‘Palu Ceu Popong’ dan Politik Zaman Batu

Print Friendly, PDF & Email

ZAMAN batu tua, manusia membuat palu kasar. Zaman batu muda, manusia menghasilkan palu genggam. Zaman batu cincin… manusia mencuri palu sidang (tanya ke Ceu Popong).

Taruhulah itu sebagai kelakar. Lantaran fakta sebenarnya tak persis begitu. Arkeolog yang melakukan ekskavasi (pengangkatan) bukti-bukti historis atas pembabakan sejarah manusia, menyebut era paleolitikum (batu tua), sebagai fase paling awal, tatkala mahluk pitcheantropus erectus (manusia purba yang sudah mampu berjalan tegak), baru saja belajar berbudaya.

Berbudaya artinya adalah mengolah, mengerjakan, memanfaatkan. Sebagaimana para Antropolog menyebut asal usul kata budaya atau kultur adalah colere (bahasa Latin, artinya mengolah).

Semuanya masih dalam kondisi (sangat) alamiah. Bebatuan, kayu, tulang, dimanfaatkan langsung, semata-mata sebagai alat pengolah sederhana. Makanya, batu serpih yang digunakan sama sekali belum ditatah, apa adanya. Mereka menggunakan piranti keras itu untuk mencari makanan, berburu hewan, dan menyalakan api.

Dalam kajian antropologi klasik, konsep budaya ini disebut primer (primitif). Agama atau kepercayaan cukup sebagai ritual praktis, bahwa ada sesuatu kekuatan (atau roh alias anima) dalam tiap-tiap benda. Cocok dengan dugaan Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud, bahwa ‘pandangan dunia’ manusia purba itu adalah totem dan tabu. Totem adalah hewan, binatang, dan tetumbuhan yang dianggap punya daya magis, dan tabu berarti adalah larangan-larangan tertentu.

Lalu apakah mereka sudah berpolitik? Mari kita imajinasikan saja dengan konsep dari John Locke, tentang negara murni atau Natural State.

Negara atau otoritas kekuasaan alamiah berlangsung tanpa ikatan apapun. Sukarela belaka. Manusia tempo dulu bersepakat membentuk kesatuan komunal yang sederajat, hanya karena mereka butuh kesatuan dalam jumlah banyak. Relasi kuasa berfungsi secukupnya saja, untuk menggerakkan kerjasama, mempertahankan diri, dan menjamin keberlangsungan hidup antar sesama. Sungguh suasana ‘negara surgawi’.

Asumsi negara murni ini juga cocok dengan periodisasi politik versi masyarakat madani. Bahwa politik bermula dari suasana natural society (kelompok sosial alamiah), lalu beralih ke political society (kelompok politis, di mana manusia sudah membentuk kebudayaan kota, atau polis), dan kini semua negara modern mewujudkan kelompok sosial berkeadaban atau civil society, alias masyarakat madani.

Namun jangan bayangkan konsep negara murni atau negara surgawi ini agung dan paling ideal untuk manusia, karena: minim inovasi, miskin kreasi, dan tak mampu mengolah konflik secara produktif.

Apa-apa yang disebut dinamika politik kekuasaan saat itu berlangsung secara naluriah, ekspresif, dan bertumpu pada gerak fisik serta daya panca indera ragawi. Posisi akal, imajinasi, visi, dan intelektualitas, terbatas pada hal yang bisa dilihat langsung dan dirasakan langsung. Fungsi akal dalam kurun politik purba itu tak mampu membayangkan hal-hal yang sifatnya abstrak dan konseptual.

Penggambaran sederhananya sebagai berikut: politik tanpa manajerial, tanpa diskusi, tanpa kecerdasan mengelola konflik, dan tentu saja tanpa tujuan aktualisasi nilai (misalnya nilai demokrasi, nilai filosofis, dan nilai kebijaksanaan).

Demikianlah politik purba itu bernuansa tribal.

Tetapi nampaknya tak semua tetinggalan politik era zaman batu itu pupus musnah. Politik yang cuma berbasis pada peragaan fisik, mengandalkan emosi, ekspresi naluriah, masih ada sisa-sisanya hingga hari ini. Politik zaman batu yang tak mengenal manajemen konflik, miskin visi dan kering intelektualitas, tetap berlangsung hingga saat ini. Bahkan pada derajat tertentu dengan tingkat kekerasan yang bahkan, manusia puba pun mungkin tak melakoninya.

Politik zaman batu yang kering nuansa seni, membosankan, sekonyong-konyong mengalami siklus ulang—dengan pengemasan yang meriah dan megah. Telah terjadi apa yang disebut oleh Marshal McLuhan sebagai proses retribalisasi. Yaitu proses tatkala manusia kembali kepada watak purbanya, yang semata-mata mengandalkan fisik, tetapi agak kurang menggunakan otak.

Kurang lebih, pengulangan politik gaya zaman batu itu terjadi pada Sidang Paripurna DPR RI, 1 Oktober lalu…***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.