Islamofobia Dan Politik Imperialistik AS

Print Friendly, PDF & Email

Islamophobia-kumar01Judul buku: Islamophobia and the Politics of Empire
Penulis: Deepa Kumar
Penerbit: Haymarket Books, 2012
Tebal: 225 hal.

 

Islamophobia-SheehiJudul buku: Islamophobia The Ideological Campaign Against Muslim
Penulis: Stephen Sheehi
Penerbit: Clarity Press, INC, 2011
Tebal: 285 hal.

 

Pengantar

 

SEJAK Peristiwa 9/11 2001, menjadi Muslim di Amerika Serikat tidaklah mudah. Dari sebelumnya mereka adalah warga negara biasa yang berjuang memperbaiki kehidupannya di AS, kini mereka menjadi pusat perhatian publik dan mengalami berbagai perlakuan diskriminatif. AS yang semula dianggap sebagai ‘tanah yang dijanjikan,’ tempat dimana kebebasan, demokrasi, dan kemakmuran ekonomi bersemai, kini jadi tempat dimana kecurigaan menjadi hal yang wajar. Tindakan sebagian orang yang mengatasnamakan Islam ketika menabrakkan pesawat ke menara kembar Wall Street, seolah menjadi tanggung jawab seluruh Muslim (guilt by association).

Islamofobia, demikian para ahli mendefinisikan perlakuan diskriminasi dan rasisme terhadap Islam ini, bekerja di dua level: level institusional dan individual. Secara institusional Islamofobia mewujud pada kebijakan polisi yang melakukan tindakan pengawasan (surveillance) terhadap individu-individu maupun kelompok-kelompok muslim, baik di kampus maupun di lingkungan tempat tinggalnya; infiltrasi intelijen oleh FBI terhadap individu, keluarga, maupun organisasi Islam yang diduga memiliki jaringan dengan kelompok teroris luar negeri; proses pengadilan yang bertentangan dengan konsitutisi terhadap terduga teroris; penelusuran aliran keuangan individu dan kelompok-kelompok Muslim, serta penggambaran media (media profiling) yang sangat bias secara intensif dan sistematis pada tingkat nasional. Sementara itu, secara individual warga Muslim juga mengalami diskriminasi, mulai dari caci-maki (hate speech) hingga tindakan pemukulan, pengrusakan masjid, dan penembakan yang berujung kematian.

New York City, sebagai tempat yang paling menderita akibat serangan 9/11, telah menjadi tanah yang subur bagi perkembangan Islamofobia. Hal itu dipicu oleh rencana Imam Feisal Abdul Rauf pada 2009, untuk membangun pusat komunitas Muslim (Muslim community center) dan masjid di Manhattan. Terlebih lagi, gedung yang direncanakan untuk dibangun itu hanya berjarak ratusan meter dari ‘Ground Zero,’ atau lokasi dimana menara kembar itu runtuh. Para penentang ini menanggap bahwa pembangunan masjid yang berdekatan dengan lokasi Ground Zero, tidak hanya mengabaikan perasaan keluarga korban 9/11 yang masih terluka, tapi lebih dari itu, memberi ijin bagi pendirian masjid tersebut seperti mengakui bahwa aksi terorisme itu bisa ditoleransi.

Tetapi, penolakan kelompok sayap kanan ini mendapat tentangan dari kelompok kiri dan liberal-demokrat AS. Bagi kelompok liberal, setiap warga negara AS, termasuk Muslim AS, berhak untuk mendirikan tempat ibadahnya masing-masing. Pembangunan masjid di lokasi Ground Zero, selayaknya menjadi komitmen dan konsistensi dari nilai-nilai AS. Bagi kelompok ini, cara terbaik untuk melawan bigotry atau intoleransi keagamaan justru harus dimulai dari tempat dimana kejadian itu berlangsung. Pertanyaannya, bagaimana Islamofobia ini bisa begitu menguat di AS? Faktor-faktor apa yang menyebabkan muncul dan menguatnya sentimen ini. Review atas dua buku karya Deepa Kumar dan Stephen Sheehi ini akan coba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

 

 

Islamofobia dan Orientalisme

Seperti telah dikemukakan, sentimen Islamofobia menjadi sangat populer di AS sejak Peristiwa 9/11. Islamofobia sendiri memang adalah sebuah kata yang relatif baru dalam kosakata politik AS, walaupun ia bukan sebuah fenomena yang baru.1 Sebelumnya, istilah yang populer untuk menjelaskan tentang bagaimana pandangan ‘Barat’ yang negatif terhadap ‘Islam’ adalah Orientalisme, dengan proponen utamanya adalah intelektual asal Palestina Edward Said. Sebagai sebuah konsep maupun terma baru (neologism), Islamofobia secara luas dipercaya muncul pertama kalinya di Inggris. Tetapi, hasil penelusuran Allen menunjukkan bahwa klaim ini tidak sepenuhnya benar, karena pada 1925 dua penulis Prancis, Etienne Dinet and Slima Ben Ibrahim, telah menggunakan kata ini ketika mereka menulis ‘accès délire islamophobe.’2.

