Yang Tersingkir Dari Jambi

Print Friendly, PDF & Email

HAMPIR 3 JAM  lamanya, saya bersama dengan dua puluh dua petani, berada di dalam bak terbuka truk merah tua, meluncur dari pusat kota Jambi menuju Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Para petani tersebut adalah warga Dusun Mekar Jaya, satu dusun yang terletak di Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, yang bersisian dengan Batanghari. Awal Februari 2013, mereka tengah pulang kampung setelah melakukan protes ke Kementerian Kehutanan, selama 3 bulan lebih di Jakarta. Ini menyangkut sengketa tanah di dusun mereka dengan satu perusahaan kertas, dalam 2 tahun terakhir.

Dari dalam bak truk, ada yang terus-terusan duduk atau sebaliknya, berdiri. Saya sendiri gonti-ganti posisi karena kaki yang mulai pegal. Ada yang mencoba tidur: menyandarkan punggungnya sampai menarik sarung ke kepala. Yang lainnya, iseng, mulai dari mencabut bulu kaki temannya yang lagi berdiri atau kentut. Sebagian penumpang, adalah pemuda yang berumur sekitar 20 tahun. Keisengan lainnya adalah menyapa pasangan muda-mudi yang tengah istirahat di bangku pusat kota. Melambaikan tangan kepada pengendara yang berhenti di perempatan lampu lalu-lintas. Atau memberikan kecupan jarak jauh.

‘Dadah…dadah…dadah.’

‘Saya cinta kalian semua..’

I miss you… I love you… Mmmmuaaaah….’

Di belakang kami, satu truk merah tua lainnya, mengangkut puluhan petani asal Dusun Kunangan Jaya II, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Dua truk ini menembus keramaian, bergerak beriringan. Dari jalan aspal hingga tanah yang bergelombang. Dari pusat kota sampai jalan desa. Baik Mekar Jaya dan Kunangan Jaya II punya cerita serupa: memiliki konflik agraria sedikitnya dalam 2 tahun terakhir dengan perusahaan kertas dan restorasi hutan.

Dua korporasi yang terlibat itu adalah PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS) dan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI). Kantor pusatnya masing-masing berada di Pluit Raya, Jakarta Utara dan Bogor, Jawa Barat. PT REKI—diinisiasi di antaranya oleh the Royal Society for the Protection of Birds yang didukung Pangeran Charles dari Inggris— mengantongi izin konsesi untuk restorasi hutan hingga 100 tahun lamanya di dua provinsi.

Area itu terletak di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan, dan Kabupaten Batanghari, serta Kabupaten Sarolangun, Jambi. Masing-masing area mencapai 52.170 hektare yang izinnya diperoleh pada 2007 dan 46.385 hektare pada 2010. Adapun PT AAS—terafiliasi dengan kelompok bisnis Grup ADR— memperoleh izin mengolah hutan tanaman industri pada 2009 untuk area seluas 22.525 hektare di Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Sarolangun.

Ketika dua perusahaan tersebut mulai beroperasi, para petani  memprotes area konsesi yang melintasi batas ladang mereka. Protes itu membuat perwakilan petani bolak-balik Jambi-Jakarta. Aksi mereka juga didampingi Serikat Tani Nasional (STN) maupun Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dua organisasi politik tersebut mulai membantu Mekar Jaya dan Kunangan Jaya II sejak awal 2011.

Tuntutan Mekar Jaya adalah pelepasan lahan sekitar 3.842 hektare dan 8.000 hektare untuk Kunangan Jaya II dari konsesi perusahaan. Desakan itu dicatat dalam pertemuan dengan Pusat Hubungan Masyarakat Kementerian Kehutanan pada Desember 2011. Selama November 2012—Januari 2013, ratusan petani kedua dusun tersebut tinggal dalam tenda berterpal biru di pembatas jalan, depan kantor Kementerian Kehutanan, Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.

Santapan setiap hari, jangan ditanya: raungan knalpot kendaraan bermotor hingga terompet kereta api yang melintas. Stasiun Palmerah memang tak jauh dari tenda. Kurang dari 10 menit dengan jalan kaki. Malam harinya, banyak yang kedinginan dan diserang nyamuk. Belum  lagi ditambah hujan yang lebat.

Sakit pun datang silih berganti. Keluhan yang paling sering diderita: batuk hingga pencernaan bermasalah. Mereka juga sering kehabisan ongkos. Bahkan untuk bayar mandi dan mencuci.

Saya menemui para petani kedua dusun tersebut saat berdemonstrasi awal Desember tahun lalu. Selain dua dusun itu, ada pula petani dari suku Anak Dalam (SAD)—salah satu kelompok adat dari Jambi—yang bermasalah dengan PT Asiatic Persada. Ini adalah perusahaan kelapa sawit yang sejak akhir 2006 dimiliki oleh kelompok bisnis raksasa, Grup Wilmar.

Sebagian mereka tinggal di Dusun Tanah Menang, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Namun urusan Dusun Tanah Menang adalah dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), bukan Kementerian Kehutanan. Persoalannya setali tiga uang: tumpang-tindih lahan milik petani dan korporasi. Kelompok masyarakat itu juga didampingi oleh STN maupun PRD sejak 2007. Saya pun mulai berkenalan. Dua aktivis dari masing-masing organisasi yang saya temui adalah Utut Adianto dan Mawardi. Sedangkan yang lainnya, petani perempuan asal Dusun Mekar Jaya, Nur Laila, 38 tahun.

Saya kira Nur Laila punya tugas yang lumayan repot. Dari orator di lapangan, ikut berunding sana-sini, sampai belanja sayuran ke Pasar Palmerah. Pasar memang terletak berdekatan dengan Stasiun Palmerah. Satu waktu saya melihat dia memegang mikrofon dalam sebuah unjuk rasa. Satu waktu lainnya, mengaduk-aduk sayuran dan nasi dalam panci besar.

‘Saya berangkat pagi-pagi sekitar pukul 05.30 untuk belanja sayuran atau beras,” kata Laila pada saya, Desember lalu. “Masaknya apa saja.’

Desakan soal pelepasan lahan juga kian digencarkan. Apalagi mereka telah mengantongi hasil pemetaan lahan bersama dengan pemerintah daerah dan perwakilan perusahaan sejak Juli 2012.  Ada kesepakatan para pihak yang terlibat konflik. Para petani juga menemui politisi di Senayan. Bolak-balik berdiskusi dengan Kementerian Kehutanan. Dan terakhir, protes paling ekstrim: aksi jalan kaki dari Jambi ke Istana Negara, Jakarta, oleh 33 petani pada Desember 2012—Januari 2013.

