Arah Baru Hubungan Relawan dan Negara

Print Friendly, PDF & Email

TAK BISA disangkal bahwa kekuatan terpenting di balik kemenangan Joko Widodo (Jokowi) adalah keberadaan relawan, yang, kata Jokowi, bekerja dari siang, malam dan subuh. Keberadaan relawan ini menandai satu perubahan penting dalam hubungan antara massa dan partai politik dalam proses elektoral pasca runtuhnya kediktatoran militer Orde Baru (Orba).

Seperti yang kita tahu, ada dua ciri mendasar dari hubungan massa dan parpol di masa elektoral dalam lima belas tahun terakhir: pertama, massa hanya bergerak setelah dimobilisasi oleh struktur partai. Oleh sebab itu, peran badan pemenangan pemilu (Bapilu) sangat menentukan, karena dari sana strategi, taktik, pendanaan, dan mobilisasi massa ditentukan. Dalam Pilpes 2014 lalu, mesin partai justru tidak bergerak mulus, roda-roda geriginya seperti penuh karat, sementara pada saat yang sama relawan sukses memobilisasi massa dalam jumlah yang spektakuler, tidak hanya di satu titik tapi di banyak sekali titik.

Kedua, dalam politik elektoral selama ini, uang adalah faktor yang sangat menentukan dukungan pemilih baik di luar dan terutama sekali di dalam kotak suara. Politik uang yang sangat ‘terstruktur, sistematis, dan massif’ ini merupakan nanah busuk dalam tahapan demokrasi selama ini. Puncak dari money politics ini terjadi pada pemilu legislatif 2014, dimana rumus wani piro mengalahkan program dan rekam jejak dari kandidat yang bertarung. Potret buruk pileg itu sontak menimbulkan pesimisme bahwa kondisi pilpres adalah 11-12 dengan pileg, dimana pada akhirnya jumlah uanglah yang menjadi hakim tertingginya. Tetapi, kembali relawan dan rakyat Indonesia secara mengejutkan membalikkan ramalan atau prediksi para pakar tersebut, dimana untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu Indonesia, mereka dengan sukarela menyumbangkan uangnya kepada pasangan Jokowi-JK. ‘Kamilah yang membiayai kampanye Jokowi, sehingga itu kami berhak untuk mengawasi dan mengontrolnya ketika ia menjadi presiden,’ begitulah kira-kira pesan yang hendak disampaikan melalui sumbangan sukarela tersebut.

Namun demikian, dengan segala kebaruan dan kebesaran dukungannya kepada Jokowi, tersisa satu pertanyaan penting, ‘bagaimana masa depan relawan pasca pilpres yang dimenangkan oleh pasangan Jokowi-JK?’ Sampai di sini, belum ada pemahaman yang cukup komprehensif bagaimana seharusnya posisi relawan dalam pemerintahan baru nanti. Sebagian menyerukan agar relawan segera menarik diri dari aktivitas politik praktis, kembali ke kondisi ‘normal’ sambil mengawasi pemerintahan Jokowi. Sebagian lagi mulai mengajukan gagasan tentang perlunya relawan mempertahankan lingkaran-lingkaran politiknya selama ini, bahkan semakin perlu diperkuat lingkaran tersebut karena tugas lebih berat sudah menanti, yakni bagaimana agar Jokowi tidak tersandera oleh kekuatan oligarki dan sekaligus memastikan agar program-program kerakyatannya direalisasikan secara konkret.

Tulisan ini hendak mengajak kita semua untuk mendiskusikan lebih jauh tentang bagaimana seharusnya posisi relawan berhadapan dengan kekuasaan negara (state power).

