Marxisme dan ‘Sosialisme Bank Dunia’

Print Friendly, PDF & Email

UPAYA untuk mewujudkan sosialisme Indonesia mensyaratkan pengetahuan tentang kenyataan Indonesia. Ini adalah syarat yang tak mungkin ditawar lagi. Perjuangan politik tanpa pembacaan kenyataan sama saja dengan bunyi tanpa makna. Dalam konteks perjuangan menuju sosialisme, realitas yang tak bisa diabaikan adalah kenyataan perlawanan rakyat. Seberapa besarkah perlawanan rakyat Indonesia? Siapakah agen utama yang menjadi subjek perlawanan rakyat? Seberapa besarkah kontribusi yang diberikan gerakan Kiri bagi perbesaran gelombang perlawanan rakyat? Sederet pertanyaan ini perlu dicari jawabnya terlebih dulu agar perjuangan ke arah sosialisme Indonesia menjadi konkrit: punya bentuk dan punya arah.

‘Namun sungguhkah pengetahuan tentang kenyataan diperlukan demi perjuangan sosialisme?’ tanya orang-orang yang kurang percaya. Tidakkah sosialisme dan komunisme adalah resep jitu yang pas di segala kondisi? Untuk apa menimbang apa yang terjadi dengan sejarah nasional dan gerak nyata rakyat Indonesia kalau sosialisme sudah pasti benar untuk segala kondisi? Inilah cara berpikir yang bisa disebut, meminjam pernyataan Hilmar Farid, sebagai ‘sosialisme Bank Dunia’—artinya, sosialisme yang dijadikan resep untuk segala realitas politik, seperti halnya kebijakan ‘pengetatan anggaran’ (austerity) yang dipromosikan IMF dan Bank Dunia sebagai solusi untuk segala masalah ekonomi. Cara berpikir ‘sosialisme Bank Dunia’ ini marak di kalangan gerakan. Dalam bentuknya yang lebih moderat, kecenderungan ‘sosialisme Bank Dunia’ ini mengemuka dalam sikap serba menolak semua yang bukan sosialis: #tolakanu dan #tolakkabeh. Terima bongkar, tidak terima pasang. Dalam bentuknya yang lebih ekstrem, kecenderungan itu mengemuka secara lebih absurd lagi: apapun makanannya, minumnya Teh Botol Trotsky. Cara berpikir ‘sosialisme Bank Dunia’ ini jelas keliru. Sosialisme tidak ‘pasti benar untuk segala kondisi’. Sosialisme adalah realitas yang terkondisikan oleh sejumlah syarat. Sosialisme, misalnya, tak mungkin muncul dalam konteks relasi kerja-wajib tradisional yang marak di Abad Pertengahan. Sosialisme hanya akan terwujud dengan mengandaikan terpenuhinya prakondisi A, B, C, dst. terlebih dulu. Oleh karena itu, pengentasan dari cara berpikir ‘sosialisme Bank Dunia’ mensyaratkan pembelajaran lagi akan kenyataan Indonesia, akan perlawanan rakyat Indonesia.

Dalam banyak hal, paparan kuantitatif berikut ini berhutang pada penelitan singkat yang dijalankan Anom Astika dengan bantuan Wildan Pramudya, tentang arus informasi perlawanan rakyat beberapa waktu yang lalu. Sebagai ilustrasi dari gerak perlawanan rakyat, kita dapat mengacu pada data kompilasi berita online tentang perlawanan rakyat yang dikumpulkan satu per satu oleh Anom dalam tautan ini: Evernote. Di situ terdapat kumpulan berita perlawanan rakyat seluruh Indonesia selama bulan Januari 2013. Totalnya ada sekitar 1300 perlawanan. Kita dapat memperoleh gambaran yang lebih spesifik tentang perlawanan itu dengan menggunakan jasa visualisasi jumlah kata yang disediakan oleh situs gratis macam Wordle.net. Hasilnya adalah gambaran berikut:

gbr1a

Ilustrasi 1. Visualisasi jumlah kata dalam berita perlawanan rakyat per Januari 2013