Aksi demi aksi itu, paling tidak, membuahkan hasil. Kementerian Kehutanan akhirnya menyetujui pelepasan lahan melalui mekanisme hutan tanaman rakyat (HTR). Ini berarti, warga dapat mengelola lahan yang tengah bermasalah dengan perusahaan. Surat itu ditandatangani Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Bambang Hendroyono untuk Gubernur Jambi. Secarik kertas yang meluncur di penghujung Januari itulah yang bikin para petani meninggalkan Jakarta.

Tenda-tenda pun dirapikan. Peralatan masak diangkut kembali. Spanduk-spanduk dan terpal biru digulung. Kepulangan kali ini, adalah kepulangan yang  sungguh istimewa. Penuh dengan kegembiraan. Penuh dengan canda. Mungkin mereka sedikit ingin melupakan kekerasan yang melanda dusun itu dalam 2 tahun terakhir. Dari dalam bak truk merah tua itu, saya menyaksikan mereka mulai berdendang:

‘Gelang sipatu gelang…Gelang si rama-rama…’

‘Mari pulang…Marilah pulang…Marilah pulang ke Mekar Jaya…’

 http://inilah.com
http://inilah.com

EDI PURWANTO berpamitan dengan ayahnya sebelum berangkat ke ladang pada suatu pagi akhir Juni tahun lalu. Saat itu waktu sudah menunjukkan 07. 30 WIB. Edi adalah pemuda berusia 21 tahun asal Dusun Mekar Jaya. Dia ditemani sepupunya, Ahmad Arifin, untuk memasang patok batas karena diminta kepala dusun.

Pemasangan batas akan memudahkan tugas tim pemetaan yang mulai bertugas akhir bulan itu. Arifin menyungkil tanah dengan penusuk buah sawit, Edi yang mengangkutnya. Tiba-tiba saja sekitar pukul 09.00, ada satu mobil medekat.Enam orang mulai turun dan mendatangi kedua pemuda tersebut.  Tongkat penusuk buah  sawit—disebut dodos—yang dipegang Arifin, diminta pula. Panjang dodos  bermacam-macam.

Di antaranya 110 sentimeter, dengan pisau menyerupai trapesium terbalik, di bagian kepala. Baik Edi maupun Arifin mengenali enam orang itu sebagai preman suruhan perusahaan, PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS). Orang yang meminta dodos berbadan tegap dan berkulit sawo matang.

‘Bikin apa?’ katanya.

‘Bikin batas, Pak,’ kata Edi.

‘Nggak ada batas-batas… mati yang ada!’

Bruuk… Sesaat pandangan Edi mulai gelap. Dodos dipukulkan dengan cepat ke kepalanya. Darah mulai mengucur. Kulit kepalanya ada yang robek. Arifin pun tak lepas dari serangan preman, namun dia berhasil mengelak. Keduanya lari menjauh dengan menaiki sepeda motor. Edi menutupi darah dengan tangannya. Di perjalanan, mereka akhirnya bertemu Nur Laila.

‘Kenapa kamu Edi?’ kata perempuan itu.

‘Jatuh dari motor,’ kata Edi berbohong.

‘Gak mungkin jatuh. Kamu habis bertengkar ya?’

‘Iya. Habis didodos preman PT.’

Nur Laila membersihkan darah yang membasahi wajah Edi dengan kerudungnya. Baik Edi maupun Arifin langsung kembali ke rumah siang itu. Di Puskesmas Mandiangin, Edi  mendapatkan 21 jahitan di kepala. Dia juga divisum. Atas penyerangan tersebut, keluarganya melaporkan secara resmi ke Polsek Mandiangin, hari itu juga. Kejadian tersebut kini  lebih 7 bulan yang lalu.

Saya menemui Edi pada awal Februari lalu. Dia didampingi ayahnya, Sumito, ketika diwawancarai di rumah Kepala Dusun Mekar Jaya, Suprayitno.Saya melihat jahitan lukanya telah mengering. Ada garis yang membekas di kulit kepalanya. Namun kegusarannya sama sekali tak hilang. Edi ingin polisi segera menahan siapa penyerang dirinya pagi itu. Tetapi, polisi belum juga mengungkap siapa pelaku dalam peristiwa tersebut hingga hari ini. Edi sendiri sudah dimintai keterangan hingga tiga kali.

Laporan inventarisasi dan identifikasi lahan Dinas Kehutanan Kabupaten Sarolangun pada Juli 2012 menemukan sebagian area Dusun Mekar Jaya tumpang-tindih dengan konsesi PT AAS. Pengukuran sebelumnya menunjukkan lahan dusun yang digarap  warga mencapai 3.620,45 hektar. Namun di dalamnya, terdapat pembukaan area oleh perusahaan sekitar 250 hektar yang ditanami akasia, bahan utama untuk produksi kertas.

Secara umum, para petani di Dusun Mekar Jaya menanam padi, karet, kacang tanah hingga kelapa sawit. Jalan di dusun itu juga kebanyakan jalan setapak. Naik turun. Pohon karet di kanan-kiri.  Ilalang. Pohon kelapa sawit. Jalan juga bergelombang serta becek. Pengemudi sepeda motor harus ekstra hati-hati di siang hari karena pengendara lain datang dari arah berlawanan. Mereka juga harus berbagi jalur sempit.

Dusun Mekar Jaya berdiri pada 2007 sebagai hasil perluasan dari Desa Sei. Butang. Pada awalnya masyarakat datang ke sana akibat lahan milik PT Asialog—perusahaan kayu yang mendapatkan izin hak pengusahaan hutan sejak 1971—menelantarkan lahannya akibat krisis moneter 1998. Kebanyakan mereka berasal dari etnis Batak, Jawa, Melayu dan Sunda dan berpencar untuk bertahan hidup. Mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik.Sepanjang 2011—2012,  perusahaan terus beroperasi dengan menanami bibit akasia di malam hari. Warga pun terus melawan. Pada September  2011, puluhan warga berkumpul untuk menyetop operasi buldoser yang  masuk dusun.

Buruknya,  PT AAS  selalu memakai cara kekerasan, dengan menyuruh preman, untuk menekan warga. Akhirnya tanaman karet dan padi petani digusur atau ditebas. Ada pula yang disemprot racun. Konflik lahan itu membuat warga dilanda kekhawatiran sehingga kesulitan bercocok tanam. Saya sendiri melihat tanaman akasia tumbuh di sela-sela ladang milik warga di suatu sore di Mekar Jaya. Penanamannya dibuat berjajar.  Ada pohon karet,  ada pula akasia.

