Planet of Slums : Reproduksi Pekerja dan Involusi Penduduk Kota

Print Friendly, PDF & Email

M Firman Eko Putra, Alumnus Hubungan Internasional UNPAS, Anggota Perhimpunan Muda dan CSS Journal

 

PlanetofSlums

Judul: Planet of Slums
Penulis: Mike Davis
Penerbit: Verso, 2006
Tebal: 228 halaman

 

Sepanjang 30 tahun terakhir, pertumbuhan kota telah jauh melampaui keluasan yang sanggup dibayangkan bahkan oleh para begawan studi perkotaan dalam lingkar Club of Rome. Sebagai contoh, pada tahun 1950 hanya terdapat 86 kota di dunia dengan jumlah populasi lebih kurang 1 miliar; hari ini terdapat sekitar 400 kota, yang diprediksi akan bertambah 150 kota lagi pada 2015.[1] Kota yang bertitel economic capital of the world seperti New York, London, atau Tokyo hingga kota-kota yang sedang tumbuh seperti Beijing, Shanghai, Jakarta, Mumbai atau Karachi menyerap dua per-tiga dari keseluruhan penduduk dunia semenjak tahun 1950. Bisa dibayangkan, dengan kecepatan pertumbuhan seperti itu, tidak butuh satu generasi untuk menyaksikan ledakan migrasi dan involusi urban yang meradikalkan konfigurasi populasi dunia dengan 95 persen manusia berjejalan di kota-kota seluruh dunia.[2] Sebuah proporsi yang amazing!

Kota hari ini tidak dapat dipandang secara telanjang sebagai ruang hidup masyarakat modern. Lebih dari itu, kota merupakan titik penghubung fungsi-fungsi administratif yang mendukung sirkulasi kapital secara global. Dalam konteks ini kita melihat suatu transformasi dan reorganisasi spasial untuk melayani fungsi-fungsi pengelolaan, pengkoordinasian, pelayanan, pendanaan dan jaringan operasi perusahaan yang bertempat di kota-kota diseluruh dunia.[3] Semakin besar porsi kapital imaterial dan semakin bergantung kapitalisme padanya, maka semakin terkonsentrasi pula populasi di kawasan perkotaan. Selain sebagai unit spasial yang melayani fungsi tertentu dari kapital, kota pada saat yang bersamaan juga menjadi situs perjuangan kelas. Tepat pada titik ini lah upaya menerjemahkan realitas perkotaan menjadi penting, utamanya guna mencari kemungkinan transformasi atasnya.

Dalam konteks tersebut, buku yang berjudul Planet of Slums yang ditulis Mike Davis ini menjadi penting dan dapat menjadi tangga pertama kita dalam melihat realitas perkotaan. Buku ini bukan hanya mendeskripsikan lanskap perkotaan ala film-film dystopia/post-apocaliptic world ataupun melodrama urban slums gaya ‘Slumdogs Millioner.’ Lebih dari itu, buku ini berupaya menangkap struktur terdalam dari realitas urban slum hari ini: apa kekuatan pendorong dibalik ledakan urban yang terjadi di seluruh dunia, bagaimana ia berevolusi, hingga kemungkinan-kemungkinan transformasinya bagi kepentingan umat manusia, khususnya bagi rakyat pekerja. Mengingat keluasan topik yang dibahas dalam buku ini, penulis hanya akan memfokuskan diskusi pada dua bab pokok yang membahas persoalan (1) penciptaan kota sebagai reproduksi tenaga kerja dan slums sebagai keniscayaan yang tak terelakan dalam kapitalisme di negara-negara dunia ke-tiga, serta (2) bagaimana SAP (Structural Adjustment Program) dari lembaga donor supranegara mengeksplisitkan kepetingan kapital dalam konfigurasi spasial kota.

 

Kota sebagai Ekspresi Rasional Kapitalisme

I saw innumerable hosts, foredoomed to darkness, dirt, pestilence,

obscenity, misery and early death.

