Tentang Perempuan yang Tak Pernah Menangis: Obituari RA Soetarni Soemosoetargijo

Print Friendly, PDF & Email

IA tak pernah tahu apa yang menarik dari pemuda itu. Namun saat pemuda tersebut memintanya tak ikut kompetisi anggar dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) IV di Makassar, ia menurut. Sang pemuda melamarnya dan ingin segera menyuntingnya.

‘Padahal saya sudah berlatih berbulan-bulan dengan Ayah di di rumah, agar bisa turut kompetisi anggar,’ kenangnya saat saya menemuinya di tempat tinggalnya di kawasan Pulo Gadung, Jakarta, akhir Juni 2006.

Ayah perempuan itu jago anggar. Wajar jika ia berharap, latihan dengan sang ayah akan membuatnya bisa memenangkan pertandingan dalam PON IV. Sebelumnya, di PON I hingga III, ia bertanding pada cabang bola keranjang.

Namun permintaan pemuda tinggi berkaca mata itu, mampu memupus harapannya. Padahal, nyaris sembilan tahun, pemuda itu tak pernah berkunjung atau melakukan kontak dengannya lewat surat.

‘Ia datang menginap di rumah, dari perjalanan Jakarta ke Surabaya. Kemudian ia bertanya kepada adik saya apakah saya sudah punya pacar. Saat tahu saya tak punya pacar, ia memberi saya sebuah surat sebelum melanjutkan perjalanan ke Surabaya,’ ungkapnya.

RA Soetarni Soemosoetargijo, nama perempuan itu, sama sekali tak menyangka bahwa surat yang ia terima tersebut adalah surat lamaran. Pemuda bernama Njoto yang memberinya surat itu ingin menyuntingnya sebagai istri.

Hampir setiap hari, pasca surat pertama tersebut, Njoto rajin mengiriminya surat. Hingga akhirnya mereka menikah pada tahun 1955, dua tahun sebelum PON IV digelar. Sebuah pernikahan yang mengubah seluruh warna hidupnya.

***

Tarni, demikian ia dipanggil, mengenal Njoto saat pemuda itu datang ke Solo untuk melanjutkan studinya. Awalnya, ia hanya mengenal Iramani, adik perempuan Njoto yang satu kelas dengannnya di sebuah sekolah Katolik di Solo. Persahabatannya dengan Iramani inilah yang kemudian mempertemukan Tarni dengan Njoto.

‘Kedua kakak beradik itu akur sekali. Kemana-mana selalu berdua,’ kenangnya.

Njoto dan Iramani awalnya ingin bersekolah di Surabaya, tapi ayah mereka melarang. Akhirnya Solo menjadi pilihan bagi kedua kakak-beradik kelahiran Jember ini.

Persahabatan Tarni dengan dua kakak-beradik ini cukup unik. Sutarni kadang-kadang menginap di rumah kontrakan Njoto dan Iramani. Kali lainnya, keduanya menginap di rumah Tarni yang masih menumpang dengan orang tua.

Tarni mengenang bahwa saat itu, tak ada hubungan istimewa antara dirinya dan Njoto. ‘Kami berdua masing-masing sudah punya pacar,’ ungkapnya. Pacar Tarni adalah seorang Tentara Pelajar (TP) asal Ambarawa yang selalu pergi ke garis depan saat terjadi pertempuran dengan pihak kolonial. Namun jika mendapat ‘cuti’ tempur, ia selalu pulang ke rumah Tarni di Solo, bukan ke Ambawara.

Jika cuti tempurnya agak lama dan bersamaan dengan libur anak sekolah, sang pacar bahkan ikut dengan Tarni jalan-jalan ke Bondowoso atas undangan Njoto. Bondowoso adalah rumah orang tua Njoto, sementara Jember adalah rumah kakek dan neneknya. Adik-adik Tarni juga turut serta. Njoto sendiri saat itu juga sudah punya pacar orang Jember. Namun Tarni tak pernah diperkenalkan Njoto dengan pacarnya.

Persahabatan antar mereka membuat orang tua Njoto yang terkadang mengunjungi kedua anaknya di Solo, juga dekat dengan keluarga Tarni. Bahkan saat berkunjung ke Solo, mereka menyempatkan diri untuk menginap di rumah orang tua Tarni. ‘Saya masih ingat ketika ayah saya diberi kenang-kenangan sebuah jam gandul oleh ayah Bung Njoto,’ kenangnya.

Perempuan kelahiran 10 Juni 1928 ini mengaku tak pernah tahu aktivitas lain yang dilakukan Njoto selain belajar dan main band dengan teman-temannya sepulang sekolah. ‘Rumah kontrakan mereka selalu ramai,’ ujarnya. Iramani, sang adik, kerap menjadi penyanyi dadakan bagi band bentukan kakaknya tersebut.