‘Malam hari mereka membuldoser, besok pagi lahan kami sudah kering,” kata Masnun, 42 tahun. “ Ada juga yang mengancam, mana surat tanah warga?’

‘Perusahaan masuk, ekonomi kami mandek,’ kata Abdul Manan, 40 tahun. ‘Tanah kami dikuasai dan digusur.’

‘Perusahaan tetap beroperasi di atas lahan yang diverifikasi,’ kata Suprayitno, 50 tahun. ‘Mereka juga menanam akasia di sela-sela tanaman milik warga.’

Pasangan Duri—Suharti juga sering melihat karyawan PT AAS yang bertugas di area dekat rumah mereka. Area tanaman akasia itu salah satunya berada di kawasan yang dikenal dengan komplek Bengkulu. Suharti membuka warung kelontong kecil—salah satunya menjual sayuran—di depan rumah. Sedangkan Duri, berkeliling menjual hasil kebun mereka ke pasar.

Para karyawan perusahaan, kata Duri, sering belanja sayuran di warung. Mereka biasanya datang sekitar 2—3 kali seminggu untuk menyemprot lahan. Ini  kelak digunakan sebagai area penanaman bibit akasia. Hal inilah yang membuat Kamal Damanik gusar. Saya menemui Kamal dan dua tetangganya, Antoni Gultom serta Hotman Lubis. Ketiganya—dengan aksen Batak yang kental— menetap di kawasan Kapas, Dusun Mekar Jaya.  Mereka menceritakan tentang pengawas PT AAS yang bersikukuh untuk menanam akasia.

Kamal menyaksikan hingga kini perusahaan masih beroperasi—walaupun ada surat hutan tanaman rakyat dari Kementerian Kehutanan—di atas lahan sengketa. ‘Ada preman yang menghalau,’ kata Kamal. ‘Kalau warga ingin menanam harus lapor ke pos perusahaan dulu.’

Antoni lebih keras lagi. Dia memaparkan bandelnya perusahaan bisa mengakibatkan emosi warga segera meledak. Selama ini, katanya, para pendamping dari STN maupun PRD selalu mengatakan kepada para petani untuk tak memakai kekerasan. Tetapi,  lama-lama dirinya sudah tak bisa tahan kendali lagi. Ketiganya ingin pemerintah dapat menyetop operasi perusahaan. Ini untuk mencegah aksi yang lebih buruk lagi di masa mendatang. ‘Jangan salahkan masyarakat, kalau sudah lepas emosi,’ ujar Antoni.

Ketika di Jakarta, saya telah mengirimkan daftar pertanyaan melalui surat elektronik ke manajemen PT AAS untuk pelbagai persoalan di Mekar Jaya. Surat itu saya kirimkan Desember tahun lalu.

Bahkan salah satu direkturnya, Idaman Zega—melalui layanan pesan pendek—mengajak saya bertemu, yang akhirnya selalu dibatalkan. Sepuluh pertanyaan yang dikirimkan memang tak pernah terjawab. Dari masalah kekerasan sampai upaya perusahaan meminimalisir konflik. Direktur PT Adrindo Agro Lestari—pemilik saham PT AAS— Randi Angtono merespon dengan menyatakan kesediaannya menjawab, namun tak pernah dilakukannya.

Saya akhirnya mengunjungi kantor PT AAS, yang terletak di Pluit Raya, Jakarta Utara, pekan kedua Februari. Kantor perusahaan itu berada di Wisma ADR lantai dasar. Grup bisnis ADR sedikitnya bergerak di empat sektor usaha, yakni otomotif, agribisnis, properti dan investasi.  Sayangnya, saya tak bisa menemui manajemen. Idaman mengatakan dirinya berada di Palembang untuk urusan kelapa sawit. Saya hanya bisa berjumpa seorang gadis manis di balik meja resepsionis.

Tiba-tiba, ada kabar mengejutkan di Mekar Jaya tiga hari kemudian. Ratusan warga Dusun Mekar Jaya—yang sedang rapat tentang tindak lanjut surat Kementerian Kehutanan—menyandera 12 orang dari PT AAS.

Ini dilakukan ketika suruhan perusahaan itu memasuki ladang untuk beroperasi pada 10 Februari lalu. Lokasi yang dimaksud adalah lokasi yang ditempuh sekitar 15 menit dari tempat mereka berkumpul sore itu. Warga yang marah akhirnya membekuk 12 orang dari  perusahaan. Ada belati yang diamankan. Ada juga tiga pucuk senjata rakitan.  Para tersandera adalah tiga tenaga keamanan, tiga penebas tanaman, satu pengawas serta sisanya, preman bayaran. Aktivitas pihak perusahaan di ladang warga itulahyang bikin para petani bereaksi keras.

Pemerintah kabupaten akhirnya turun tangan. Kepolisian juga membantu negosiasi. Setelah  24 jam, akhirnya para suruhan perusahaan itu dilepaskan. Ini tentunya dilakukan setelah mereka menandatangani perjanjian bermaterai: tak ada dendam serta tak kembali beroperasi di area warga. Tetapi, seperti kata Kamal Damanik, janji perusahaan selama ini tak bisa dipegang. Warga pun kini mulai melakukan patroli. Lahan-lahan mereka dijaga lebih ketat.Penyanderaan itu, bisa saja, adalah satu letupan awal di Dusun Mekar Jaya.

Tetapi, saya kira, kejadian itu justru menunjukkan kekhawatiran Antoni Gultom, semakin lama semakin nyata.

jambi-antara

DUA TAHUN terakhir adalah masa-masa yang tak terlupakan bagi Narto, seorang petani padi asal Dusun Kunangan Jaya II. Sepanjang 2011—2012, dia menyaksikan bagaimana kekhawatiran melanda warga dusun saat perusahaan restorasi, PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), mulai beroperasi.

Perusahaan itu memakai aparat negara untuk melakukan dugaan kekerasan dan intimidasi. Tujuannya agar para petani meninggalkan lahan mereka. Ini adalah lahan yang tumpang-tindah dengan area konsesi. Kekerasannya bermacam-macam. Mulai dari perobohan rumah hingga mengambil paksa peralatan tani. Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC)—satu unit khusus— dari Kementerian Kehutanan hingga Brigade Mobil (Brimob) adalah pihak yang seringkali dituduh melakukan aksi tersebut.