 

Gagalnya Paham Emoh Negara

Segera setelah runtuhnya rezim Orba, bergulir arus besar yang menentang ‘peran negara yang hadir di mana-mana.’ Arus besar ini datang dari atas maupun dari bawah. Gelombang dari atas di desakkan oleh lembaga-lembaga keuangan multinasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang mendesak pemerintahan pasca Orba untuk menjalankan serangkaian kebijakan neoliberal dalam wujud privatisasi, deregulasi, dan pemotongan anggaran untuk kepentingan publik. Menurut perspektif ini, krisis ekonomi-politik yang terjadi pada masa Orba disebabkan oleh peran negara yang terlalu besar dalam aktivitas ekonomi, sehingga menyebabkan terjadinya praktek korupsi, kolusi, nepotisme, dan pelanggaran HAM. Hanya melalui mekanisme pasarlah maka demokrasi bisa berdiri tegak dan berkelanjutan, dan sebaliknya, hanya dalam demokrasilah ekonomi pasar bisa bekerja secara optimal.

Sementara gelombang dari bawah diusung oleh gerakan-gerakan sosial yang berbasis LSM, yang menyuarakan slogan emoh negara. Kelompok ini, tidak mesti sepakat dengan kelompok di atas, melihat bahwa negara Orba menjadi otoriter dan berujung krisis karena kekuasaannya yang terlalu besar dan sentralis, sehingga mengooptasi dan kemudian membungkam suara-suara dan dinamika masyarakat. Demokrasi yang baik, menurut kalangan ini, adalah ketika kekuasaan negara diawasi dan dikontrol secara ketat oleh masyarakat dan untuk itu, perlu bagi masyarakat ini untuk membangun kekuatan yang tidak berorientasi pada kekuasaan negara. Inilah yang populer disebut sebagai masyarakat sipil, yakni kelompok sosial yang sadar politik tapi tidak memiliki orientasi politik praktis. Dalam kaitan dengan tulisan ini, saya akan fokus membahas sikap politik kelompok ini.

Dalam lima belas tahun eksperimen politik demokrasi prosedural, kita temui bahwa politik yang menjauh dari negara gagal dalam membawa demokrasi bergerak lebih ke sifatnya yang substantif. Dalam bidang ekonomi, akibat penerapan kebijakan privatisasi, deregulasi dan penghapusan anggaran untuk kepentingan publik, telah menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin memburuk serta tingkat kesenjangan sosial yang semakin tajam. Janji-janji efisiensi dan good governance yang menjadi mantra IMF dan Bank Dunia untuk menyelesaikan krisis ekonomi dan sekaligus menyehatkan birokrasi dan badan usaha milik negara, sama sekali tidak terbukti. Dalam sektor minyak dan gas, misalnya, dalam pilpres kemarin terungkap bahwa sektor ini dikuasai oleh segelintir mafia yang memiliki kekuasaan tidak terbatas. Banyaknya pejabat publik yang ditangkap KPK, bukan pertanda bahwa KPK hebat melainkan hanya menunjukkan bahwa selama ini para koruptor telah berkembang biak dengan sangat pesatnya.

Pada level politik, seperti yang sudah di singgung di atas yang terjadi adalah berkembangnya politik transaksional di kalangan elite parpol dan bisnis. Parpol miskin ideologi dan kader bekualitas, karena hanya menjadi mesin pendulang suara di masa pemilu, sementara massa hanya dianggap sebagai angka-angka di masa pencoblosan yang cukup dikasih nasi bungkus. Tidak ada hubungan organik antara massa dan parpol, sehingga ketika tuntutan massa bergerak ke Selatan reaksi parpol justru bergerak ke Utara. Dalam lima belas tahun terakhir, produk terbaik dari mantra good governance adalah pemerintahan lokal yang dikuasai oleh oligarki predator yang beraliansi dengan birokrasi dan borjuasi lokal.

Dalam bidang sosial, masa reformasi adalah periode dimana ikatan-ikatan solidaritas dalam masyarakat hancur berkeping-keping, kecuali di musim bencana alam. Masuknya pasarisasi ke hampir seluruh ruang dan hajat hidup rakyat membuat setiap individu mengejar keuntungan ekonomi sendiri-sendiri tanpa peduli nasib sesamanya. Inilah hasil dari mantra neoliberal lainnya, bahwa kemiskinan dan kemakmuran adalah murni tanggung jawab masing-masing individu, siapa kuat di menang, siapa cepat dia dapat. Karena peran negara dalam pembiayaan anggaran publik telah dlucuti, maka pertarungan individual untuk naik ‘kelas’ ini berlangsung dengan panasnya. Korupsi adalah salah satu jalan pintasnya.

