Jokowi dan Asa Program Minimum Sosial

Print Friendly, PDF & Email

DALAM Pemilu calon legislatif 2014 lalu, saya memutuskan tetap Golput, karena tidak ada preferensi politik ideologis yang sesuai dengan harapan. Di Pemilu 2014, tidak ada partai ‘kiri’ yang terbangun dari basis massa ideologis dan memiliki program anti neoliberalisme.

Untuk Pemilu Presiden, justru ada kekhawatiran dengan potensi kemenangan sosok fasis yang pernah memimpin penculikan aktivis di tahun revolusi ‘98 dan partainya didukung oleh elemen ‘kiri palsu’ yang kini mengubah asas politiknya. Stok calon presiden yang lain kebanyakan adalah eksponen Orde Baru, entah berlatar belakang militer atau pengusaha. Dan jika mereka menang, dipastikan laju politik neoliberalisme akan semakin kencang dan menindas masyarakat pekerja.

Pemilu 2014 memang tidak akan membawa perubahan signifikan bagi nasib buruh, petani, nelayan, dan sektor miskin yang lain. Namun, setidaknya, harus direspons dalam kerangka menyelamatkan ruang bebas demokratik. Ruang bebas bersuara, berpendapat dan berorganisasi. Dibutuhkan sosok pemimpin yang tidak berlepotan noda darah pelanggaran HAM di masa lalu dan tidak menjadi bagian rejim Orde Baru yang militeristik-korup.

Respons terhadap Pemilu tentu saja jangan senaif Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dengan apologi intervensi pemilu, berubah wajah dan menjual murah keyakinan ideologi dan bergabung dengan partai borjuis yang pahamnya fundamentalis atau fasis. Tahun 2004 gagal ikut Pemilu dengan bendera Papernas, tahun 2009 bergabung dengan PBR, dan kini melebur dalam barisan Prabowo dengan Gerindranya.

Elit PRD sejak 2004 getol menyuarakan intervensi Pemilu dengan landasan teori yang dirancukan, bahkan banyak yang berdiaspora menjadi elit partai lain. Kini menjadi caleg dari partai yang haluan ideologi politik dan praksisnya tidak memihak nasib kaum miskin. Ada yang jadi bagian dari ‘oligarki’ Muhaimin Iskandar di PKB dan kini menjadi caleg. Dita Indah Sari, pada tahun 2009 menjadi caleg dari Partai Bintang Rreformasi (PBR), kini menjadi caleg PKB Dapil VI wilayah Magetan-Ngawi-Ponorogo-Trenggalek-Pacitan. Faisol Reza juga menjadi caleg di dapil basis Nahdliyin. Sementara eks kolega Dita waktu PRD bergabung di PBR, mayoritas jadi caleg Gerindra untuk DPR-RI atau DPRD.

Kita memang tidak harus memusingkan diri dengan langkah ‘kanan’ PRD yang sejarah politiknya telah berakhir saat jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998, namun mempertimbangkan kemungkinan kembalinya kekuatan fasis-militeristik Orba dalam personifikasi Jendral penculik.

Satu-satunya jalan adalah memberikan apresiasi politik terbatas atas tampilnya Jokowi. Sosok capres yang diakui atau tidak, gagasan keprograman politik-ekonominya banyak dipasok oleh teman-teman jaringan sosial-demokrat (sosdem). Jokowi memang tidak bisa kita ekspektasikan akan sehebat Hugo Chavez atau Evo Morales, yang didukung partai buruh dan partai berhaluan kiri. Namun, posisi Jokowi penting untuk mencegah kemenangan kekuatan fasis-militeristik atau revivalisme Orde Baru dalam wajah yang baru.

Tentang Jokowi memang tidak bisa sepenuhnya diharapkan menjadi pilar kepemimpinan politik nasional yang membendung arus deras neoliberalisme. Namun, minimal Jokowi bukan sosok agen proyek neoliberalisme yang membabi-buta. Jokowi dibutuhkan menjadi ‘the political barrier’ bagi kemenangan kaum fasis dan neoliberal.

Ada catatan khusus, Jokowi selama karir kepemimpinan politik lokal memiliki program minimum sosial demokrasi yang harus diapresiasi. Dari jaminan kesehatan gratis, proteksi pasar tradisional, pengembangan ekonomi riil arus bawah, dan sebagainya. Mengenai Jokowi inilah, perspektif yang mencoba tidak menggunakan pisau analisa yang teoritik, yang ternyata selama ini tidak menghasilkan strategi politik yang memenangkan tahapan pembangunan posisi tawar kekuatan kiri. Kepentingan kita: kita butuh situasi established dalam ruang kebebasan politik sipil dan mencegah kekuatan fasistik memenangkan panggung politik nasional.

Jokowi akhirnya resmi mendapatkan mandat dan dukungan dari Megawati untuk maju sebagai calon Presiden dari PDIP. Jokowi menjadi capres dengan elektabilitas paling tinggi.

Pencapresan Jokowi  bagi lawan politiknya dianggap sebagai ancaman potensial, meskipun bahasa serangan politik terkesan meremehkan. Jokowi dianggap tidak konsisten akan ucapan untuk tetap menjabat sebagai gubenur DKI sampai selesai. Jokowi dianggap tidak pantas menjadi presiden dan tidak istimewa. Jokowi dianggap kampungan, dan tidak teruji memimpin bangsa.