‘Biasanya mereka datang sekitar 20 orang lebih,’ kata Narto kepada saya. ‘Cangkul, parang, tombak sampai rokok diambil paksa dari rumah.’

Saya bertemu Narto, 31 tahun, di Jakarta awal Desember tahun lalu. Dia adalah salah seorang petani yang menginap di tenda berterpal biru di depan kantor Kementerian Kehutanan.  Dia juga mengajak serta istrinya—yang merupakan keturunan suku Anak Dalam—Murniati, ikut dalam aksi protes tersebut. Narto juga menjadi peserta aksi jalan kaki dari Jambi—Jakarta, menuju Istana Negara, yang dimulai pada 12 Desember 2012.

Namun dia gagal merampungkan aksi tersebut. Kaki kirinya ditabrak truk saat berada di Kabupaten Kayu Agung, Sumatra Selatan. Narto terpaksa digantikan. Saya melihat luka itu belum sembuh betul saat berkunjung ke rumahnya di Kunangan Jaya II, awal Februari lalu.

Dusun Kunangan Jaya II memiliki bentangan alam yang hampir sama dengan Dusun Mekar Jaya. Kadang harus melewati jalanan yang menanjak dan menurun saat berkendara. Becek. Sepanjang jalan terlihat banyak pohon karet, ilalang atau hamparan padi yang mulai menguning. Awalnya, Dusun Kunangan Jaya hanya ada satu, namun berkembang menjadi dua pada Desember 2010. Dusun itu  merupakan pecahan dari Desa Rantau Rasau, yang lokasinya berada di kawasan anak usaha PT Asiatic Persada, perusahaan kelapa sawit, namun telah ditelantarkan.

Wilayah itu juga berbatasan dengan area milik PT Asialog yang memiliki izin hak pengusahaan hutan sejak 1971. Sebagian masyarakat datang dari Unit Permukiman Transmigrasi dari Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Mereka datang untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

PT REKI sendiri adalah perusahaan yang diinisiasi oleh tiga lembaga dan berdiri sejak 2005. Mereka adalah the Royal Society for the Protection of Birds (RSPB) yang didukung Pangeran Charles di Inggris, Birdlife International dan Yayasan Burung Indonesia. Perusahaan itu punya izin restorasi hutan untuk Sumatra Selatan dan Jambi hingga 100 tahun lamanya. Awalnya, Kementerian Kehutanan melakukan kajian tentang penyelamatan hutan dataran rendah kering di Sumatra bersama dengan Burung Indonesia selama 2003—2004.

Hasilnya, kementerian tersebut akhirnya menawarkan lahan itu melalui lelang untuk direstorasi oleh para peminat. Dan pada akhir 2006, PT REKI—yang pendiriannya diinisasi oleh salah satunya, Burung Indonesia— mendapatkan izin restorasi pertama di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Izin untuk perusahaan tersebut resmi terbit pada Agustus 2007 dan ditandatangani oleh Menteri Kehutanan saat itu Malam Sambat Kaban.

Hutan Harapan, demikian nama kawasan restorasi itu, juga baru mendapat dukungan dana dua negara: Jerman dan Denmark untuk 2011—2013. Penyokong itu terdiri dari Kementerian Federal untuk Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir;  KFW  Bank,  dan Nature and Biodiversity Conservation Union (NABU). Sedangkan dari Denmark, melalui Danish International Development Agency (Danida). Dalam situs resminya, masing-masing negara tersebut menyumbang €7,57 juta dan DKK 100 juta.

Namun, selain Dusun Kunangan Jaya II, titik konflik lahan antara PT REKI dengan kelompok masyarakat lain juga menyebar di Kabupaten Batanghari. Sebaran itu meliputi di antaranya  Dusun Alam Sakti, kawasan Bukit Sinyal, Dusun Kunangan Jaya I, dan Dusun Tanjung Mandiri.

Di sisi lain, Dusun Kunangan Jaya II tak hanya punya masalah dengan PT REKI, namun juga dengan perusahaan kertas, PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS) milik Grup ADR di Jakarta. ‘Intimidasi mereka dilakukan terpisah,’ kata Ngatono, Kepala Dusun Kunangan Jaya II. ‘REKI biasa pakai SPORC sedangkan AAS pakai preman.’

‘Ini membuat orang yang tinggal resah,’ ujar Mahmuri, 29 tahun. ‘Polisi ikut mengawal penggusuran. Setelah digusur, kami mau kemana?’

‘Ada anggota Brimob yang menodong-nodongkan senjatanya kepada petani,’ kata Nurwanto, 35 tahun. ‘Mereka bilang tanah siapa yang kau tanami?’

Sepanjang 2011—2012, para petani di Kunangan Jaya terus melakukan dialog dengan pemerintah daerah dan kepolisian. Mulai dari masalah bercocok tanam hingga menolak masuknya alat berat ke dusun mereka. Bahkan, Ngatono, si kepala dusun, menolak perintah Kepala Desa Bungku Muhammad Zen, untuk mengawal alat berat untuk menggusur tanaman para petani. Dia mengatakan nuraninya tak bisa melakukan itu.

Laporan Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari pada Juli 2012 memang memaparkan lahan yang telah dikerjakan warga—dan tumpang-tindih dengan PT REKI—mencapai 2.394,48 hektare. Sedangkan untuk PT AAS, lebih besar, yakni 5.093,89 hektar. Area inilah yang kemudian dituntut para petani baik di Kunangan Jaya II untuk dilepaskan.

Desakan itulah yang ingin ditunjukkan oleh Gondo Ramanto hingga Komarudin.

Keduanya adalah petani Kunangan Jaya II yang melakukan aksi jalan kaki dari Jambi—Jakarta, ke Istana Negara. Komarudin memulainya dengan restu sang istri, Sulastri. Dia juga tak punya ongkos yang cukup. Gondo hanya sempat menyiapkan balsem untuk menjaga stamina. Baik Gondo dan Komarudin, bersama 31 orang lainnya, akan berjalan menelusuri Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, hingga Jakarta.

Tantangannya berat. Ada yang akhirnya ditabrak. Sakit muntaber. Kaki-kaki yang bengkak sampai diusir dari mesjid karena dilarang menginap. Belum lagi kehabisan ongkos sampai lemparan bom molotov yang membakar bak belakang mobil logistik para petani.