Njoto juga gemar menulis puisi dan terkadang Tarni mendapatkan ‘kado’ puisi dari lelaki yang usianya setahun lebih tua itu.

Persahabatan mereka terputus saat pemerintahan Indonesia berpindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Njoto dan adiknya turut mengungsi ke Yogya. Tarni tak tahu mengapa keduanya memutuskan pindah ke Yogya, tapi yang pasti situasi politik saat itu memang sedang kacau karena Belanda menolak mengakui kedaulatan RI pasca proklamasi 17 Agustus 1945.

Sejarah mencatat bahwa Njoto kemudian masuk dalam jajaran politbiro Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama dengan Dipa Nusantara Aidit dan MH.Lukman, setelah kedatangan Musso di Jakarta pada 11 Agustus 1948.

Pasca peristiwa September Madiun 1948, PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Para kader partai berlambang palu arit ini menjadi buronan di bawah kabinet baru pimpinan Hatta. Musso tewas tertembak saat mencoba melarikan diri dari tahanan pada akhir Oktober 1948. Sementara Aidit dan Lukman melarikan diri ke China. Sedangkan Njoto berhasil menyelamatkan diri.

Soal pelarian Aidit dan Lukman ke China ini sempat menjadi kontroversi. Dokumen asli PKI memang menyebut bahwa keduanya melarikan diri ke China. Namun sejumlah saksi mata menyatakan keduanya sebenarnya melarikan diri ke Jakarta dari Yogyakarta. Alasan PKI ‘menutupi’ kisah pelarian ini untuk mengamankan posisi Aidit dan Lukman agar bisa meneruskan perjuangan bawah tanah dan melakukan konsolidasi ulang di tengah situasi panas ‘anti PKI’ pasca peristiwa Madiun. Alasan lain, ‘kepergian’ Aidit dan Lukman ke China bisa menjadi legitimasi untuk memunculkan tokoh pimpinan partai yang menonjol. Sehingga kemudian dibuat skenario ‘kedatangan’ keduanya di pelabuhan Tanjung Priok.

Lepas dari persoalan tersebut, rekonstruksi partai pasca Madiun dilakukan pada pada tahun 1949. Tahun yang sama, pemerintahan republik kembali dipindahkan ke Jakarta setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Namun di luar situasi politik yang berkembang, kepergian Njoto ke Yogya saat itu, bagi Tarni, adalah kehilangan seorang sahabat dekat. Awalnya, ia masih sering menjalin kontak dengan Iramani melalui surat. Namun lama-lama korespondensi ini putus dan Tarni benar-benar kehilangan kontak dengan keduanya.

Di tahun kepergian Njoto itu pula, Tarni juga harus kehilangan kekasihnya yang tengah bertempur di garis depan melawan Belanda. ‘Saya saat itu sedang mengungsi dan kemudian mendapatkan berita bahwa ia tewas,’ kisahnya.

Sejak saat itu, ia mengaku putus asa dan sama sekali tak berniat menjalin hubungan kasih dengan lelaki lain. Lamaran yang diajukan sejumlah lelaki yang terpikat padanya, ia tolak mentah-mentah

Hingga kemudian, sembilan tahun setelah kekasihnya meninggal, seorang bocah perempuan masuk ke rumah dan menanyakan apakah benar ia memasuki rumah Tarni. Saat Tarni mengiyakan, sebuah jeep masuk ke halaman dan seorang lelaki muncul dari dalam. Lelaki itu Njoto dan bocah perempuan itu adalah adik bungsunya. Ia menyalami Tarni dan bilang ingin menumpang nginap di rumahnya, sebelum meneruskan perjalanan ke Surabaya.

Hari itu, Tarni akan selalu mengingatnya, adalah hari yang mengubah seluruh hidupnya. Lelaki yang sebelumnya hanya menjadi sahabat dekat tersebut, tiba-tiba telah menarik simpatinya.

Malamnya, saat Njoto mengajak Tarni dan adik-nya pergi makan malam, ia memberanikan diri bertanya kepada adik Tarni apakah sang kakak sudah punya pacar. Ketika adiknya menjawab belum, keberanian tumbuh pada diri Njoto. Ia berniat menyunting Tarni dan membawanya ke Jakarta.