 

naskah1Ilusrtasi oleh Alit Ambara

 

Potret rapuhnya solidaritas sosial ini juga bisa dilihat dari maraknya konflik antara suku, golongan dan agama. Kalangan yang merasa dirinya mayoritas seperti memiliki hak istimewa untuk menentukan apa yang baik dan benar bagi kalangan minoritas. Hal ini paling tampak dalam konflik agama, dimana kalangan mayoritas ini seperti memperoleh wahyu dari Tuhan untuk memaksa dan mempersekusi kelompok minoritas agama lainnya. Dalam bidang ilmu pengetahuan juga demikian, dimana pengajaran Marxisme tetap dilarang di dunia pendidikan atas nama kebaikan mayoritas.

Tetapi, tentu saja keliru untuk menyimpulkan bahwa dalam lima belas tahun terakhir ini negara sama sekali telah menjadi lemah. Yang terjadi, haluan negara diputar dari kewajibannya untuk melayani dan melindungi segenap jiwa raga penduduknya menjadi hanya melayani dan melindungi kepentingan oligarki kapitalis saja. Ini bisa kita lihat dari kasus-kasus penggusuran tanah rakyat untuk kepentingan bisnis, dimana perlawanan rakyat yang kehilangan tanahnya dihadapi dengan kekerasan oleh aparat negara. Yang sesungguhnya terjadi adalah negara lemah dalam membela kepentingan rakyat tapi kuat dalam mengamankan kepentingan oligarki kapitalis.

Potret umum ini juga membuktikan bahwa prinsip emoh negara yang dianut oleh kalangan masyarakat sipil selama ini, telah gagal. Kalau rezim neoliberal berhasil membuat negara berpihak pada kepentingannya, kalangan masyarakat sipil hanya tiba pada kesimpulan bahwa negara kuat adalah bahaya pada dirinya sendiri sehingga harus diawasi dan dikontrol. Akibatnya, walaupun ada pembelaan-pembelaan yang sangat serius dari kalangan masyarakat sipil terhadap rakyat yang tertindas, tetapi pembelaan itu bersifat parsial, lokalis, dan temporal. Masyarakat sipil sama sekali tidak memiliki alternatif yang solid dan komprehensif dalam membebaskan rakyat dari penindasan terstruktur, sistematis, dan massif oleh rezim neoliberal selama ini.

Ini, misalnya, tampak dari gerakan anti korupsi yang dengan suksesnya dipelopori dan diperjuangkan oleh ICW, tetapi gerakan ini sendiri tidak memiliki alternatif bagaimana keluar dari sistem yang menyebabkan perilaku korup begitu mewabah dari atas, ke samping kiri-kanan, hingga ke bawah. Apa yang sukses dilakukan oleh gerakan ini adalah menimbulkan kesadaran luas masyarakat bahwa korupsi itu jahat, sehingga diperlukan penguatan-penguatan dan reformasi-reformasi kelembagaan di dalam sistem ini untuk membendung dan memberantas tindak korupsi tersebut. Tetapi karena gerakan anti-korupsi tidak melihat korupsi itu melekat dalam sistem kapitalisme-neoliberal, maka ketika sistem ini tidak diganti berakibat reform-reform itu layaknya orang bermain petak-umpet: berhasil di sini, gagal di sana; tangkap koruptor di lembaga yang satu, muncul koruptor di lembaga yang lain.

