yang memiliki kecenderungan sayap kiri.

Sejak awal, Universitas Thammasat adalah pusat pengorganisiran ide-ide mengenai demokrasi dan isu-isu radikal lain, dan selalu mengambil peran dalam setiap momentum gerakan sipil di Thailand. Universitas ini didirikan pada tahun 1934 oleh Pridi Banomyong, salah satu figur utama gerakan sipil yang sukses mengakhiri kekuasaan absolut monarki di tahun 1932.[41]

Pembantaian Thammasat 1976 menjadi titik paling penting dalam sejarah gerakan mahasiswa Thailand. Tragedi berdarah ini mendorong lebih dari 3.000 mahasiswa radikal meninggalkan kampus untuk bergabung dengan perang gerilya yang dilancarkan oleh partai komunis terhadap monarki. Periode gerakan mahasiswa di dekade 1970-an ini pula yang menjadi landasan historis kelahiran Kelompok Oktober di kemudian hari. Kelompok yang memainkan peran yang signifikan dalam kebangkitan gerakan sipil di Thailand di akhir tahun 1990-an.[42]

Gerakan mahasiswa Thailand sempat kembali menguat memasuki dekade 1990-an. Protes-protes sipil yang terjadi di rentang waktu tersebut, ikut membentuk dan menguatkan kembali formasi gerakan mahasiswa yang sempat melemah pada tahun-tahun sebelumnya. Hingga periode itu, universitas Thammasat tetap menjadi pusat pengorganisiran dan simbol demokrasi bagi gerakan mahasiswa di masa tersebut[43].

Paska gerakan sipil di dekade 1990-an, gerakan mahasiswa Thailand kembali melemah dan terpecah-pecah ke dalam kelompok-kelompok kecil berbasis universitas atau bahkan fakultas. Konsolidasi gerakan mahasiswa kembali terjadi ketika militer melancarkan kudeta terhadap Thaksin dan pembubaran partai TRT oleh rezim pro-monarki. Aksi-aksi penentangan kudeta dan periode awal pembentukan Kaus Merah, sedikit banyaknya berkontribusi terhadap penguatan kembali gerakan mahasiswa Thailand. Momentum pembentukan Kaus Merah dimanfaatkan oleh gerakan mahasiswa untuk melakukan perluasan dan konsolidasi. Hal ini ditandai dengan signifikansi pengorganisiran gerakan mahasiswa yang tidak lagi terpusat di Univesitas Thammasat. Gerakan mahasiswa di CMU dan KKU yang mulai menggeliat paska kudeta 2006, hari ini memang tampil sangat signifikan dan kemudian mulai dinilai sebagai patron alternatif gerakan mahasiswa di Thailand dan ikut menentukan peta gerakan anti-kudeta di Thailand hari ini.[44]

 

 

andre2Mahasiswa Thailang dengan simbol Hunger Games. Foto diambil dari www.i.guim.co.uk

 

Dari Protes Orwell ke Hunger Games

Strategi politik Yingluck Shinawatra yang memilih untuk tidak melakukan perlawanan secara aktif terhadap militer yang melakukan kudeta, menimbulkan kekecewaan di antara pendukung Kaus Merah. Strategi defensif ini diambil berdasarkan ketakutan akan respon represif militer dan mencegah kemungkinan jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak.[45] Protes-protes Kaus Merah yang berkali-kali melumpuhkan Bangkok ketika berhadapan dengan Kaus Kuning pada periode sebelum kudeta berlangsung, kemudian mengendur secara perlahan hingga berangsur sepi. Kaus Merah kemudian hanya melakukan rapat-rapat massa di luar Bangkok, yang terkonsentrasi di basis-basis pendukungnya. Di masa-masa inilah, gerakan mahasiswa Thailand menunjukkan konsistensinya.

Berbeda dengan gerakan mahasiswa di negara Asia Tenggara lain semisal Indonesia, Myanmar dan Filipina yang kecenderungan taktiknya adalah dengan mengerahkan massa dan melakukan rally politik, gerakan mahasiswa di Thailand lebih cenderung mengedepankan protes-protes simbolik. Strategi ini dipilih untuk mengakali pendekatan represif yang cenderung digunakan oleh militer Thailand. Alasan lain adalah efisiensi dan efektivitas strategi untuk mengirimkan pesan kepada publik.[46]

Jika gerakan mahasiswa di Indonesia memosisikan dirinya sebagai pelopor dan agen perubahan, maka gerakan mahasiswa di Thailand justru mendefinisikan dirinya sebagai provokator.[47] Ia tidak mengambil beban tanggung jawab politik sendirian untuk melakukan perubahan, namun terus menerus mengasah nalar publik tentang isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia. Gerakan mahasiswa di Thailand menyadari bahwa perubahan menuju ke arah yang lebih demokratis hanya bisa dicapai dengan kekuatan sipil yang terdiri dari berbagai kelompok sosial, termasuk di dalamnya mahasiswa.