Saat keeesokan harinya ia pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Surabaya guna menengok neneknya yang sakit, sebuah surat sangat tebal ia tinggalkan pada Tarni. Awalnya, Tarni menyangka surat tebal tersebut berisi puisi yang kerap dibuatkan Njoto untuknya, seperti dulu. Setelah dibuka, ternyata surat itu berisi pernyataan lamaran. ‘Saya ndak bisa jawab, wong dia udah berangkat,’ kenangnya.

Namun sejak saat itu, surat yang dikirim Njoto padanya mengalir seperti air. Hampir dua hari sekali, Tarni menerima surat dengan perangko berstempel pos Jakarta. ‘Sampai-sampai, ayah saya bilang, ini surat atau koran,’ ujarnya tersenyum. Matanya berpendar. Sisa kecantikan masa lalu masih tergurat di wajah, meski usianya sudah menginjak 78 tahun.

Tak lama setelah kunjungan surat rutin itu, Njoto datang ke Solo dengan seluruh keluarga besarnya. Mereka berniat menyunting Tarni. Ayah Tarni yang berasal dari trah Mangkunegaran tak menolak lamaran ini. Latar belakang ayah Njoto sebagai saudagar kaya di Bondowoso, serta perkenalan sebelumnya, membuat aktivitas politik Njoto tak pernah dilihat sebagai kendala.

Tarni sendiri mengaku hingga pernikahannya, ia tak pernah tahu aktivitas politik Njoto. ‘Saya nggak pernah nanya dan dia juga nggak mau cerita,’ ujarnya.

Satu-satunya yang diketahui oleh Tarni adalah Njoto memaksanya menikah sebelum Konferensi Asia-Afrika (KAA) digelar di Bandung. Keinginan Tarni untuk mengikuti PON IV di Makassar yang akan digelar tahun 1957, tak dihiraukan oleh Njoto. ‘Nggak tahu kenapa, kok saya nurut….. Pokoknya, saya kalah dech…,; kenangnya.

 

NyotoPotret keluarga Nyoto dan Soetarni

***

Setelah nikah, Tarni diboyong Njoto ke Jakarta. Awalnya, mereka tinggal di kawasan Kramat, Jakarta Pusat, di rumah yang disewa dari seorang haji. Rumah tersebut sebelumnya dikontrak Njoto bersama lima kawannya. Namun saat Tarni dibawa ke Jakarta, hanya satu kawan yang tersisa.

‘Rumah itu punya dua kamar. Kamar depan untuk Bung Naiboho (kawan Njoto yang bekerja di Harian Rakyat) dan kamar belakang untuk saya dan Bung Njoto. Sementara adik-adik Bung Njoto tidur di ruang makan,’ kisahnya.

Pada tahun 1956, putri sulung mereka lahir dan diberi nama Svetlana Dayani. Mantan pemimpin Komunis Uni Soviet Stalin juga menggunakan nama Svetlana untuk anak perempuannya yang lahir dari perkawinan keduanya.

Karena itu, saat PKI dinyatakan terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan para kader serta simpatisan PKI diburu seperti penjahat, Svetlana tak berani memakai namanya yang berbau Soviet ini. Ia kemudian dikenal oleh kawan-kawannya hanya dengan nama Dayani.

Saat Svetlana berumur tiga bulan, mereka pindah rumah ke Jalan Malang di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Njoto saat itu sudah menjabat sebagai Wakil Ketua II PKI dan anggota DPR. Posisi PKI sebagai partai terbesar keempat hasil Pemilu 1955 membuat keberadaan Nyoto cukup disegani.

Namun di Jl Malang, Tarni masih tetap harus berbagi rumah dengan seorang guru balet berkewarganegaraan Belanda. Kamar mereka bertolak belakang, tapi hanya ada satu dapur yang digunakan bersama-sama. Sementara di bagian depan rumah, terdapat pavilun yang ditempati oleh seorang kader PKI yang juga anggota DPR. Tarni mengenang lelaki tersebut sebagai orang yang baik dan kerap makan bersama dengan keluarganya.

Ketika tinggal di rumah ini pula, Maret 1962, Njoto bersama Aidit ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Negara yang diperbantukan pada Presidium Kabinet. Kesibukan Njoto pun bertambah banyak. Namun Tarni mencatat bahwa selama perkawinan mereka, tak pernah sekalipun mereka bertengkar. Tarni juga tak ingin mencoba mengorek aktivitas politik suaminya. Ia bersikap sebagai istri yang setia, perempuan yang mencintai suaminya dengan sepenuh hati. Di rumah ini pula, lima adik Svetlana lahir.

***

Saat peristiwa subuh 1 Oktober 1965 meletus (orang lebih akrab dengan istilah G30S), Njoto tengah berada di Medan dengan rombongan delegasi pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Subandrio.