Dari visualisasi tersebut kita mendapati pemandangan yang menarik. Kita dapat menghitung jumlah kata yang digunakan secara akurat dengan mengacu ke naskah kompilasi di evernote. Dari sana kita dapat menyusun peringkat berdasarkan jumlah kemunculan kata terkait per kategori:

 

gbr2

Data yang diperoleh dari jumlah kemunculan kata dari seluruh surat kabar online ini, tentu saja, tidak sepenuhnya akurat. Namun setidaknya, data ini bisa dijadikan pegangan awal untuk penelitian yang lebih serius tentang gelombang perlawanan rakyat. Dari data di muka, kita dapat mengambil empat butir kesimpulan berikut:

  1. Subjek terbesar yang berkontribusi bagi perlawanan rakyat adalah kelompok massa yang ambigu maknanya, yakni warga (1129). Seperti kata rakyat itu sendiri, warga dapat mengacu ke kelompok sosial manapun.
  2. Bentuk artikulasi perlawanan rakyat yang paling lazim adalah aksi massa. Perlawanan melalui tindakan penolakan (132) dan boikot (4) jauh lebih kecil daripada aksi massa biasa (801).
  3. Latar panggung perlawanan rakyat yang sering dipakai adalah desa (716), jauh di atas perlawanan rakyat di kota (435)
  4. Jumlah rakyat yang terlibat dari setiap momentum perlawanan kerapkali kecil, hanya terdiri dari puluhan (di 394 kasus) dan ratusan (363) orang saja. Selain itu, lebih sering ‘beberapa’ orang aksi (75) daripada ‘ribuan’ orang aksi (62).

Kini kita sudah tahu seberapa besar perlawanan rakyat Indonesia. Kita juga sudah tahu subjek politik macam apa yang paling besar menyumbangkan massanya bagi perlawanan rakyat. Apa yang belum kita dengar sampai sekarang adalah apa kontribusi gerakan Kiri bagi perlawanan rakyat itu. Berdasarkan pelacakan nama organisasi dalam 1300-an perlawanan rakyat tersebut, beberapa nama berikut dan kontribusinya barangkali bisa memberikan gambaran:

  1. LMND: 8
  2. SRMI: 6
  3. KASBI: 1
  4. FMN: 1
  5. FNPBI: 1
  6. PRD: 1

Jumlahnya amatlah kecil bila dibandingkan dengan kuantitas perlawanan itu sendiri yang mencapai angka 1300-an. Dengan mengasumsikan, berdasarkan perhitungan di muka, adanya 18 kali keterlibatan gerakan Kiri pada 1300 perlawanan rakyat, maka persentase kontribusi gerakan Kiri bagi perlawanan rakyat Indonesia bulan Januari 2013 adalah sebesar 1,38 persen.

Kita dapat memproyeksikan angka kontribusi gerakan ini ke taraf nasional. Saya akan meminjam data yang diolah berdasarkan penelitian kata kunci dari Anom Astika dan database dari Wildan Pramudya. Database itu mencakup seluruh berita online maupun cetak sepanjang tahun 2013 di seluruh Indonesia. Anom membaginya ke dalam tiga kategori: aksi buruh, tani dan mahasiswa. Berikut adalah hasil olahan mereka berdua:

gbr3

Ilustrasi 2. Data jumlah aksi buruh, tani dan mahasiswa di Indonesia sepanjang 2013

 

Dari data di muka, nampak bahwa selama setahun aksi mahasiswa mencapai jumlah 12.598 kali, aksi buruh 8.132 kali dan aksi petani 2.541 kali. Totalnya mencapai 23.271 kali. Apabila dari jumlah ini kita hendak menghitung jumlah kontribusi gerakan Kiri, maka kita dapat mengalikannya dengan 1,38 persen yang diperoleh di muka. Tentu saja, perhitungan ini tidak akurat karena setidaknya dua alasan: 1) persentase kontribusi gerakan sebesar 1,38 persen itu diperoleh dari perhitungan selama bulan Januari saja, sementara jumlah 23.271 didapat dari perhitungan perlawanan rakyat selama setahun; 2) persentase 1,38 persen didapat dari perbandingan jenis subjek politik yang lebih luas, tidak hanya buruh, tani dan mahasiswa, tetapi juga warga, pedagang dan sebagainya. Namun dengan menyadari ketidakakuratan itu, setidaknya kita dapat memperoleh gambaran kasarnya. Dengan demikian, angka partisipasi gerakan Kiri dalam perlawanan rakyat Indonesia sepanjang tahun 2013 adalah sekitar 321 kali dari keseluruhan 23.271 perlawanan rakyat.