Sebagai penyampai pesan dan agen provokasi, gerakan mahasiswa Thailand mengkreasikan bentuk-bentuk protes simbolik yang dapat dilakukan dengan jumlah peserta yang terbatas[48] serta mudah dimengerti publik yang menjadi target kampanye.

Pada awal terjadinya kudeta dan sepinya respon Kaus Merah akan hal tersebut, gerakan mahasiswa mengorganisasikan dirinya dan kemudian tampil dengan ‘protes Orwell.’ Protes ini dilakukan dengan menggunakan novel berjudul 1984 yang ditulis oleh George Orwell sebagai medium. Para mahasiswa penentang kudeta akan membaca novel tersebut di titik-titik keramaian publik. Protes-protes Orwell yang dilakukan oleh mahasiswa membuat novel yang bercerita tentang diktatorianisme tersebut akhirnya dilarang di Thailand karena menjadi simbol anti-kudeta.[49] Tidak hanya menangkapi mahasiswa yang didapati melakukan ‘protes Orwell’, militer juga kemudian melarang distribusi novel ini dan mencegah pemutaran-pemutaran film yang diadaptasi dari novel tersebut.

Ketika protes Orwell direspon dengan cepat oleh militer Thailand, gerakan mahasiswa kemudian tidak kehilangan akal. Taktik baru ditemukan dengan tetap mengedepankan efektivitas dan efisiensi dalam penyebaran pesan penentangan terhadap kudeta. Salah satu pencapaian penting adalah ditemukannya salam tiga jari sebagai simbol protes yang diadaptasi dari film Hunger Games. Dengan mengandaikan Thailand sebagai Distrik ke 13 Panem, Bangkok sebagai Capitol dan menunggangi tampilan visual dan isi cerita yang menghibur, gerakan protes anti-kudeta berhasil mengirimkan pesannya secara luas kepada publik.

Gerakan mahasiswa Thailand mentransformasikan sebuah tayangan produksi Hollywood menjadi alat politik penentangan terhadap kudeta. Pendidikan terhadap publik dilakukan dengan memberikan muatan politik dalam pemaknaan film Hunger Games.[50] Tiket-tiket gratis untuk menonton Hunger Games: Mockingjay Part 1 diberikan bagi mereka yang bisa menjawab apa persamaan antara Bangkok dan Capitol.[51] Tidak hanya cukup dengan itu, gerakan mahasiswa yang menolak kudeta juga melakukan boiket dan memperagakan Salam Hunger Games, beberapa saat setelah jendral Prayuth Chan-ocha memulai pidatonya di balai provinsi Khon Kaen.[52]

Salam Hunger Games dan pesan anti-kudeta yang dipromosikan membuat rezim militer mengambil keputusan untuk menekan para pemilik bioskop agar menarik film tersebut dari peredaran.[53] Jendral Prayuth Chan-ocha juga melarang penggunaan Salam Hunger Games, dan secara tersirat melayangkan ancaman kepada para aktivis mahasiswa jika bersikukuh terus melancarkan protes.[54]

Sikap sang diktator justru dipandang berlebihan oleh para mahasiswa. Ketakutan terhadap Salam Hunger Games, telah membuktikan bahwa kekuasaan militer sangat rentan dan kemungkinan untuk melengserkan militer dari kekuasaan menjadi sesuatu yang layak diperjuangkan.[55]

 

MASA DEPAN DISTRIK THAI

Ketidakpastian waktu penyelenggaran pemilu, sepinya respon Kaus Merah serta keragu-raguan para elit oposisi, membuat kondisi Thailand semakin mengkhawatirkan.

Memori Songkran Berdarah 2010, terus menerus dijadikan alasan untuk membenarkan sikap pasif yang diambil oleh elit Kaus Merah menyikapi kudeta yang kini sudah berlangsung setengah tahun. Satu-satunya kelompok sosial yang terus aktif dan secara terbuka menentang kudeta, adalah gerakan mahasiswa. Itupun dengan protes skala kecil yang masih jauh dari prediksi untuk dapat memicu gerakan sosial yang lebih luas.