Tarni sendiri, bersama keenam anaknya, sedang bersiap untuk menghadiri perayaan ulang tahun keponakannya di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Mobil yang ia pesan jauh-jauh hari, telah datang menjemput. Tarni dan anak-anaknya pun meluncur ke Mampang.

Namun saat ia tengah berada di tengah pesta ultah, salah satu iparnya yang aktif di militer menelpon. Ia minta agar Tarni dan anak-anaknya secepatnya pulang ke rumah. Tapi ia tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

Ketika dalam perjalanan pulang dari Mampang ke Menteng itulah, perasaan Tarni mulai tidak enak. Kota Jakarta yang biasanya selalu ramai dan padat, mendadak sepi dan senyap. ‘Jakarta sepi seperti kuburan. Ndak ada mobil, ndak ada orang. Saya menjadi curiga,’ katanya.

Begitu sampai rumah, sopir mengatakan kepada Tarni bahwa ia akan mencari tahu informasi soal situasi yang aneh ini di luar. Saat kembali, sopir tersebut hanya bilang bahwa sedang ada persoalan politik, tapi hanya masalah internal militer. Namun saat ia keluar lagi pada sore hari dan kembali ke rumah pada malam harinya, ia bilang dengan nada khawatir bahwa PKI tersangkut peristiwa tersebut. Ia meminta agar Tarni segera mengungsikan anak-anak.

Karena tak tahu apa yang mungkin terjadi, Tarni menurut saat ia dan anak-anaknya dibawa sopir tersebut ke rumah salah satu kenalannya. Namun ternyata sang kawan tersebut tak berani menerima Tarni dan anak-anaknya.

Tarni kemudian memutuskan untuk membawa keenam anaknya ke rumah salah satu kawan, seorang anggota DPR yang cukup dekat dengan Njoto. Sang sopir disuruh pulang kembali ke Menteng.

Ketika Njoto pulang dari Medan, ia langsung menanyakan posisi istri dan keenam anaknya. Begitu tahu bahwa mereka telah mengungsi ke rumah kawannya, Njoto minta sopir menjemput.

Namun setelah bertemu, mereka segera pindah ke rumah di Jl. Tirtayasa karena berpikir bahwa rumah di Jl. Malang tak lagi aman. Tirtayasa adalah rumah milik Njoto yang diberi oleh partai. Sebelumnya, mereka pernah menempati rumah tersebut saat rumah di Jl. Malang diperbaiki.

Dugaan bahwa rumah di Jl. Malang tak lagi aman terbukti ketika puluhan pemuda yang diangkut dengan dua truk menyerbu rumah mereka dan mengobrak-abrik semua barang, begitu mereka pergi. ‘Barang-barang saya abis. Tapi yang paling saya sesalkan, buku-buku yang kami punya juga abis,’ kenang Tarni.

Di rumah Tirtayasa, keluarga Njoto bisa aman untuk sementara waktu. Namun ramainya orang yang keluar masuk di rumah ini, termasuk kawan-kawan Njoto yang datang dan pergi, membuat tetangga sekitar mulai curiga. Pasalnya, rumah ini biasanya selalu sepi. Akibatnya, rumah ini digerebek aparat. Untungnya, sejumlah kawan Njoto yang biasa berada di rumah itu sudah pergi, tinggal Njoto bersama istri dan anaknya.

Berpikir bahwa dirinya akan dibawa, Njoto segera mengganti bajunya dengan seragam menteri. Ia kemudian memutar nomor telepon untuk menghubungi Istana. Tapi upayanya ini dicegah oleh para tentara. Mereka kemudian pergi setelah memastikan bahwa di rumah tersebut tak ada orang lain, selain Njoto dan keluarganya. Malam itu, mereka tidak membawa Njoto.

Begitu mereka pergi, Njoto dan Tarni segera membawa anak-anak keluar dari rumah itu. Rumah tersebut dianggap tak lagi aman bagi keselamatan mereka. Namun membawa enam anak kecil bukan hal mudah. Njoto dan Tarni kemudian bersepakat membawa anak-anak secara terpisah. Anak nomor 1 hingga 3 dibawa oleh Njoto, sedangkan anak nomor 4 hingga 6 ikut Tarni. Keduanya mencari persembunyian secara terpisah dengan meminjam mobil milik adik Tarni yang tinggal di Mampang.

Tarni dan ketiga anaknya tinggal di rumah seorang kawan dari Jawa Barat. Ia menyebut rumah tersebut sebagai Rumah Sunda. Tarni diberitahu bahwa jika suatu saat rumah itu digerebek maka dia disuruh mengaku sebagai saudara orang Sunda tersebut.