Peristiwa terakhir itu terjadi  saat beristirahat pada malam hari di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Ini terjadi empat hari setelah perayaan tahun baru. ‘Semua obat dan persediaan makanan habis,’ kata Gondo kepada saya. ‘Yang paling dikhawatirkan kalau api itu kena tanki bensin.’

‘Mengapa melakukan aksi jalan kaki?’ tanya saya.

‘Ini menambah pengalaman,’ kata dia. ‘Sepanjang Sumatra Selatan sampai Pelabuhan Bakauheni, kami melewati area yang dipenuhi dengan konflik agraria.’

Aksi jalan kaki itu memang mendapat beberapa dukungan. Salah satunya mendapatkan 35 peserta tambahan dari Kabupaten Mesuji, Lampung. Dari petani perempuan hingga petani pria berumur 60 tahun ikut jalan kaki ke Jakarta. Menurut Gondo, kesamaan masalah mengenai konflik agraria menciptakan komunikasi yang baik antara petani. Kasus Mesuji sebelumnya meledak pada Oktober 2011 dan mengakibatkan satu korban tewas. Hal itu terkait dengan protes keras para petani atas perluasan satu perusahaan kelapa sawit.

Laporan Gerakan Pecinta Kemanusiaan (GPM), sebuah koalisi organisasi sipil di Jambi, mencatat konflik PT REKI dengan kelompok masyarakat setidaknya meletup sekitar September 2010, atau 4 bulan setelah izin konsesi diperoleh. Dugaan kekerasan pun hampir sama. Pemukulan terhadap petani, intimidasi untuk mengusir paksa sampai kriminalisasi karena dianggap melanggar hukum. Koalisi GPM sendiri terdiri dari delapan institusi yang mengadvokasi kasus para petani—salah satunya adalah Serikat Petani Indonesia (SPI)— yang berhadapan dengan PT REKI.

Selain soal kekerasan, koalisi itu juga menyoroti operasi perusahaan tersebut sebelum mendapatkan izin Kementerian Kehutanan. Salah satu yang mencuat adalah kunjungan Pangeran Charles ke lokasi hutan Harapan—kawasan yang akan diberi izin restorasi— pada November 2008. Kunjungan tersebut ditemani Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban. Kaban adalah orang yang juga sebelumnya meneken surat izin pengelolaan restorasi PT REKI untuk kawasan di Sumatra Selatan pada 2007.

‘Aktivitas PT REKI lebih intensif di provinsi Jambi, bahkan sebelum mendapatkan izin resmi pengelolaan,’ kata Rivani Noor, Ketua Yayasan CAPPA. ‘Seperti membangun pos, patroli, bahkan menerima kunjungan Pangeran Charles.’

‘Muhammad Yusuf pada Oktober 2010 dipukul tenaga sekuriti berseragam PT REKI,’ kata Umi Syamsiatun, Koordinator GPM. ‘Mereka mengikatnya dengan tambang di pohon kelapa sawit, sambil terus memukuli.’

Saya kira, konflik antara SPI dengan PT REKI sepanjang 2010—2012 memang berlangsung lebih keras. Sampai-sampai menimbulkan risiko hukum. Pada akhir 2012, dua anggota SPI Jhon Nadeak, 52 tahun, dan Mad Dedi, 46 tahun, dihukum 1,4 tahun oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, karena menyandera penjaga hutan di Sungai Lalan, Desa Bungku. Penyanderaan itu terkait dengan penangkapan tim patroli SPORC dan tenaga keamanan PT REKI terhadap enam petani anggota SPI pada 14 April 2012. Tuduhannya melakukan pembalakan liar.

Penangkapan itu dibalas keesokan harinya oleh Dedi, Jhon dan Sukiran Satrio—beserta sekitar 50 lebih petani lainnya—dengan mendatangi pos PT REKI. Mereka menahan dua penjaga kawasan tersebut, Febrian dan Nur Isroni. Keduanya dilepaskan setelah hampir 24 jam disekap, sesudah enam petani SPI juga dibebaskan. Dedi dan Jhon—yang ditangkap pada Juli tahun lalu—kemudian dihukum, namun Sukiran masuk daftar buronan polisi.

Pada Oktober 2012, 13 anggota SPI kembali ditangkap polisi dan Brimob di rumah mereka masing-masing. Tuduhannya serupa: aktivitas ilegal di kawasan hutan. PT REKI pun terus mendapat sokongan kuat dari pemerintah, maupun kelompok sipil berbasis adat dan agama: Laskar Melayu Jambi (Lamaja), yang berdiri pada awal 2012. Dukungannya dari instruksi resmi sampai ancaman kekerasan. Misalnya pada November tahun lalu. Gubernur Jambi Hasan Basri Agus memerintahkan tindakan represif untuk melindungi hutan yang dikelola perusahaan tersebut.  Surat instruksi diterbitkan pada 11 November 2012 dengan nomor 04/INST.GUB/Dishut.5.3/2012. Perintah tersebut ditujukan untuk Bupati Sarolangun, Bupati Batanghari dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.

‘Untuk melaksanakan tindakan secara preventif dan represif terhadap masyarakat yang melakukan perambahan, pembakaran dan penebangan hutan secara ilegal di kawasan hutan PT REKI,’ kata Hasan Basri.

Sementara Lamaja—yang diduga mendapatkan sejumlah dana dari perusahaan itu—membenarkan kegiatan PT REKI, termasuk memaksa para petani meninggalkan hutan.

Dan sebaliknya, menurut Kemas Uzer Kadir, Wakil Ketua Umum Lamaja, para petani melakukan kesalahan dengan merambah. Dia menegaskan dirinya siap membela dan melakukan apa pun jika itu dianggap benar. Lamaja sendiri memiliki Dewan Kehormatan yang terdiri dari Lembaga Adat Melayu dan Majelis Ulama Indonesia.

‘Kami membenarkan PT REKI,’ kata Uzer kepada saya di Jambi. ‘Kalau kamu mengganggu PT REKI, berarti mengganggu orang Jambi, dan mengganggu laskar melayu.’

Juru Bicara PT REKI Surya Kusuma memaparkan kelompok-kelompok petani yang menduduki lahan di kawasan hutan Harapan, sebagian besar berasal dari etnis Jawa dan Batak. Pihaknya sebenarnya sudah berusaha melakukan dialog, namun tidak  efektif seluruhnya. Upaya persuasif tersebut, terkecuali untuk kelompok SPI yang dituduh selalu menyebarkan kebohongan. Surya menegaskan satu-satunya jalan adalah penegakan hukum.