Sementara itu indikasi untuk terus berkuasa lebih lama telah ditunjukkan secara tersirat dan berkali-kali oleh jendral Prayuth. Dalam pidatonya di balai provinsi Khon Kaen 19 November lalu, sang diktator menjanjikan Thailand yang lebih baik dan sejahtera. Ia meminta agar masyarakat Thailand tak khawatir dan tetap beraktivitas seperti biasa. Menyarankan agar tidak ada yang ‘terprovokasi’ oleh ‘aktivitas-aktivitas politik yang tidak bermanfaat’.

Pidato yang lebih berupa ancaman tersirat oleh pemimpin junta militer tersebut, ikut menegaskan pendekatan represif yang ditempuh sejak awal kudeta. Human Rights Watch (HRW), misalnya, telah mengecam jendral Prayuth atas tiadanya itikad untuk mengembalikan kekuasaan kepada kekuatan sipil, penerapan sensor ketat terhadap media, penangkapan semena-mena dan represi terhadap hak berkumpul.[56]

Namun sang jendral tidak bergeming.

Dalam salah satu pidatonya di stasiun televisi PBS beberapa waktu lalu, diktator Prayuth mengutarakan optimismenya akan datangnya ‘masa yang lebih baik dan pembangunan yang lebih merata.’[57] Janji tersebut, terutama diarahkan kepada mereka yang berdiam di daerah utara dan timur laut, yang merupakan daerah basis pendukung keluarga Shinawatra. Kedatangan Prayuth ke provinsi Khon Kaen juga dipandang sebagai upaya diplomatis untuk memenangkan hati simpatisan Kaus Merah. Dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil.

Namun jika hal itu sampai terjadi, maka Thailand tidak bisa lagi disebut Thai, karena tempat ini tak lagi menawarkan kebebasan.***

 

Penulis adalah peneliti lepas, mahasiswa pasca sarjana di Mahasarakham University, Thailand di Thailand

*Distrik Thai adalah sebutan para penentang kudeta untuk menggambarkan kondisi Thailand di bawah junta militer,  dengan meminjam narasi fiksi film Hunger Games.

 

———-

[1] Jayshree Bajoria dan Carin Zissis, (2008) The Muslim Insurgency in Southern Thailand. Council for Foreign Relations

[2] Peter Chalk, (2008) The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand: Understanding the Conflict’s Evolving Dynamic. RAND Counterinsurgency Paper

[3] D.G.E Hall, (1997). A History of Southeast Asia, London: McMillan Limited

[4] http://www.bangkokpost.com/learning/learning-from-news/411433/general-prayuth-gets-down-to-work

[5] http://www.bangkokpost.com/most-recent/411445/reform-lawmaking-bodies-in-pipeline

[6] http://www.komchadluek.net/detail/20140522/185160.html

[7] http://www.nationmultimedia.com/breakingnews/Chalerm-arrested-report-30234371.html

[8] http://www.bangkokpost.com/most-recent/411335/shinawatras-chalerm-summoned-by-junta

[9] http://www.bbc.com/news/world-asia-27572726

[10] http://www.straitstimes.com/the-big-story/bangkok-showdown/story/thai-coup-leader-cements-grip-assumes-law-making-power-20140524

[11] Jendral Prayuth Chan-ocha menghabiskan sebagian besar karir militernya dengan mengabdi di Regimen Infrantri 21, sebuah unit yang bertugas mengawal Ratu Sirikit.

[12] http://www.bbc.com/news/world-asia-27544972

[13] http://prachatai.com/english/node/4033

[14] http://www.thairath.co.th/content/424771

[15] Jim Taylor (April 2012). “Remembrance and Tragedy: Understanding Thailand’s “Red Shirt” Social Movement”. Sojourn — Journal of Social Issues in Southeast Asia 27 (1): 120–152.

[16] John Funston (ed.) (2009). Divided over Thaksin: Thailand’s coup and problematic transition, Institute of Southeast Asian Studies

[17] Chairat Charoensin-o-larn (2013). Redrawing Thai Political Space: The Red Shirt MovementCleavage, Connection and Conflict in Rural, Urban and Contemporary Asia.  Ari Springer. pp. 201–222.

[18] Naruemon Thabchumpon dan Duncan McCargo (November–December 2011). “Urbanized Villagers in the 2010 Thai Redshirt Protests: Not Just Poor Farmers?”. Asian Survey 51 (6): 993–1018

[19] https://en.wikipedia.org/wiki/Isan

[20] Pavin Chachavalpongpun (April 2013). “Thailand’s Red Networks: From Street Forces to Eminent Civil Society Coalitions”. Southeast Asian Studies at the University of Freiburg, Occasional Paper (14)

[21] Ibid

[22] Thabchumpon dan  McCargo (2011). loc. cit.