Dilihat dari sudut pandang manapun, persentase kontribusi gerakan Kiri bagi perlawanan rakyat Indonesia sepanjang 2013 yang sebesar 1,38 persen itu sungguh kecil. Tentu, orang bisa saja bilang: biar kecil, asal militan. Namun dalam kasus ini, seperti juga dalam banyak kasus lainnya: size matters. Dalam realpolitik,besar-kecilnya posisi tawar politik ditentukan oleh besar kecilnya massa. Tidak relevan apakah massa itu diperoleh lewat duit, paksaan atau dengan cara-cara haram lainnya. Politik adalah soal pengerahan massa dengan cara apapun juga (by all means necessary). Tidak relevan juga apakah massa itu memiliki kadar keimanan yang tinggi atau tidak. Kehendak suci belasan orang tidak akan mengubah apa-apa, apalagi mengubah dunia. Jadi yang lebih tepat untuk menggambarkan keadaan ini bukanlah ungkapan ‘biar kecil, asal militan’, melainkan ‘sudah kecil, sombong pulak’ alias ‘besar pasak daripada tiang’.

Kecenderungan ‘besar pasak daripada tiang’ ini sering kita temukan dalam cara berpikir ‘sosialisme Bank Dunia’. Coba perhatikan empat sampel pernyataan politik tipikal Kiri berikut:

  • ‘Posisi kita adalah golput, karena pemilu ini adalah pemilu borjuis’
  • ‘Wahai capres A, jangan sampai kau berpasangan dengan si B karena dia antek Orba’
  • ‘Sebelum si C berhasil menggelar pengadilan HAM bagi para jendral pelanggar HAM, tak semeter pun kan kutempuh ke TPS untuk mencoblosnya’
  • ‘Tuh kan koalisi dengan antek kapitalis; kemarin kubilang juga apa: dasar emang borjuis’

Walaupun substansi permasalahan yang dibahas dalam keempat pernyataan itu berbeda-beda, tetapi ada kesamaan yang mempertemukan semuanya. Keempatnya bertumpu pada ilusi seolah-olah dirinya penting bagi keberlanjutan politik Indonesia. Seakan-akan semua golongan mesti minta restu politik dari kelompoknya yang hanya sepersekian dari 1,38 persen dari arus perlawanan rakyat Indonesia. Ini sebenarnya agak mengenaskan. Untuk menyadari betapa mengenaskannya kondisi ini, pernyataan-pernyataan di muka dapat kita sandingkan dengan pernyataan balik dari sudut pandang politik secara umum, yakni sudut pandang non-Kiri (sudut pandang yang tidak mengasumsikan terlebih dulu keyakinan pada nilai-nilai Marxisme).

  • ‘Posisi kita adalah golput, karena pemilu ini adalah pemilu borjuis’

o   Komentar seorang intelektual liberal: ‘Pemilu yang kau sebut borjuis ini tetap jalan dengan atau tanpamu. Lantas apa guna pernyataannmu? Pekerja kantor yang malas—mereka yang kau sebut “kelas menengah ngehe” itu—juga lebih memilih tidur siang daripada datang mencoblos di TPS. Lalu apa yang politis dari tindakanmu?’

  • ‘Wahai capres A, jangan sampai kau berpasangan dengan si B karena dia antek Orba’

o   Komentar seorang aktivis LSM pemantau pemilu: ‘Mau yang bukan bagian Orba? Coblos PKS karena itulah salah satu partai yang baru terbentuk di era reformasi, dus bersih dari Orba. Masalahnya bukan bagian Orba atau bukan, tapi soal mana yang lebih memungkinkan terbukanya ruang demokrasi dan kemajuan agenda demokratis. Lagipula kau kan menolak ambil bagian dari parpol yang kau bilang “elit” itu. Karena kau menolak terlibat dalam politik elit, sementara keputusan tentang ditunjuknya si B ada di tangan politik elit, lalu kenapa kau ribut?’