Ternyata rumah itu benar-benar digerebek. Tarni dan ketiga anaknya tinggal di dalam kamar saat penggerebekan terjadi.

Tak lama setelah insiden itu berakhir dan para penggerebek pergi, Njoto masuk ke rumah dan mengajak Tarni dan anaknya keluar dari situ. Ternyata, selama penggerebekan terjadi, Njoto ada di seberang jalan bersama sopir dan ketiga anaknya yang lain. Jadilah kemudian mereka kembali mengungsi, mencari tempat persembunyian yang aman di rumah salah seorang kenalan di kawasan Halim Perdanakusumah.

Namun rumah seorang kolonel di Halim Perdanakusumah itu bukan persinggahan terakhir bagi mereka. Tarni dan keenam anaknya masih harus berpindah ke sekian tempat lagi agar mereka merasa aman. Tarni bahkan pernah mengalami mondar-mandir di dua rumah dalam satu hari, selama beberapa waktu, karena ada satu rumah yang hanya berani ditempati di siang hari, tapi ada rumah yang hanya bersedia ditempati di malam hari. Tak terbayangkan bahwa dengan membawa enam anak kecil, Tarni harus mondar-mandir berpidah rumah untuk merasa aman.

‘Percaya tidak, selama itu, saya tidak pernah mengeluarkan air mata, ndak pernah menangis, ndak bisa nangis. Mungkin karena terlalu memikirkan anak-anak,’ ungkapnya, 41 tahun setelah peristiwa itu terjadi.

Selama proses persembunyian tersebut, Tarni sama sekali tak pernah menyalahkan Njoto. Berpikir untuk menudingkan kesalahan itu ke Njoto pun tidak. ‘Tanggung jawab Bung Njoto kepada keluarganya sangat besar. Saya tahu kawan-kawannya sempat marah ke dia karena masih memikirkan keluarga, padahal seharusnya dia harus cepat-cepat bersembunyi,’ katanya.

Njoto baru sanggup meninggalkan istri dan anaknya setelah ia mendapatkan tempat di rumah yang ditempati sejumlah aktivis Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) di kawasan Gunung Sahari. Para mahasiswa yang mayoritas Batak ini menerima Tarni dan enam anaknya dengan cukup baik. ‘Saya diantar ke situ oleh Bung Njoto dan setelah itu kami berpisah. Di situlah, saya terakhir kali melihat Bung Njoto,’ kenangnya.

Tak terbayangkan berat hati Njoto meninggalkan Tarni dan keenam anaknya, terutama dalam masa pelarian itu, ia tahu bahwa istrinya tengah hamil muda. Menurut Tarni, begitu mengetahui dirinya hamil, Njoto sempat mencari berbagai obat agar janin dalam kandungan tersebut tak jadi lahir. Namun takdir berkata lain. Tanggal 23 Juli 1966, Tarni melahirkan anak ketujuh, seorang bayi perempuan yang ia beri nama Esti Dayati. Uniknya, gara-gara kebersamaan dengan para mahasiswa Batak tersebut, bayi perempuan yang lahir di Rumah Sakit Sawah Besar itu mendapatkan julukan Butet. Nama ini akhirnya melekat hingga ia dewasa.

Hampir setahun Tarni tinggal di Gunung Sahari. Beberapa nama aktivis yang tinggal disitu yang dia ingat adalah Hutajulu, Pardede, Robert, serta seorang mahasiswa asal Manado. Dari merekalah, Tarni kemudian mendapatkan informasi bahwa Njoto telah tertangkap.

Saat Butet berusia tiga bulan, rumah kost tersebut digerebek. Seluruh isi rumah diobrak-abrik. Para mahasiswa yang ada di situ semuanya ditangkap. Namun Tarni dan ketujuh anaknya dibiarkan berada di rumah itu di bawah penjagaan beberapa tentara. Sebelumnya, seorang mahasiswa mengaku kepada aparat bahwa Tarni adalah istri kakaknya yang bernama Mariana. Sementara anak-anak Tarni sejak awal telah dilatih oleh para mahasiswa tersebut, jika ada yang tanya mereka anak siapa, mereka harus jawab bahwa bapak mereka bernama Ridwan. Mungkin gara-gara tipuan kecil ini, malam itu Tarni dan ketujuh anaknya tak ikut dibawa.

Meski begitu, para mahasiwa menangis saat mereka diseret keluar. ‘Mereka memang dihajar dan dipukuli, tapi saya tahu mereka menangis karena mengkhawatirkan saya dan anak-anak di bawah penjagaan tentara,’ kenang Tarni.