Dickens, ‘A December Vision,’ 1850

 

Kota sebagai konstruksi fisikal-material yang menjadi ruang kehidupan bagi warga,[4] dapat ditemukan dalam berbagai peradaban besar sejak 3500 SM, mulai dari kota Ur di Mesopotamia, Persia, Kekaisaran Qing di Tiongkok, kota pelabuhan Sriwijaya di Malaka, hingga Athena-Sparta, dan Roma di Eropa. Dalam awal masa pertumbuhannya, kota merupakan sejenis pemukiman bagi para pedagang bebas (burger, asal kata burgouise) yang tidak terikat pada tuan-tuan tanah (feud) ataupun gilda-gilda pengrajin produk rumahan. Mereka praktis hidup dari menjual barang yang sudah diproduksi oleh para produsen langsung baik oleh para artisan ataupun gilda, mirip pedagang retail hari ini yang bisa kita temukan hampir disetiap RT disekitar tempat tinggal kita. Seiring membesarnya kapasitas produksi[5] dari kota-kota para pedagang (burgouise) dan di sisi lain terjadi pelemahan kekuatan dalam tubuh kaum aristokrat dan bangsawan akibat perang-perang penaklukan yang tak berkesudahan, kota-kota benteng yang diisi oleh kaum borjuis semakin membesar dan kuat, hingga mampu membiayai angkatan bersenjata sendiri dan sanggup memberontak terhadap kekuasaan aristokrasi. Puncak fenomena ini adalah Revolusi Perancis yang merupakan penanda sejarah kebangkitan kaum borjuis. Tidak seperti kota-kota kuno, kota dalam bentuk modernnya yang khas adalah ruang dimana konsentrasi kapital terpusat. Di sana terdapat sarana produksi (Means of Production), tenaga kerja (labor forces) yang menjalankannya, dan hasil produksi serta konsumen komoditi pada saat yang bersamaan.[6]

Ledakan urban yang mentransformasi lanskap spasial di Eropa Barat pada paruh pertama abad ke 18, seiring terkonsolidasinya kekuatan ekonomi-politik di tangan kelas baru, borjuis, menjadi latar dimana Karl Marx hidup. Menurut hemat penulis, meskipun tidak ditemukan bab khusus tentang perkotaan dalam karya-karyanya, namun bukan berarti persoalan ini luput dari analisisnya terhadap corak produksi kapitalisme. Sebaliknya, analisis perkotaan menjadi bagian inheren dari logika kapitalisme itu sendiri, logika yang dalam bahasanya disebut “annihilate space through time” (Marx 1973: 538-539).

Untuk membantu membaca Planet of Slums secara struktural, penulis meminjam teori Ruang Kapital yang dikerjakan David Harvey dalam ‘Spaces of Capital.’ Strategi ini tak lain digunakan untuk memahami aspek struktural dari pembentukan Kota dan Slums dalam epos kapitalisme seraya diperkuat dengan data-data yang disajikan Mike Davis. Menurut Harvey (1989: 239-259). pemampatan ruang melalui waktu ini, atau dalam bahasa Harvey disebut ‘Time-Space Compression’ adalah kecenderungan bawaan untuk semakin mempercepat waktu turn-over dari produksi nilai yakni :(1) produksi komoditi, yakni laku mencipta nilai melalui pengerahan tenaga kerja (Labor Forces) yang mengekstraksi sarana-sarana produksi (Means of Production), kemudian ia (2) dikonsumsi, yakni merealisasikan nilai melalui laku konsumsi komoditi oleh pasar, hingga (3) nilai yang terealisasikan itu kembali ditanam kedalam proses produksi berikutnya, dan turn-over berikutnya pun dimulai. Adapun yang dimaksud dengan waktu turn-over adalah waktu produksi ditambah waktu sirkulasi (TO = P + S) (Marx 1967 : 248). Bisa disimpulkan bahwa semakin panjang waktu untuk kapital ber turn-over, semakin kecil pula nilai surplus (surplus value) yang akan didapatnya, mengingat sirkulasi membutuhkan biaya transportasi dan komunikasi tersendiri. Dengan logika yang sama, menurut Harvey ‘… any reduction in circulation time increase surplus production and enchances the accumulation process,[7] Dari titik inilah kita bisa memahami kota sebagai konstruksi spasial yang khas dan niscaya dalam kapitalisme untuk memangkas waktu turn-overnya. Konstruksi spasial ini merupakan pengejawantahan fisikal dari pemampatan dua momen esensial dalam kapitalisme, yaitu (1) momen produksi dan (2) momen sirkulasi kapital.