Bagi masyarakat yang rindu sosok pemimpin yang lepas dari bayang-bayang masa lalu Orba yang opresif dan anti rakyat, Jokowi adalah harapan segar akan datangnya perubahan yang berpihak kepada nasib wong cilik.

Rekam jejak Jokowi sebagai Walikota Solo dan hampir 2 (dua) tahun menjadi Gubernur DKI, jelas kebijakan publik serta program ekonomi Jokowi berpihak kepada kepentingan rakyat. Dari mulai pemberdayaan pedagang pasar tradisional dan PKL, penyelenggaraan jaminan kesehatan gratis bagi rakyat miskin, perencanaan pembangunan partisipatif melalui desain musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) yang alurnya demokratik, serta penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan anti korupsi.

Selama hampir 2 tahun menjadi Gubernur DKI di tengah problem akut Jakarta, Jokowi telah mengimplementasikan program jaminan kesehatan bagi penduduk DKI, merevitalisasi situ reservoir air tanpa menggusur penduduk secara semena-mena, dan melakukan reformasi birokrasi dengan sistem lelang jabatan atas dasar kapabilitas dan profesionalitas.

Jokowi adalah pemimpin yang populis dan komunkatif dengan kebiasaan blusukan yang telah dilakukan sebelum menjabat sebagai Walikota Solo. Jokowi adalah model pemimpin yang bersahabat dengan masyarakat.

Pencapresan Jokowi membuka harapan publik akan capres yang memiliki program ekonomi kerakyatan yang tulus dan bukan sekadar janji kosong. Jokowi diharapkan meresapi ajaran Bung Karno dalam program ekonomi yang memihak kepentingan wong cilik dan bukannya korporasi global atau konglomerat.

Jokowi memiliki paradigma ekonomi yang pro poor. Paradigma ekonomi yang tidak ‘menghalalkan’ dogma penghapusan subsidi, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi. Program pengembangan pasar tradisional di Kota Solo dan direncanakan di Jakarta, jelas merupakan bukti Jokowi pro orang kecil. Demikian program jaminan kesehatan yang sukses dijalankan di Solo dan mulai diterapkan di Jakarta adalah bagian layanan bagi orang miskin.

Tampilnya Jokowi sebagai capres menjadi kekuatan ekonomi nasionalistik, sedikit banyak menjadi penghalang kekuatan ekonomi pro neoliberal yang menyubur di era SBY-Boediono. Jokowi adalah pengusaha, namun pola pikirnya bukan kerakusan ekonomi. Ini terlihat dari rekam jejak pengupahan tenaga kera di berbagai perusahaan Jokowi yang di atas standar kelayakan UMK.

Harapan untuk Jokowi dan para think tank Jokowi adalah segeralah mereformulasi program ekonomi-politik yang anti neolib dengan berlandaskan semangat penegakan pasal 33UUD ‘45. Ada beberapa program minimun sosial-demokrasi yang bisa ditawarkan Jokowi kepada publik untuk mendapatkan respons, kritik dan revisi. Program minimum sosial demokrasi sebagai counter discourse program neoliberal antara lain: Pertama, pengembangan jaminan kesehatan-pendidikan bagi rakyat miskin dengan tidak membebani rakyat. Bukannya konsep SJSN lewat BPJS yang hakikatnya asuransi sosial ala negara liberal yang rawan korupsi.

Kedua, pengembangan ekonomi petani dan ekonomi mikro dengan perluasan pasar tradisional di seluruh penjuru negeri. Dengan memberikan subsidi, proteksi dan juga regulasi yang tegas dan memihak.

Ketiga, mengembangkan iklim pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dengan mendorong produktivitas pekerja dengan jaminan upah yang layak sesuai standar hidup.

Keempat, merintis reformasi penganggaran publik yang pro poor dan bukannnya penganggaran publik yang berat kepada kepentingan birokrasi. Selama Orba hingga sekarang ini anggaran negara baik APBN dan APBD rata-rata70 persen untuk belanja pegawai, sehingga untuk rakyat tinggal 30 persen.

Kelima, Jokowi harus meneruskan agenda reformasi yang mulai tanggal satu persatu, di antaranya pemberantasan korupsi yang mulai dikebiri dan runtuhnya amanat pasal 33 UUD ‘45 karena kebijakan ekonomi neoliberal.

Kita tidak memiliki ekspektasi lebih agar Jokowi sehebat Hugo Chavez, Evo Morales atau Soekarno. Namun, setidaknya, Jokowi mampu meletakkan fondasi ekonomi kerakyatan pada rel yang tepat. Dan bukannya mengembangkan ruang penjajahan ekonomi neoliberal.

Jokowi memang capres yang teruji program ekonomi pro publiknya dibanding capres yang lain ketika menjadi Walikota Solo dan hampir dua tahun menjadi Gubernur DKI. Jokowi hendaknya betul-betul merapat pada kehendak rakyat dan bukan menjadi komprador—kaki tangan—kepentingan global.***

 

Penulis adalah PNS di Bapermas Magetan

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.