Namun cerita soal ‘Ridwan’ dan ‘Mariana’ ini terbongkar ketika keesokan harinya, Kapten Suroso yang memimpin penggerebekan pada malam sebelumnya, kembali mendatangi rumah itu. Di depan Tarni, Suroso mengambil poin-poin huruf dari permainan scrable yang usai dimainkan para mahasiswa itu menjelang penggerebekan. Poin huruf dan papan scrable masih terserak di tempat itu. Suroso, tanpa mengatakan apa-apa, kemudian mengambil huruf N, J, O, T, O dan meletakkannya di depan Tarni. Lalu sambil menatap Tarni, ia hanya bilang: ‘Ibu mau kami bawa. Nggak lama kok bu, cuma sebentar, mau dimintai keterangan.’

Percaya pada omongan Suroso, Tarni sama sekali tak membawa baju ganti untuk dirinya. Ia hanya membawa baju ganti secukupnya untuk anak-anaknya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa istilah ‘sebentar’ yang dilontarkan Suroso tersebut ternyata berlalu dalam hitungan bulan.

 

Nyoto-2Aidit (kiri) dan Nyoto (berkacamata)

***

Tarni dan ketujuh anaknya, selama tiga bulan, ditahan di markas Kodim yang terletak di Jalan Setiabudi. Ia dan ketujuh anaknya ditempatkan di sebuah kamar sempit yang telah diisi sembilan perempuan yang dituding sebagai kader dan simpatisan PKI. “Setiap malam, ada yang disuruh keluar untuk diinterogasi di ruang. Ada juga yang dibawa jalan keluar untuk menunjukkan persembunyian kawan-kawannya,” kenang Tarni.

Ia sendiri pernah diminta oleh Suroso untuk menunjukkan dimana Siswani, seorang perempuan asal Solo yang merupakan kader PKI. Namun Tarni menolak. ‘Saya tahu, tapi masak saya mau bilang ke dia,’ ceritanya pada saya.

Tarni juga pernah dipanggil untuk interogasi pada malam setelah kedatangannya. Ia duduk berjam-jam di ruang interogasi, meninggalkan Butet yang masih membutuhkan air susunya. Ia diperlihatkan ratusan atau bahkan ribuan foto yang dituang dari dalam kardus ke meja di depannya. Ia disuruh menunjuk wajah mana yang ia kenal. Namun satu-satunya jawaban yang keluar dari mulutnya adalah: Tidak Tahu!

Beruntung karena jawaban ‘tidak tahu’ yang keluar dari mulutnya tidak dibalas dengan bogem mentah para interogator yang biasanya kerap mudah jatuh pada tahanan lain. ‘Selama di Kodim, kapten Suroso masih hormat sama saya,’ ujarnya. Bahkan sebelum memulai interogasi, Suroso mengangkat tangannya ke kepala untuk memberi salam hormat pada Tarni. Padahal dengan tahanan lain, Suroso sangat galak dan sadis.

Ketika kemudian dibuang ke Plantungan dan menjadi tahanan Orde Baru hingga tahun 1979, Tarni sama sekali tak pernah memperoleh perlakuan kasar.

Dari cerita Tarni kemudian, saya memperkirakan bahwa kedekatan kekerabatan antara Tarni dan Tien Soeharto (istri Soeharto) memiliki andil dalam proses interogasi tanpa disertai siksaan ini. Terlebih Tarni mengatakan bahwa keduanya sangat akrab sebelum Peristiwa G30S/1965 meletus. Ayah dan Ibu Tien Soeharto pernah menjadi semacam ‘wali nikah’ dalam perkawinan Tarni dan Njoto.

Namun barangkali juga perkiraan saya salah, mengingat Tarni tetap dibuang ke Plantungan dan menjalani penindasan psikis selama bertahun-tahun karena dipisahkan dari anak-anaknya. Juga efek psikologis yang terjadi pada anak-anaknya karena turut mendekam bersamanya dalam tahanan di Jakarta selama beberapa bulan.

Irina Dayasih, putri keempat Tarni, dalam ingatan masa kecilnya yang ditulis dalam buku ‘Tragedi Kemanusiaan 1965-2005’, mengatakan, Kodim adalah tempat pertama kali ia mendengar ada orang yang mati ditembak. Saat itu, usia Irina baru empat tahun. Sementara si sulung Svetlana baru berusia sembilan tahun.

Bocah-bocah kecil ini selama tiga bulan dipaksa berumah bersama dengan para pesakitan politik. Namun, menurut Tarni, selama itu mereka tak rewel. Bahkan tak satupun dari mereka tanya kenapa mereka berada di situ.