 

Kontinuum Kota – Perikota : Pemukiman Kumuh & Reproduksi Tenaga Kerja

We live in the age of the city. The city is everything to

us – it consumes us, and for that reason we glorify it.

Onookome Okomel, ‘Writing the Anxious City’, 2002

 

Urbanisasi, sebagai fenomena perkotaan, seperti umumnya kita kenal merupakan kondisi sosiologis dimana terjadi peningkatan jumlah penduduk secara signifikan di kawasan perkotaan.[8] Statistik yang tersedia menyediakan data empirik atas fenomena ini, diantaranya tumbuhnya kota-kota dengan jumlah penduduk hingga 8 juta jiwa yang dalam studi perkotaan dikategorikan sebagai megacity[9] serta kota-kota hipercity masa depan yang kelak menampung lebih dari 20 juta penduduk (baru Tokyo yang berhasil melampaui ambang ini). Kuantitas ini setara dengan populasi penduduk perkotaan di seluruh dunia pada masa Revolusi Perancis.[10]

Melampaui pengertian umum tentang urbanisasi, Davis mengikuti Gregory Guldin melihat Urbanisasi sebagai ‘transformasi struktural dan intensifikasi interaksi antara, setiap titik dari kontinum urban-rural.’[11] Bagi penulis, pengertian ini amat membantu untuk menangkap gambar yang lebih inklusif dan struktural tentang kota. Berkebalikan dengan pandangan umum yang melihat kota sebagai satu ruang soliter yang berinvolusi dengan sendirinya dimana penduduk yang mendatangi kota, Davis dan Guldin justru menganggap kotalah yang mendatangi penduduk.[12] Davis melihat proses ini sebagai konsekuensi dari rasionalisasi kapital untuk memampatkan ruang oleh waktu. Dalam proses pemampatan ini, daerah-daerah penyuplai sarana produksi dan tenaga kerja dikonektifikasi oleh pusat, kota bahkan dijadikan bagian integral darinya seperti yang bisa kita temukan pada Rio/Sao Paulo Extended Metropolitan Region (RESPER), Shanghai Economic Region, Tokyo-Osaka Corridor, the lower Rhine, New York-Philadelphia, ataupun kawasan JABEKA (Jakarta Greater Region) di Indonesia. Penduduk tidak mesti bermigrasi ke pusat kota untuk dapat memeroleh penghidupan, kapital lah yang mendatangi pintu-pintu rumah mereka, menjemput bedeng-bedeng reproduksi tenaga kerja. Itu lah mengapa, misalnya dari tahun ke tahun jumlah pendatang baru ke Jakarta menurun drastis.[13] Hal serupa terjadi di Mexico City,[14] Penang,[15] dan New Delhi.

Sementara populasi mengalami deurbanisasi, secara geospasial kota mengalami apa yang oleh Geografer kita David Drakakis-Smith sebut sebagai ‘extended metropolitan region’ yang merepresentasikan sebentuk hibridasi antara kawasan urban dan desa-perkampungan (rural) disekitarnya.[16] Davis melihat proses serupa terjadi di Indonesia. Ia secara spesifik menunjuk pada kawasan Jabodetabek dimana menurutnya, terjadi perubahan pola penggunaan lahan dari lahan ekstraksi agraris ke pemukiman di kawasan yang kini dijulukinya sebagai ‘desakota’ (urban village). Kita bisa melakukan pembuktian sederhana untuk hal ini dengan cara mengakses situs yang memuat peta geografis melalui pencitraan satelit. Secara kasar kita akan melihat bagaimana pusat kota dikelilingi oleh pemukiman-pemukiman di sekitarnya dan membentuk semacam bangun polisentris yang unik. Analog dengan yang terjadi di Indonesia, beberapa kota di kawasan Amerika Latin seperti Buenos Aires, Sao Paolo, Santiago dan Mexico City mengalami hal serupa. Studi yang dilakukan oleh Adrian Aguilar dan Peter Ward terhadap kota-kota di Amerika Latin, seolah mengkonfirmasi tesis Marx tentang watak rasional kapital untuk mengumpulkan faktor-faktor produksi kapital dan sarana perealisasinya (pasar). Untuk itu forma fisikal-material tempat berlangsungnya sirkulasi pun untuk mempercepat waktu turn-over kapital.[17] Mike Davis mengutip keduanya, ‘tingkat pertumbuhan (populasi) metropolitan berkoinsiden dengan semakin intensnya sirkulasi komoditi, manusia, dan kapital antara pusat kota dan daerah disekitarnya, dengan batas yang semakin melebur antara keduanya…’ Lebih jauh lagi, dia percaya bahwa ‘di wilayah peri-urban inilah reproduksi tenaga kerja terkonsentrasi di kota-kota terbesar dunia pada abad 21.’[18]

 

Meng-SAP-kan Dunia ke 3 : Penyesuaian Struktural dan Kemiskinan Penduduk kota

After their mysterious laughter, they quickly changed the topic to

other things. How were people back home surviving sap?

