Serpihan-serpihan Tentang Tuhan di Macondo

Print Friendly, PDF & Email

SAYA pertama kali mengenal Gabriel Garcia Marquez dari Seratus Tahun Kesunyian. Novel ini memang dianggap sebagai salah satu karya terbaik Gabo, demikian ia biasa disapa. Selain sebagai seorang sastrawan kelas atas, Gabo dikenal pula dekat dengan aktivitas-aktivitas perlawanan. Namun, pada kesempatan ini, saya hanya akan sedikit berbagi pengalaman membaca karya sastranya, sejauh serpihan-serpihan itu bisa dikumpulkan.

Membicarakan siapa Gabo, karya-karya apa saja yang dihasilkannya, pentingnya namanya di dalam sastra dunia tentu tak perlu terlalu banyak diutarakan di sini. Di Indonesia, saya kira Eka Kurniawan  dan Ronny Agustinus lah yang paling kerap mengupdate kisah tentangnya. Berbicara tentang Gabo dan juga banyak sastrawan sekalibernya adalah membicarakan hubungan sastra Indonesia dan sastra dunia. Sudah banyak tentu yang membahas perihal ini. Yang hendak saya garis bawahi adalah keterlambatan informasi yang sampai pada kita atau keterlambatan informasi tentang kita pada mereka.

Demikian juga dengan Gabo. Barangkali ketika ia mendapatkan nobel sastra pada 1982, baru segelintir pencinta sastra di Indonesia yang tahu tentangnya. Sejauh data yang bisa saya kumpulkan, baru pada 1992 (10 tahun setelahnya) muncul terjemahan Masri Maris atas novel Tumbangnya Seorang Diktator. Pada 2003, muncul terjemahan Seratus Tahun Kesunyian. Masih banyak lagi karya Gabo yang telah diterjemahkan. Dan seperti yang sudah menjadi rahasia umum, tentu saja tidak semuanya muncul dengan kualitas terjemahan yang baik.

Bukan kebetulan belaka jika ramainya terjemahan Gabo setelah 2000-an dan beberapa sastrawan Amerika Latin lainnya ke Bahasa Indonesia, telah mendorong bermunculannya banyak cerpen atau prosa Indonesia yang juga beraroma realisme magis. Sebelumnya, kita tahu, sudah ada Danarto yang mendahuluinya. Pertukaran wilayah pembacaan antar dua tradisi yang berbeda ini, Amerika Latin dan Indonesia, pada gilirannya membuka kemungkinan-kemungkinan baru penciptaan karya sastra. Kemungkinan-kemungkinan baru inilah yang saya kira patut digarisbawahi ketika kita membicarakan sumbangsih seorang sastrawan besar dunia; begitu pula Gabo. Tentu juga dengan tak menutup mata atas sumbangsihnya secara umum untuk sastra dunia. Dan Gabo, bagi saya pribadi, telah mendorong munculnya sebuah novel berkualitas atas di Indonesia melalui Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka.

Jika Gabo menciptakan Macondo sebagai simbol Kolombia dan sejarah pembentukan negara itu, maka Eka mencontohnya pada Halimunda sebagai Indonesia kecil. Pada Halimunda juga lahir Kamerad Kliwon yang hantunya terus menghantui Halimunda. Halimunda dan Macondo  menceritakan  sejarah sebuah negara pascakolonial dengan metafora seorang gadis cantik. Bagi saya dengan demikian, Gabo bukan sekadar seorang dedengkot realisme magis di dunia dan juga corong Amerika Latin yang sangat penting, ia pun adalah inspirasi untuk menceritakan sejarah Indonesia dengan cara yang berbeda.

Namun, Love in The Time of Cholera-lah karya Gabo yang paling melekat di kepala saya. Saya membacanya beberapa tahun silam, saya lupa kapan, dan lantas menemukan filmnya beberapa saat setelah itu. Love in The Time of Cholera bagi saya adalah sebuah kisah eksotis percintaan yang sungguh menggebu-gebu, kala itu. Cerita yang paling ngegerus ketimbang cerita-cerita ngegerus lainnya. Cerita ini punya inti yang sederhana sesungguhnya; seorang laki-laki miskin (Florentino) yang jatuh cinta pada gadis bangsawan (Femina). Namun gadis itu lantas menikah dengan pria yang sepadan dengannya secara sosial, seorang dokter lulusan Prancis. Florentino terpuruk, lantas bertekad menunggu Femina. Barangkali pepatah ‘selama bendera kuning belum berkibar, harapan belumlah putus’ dianut Florentino. Atau bisa juga memang Florentino merasa bahwa Femina terhipontis pembagian kelas yang sesungguhnya semu. Sungguh klise. Namun inti yang sederhana ini dibalut Gabo dengan detil cerita serta konflik-konflik yang membuatnya begitu indah dilahap.

Dalam penantiannya itu, Florentino tidur dengan banyak perempuan dan terus menulis puisi. Florentino memang seorang pemuda miskin yang bekerja sebagai petugas telegram dan gemar menulis puisi. Pada suatu ketika, Florentino, 50-an tahun, terbangun karena bunyi genta gereja, petanda seorang warga penting kota meninggal. Di sampingnya berbaring mahasiswi cantik yang baru ditidurinya semalam. Florentino bergegas. Rupanya yang meninggal adalah suami Femina. Beberapa selang setelah itu, Florentino dan Femina pun menjalin kisah kembali. Beberapa surat berisi puisi yang dikirimkan Florentino yang sudah uzur berhasil membangkitkan ingatan lama Femina pada sebuah kisah yang belum sudah. Mereka berakhir di atas sebuah kapal kayu di sungai Amazon dengan bendera penanda terjangkit penyakit kolera berkibar.

Love in the Time of Cholera memang seperti sebuah kisah cinta sederhana. Namun kita bisa mengendusi hal-hal penting di dalamnya. Melalui tema cinta, Gabo hendak menunjukkan bagaimana Florentino warga kelas bawah itu akhirnya berhasil mendapatkan cinta sejatinya, Femina. Dan kembali dengan kekuatan kata-kata, yang selama ini terus diasahnya, Florentino berhasil membangkitkan imajinasi cinta masa lalu pada Femina. Nah, saya tak perlu terlalu vulgar untuk mengatakan apa yang saya maksudkan. Anda tentu sudah bisa membacanya. Sebagai contoh, interpretasi kita ini memang sevulgar apa yang tergambar dalam Blood for Dracula-nya Warhol.

17 April lalu, Gabo telah pergi selamanya. Obituari dipenuhi komentar bahwa sulit menemukan penulis sekaliber dia. Tapi kita tak perlu secemas mereka. Gabo sesungguhnya berhasil melihat, memahami, lantas mengolah dengan indah realitas masyarakatnya dan sejarah masyarakatnya. Seperti Gabo, kita juga hidup pada sebuah realitas yang indah dan setiap saat ia menggugah kesadaran kita. Hanya perlu orang-orang tertentu yang mau melihat realitas itu dengan sungguh-sungguh, melebur dengan sungguh-sungguh, menjadi bagian dari realitas itu, lantas mengolahnya sebagai alat penggugah untuk yang lain dengan tambahan kelepak telapak ladam kuda sedikit.[1] Dan itu saudari-saudara, bukan pekerjaan mudah, semudah berkoar-koar di tengah situasi apa pun, kita harus melakukan sesuatu sekarang!


[1] Dikutip dari puisi Tulis karya alm. Saut Sitompul


IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.