[23] Ibid

[24] Marc Askew (2010). “Introduction: Contested Legitimacy in Thailand.” dalam Legitimacy Crisis in Thailand, Marc Askew (ed). Chiang Mai: Silkworm Books, pp 1-30.

[25] William R. Heaton, (1982). China and Southeast Asian Communist Movements: The Decline of Dual Track Diplomacy, dalam Asian Survey, Vol. 22, No. 8

[26] Paul Battersby, (1999). Border Politics and the Broader Politics of Thailand’s International Relations in the 1990s: From Communism to Capitalism. Pacific Affairs, Vol. 71, No. 4 (Winter, 1998-1999), pp. 473-488

[27] Benedict Anderson, (1993). Radicalism after Communism in Thailand and Indonesia. New Left Review 202 (November-December), 3–14.

[28] Suchitra Punyaratabandhu-Bhakdi, (Feb., 1984). Thailand in 1983: Democracy, Thai Style. Asian Survey, Vol. 24, No. 2, A Survey of Asia in 1983: Part II. pp: 187-194

[29] Somsak Jeamteerasakul. (1991). The Communist Movement in Thailand. PhD thesis, Department of Politics, Monash University.

[30] Suchit Bunbongkarn, (2004). “The Military and Democracy in Thailand”. In R.J. May & Viberto Selochan. The Military and Democracy in Asia and the Pacific. ANU E Press. pp. 52–54

[31] Thabchumpon dan McCargo, loc. cit.

[32] Ibid.

[33] Kanokrat Lertchoosakul, (2012). The Rise of the Octobrists: Power and Conflict among Former Left Wing Student Activists in Contemporary Thai Politics. PhD Thesis, Department of Government, the London School of Economics and Political Science.

[34] Askew (2010), loc. cit.

[35] Lertchoosakul (2012), loc. cit.

[36] Askew (2010). loc.cit.

[37] Lertchoosakul (2012). loc. cit.

[38] Taylor (2012). loc. cit.

[39] Michael Leifer, (1995). “Thammasat University Massacre 1976” dalam Dictionary of the Modern Politics of South-East Asia, Taylor & Francis

[40] Lertchoosakul (2012), loc. cit.

[41] Somsak (1991), loc. cit.

[42] Lertchoosakul (2012), loc. cit.

[43] Ibid

[44] Andre Barahamin (Mei, 2014). “Fighting Against Cognitive Capitalism in Southeast Asia: Introduction on Student Movement in Myanmar, Thailand, the Philippines and Indonesia”, makalah presentasi dalam sebuah serial diskusi mengenai pendidikan di Hue Pedagogical Center, Vietnam.

[45] http://www.reuters.com/article/2014/05/23/us-thailand-protest-idUSBREA4J0HN20140523

[46] Barahamin (2014). loc. cit.

[47] Penamaan ini ditemukan dalam sebuah sesi wawancara dengan salah satu aktivis mahasiswa saat riset yang berlangsung pada Agustus-Oktober 2013.

[48] Hal ini terkait larangan junta militer untuk warga Thailand berkumpul dengan jumlah melebihi lima orang. http://www.reuters.com/article/2014/05/22/us-thailand-protests-gathering-idUSBREA4L0IC20140522

[49] http://www.thetimes.co.uk/tto/news/world/asia/article4115053.ece

[50] http://www.reuters.com/article/2014/11/20/us-thailand-protests-idUSKCN0J417520141120

[51] Pembagian tiket gratis ini digagas oleh Liga Mahasiswa Thailand untuk Demokrasi, sebuah grup pelajar yang berbasis di Universitas Thammasat, Bangkok. Aksi ini membuat rezim militer menginstruksikan agar film Hunger Games: Mockingjay 1 tidak diputar dan ditarik dari peredaran.

[52] http://www.bangkokpost.com/news/politics/444222/prayut-greeted-in-northeast-by-student-protest

[53] http://www.voicesofliberty.com/article/thai-theaters-ban-hunger-games-mockingjay-movie-for-inspiring-liberty/

[54] http://www.bangkokpost.com/news/general/444665/three-finger-fallout-continues

[55] http://www.bangkokpost.com/news/general/445825/student-protesters-fear-for-their-lives

[56] http://www.hrw.org/news/2014/11/24/thailand-unending-repression-6-months-post-coup

[57] PBS TV, 3 November 2014

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.