Fidelis Balogun, Adjusted Lives, 1995

 

Pola umum urbanisasi yang terjadi pada abad ke 18 dan 19 di Eropa, dimana gelombang influx populasi dari desa-desa agrikultur ke kota-kota industri baru seperti Sheffields ataupun Pitsburgh tak banyak berubah belakangan ini. Kota Industri seperti Shanghai, Seoul, atau Hongkong sedikit banyak masih mempertahankan pola lama yang dibayangkan Marx yakni ploterarisasi petani. Di kota-kota ini daya serap tenaga kerja hand-in-hand dengan jumlah migrasi ke kota, dengan kata lain inflow kapital asing yang menjadi bahan bakar mesin ekspor industri beriringan dengan jumlah angkatan tenaga kerja baru yang masuk. Di negara-negara tersebut kondisi sine qua non bagi urbanisasi seolah terpenuhi, yakin industrialisasi.

Bagi kebanyakan kota industri di negara berkembang di wilayah selatan seperti Bombay, Johanesburg, Jakarta, Buenos Aieres dan Sao Paolo, urbanisasi tidak selalu diiringi oleh industrialisasi. Meski bagi sebagian peneliti keterputusan jalinan antara pertumbuhan kota dengan industri di dalamnya dianggap sebagai suatu kecenderungan inheren, Davis mengambil posisi yang sedikit bersebrangan. Pertumbuhan kota di sebagian besar kota-kota di negara dunia ke tiga didorong oleh ledakan migrasi influx penduduk pedesaan yang mengalami akumulasi primitif di ruang hidup lamanya. Sebagai gejala sosiologi, urbanisasi bagi Davis bukanlah sesuatu yang bersifat organik secara geografis, bahwa urbanisasi disebabkan oleh hilangnya lahan pekerjaan di kawasan pedesaan. Davis justru berupaya menemukan konektifitas antara kontinum desa–kota dengan ruang spasial yang lebih luas: kekuatan global lah menurutnya ‘menekan orang-orang dari pedesaan keluar’ bahkan ketika ‘tarikan dari kota melemah secara drastis, disebabkan oleh hutang dan depresi ekonomi.’ Kekuatan Global yang dimaksudnya mewujud dalam program penyesuaian struktural IMF ataupun lembaga Internasional lainnya. Program Penyesuaian Struktural secara prinsipil meniscayakan pembukaan sektor-sektor ekonomi yang sebelumnya berada di ketiak Negara. Dalam kasus negara berkembang yang menyandarkan basis perekonomiannya pada sektor ekstraksi agrikultur, SAP membuat para petani lokal mau tidak mau dipaksa mesti urun rembuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan agrikultur berkapasitas kakap di pasar global, mirip epoh David vs Goliath. Hasilnya sudah bisa kita duga, hancurnya perekonomian pedesaan. Lalu kemana lagi para penduduk ini bisa memperoleh mata pencaharian dan tempat tinggal? Sederhana saja: ke perkotaan. Jika mengikuti skema ini maka pertumbuhan urban dalam konteks penyesuaian struktural, devaluasi mata uang, dan penurunan kehadiran negara merupakan ‘resep takterhindarkan bagi produksi masal pemukiman kumuh di perkotaan.’ Sialnya, kota-kota di negara berkembang seolah gagap menerima ledakan urbanisasi ini, sehingga kondisi yang dibayangkan Charles Dickens pada abad ke 18 seakan diduplikasi di kampung-kampung tengah kota, yang dalam kosakata Krausse (1975) disebut inner-city kampong. Pemukiman Kumuh seolah menjadi duri dalam daging dalam gemerlap kota di negara Berkembang seperti Jakarta dan Bandung.