  • ‘Sebelum si C berhasil menggelar pengadilan HAM bagi para jenderal pelanggar HAM, tak semeter pun kan kutempuh ke TPS untuk mencoblosnya’

o   Komentar seorang operator suara di lapangan: ‘Aje gile, lu pikir lu Nadia Hutagalung? Jenderal kaga, kyai juga kaga, artis apalagi. Kaga punya massa, minta dingertiin. Ga mau ke TPS, bos? Ke TPA aja.’

  • ‘Tuh kan si doi koalisi dengan antek kapitalis; kemarin kubilang juga apa: dasar emang borjuis’

o   Komentar seorang sosiolog asal Jawa Tengah: ‘Nah ini dia, Mama Loreng bangkit dari kubur. Ya jelas aja ramalanmu terbukti, wong kamu tidak mengusahakan apa-apa agar dia tidak koalisi dengan mereka yang kamu sebut antek kapitalis. Itu namanya self-fulfilling prophecy: cawetmu mambu, wong liya dikongkon ngumbahi (celana dalemmu bau, orang lain disuruh nyuci).’

Pernyataan balik dari sudut pandang politik awam ini penting untuk mengukur seberapa absurdnya pernyataan-pernyataan politik Kiri di muka di hadapan masyarakat biasa. Dapat dilihat bagaimana dalam kalkulasi politik yang normal, pernyataan-pernyataan Kiri itu tak mudah dipahami logikanya: kekuasaan tak punya, massa cuma sebagian kecil saja, tetapi kok melontarkan pernyataan dalam kapasitas bak seorang petinggi parpol besar? Ini tidak masuk akal dari perhitungan politik yang umum.

Lalu apakah jalan keluar dari ‘sosialisme Bank Dunia’ ini? Ada dua momen seayun yang dapat dijalankan. Yang pertama ialah artikulasi politik sebagai strategi atas.Tak ada jalan lain selain pelajaran artikulasi politik, yakni belajar merumuskan agenda progresif dalam rumusan yang dapat diterima secara masuk akal bagi banyak pihak. Di sini, gerakan memerlukan ‘sense and sensibility’: tidak tolak-tolik semaunya sendiri, tidak hobi panik, tidak asal melontarkan klaim universal tanpa menyadari batasan asumsinya sendiri. Dengan mendorong diadopsinya agenda-agenda progresif dalam pemerintahan, gerakan jadi punya alasan yang kuat seandainya pemerintahan yang akan datang ternyata bergerak melenceng dari agenda-agenda tersebut. Ini ditangani dengan momen kedua yang berkenaan dengan strategi bawah, yakni mengorganisasikan kekuatan rakyat agar terwujud identifikasi antara agenda-agenda progresif dan agenda-agenda rakyat itu sendiri, melalui penerjemahan kepentingan rakyat di tiap-tiap sektor ke dalam agenda progresif yang komprehensif dan koheren. Dengan adanya identifikasi antara agenda progresif dan agenda rakyat, terwujudlah kontrol kerakyatan atas jalannya pemerintahan. Kemelencengan pemerintah yang akan datang dari agenda-agenda progresif itu akan disambut dengan tuntutan umum rakyat Indonesia agar pemerintah bertindak sesuai dengan visi-misinya yang dicanangkannya sendiri semenjak pilpres (yang telah memuat agenda-agenda progresif tersebut berkat artikulasi politik di strategi atas). Dua momen ini—artikulasi politik dan pengorganisasian kepentingan rakyat—adalah jalan keluar dari ‘sosialisme Bank Dunia’ dan pintu masuk ke dalam sosialisme khas Indonesia. Memang agak kurang nyoviet, tetapi setidaknya lebih doable dan layak dicobadaripada sekadar mengulang-ulang resep pengetatan akidah revolusi Marxis yang serba tolak-tolik dan gogal-gagal.***

 

20 Mei 2014

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.