Orang-orang di situ menyayangi mereka. Bukan hanya sesama tahanan, tapi juga para penjaga yang berasal dari kalangan sipil. Terkadang para penjaga tersebut bahkan rela menukar nasi bungkus mereka dengan nasi besek jatah tahanan. Padahal nasi dalam besek tersebut keras dan hanya berlauk tahu atau tempe.

Terkadang, anak-anak tersebut memberikan jatah lebih mereka kepada para tahanan lain karena mereka cukup makan bersama-sama dari satu besek. Tarni mengisahkan bagaimana sebuah garasi mobil di markas tersebut digunakan untuk menahan puluhan wartawan. ‘Mereka berjubel di ruangan tersebut. Kalau mau tidur, mereka harus bergilir karena tak ada tempat. Jadi separuh orang duduk, separuh lainnya baru bisa tidur,’ katanya.

Syukurlah, anak-anak Njoto tak perlu menyaksikan pemandangan menyedihkan itu lagi, saat aparat memanggil Tarni pada suaru hari, masih di tahun 1966. Ia ditanya kemana akan pergi jika dibebaskan. Karena seluruh keluarga besarnya ada di Solo, maka Tarni menjawab bahwa ke kota di Jawa Tengah itulah ia akan pergi. Namun para aparat tersebut meminta ia tetap di Jakarta dengan alasan “kebijakan” daerah bisa jadi berbeda. Salah seorang tentara bahkan menawari ia rumah. Tapi tentu saja Tarni menolak.

Sebulan kemudian, adik Tarni yang berumah di Mampang dipanggil. Tarni ditanya apakah ia mau tinggal di rumah adiknya. Namun Tarni kembali menolak. Kali ini dengan alasan bahwa sang adik sudah cukup terbebani dengan anak mereka sendiri yang cukup banyak.

Akhirnya, oleh aparat, adik Tarni diminta pergi ke Solo untuk menanyakan saudara mana yang bersedia ditempati oleh Tarni dan ketujuh anaknya saat dikeluarkan nanti.

Tak lama kemudian, kakak Tarni –seorang kepala dinas perkebunan di Kabuapten Wonogiri- datang menjemput Tarni di Kodim. Sebelumnya, ia sempat mampir ke rumah Soeharto di Jalan Cendana untuk memberi kabar pada Tien Soeharto bahwa sepupunya dibebaskan hari itu.

Tarni keluar dari Kodim pada hari itu juga dan langsung pulang ke Solo dengan Kereta Api dari Stasiun Gambir. ‘Sepurnya penuh sekali, seperti masa lebaran. Disitulah kemudian saya menangis. Saya kasihan melihat kakak saya. Udah bawa anak kecil tujuh orang, sepurnya kayak gitu lagi,’ kenangnya.

Sampai di Solo, anak-anak dititipkan untuk sementara di tempat kakak Tarni yang lain yang rumahnya hanya berjarak 100 meter dari Stasiun Balapan. Tarni kemudian diantar oleh kakaknya nyekar di makam ayah dan ibunya yang telah tiada.

Beberapa hari kemudian, Tarni bersama seluruh anaknya dibawa ke Baturetno (Wonogiri), rumah sang kakak yang menjadi Kepala Dinas Perkebunan tersebut.

Yang menakjubkan, kakak Tarni ini memiliki sembilan anak –dan kemudian bertambah tiga lagi- serta satu anak angkat Tak terbayangkan betapa riuhnya rumah mereka di Baturetno jika kemudian ditambah tujuh bocah lagi.

Svetlana berkisah, jika ada tukang bakso lewat di depan rumah mereka, maka dipastikan dagangannya langsung abis diborong oleh anak-anak tersebut.

Selama dua tahun, meskipun harus menjalani wajib lapor, Tarni bisa hidup tenang dengan ketujuh anaknya di Baturetno. Beberapa anaknya sudah mulai masuk sekolah, bahkan si sulung Svetlana sudah hijrah ke Solo untuk melanjutkan SMP.

***

Namun Baturetno ternyata bukan takdir terakhir bagi Tarni. Pada bulan Juni 1969, saat Svetlana memasuki sekolah barunya di Solo dan Irina masuk Sekolah Dasar, Tarni kembali ditangkap aparat. Para gerombolan tentara bersenjata datang ke Baturetno dengan diantar Bupati Wonogiri. Mereka mengobrak-abrik rumah sebelum kemudian membawa Tarni dan si bungsu yang baru saja terkena step.