 

Penutup 

Sepanjang resensi singkat ini penulis telah meringkas sekaligus mengartikulasi ulang beberapa inti pemikiran Mike Davis dalam bukunya Planet of Slums. Dalam karya ini dijelaskan bahwa, (1) kota adalah perwujudan material dari kecenderungan kapitalisme untuk memampatkan ruang melalui waktu, yakni mempercepat waktu turn-over dua momen esensial dalam kapitalisme yakni momen produksi dan konsumsi, sehingga kota menjadi pusat totalitas segala kegiatan manusia; (2) konektifikasi urban dan rural sebagai suatu jejaring produksi dan reproduksi sarana produksi (baik material bahan baku juga tenaga kerja), dalam hal ini perluasan geospasial (bukan administratif) perkotaan yang mewujud dalam terma ‘extended metropolitan region,’ meski kemudian menurut hemat penulis Davis memecahkan secara keruangan asal usul material bahan baku produksi yang diperoleh dari pedesaan dengan tenaga kerja yang berasal dari kawasan peri-urban, meskipun jarak antara keduanya kian merapat (3) Davis melihat kota dalam kedudukan spasialnya yang lebih luas sebagai bagian dari sistem ekonomi-politik global. Kota seolah diberkahi suatu gugus tugas tertentu (pembagian kerja secara Internasional) sebagai pusat ekonomi finansial ataupun pelabuhan dagang internasional meski tidak menutup kemungkinan suatu kota menjalani semua peran itu secara bersamaan (4) secara khusus, bagi Davis kebanyakan kota di wilayah selatan dunia (Southern Hemisphere) secara tidak langsung merupakan efek dari perubahan arsitektur kebijakan ekonomi-politik Global. Tuduhan utama yang diajukannya adalah pada program Penyesuaian Struktural IMF dan lembaga keuangan internasional lainnya yang memaksa restrukturasi penggunaan dan penguasaan ruang di negara-negara berkembang (alih fungsi lahan di desa-kota ataupun alih kepemilikan lahan dipedesaan oleh korporasi global) yang kemudian pada gilirannya memaksa gelombang migrasi desa ke kota besar-besaran dengan rentang waktu relatif singkat. Pada titik inilah penduduk ‘baru’ yang tak bertanah ini kemudian mengisi tikungan-tikungan diperkotaan untuk membangun tempat tinggalnya sendiri. Skema ini lah yang menjadi penyebab ledakan slums/pemukiman kumuh/perkampungan-kota di tengah kota.

Dari sudut pandang struktur spasial kota di Indonesia, lanskap pemukiman kumuh merupakan materialisasi dari relasi dialektik antara praktik keseharian penduduknya yang bertopang pada keberadaan kota sebagai ruang hidup tetapi tidak memiliki daya beli yang cukup untuk memenuhi standar hidup perkotaan yang tinggi yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi para perencana kota untuk melakukan tindakan penataan terhadapnya, baik dengan cara-cara koersif seperti penggusuran ataupun dengan cara yang lebih ‘manusiawi’ melalui perangkat kebijakan relokasinya. Penulis mesti mengakui keterbatasan yang dihadapi dalam meringkas dan menyajikan hasil pembacaan secara utuh atas buku ini terutama dalam soal transformasi sosial yang Davis tawarkan dalam buku ini. Menurut hemat penulis isu ini perlu didiskusikan lebih lanjut di tempat terpisah, menimbang keluasan topik yang dibahas.

Sebagai penutup, menurut penulis apa yang semestinya dilengkapi buku ini adalah pengeksplisitan kerangka teoritis di depan penyajian deskripsi-deskripsi kaya data yang ditampilkannya, karena tanpa bantuan abstraksi David Harvey ataupun Henri Levebre misalnya buku ini akan terasa sekedar sebagai deskripsi kehidupan manusia di villa-miserable. Namun tanpa mengurangi besarnya kontribusi pemikiran Mike Davis, buku ini telah menunjukan pada kita bahwa kota merupakan perwujudan spasial dari kapitalisme: kota tak lain dari kapitalisme itu sendiri.

 

Bacaan Tambahan :

David Harvey. (2001). Spaces of Capital : Towards a Critical Political Geography. Edinburgh University Press.

Henri Levebre. (1992). The Production of Space. Wiley-Blackwell.