 

Mengklaim Kembali Negara

Kita sudah lihat bahwa problem paling mendasar selama lima belas tahun terakhir ini, bukan karena kita tidak punya konsep, undang-undang maupun lembaga-lembaga yang berperan memperkuat konsolidasi demokrasi. Masalah utamnya adalah terlalu kuatnya oligarki kapitalis yang beraliansi dengan negara dalam merealisasikan kepentingannya di hadapan kekuatan rakyat yang sangat lemah. Sehingga akibatnya, dalam masa reformasi ini narasi yang dominan adalah kepentingan oligarki kapitalis sama dan sebangun dengan kepentingan rakyat, dan sebaliknya, kepentingan rakyat tidak mesti sejalan dengan kepentingan bangsa. Misalnya, narasi mengenai perlunya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dianggap sebagai perlambang kepentingan rakyat. Padahal kita telah memiliki bukti empiris ketika di masa Orba pertumbuhan ekonomi mencapai angka 7-8 persen per tahun, maka bagian terbesar dari kekayaan itu dinikmati hanya oleh segelintir orang di lingkaran kekuasaan.

Dari kondisi ini, maka tantangan terbesar yang dihadapi oleh relawan dan gerakan sosial di Indonesia saat ini adalah bagaimana membalikkan konfigurasi kekuatan antara rakyat berhadapan dengan oligarki-kapitalis yang didukung negara tersebut. Menurut perspektif ini, masalah-masalah KKN, kemiskinan dan kesenjangan sosial, serta hancurnya solidaritas sosial hanya bisa ditangani jika terjadi perluasan dan pendalaman aktivitas-aktivitas gerakan kerakyatan dalam memperjuangkan kepentingannya.

Strategi ini tak pelak membutuhkan syarat bahwa relawan dan gerakan sosial tidak boleh mengambil posisi emoh negara lagi. Negara harus dipandang sebagai medan pertarungan kekuatan antara oligarki-kapitalis vs gerakan rakyat. Negara tidak bisa lagi dipandang buruk semata, bahwa kekuatan di dalam negara bersifat homogen sehingga percuma dan berbahaya bagi gerakan rakyat untuk memperebutkan arena negara. Merebut kekuasaan negara di sini bukan untuk menghancurkan atau mengeliminasi demokrasi elektoral-prosedural yang telah ada, tetapi meradikalkannya menjadi demokrasi partisipatoris. Jika demokrasi electoral-prosedural yang dominan maka kepentingan rakyat pasti akan ditelikung dan dibungkam oleh kepentingan oligarki-kapitalis. Tetapi, menghancurkan demokrasi elektoral-prosuderal dalam kondisi dimana gerakan rakyat tidak siap hanya akan berujung pada kudeta militer yang justru pada akhirnya menutup saluran partisipasi politik rakyat secara bebas. Radikalisasi demokrasi dalam bentuk partisipasi publik yang luas dalam pengambilan kebijakan publik dan administrasi publik adalah jalan terbaik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.

Sebelumnya gagasan ini tampak abstrak bagi banyak gerakan sosial, tapi pilpres 2014 lalu memberikan landasan materialnya. Selain peran penting berupa mobilisasi dan partisipasi rakyat yang sangat luas, di saat bersamaan muncul kosakata-kosakata baru seperti, ‘Negara harus hadir dalam persoalan-persoalan mendasar rakyat’, ‘Jokowi adalah Kita’, ‘Mari bergerak bersama,’ dst. Dari basis material ini maka tidak ada alasan bagi relawan untuk menolak terlibat dalam pengaturan kekuasaan negara dari dalam. Relawan justru harus berani masuk dalam kekuasaan negara, merebut narasi dan pengelolaan kebijakan publik dan membangun jembatan yang kokoh dengan gerakan rakyat di luar negara. Tetapi, agar jembatan kokoh itu terbentuk maka relawan dan gerakan sosial, baik yang berada di luar maupun di dalam pemerintahan harus menyusun dan mendesakkan disahkannya sebuah undang-undang yang menjamin partisipasi publik dalam urusan administrasi publik.

Dengan adanya UU ini, maka negara menjamin partisipasi publik tersebut sekaligus terjadi keberlanjutan program tanpa tergantung pada aktor tertentu. Pemerintahan boleh datang dan pergi, tetapi partisipasi publik akan terus ada. Jika Jokowi adalah perlambang kebaruan, maka kebaruan seperti inilah yang kita butuhkan.***

 

Penulis adalah Editor IndoPROGRESS

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.