‘SPI menolak pendataan dan terus melawan dengan aksi-aksi kekerasan,’ kata Surya. ‘Karenanya, tidak terjalin dialog dengan kelompok ini.’

Potensi kekerasan dari pemerintah, memang dapat saya lihat dari satu poster Departemen Kehutanan—bukan Kementerian Kehutanan—dengan latar belakang kuning, awal Desember lalu. Isinya, peringatan agar satu kawasan dikosongkan. Saya kira ini adalah buntut penegakan hukum versi Hasan Basri Agus. Pengusiran akan dilakukan seminggu sejak 8 Desember 2012. Kelak, perintah itulah yang  memicu aksi pembakaran rumah di kawasan Sungai Jerat, Desa Bungku, di mana para petani—yang tergabung dalam SPI—melakukan perlawanan, sebelas hari kemudian. Pencarian terhadap Sukiran Satrio pun tetap dilakukan. Puluhan anggota SPORC  menyisir rumahnya di kawasan Unit V, Kecamatan Sungai Bahar, pada 16 Desember lalu. Penggeledahan dilakukan di saat anak-anak Sukiran dan keluarganya tengah tidur malam hari.

‘Mereka yang lagi tidur dikejutkan. Tim SPORC membawa senjata lengkap,’ kata Ahmad Azhari, salah seorang petani dari SPI kepada saya. ‘Tetapi mereka tak menemukan Sukiran.’

Azhari adalah orang yang turut menyaksikan aksi pembakaran di Sungai Jerat tiga hari kemudian. Saat itu waktu menunjukkan pukul 13.00. Batang-batang kayu berserakan di tanah. Satu buldoser kuning siap merengsek. Ratusan tim SPORC bersenjata lengkap. Satu polisi hutan berperut buncit memegang pistol. Puluhan petani membentuk barisan. Ada teriakan takbir. Petani perempuan membawa anak-anak mereka. Suasana makin memanas. Mereka saling dorong. Si perut buncit mendorong keras Azhari.

‘Kau mundur…mundur..mundur,’ teriak beberapa anggota polisi dalam rekaman video amatir.

‘Kalau bapak ngotot, kawan ini juga bertahan,’ kata Azhari, mencoba berunding.

‘Kami numpang lewat dulu, bukan menggusur.’

‘Di mana jaminan bapak untuk tidak menggusur?’

Buldoser mulai bergerak. Satu perempuan, Hermina, duduk di depannya. Aksi itu diikuti empat perempuan lainnya. Salah satunya menggendong bayi. Suami Hermina, Roni, turut menjaga istrinya saat menghalau raksasa penggusur itu. Hermina mengejar ke mana pun arah buldoser itu bergerak. Blokade tersebut akhirnya bikin buldoser tak beroperasi. Ada yang berdoa dengan lantang memohon perlindungan. Lainnya tetap bersiap-siap. Ada yang memegang tongkat runcing. Ada pula tangan kosong. Namun, karena kalah jumlah, barisan petani terkecoh dua jam kemudian. Belasan polisi berhasil lolos dari penjagaan petani. Mereka yang lolos membawa bensin pula. Polisi mulai menyalakan api dan membakar rumah Sukiran Satrio, tempat  yang juga sering digunakan untuk rapat oleh para petani. Asap mulai membumbung. Hampir seluruh pakaian tak bisa diselamatkan. Beras hingga induk ayam yang tengah mengeram. Atau sejumlah peralatan dapur. Azhari meminta sebagian petani menyelamatkan isi rumah yang masih utuh.

Pasangan Roni—Hermina masing-masing melafazkan doa di depan buldoser yang akan merengsek masuk. Berteriak memprotes aksi kepolisian hari itu. Para petani mulai banyak berkumpul di depan mesin raksasa itu. Ini juga menjadi salah satu sebab mengapa belasan polisi dapat lolos. Namun perlawanan petani Sungai Jerat belum  berakhir hari itu.

La ilaha illallah… Wallahu akbar…’ kata Roni.

Teriakan doa itu tak juga meluluhkan hati. Jeritan protes kaum ibu pun tak didengarkan. Kayu-kayu rumah mulai hangus. Seng pun menghitam, berjatuhan ke tanah. Bendera merah putih yang terpancang tegak di depan rumah Sukiran, perlahan habis dilalap api.

sad

TIGA SEPEDA MOTOR meraung di sepanjang jalan aspal yang berdebu di kawasan pabrik kelapa sawit, pada sore itu. Saya dibonceng Gusmalik, petani muda asal Dusun Mekar Jaya, saat memasuki area PT Asiatic Persada, produsen kelapa sawit milik Grup Wilmar. Area itu berada di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Iring-iringan lainnya adalah Nur Laila dan Zainal Abidin, yang baru saja kembali dari Jakarta, setelah melakukan aksi protes 3 bulan lebih. Kami melewati jalan aspal atau tanah merah yang becek. Debu tebal berasal dari truk pengakut buah sawit. Sepanjang jalan, saya menyaksikan lautan pohon kelapa sawit di kedua sisi. Di sela-selanya ada rumah sederhana milik warga suku Anak Dalam (SAD). Berterpal biru dan  dibuat dari bambu atau kayu. Ada anak-anak yang bertelanjang dada. Seorang ibu yang duduk termenung di depan pintu.

Konflik suku tersebut terbilang paling lama, dibandingkan dengan dua dusun yang saya datangi sebelumnya, yakni pada 1986. Sebelum bersengketa dengan PT Asiatic, nama perusahaan yang memperoleh hak guna usaha (HGU) itu adalah PT Bangun Desa Utama (BDU) milik keluarga Andi Senangsyah. Luas area yang dimiliki mencapai 20.000 hektare.  Pergantian kepemilikan saham dilakukan pada 2000, dari perusahaan Inggris hingga dimiliki Grup Wilmar pada akhir 2006.

‘Ketika perusahaan PT BDU datang, mata pencaharian kami habis,’ ujar Kutar kepada saya. ‘Dulu, kami diuber-uber oleh tentara. Tanah adat kami diambil, kebun karet dan durian habis.’

Saya menemui Kutar, 49 tahun, di Dusun Tanah Menang, salah satu dusun yang dihuni oleh warga SAD. Perawakannya tinggi dan agak botak di bagian depan. Dia mengetahui benar cerita lama tentang konflik antara perusahaan dengan masyarakat adat. Warga SAD sendiri terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok. Dan Kutar masuk ke dalam kelompok SAD 113 pimpinan Abas Subuk. Nama kelompok itu berasal dari jumlah para perunding dari suku tersebut pada akhir 2003, dan meliputi tiga dusun. Dusun Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang.