Saskia Sassen. (2008). State, Territory, and Rights. Princeton University Press

Saskia Sassen. (2001). The Global City : New York, Tokyo, London. Princeton University Press.

[1] UN Population Division, World Urbanization Prospects, the 2001 Revision (New York :2002).

[2] Global Urban Observatory, Slums of the World: The face of urban poverty in the new millennium? (New York :2003), p. 10.

[3] Saskia Sassen, The Global City: New York, Tokyo, London (Princeton : 2001).

[4] Term yang diberikan bagi penduduk yang diakui statusnya secara formal-administratif, diantaranya melalui kepemilikannya atas KTP ataupun surat-surat resmi lainnya yang dapat membuktikan legalitasnya sebagai penduduk dari suatu ruang spasial tertentu, misal kota.

[5] Inovasi teknologi Industri, dengan ditemukannya mesin uap (steam machine) pada… serta modus pengorganisasian kerja baru yang terkonsentrasi di pabrik-pabrik; seiring gelombang urbanisasi pertama pada… disebut sebagai driving force kapasitas produksi pada masa itu.

[6] David Harvey, Spaces of Capital: Towards a Critical Political Geography (Edinburd : 2001).

[7] ‘… any reduction in circulation time increase surplus production and enchances the accumulation process. Speeding up the velocity of circulation of capital contributes to the accumulation process.’ dalam David Harvey, Spaces of Capital: Towards a Critical Political Geography (Edinburg : 2001). Hal. 244.

[8] Kingsley Davis, The Origin and Growth of Urbanization in the World, American Journal of Sociology, Vol. 60, No. 5, World Urbanism (Mar., 1955), (Chicago : 1955), pp. 429-437

[9] Jakarta menurut data sensus tahun 2011 sudah mencapai kategori ini dengan 9,6 juta penduduk ditambah 2,8 juta pendatang pada siang hari, sehingga jika keduanya dihitung Jakarta setiap harinya dihuni oleh 12,4 juta orang. Lihat http://www.jakarta.go.id/web/bankdata/category/16.

[10] Yue-man Yeung, ‘Geography in an age of mega-cities,’ International Social Sciences Journal 151, 1997, p. 93.

[11] Mike Davis, Planet of Slums pp.8-9.

[12] Ibid. 8 – 9. Kalimat lengkapnya ‘Guldin’s case study of southern China, he found that the countryside is urbanizing in situ as well as generating epochal migrations; “Villages become more like market and xiang towns, and county towns and small cities become more like large cities.” Indeed, in many cases,rural people no longer have to migrate to the city: it migrates to them.’

[13] http://metropolitan.inilah.com/read/detail/1771282/jumlah-penduduk-jakarta-dekati-ambang-batas#.U4Qfm_l_t8N

[14] Yue-man Yeung, ‘Geography in an age of mega-cities,’ International Social Sciences Journal 151, 1997.

[15] Mike Davis, Planet of Slums pp. 8 – 9. Jeremy Seabrook describes the fate of Penang fishermen ‘engulfed by urbanization without migrating, their lives overturned, even while remaining on the spot where they were born.’

[16] ‘represent a fusion of urban and regional development in which the distinction between what is urban and rural has become blurred as cities expand along corridors of communication, by-passing or surrounding small towns and villages which subsequently experience in situ changes in function and occupation.’

[17] The more production comes to rest on exchange value, hence on exchange, the more important do the physical conditions of exchange – the means of communication and transport – become for the costs of circulation. Capital by its nature drives beyond every spatial barrier. Thus the creation of the physical conditions of exchange … becomes an extraordinary necessity for it. (Marx 1973: 524).

[18]Adrian Aguilar and Peter Ward, ‘Globalization, Regional Development, and Mega-City Expansion in Latin America: Analyzing Mexico City’s Peri-Urban Hinterland,’ Cities 20:1 (2003), pp. 4, 1 8. ‘Lower rates of metropolitan growth have coincided with a more intense circulation of commodities, people and capital between the city center and its hinterland, with ever more diffuse frontiers between the urban and the rural, and a manufacturing deconcentration towards the metropolitan periphery, and in particular beyond into the peri-urban spaces or penumbra that surround mega-cities.’ Aguilar and Ward believe that ‘it is in this peri-urban space that the reproduction of labor is most likely to be concentrated in the world’s largest cities in the 21st century.’

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.