Edisi XXVIII/2014

Print Friendly, PDF & Email

Daftar Isi:

 

Joko Widodo menaikkan harga BBM pada Senin (18/11/2014). Penaikan harga BBM kali ini bisa dibilang menjadi momen yang cukup menggemparkan. Pasalnya, penaikkan harga BBM kali ini pertama kali dilakukan rezim saat harga minyak dunia justru mengalami penurunan harga. Di samping itu, argumen yang digunakan rezim Jokowi bisa dibilang merupakan argumen yang diulang-ulang sejak beberapa rezim sebelumnya: bahwa anggaran belanja jebol, bahwa subsidi tidak tepat sasaran, bahwa penghematan anggaran akan dialihkan ke sektor yang lebih produktif dan lain sebagainya. Argumen ini tentu saja dapat dengan mudah dipatahkan, tetapi tentu bukan disini tempat untuk membahasnya.

Apa yang “menarik” dari momen kali ini justru adalah respon yang ditimbulkan. Beberapa kelompok gerakan Kiri misalnya, dalam momen pilpres kemarin mereka memutuskan diri untuk mendukung Jokowi dengan argumen adanya bahaya demokrasi di sisi lainnya –tentu, di samping banyak kelompok Kiri juga yang memutuskan untuk golput. Saat ini, panorama gerakan Kiri yang mendukung Jokowi pada pilpres kembali terpecah. Ada yang kemudian dengan berbagai argumen membenarkan apa yang dilakukan rezim, dan ada yang juga yang sebaliknya.

Sebetulnya, apa yang dilakukan Jokowi telah dapat diprediksi. Sebab, bagaimanapun, Jokowi adalah perwakilan dari kelas borjuasi yang akan selalu menjalankan proyek ekonomi politik kelasnya. Lantas, apakah dukungan kepada Jokowi tempo hari merupakan strategi yang salah dari gerakan Kiri? Bagi kami, tidak. Sebab, apa yang dilakukan gerakan Kiri pada pilpres lalu adalah bagian dari strategi politik: dalam kondisi seperti apa gerakan massa rakyat memungkinkan untuk terus membesar.

Inilah momen “patahan” Jokowi dengan massa rakyat, dimana gerakan Kiri justru harus masuk untuk membuktikan tesisnya terdahulu: bahwa pengorganisiran rakyat akan lebih leluasa ketika rezim Jokowi yang memerintah, bukan Prabowo. Saat ini adalah momen dimana massa rakyat harus sadar bahwa tidak ada cara lain untuk mengubah kekuasaan yang menindas selain daripada massa rakyat sendiri yang berkuasa terhadap negara. Untuk itulah dibutuhkan sebuah organisasi politik terstruktur dan ideologis, bukan lagi kelompok-kelompok relawan yang cair dan non-ideologis.

Dalam semangat perlawanan itulah Left Book Review (LBR) kembali hadir ke sidang pembaca. Dalam edisi kali ini, kami menghadirkan 2 review buku dan 1 wawancara. Review pertama hadir dari Rizal Assalam yang membahas buku Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni yang ditulis oleh Nezar Patria dan Andi Arief. Meskipun salah satu penulis buku ini (Andi Arief) telah menjadi bagian dari rezim yang menindas, tetapi isi buku ini tetap saja penting untuk dibaca karena merupakan salah satu buku yang cukup lengkap membahas pemikiran Gramsci tentang hegemoni yang berbahasa Indonesia. Kedua, kami hadirkan wawancara dari Wijaya Herlambang, penulis buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 yang menjadi buku yang cukup penting untuk mengulas bagaimana praktik kekerasan Orde Baru di bidang kebudayaan –dan implikasi yang masih kentara sampai saat ini. Terakhir, kami hadirkan review buku Oligarki karya Jeffrey Winters yang diulas oleh Dicky Dwi Ananta.

Selamat membaca!

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.