Kebanyakan mereka tinggal di bagian utara dalam konsesi PT Asiatic. Perjalanan SAD 113 hingga kini, sama sekali tak mudah. Perundingan mungkin sudah ratusan kali dilakukan, setidaknya sejak 2001. Waktu itu adalah masa reformasi bergulir, masa ketika masyarakat mulai berani bersuara.

‘Saya tidak senang hidup tengkek-tengkekan,’ kata Kutar. ‘Kami ingin tanah adat dikembalikan, tanpa syarat.’

Benar saja, konflik yang berlarut-larut itu turut memicu emosi. Pada akhir 2005, kemarahan masyarakat sempat memuncak. Mereka memblokade truk pengangkut panen buah sawit saat menuju pabrik pengolahan. Ratusan warga menutup jalan di Simpang Kelabai, satu tempat di Dusun Tanah Menang. Aksi itu dilakukan hingga 15 hari lamanya. Warga berpatroli dan mulai mendirikan pondok-pondok sederhana.

Namun, balasan dari perusahaan lebih mengejutkan di hari terakhir. Puluhan mobil karyawan masuk. Ini disusul maraknya petugas sekuriti dari perusahaan, yang mengawal ekskavator. Pondok-pondok mulai dibabat habis. Aksi kekerasan sampai kriminalisasi pun datang bertubi-tubi.

‘Puluhan orang dipukuli dan disiksa oleh petugas sekuriti,’ kata Kusnadi, salah seorang pelaku pemblokiran pada saya. ‘Belasan orang ditangkap kepolisian dan akhirnya menimbulkan trauma.’

Kusnadi memaparkan keluarganya dan beberapa kawannya dipenjara hingga 6 bulan lamanya. Tetapi usaha tak boleh terhenti. Lahan adat mereka harus tetap kembali. Upaya lainnya pun dilakukan pendamping SAD 113, Serikat Tani Nasional (STN) pada awal 2007. Organisasi itu mengirimkan suratnya ke BPN di Jakarta agar mengevaluasi kembali izin HGU milik PT Asiatic. Saat itu kepemilikan saham telah dikuasai oleh Grup Wilmar.  Permintaan STN juga dalam rangka penyelesaian konflik antara SAD 113 dengan pihak perusahaan. Di antaranya, tuntutan soal pengembalian lahan ulayat mereka. BPN pun menurunkan tim penelitinya selama seminggu pada Juli 2007.

‘Dalam area yang disengketakan terdapat tanah masyarakat adat Suku Anak Dalam, khususnya bekas perkampungan di Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang,’ demikian hasil penelitian tersebut. ‘Sebagai bukti terdapat kuburan, tunggul pemeras, sesap jerami serta tanaman tua, seperti durian.’

Namun, masalah lahan itu tak hanya dialami kelompok SAD 113. Kelompok SAD Sungai Beruang, yang tinggal di wilayah selatan area HGU, juga mengalami kekerasan serupa. Dari penggusuran hingga penembakan. Alasan perusahaan, karena terjadi pencurian besar maupun penjualan buah sawit—baik buah segar atau tandan— milik PT Asiatic. Produsen kelapa sawit itu pun mendatangkan jajaran Brimob pada Agustus 2011.  Ini setelah kepolisian lokal tak mampu menangani masalah tersebut. Perusahaan, menginginkan pengamanan lebih ketat di area perkebunan.

‘Brimob melepaskan tembakan ke udara dan ini membuat masyarakat lari ke hutan,’ kata Marcus Colchester yang memimpin penyelidikan bersama melalui Forest Peoples Programme, Oktober 2011. ‘Operator peralatan merubuhkan rumah di permukiman.’

Laporan penyelidikan Forest Peoples Programme (FPP) bertajuk Human Rights Abuses and Land Conflict in the PT Asiatic Persada Concession in Jambi pada November 2011, menemukan perusakan itu berlangsung selama tiga hari, yakni 9—11 Agustus 2011. Rumah-rumah sederhana mereka dihancurkan. Pakaian, televisi dan mainan anak-anak dimusnahkan. Penggusuran ratusan orang itu menyebabkan mereka berpencar ke segala arah. Dari utara sampai timur. Akhir bulan itu, pemerintah lokal akhirnya menyediakan makanan dan terpal plastik untuk membantu tempat tinggal sementara di bekas lahan rumah mereka. Ada yang memunguti kembali lembaran seng dan kayu.

Ada pula seorang perempuan menjual seng bekas untuk mendapatkan beras. Kesimpulan penyelidikan tersebut menyatakan sejumlah masalah antara kelompok SAD dan perusahaan saling berkaitan. Di antaranya adalah tidak diakuinya hak ulayat masyarakat adat oleh pemerintah dan perusahaan. Di sisi lain, pemberian izin HGU justru membatasi mata pencarian suku Anak Dalam. Pencurian buah sawit, demikian laporan tersebut, adalah strategi bertahan hidup warga yang tak memiliki ruang lagi.

‘Kami menuntut PT Asiatic Persada untuk membangun rumah kembali di tempatnya,’ kata Ronny, Kepala Dusun Sungai Beruang dalam suratnya kepada pimpinan perusahaan itu. ‘Juga mengganti semua harta benda yang hilang dan hancur.’

Tetapi bantahan datang dari pihak perusahaan.

Saya menemui Muhammad Syafei, Kepala Bina Mitra PT Asiatic, dan manajer lapangan Joko Susilo, pada akhir tahun lalu di Jakarta. Mereka bergantian menjelaskan persoalan yang dihadapi.  Syafei, yang bekerja sejak 2006 untuk PT Asiatic, mengatakan perusahaan ingin secara terbuka menyelesaikan masalah antara pihaknya dan kelompok masyarakat adat. Misalnya pada Juni 2010, PT Asiatic memberikan lahan seluas 1.000 hektare sebagai bentuk kemitraan kepada Koperasi Sanak Mandiri.

Lahan itu berada di area anak usaha perusahaan, PT Jamer Tulen dan PT Maju Perkasa Sawit, di kawasan Mentilingan dan Durian Dangkal, Desa Bungku. Masalah kemudian muncul. Banyak kelompok masyarakat yang justru diduga menjual buah sawitnya kepada produsen lain, bukan kepada PT Asiatic. Atau juga soal lainnya: pendudukan lahan yang telah diganti rugi sampai penyewaan lahan milik perusahaan kepada pihak lain.  Belum lagi dugaan intimidasi terhadap karyawan. Hal itulah, demikian Syafei, membuat perusahaan meminta bantuan kepolisian hingga satuan Brimob.