Dalam ingatan Irina, penangkapan itu terjadi saat ia dan saudara-saudaranya yang lain tengah bermain di halaman. Mereka dibujuk agar diperbolehkan membawa sang ibu. Saat mahrib menjelang, mereka melihat sang ibu dan si kecil Butet dinaikkan ke atas jeep yang berjalan ke arah Solo. ‘Saat itu, saya langsung dibawa ke Balai Kota,’ kenang Tarni

Malam itu juga, sesampai di Balai Kota, Tarni langsung diinterogasi. Namun karena Butet terus menerus menangis, petugas mengizinkan Tarni langsung masuk ke dalam sel. Awalnya, ia mengira dimasukkan dalam sel laki-laki karena melihat para tahanan dengan kepala gundul yang memenuhi ruangan. Namun saat mengamati lebih dekat, Tarni baru sadar bahwa seluruh tahanan yang berada di ruangan tersebut adalah perempuan. Mereka adalah para pelajar asal Klaten yang dianggap simpatisan PKI. Mereka mengalami siksaan luar biasa dan rambutnya digunduli oleh tentara.

Tarni mengisahkan bahwa di balai Kota itu pula, ia menyaksikan pasangan suami istri Tionghoa yang disiksa habis-habisan. Bekas luka di perut dan punggung pun sempat ia lihat. Ia juga melihat bagaimana lebam dan hancurnya wajah serta tubuh para pelajar perempuan dari sekolah-sekolah Katolik yang diinterogasi di tempat ini.

Jam 12 malam, Tarni kembali dipanggil petugas dan diinterogasi sampai pagi. Namun, sama seperti di Jakarta, ia tak mendapatkan siksaan sama sekali. Hanya pukulan tongkat di meja untuk memaksanya bicara.

Usai interogasi, Tarni langsung dikirim ke Penjara Bulu (Semarang) dan ditahan di sana selama setahun. Kemudian ia dikirim ke Penjara Bukit Duri (Jakarta) hingga tahun 1973 sebelum dikirim ke Plantungan sampai tahun 1979.

Di penjara Bukit Duri inilah, Svetlana punya kesempatan menengok Ibunya karena ia melanjutkan SMA di ibu kota, tinggal di tempat adik Tarni di daerah Mampang. Namun adik-adiknya hanya bisa melihat wajah sang ibu dari foto-foto yang dikirim dari penjara.

Sementara jika Svetlana berada di Jakarta, keenam adiknya tercerai berai di berbagai kota, ditampung oleh beragam saudara, di Jawa dan Sumatera.

Pertemuan kembali sang ibu dengan seluruh anaknya terjadi secara bertahap. Tarni tak serta merta bertemu dengan seluruh anaknya begitu bebas dari penjara. Svetlana adalah anak pertama yang ia temui bersama dua anak lainnya yang juga ke Jakarta. Kemudian anak-anak lain mulai menyusul setelah menyelesaikan sekolahnya.

Kini, di rumah kontrakan Svetlana di daerah Pulo Gadung, Jakarta, saya menyaksikan Tarni menghabiskan sisa umurnya dengan senyum yang selalu terpancar dari matanya.

‘Sungguh, Mama tak pernan menangis. Senyumnya manis. Selalu manis. Darinya kami belajar tegar,’ tulis Svetlana tentang ibunya yang dipublikasikan di buku ‘Tragedi Kemanusiaan 1965-2005’.

Ketegaran Tarni luar biasa. Ia tak pernah menyesal mencintai dan menikahi Njoto, meski harus menanggung risiko menjadi tahanan politik selama bertahun-tahun. Anak-anaknya pun kini mengucap nama ayahnya dengan nada bangga. Svetlana pun kembali menggunakan nama Rusianya. Sementar Bimo –putra bungsu Svetlana yang baru dikhitan ketika saya datang- dengan antusias mendengar neneknya mendongeng tentang kakeknya. ‘Ia memanggil kakeknya dengan Bung dan selalu bertanya kapan pelajaran di sekolahnya akan sampai pada kisah Bung Njoto,’ cerita Svetlana tentang si buyung.

Dan Tarni tersenyum, meski sampai kini ia tak pernah tahu di mana sang Bung dikubur. Ia hanya tahu bahwa suaminya dibunuh secara diam-diam oleh sebuah kekuasaan yang menganggap PKI sebagai suatu ancaman.

** Sutarni meninggal di Jakarta, 5 September 2014 jam 12.00 WIB.

 

Penulis adalah wartawan di harian Sinar Harapan.

 

Artikel ini sebelumnya telah dimuat sebagai bagian dari buku Kembang-Kembang Genjer, Lembaga Sastra Pembebasan, 2006. Judul asli: Harga Sebuah Kesetiaan. Diterbitkan ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

 

 

 

Posted 14 hours ago by Fransisca Ria Susanti

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.