‘Banyak penunggang bebas dalam kasus suku Anak Dalam,’ kata Joko. ‘Modus penjualannya adalah kuasai lahan dan menawarkannya kepada orang lain.’

‘Kami ini korban,’ kata Syafei. ‘Suku Anak Dalam hanya dijadikan tameng. Pemilik kebunnya dari pihak luar. Ada oknum-oknum tertentu.’

Namun, lahan untuk kemitraan pun sebenarnya bermasalah. Temuan penyelidikan FPP memaparkan izin PT Jamer, yang diperoleh pada 2002, telah habis pada Mei 2005. Pemerintah lokal juga tak memperpanjang izin tersebut. Sedangkan PT Maju Perkasa, sebenarnya hanya mendapatkan surat rekomendasi Gubernur pada Desember 1991. Perusahaan itu tak pernah mendapatkan izin HGU.

‘Dua perusahaan itu seperti melampaui hukum’ kata Colchester. ‘Izin PT Jamer memang habis, tetapi perusahaan masih membuka lahan dan melakukan penanaman.’

Konflik yang berkepanjangan itu membuat dua kelompok di wilayah utara dan selatan akhirnya menempuh cara berbeda. Kelompok Sungai Beruang—dan sedikitnya empat kelompok SAD lainnya— mau menempuh mediasi dengan mekanisme dari Compliance Advisor Ombudsman (CAO).  Ini adalah badan yang dibentuk guna mengatasi keluhan masyarakat yang terpapar buruk oleh proyek yang didanai International Finance Corporation (IFC) dan the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Keduanya merupakan lembaga yang terafiliasi dengan Bank Dunia. Pelaporan soal konflik SAD itu disampaikan pada November 2011. Namun hingga akhir tahun lalu, keputusan mediasi belum juga terlihat terang-benderang.

SAD 113 memutuskan keluar dari mediasi CAO.

Aksi yang dilakukan kemudian, salah satunya, adalah  menginap di depan DPR-RI sampai BPN di Jakarta. Menduduki lahan. Menyetop mobil pengangkut sawit sampai menduduki kantor Gubernur Jambi. Menurut Abas Subuk, pimpinan SAD 113, pendudukan lahan membuat sebagian warga ditangkap kepolisian. Namun, itu justru memicu aksi ekstrem yang baru. Mereka menginap hampir dua minggu di kantor Gubernur Jambi pada April 2012. Aksi-aksi semacam ini membuat Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Jambi, Mawardi , ditahan selama tiga hari. Ketua Serikat Tani Nasional (STN) Jambi, Utut Adianto pun dilaporkan pihak perusahaan ke Polres Batanghari pada September tahun lalu. Tuduhannya: melakukan kekerasan dan pencurian.

‘Namun akhirnya pemerintah Jambi dan BPN bersepakat untuk menyelesaikan masalah,’ kata Abas. ‘Kesepakatan itu di antaranya pemerintah meminta PT Asiatic untuk melakukan pemetaan ulang berdasarkan peta mikro 1987 dari Departemen Kehutanan.’

Peta resmi yang dimaksud adalah peta yang menyatakan bahwa terdapat area perkampungan seluas 50 ha, peladangan 2.100 ha, serta belukar 1.400 ha dalam area konsesi PT Bangun Desa Utama, perusahaan kelapa sawit milik Andi Senangsyah, saat itu. Inilah yang dijadikan Abas Ubuk dan kelompok SAD 113 sebagai dasar untuk memperoleh lahan adat kembali. Dan soal mediasi, SAD 113 sepertinya lebih percaya pada Komnas HAM, dibandingkan CAO. Upaya tersebut dilakukan lembaga itu bersama-sama dengan pihak yang terlibat pada Juli 2012. Ini setelah semua pihak duduk bersama dan sepakat untuk melakukan pengukuran ulang tanah ulayat, dalam rapat di kantor Gubernur Jambi, tiga bulan sebelumnya. Muhammad Syafei menandatangani kesepakatan tersebut. Sedangkan Joko Susilo, anak buahnya, meneken hasil mediasi Komnas HAM, di Jakarta. Intinya serupa: semua pihak setuju untuk mengukur ulang lahan seluas 3.550 hektar seperti yang dituangkan dalam surat Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Departemen Kehutanan pada 1987.

Namun, masalah baru muncul. SAD 113 didera perpecahan internal. Sebagian kelompok dari Dusun Pinang Tinggi  mulai ikut mediasi  CAO. Ada pula yang tetap setia dengan kepemimpinan Abas Subuk. Namun, dari CAO sampai hasil kesepakatan di Komnas HAM, belum satu pun yang menunjukkan titik terang.

‘Pertanyannya, apakah SAD 113 itu masih ada?’ kata Syafei. ‘Mereka sudah pecah.’

‘Kelompok yang keluar tak berpengaruh, hanya sebagian kecil,’ jawab Mawardi, Ketua PRD Jambi. ‘Ini bisa dibuktikan.’

‘Tanah itu adalah hak orang banyak, bukan tiga dusun saja,’ kata Abas Subuk. ‘Kalau mereka keluar dari tuntutan, hak itu tak akan didapatkan.’

Siang itu, saya baru saja melintasi pos pertama PT Asiatic, untuk meninggalkan kawasan perusahaan tersebut. Petani muda asal Dusun Mekar Jaya, Muhammad Nur Habibie, mengantarkan saya hingga ke Pasar Unit I, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muara Jambi. Tujuannya, mencari mobil angkutan, kembali ke ibukota provinsi itu. Kami bertemu banyak truk yang lalu-lalang. Petugas sekuriti yang memacu sepeda motornya. Para penjaga yang melakukan pengawasan dari dalam pos. Liputan kali ini memang hampir selesai. Dari dalam mobil dengan bau bensin yang menyengat, saya memikirkan kekerasan demi kekerasan yang masih berulang. Dari Mekar Jaya hingga Sungai Beruang. Mulai petani sampai masyarakat adat. Belum sampai separuh jalan, hujan lebat tumpah-ruah.  Setidaknya, ribuan bulir air kali ini menyejukkan, di tengah-tengah panasnya perseteruan di tanah Melayu.***

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Anugrah Perkasa. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.