Secara etimologi Islamofobia berasal dari kata Islam and Phobia. Menurut College Dictionary, phobia adalah sebuah perasaan takut yang tak berdasar, sebuah ketakutan yang tidak masuk akal atas sebuah obyek, aktivitas, atau situasi yang khusus, yang mendorong seseorang untuk keluar atau menjauh dari situasi itu.3 Dengan demikian, Islamofobia berarti ketakutan yang irasional terhadap Islam sehingga keberadaannya harus dijauhi atau disingkirkan. Allen mendefinisikan Islamphobia sebagai ‘setiap ideologi atau cara berpikir dan atau perilaku dimana kalangan Muslim disingkirkan dari posisinya, hak-haknya, kemungkinan-kemungkinan (sebagai bagian) dari masyarakat karena mereka percaya atau memiliki latar belakang Islam. Perilaku kaum Muslim dan perlakuan terhadapnya (imajiner maupun riil) dianggap sebagai pencerminan dari Islam secara umum atau gambaran dari perilaku kelompok-kelompok Islam, ketimbang menganggapnya sebagai tindakan seorang individu Muslim.‘4 Andrew Shryock mengatakan, Islamofobia secara umum berarti sebuah ketakutan akan Islam dan Muslim atau menggambarkan sebuah keadaan ‘dimana orang membenci Muslim atau takut terhadap Islam.’5 Runnymade Trust dalam laporannya berjudul Islamofobia: A Challenge for Us All, menulis, Islamofobia adalah ‘sebuah permusuhan yang tidak berdasar terhadap Islam;’ sehingga akhirnya ‘konsekuensi praktis dari ketakutan itu adalah diskriminasi terhadap umat Islam baik sebagai individu dan komunitas, serta…. menyingkirkan umat Islam dari urusan-urusan sosial dan politik yang lebih luas.’6 Karena itu, menurut Sheehi, ‘Islamofobia adalah sebuah tindakan yang bersamaan pada dua level: pertama, level pemikiran, pendapat, dan persepsi; dan kemudian kedua, level politik material seperti aksi-aksi kekerasan‘ (Sheehi, 32).

Dalam pengertian ini, Islamofobia adalah sebuah ideologi dan tindakan politik yang menempatkan Islam sebagai the Others dalam pengertian yang negatif. Pandangan tentang the Others ini dasarnya bisa dilacak pada pandangannya kaum Orientalis, yang percaya bahwa Islam Politik pertama-tama ditandai oleh keyakinan bahwa menyatunya agama dan politik merupakan sesuatu yang khas Islam; kedua, bahwa Islam Politik, seperti Islam itu sendiri, bersifat monolitik; dan ketiga, bahwa Islam Politik secara inheren mengusung kekerasan.7 Logika mendasar di balik argumen ini bahwa ‘kita/we’ adalah sekuler dan demokratik, sementara ‘mereka/they’ masih terkungkung dalam keterbelakangan yang merupakan ciri alamiah dari Islam itu sendiri’ (Kumar, 38).

Dalam logika seperti itu, maka, menurut Kumar, Islamobhobia bukan sebuah fenomena politik yang lahir pasca tragedi 9/11, 2001. Dalam bukunya ini, Kumar menunjukkan bagaimana hubungan antara ‘Barat’ dan ‘Islam’ telah berlangsung sejak abad ke-8, dimana kontak antara keduanya ini tidak hanya melulu berkaitan dengan konflik tetapi juga, pada faktanya, sering berlangsung dalam suasana saling bekerjasama dan hidup berdampingan secara damai. Seperti dikemukakan Maria Rosa Menocal dalam bukunya Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (2002), yang melakukan studi tentang hubungan antara Yahudi, Kristen, dan Islam di masa kejayaan Dinasi Ummayah di Andalusia, Spanyol, masyarakat pada masa itu, khususnya di lapangan intelektual dan seni, berlangsung apa yang dikarakterisasikan sebagai convivencia, atau ko-eksistensi yang relatif damai (Kumar, 12).8 Kumar, mengutip pandangan salah satu penulis Kristen masa itu yang mengatakan bahwa ‘Orang-orang Kristen suka membaca puisi-puisi dan roman-roman Arab; mereka mempelajari karya-karya para teolog dan filsuf Arab, bukan untuk menyanggahnya tetapi untuk membentuk sebuah pemahaman yang benar dan elegan tentang Arab’ (Kumar, 12). Tak heran jika intelektual Barat berhutang sangat besar terhadap khazanah intelektual Islam. Singkatnya, pada era ini, demikian Kumar, Islam sedang berada di puncak kemajuan peradaban, sementara Barat masih berkubang dengan keterbelakangan (backwardness) dan kemandegan (stagnation).

Tetapi, walaupun terjadi hubungan yang relatif damai, bukan berarti tidak ada konflik antara Islam dan Barat. Misalnya, meskipun tidak ‘seharmonis’ hubungan Islam-Yahudi; dalam beberapa even sejarah seringkali ketegangan terjadi, terutama karena Islam di Barat (Afrika Utara, Andalusia, Italia) sering mendapat serangan dari Kerajaan Kristen, sehingga menyebabkan kondisi legal-politik atas Kristen, misalnya dalam pemerintahan Muslim Sevilla, agak kurang simpatik karena faktor musuh yang Kristen itu.9 Bagaimanapun Islam tetap dianggap sebagai orang luar yang menginvasi kekristenan Eropa. Namun, seperti ditunjukkan Kumar, pada abad ke-8 hingga abad ke-11, Barat melihat Islam sama seperti kelompok pagan lainnya di Eropa (suku Normans dan Magyard) yang menginvasi tanah Kristen Eropa pada abad ke-9 dan ke-10, sehingga kalaupun terjadi konflik dengan Islam pada masa itu, mereka tidak dipahami sebagai musuh dalam makna keagamaan.

Pandangan Barat terhadap Islam sebagai musuh relijius baru muncul secara sistematis pada abad ke-11, yang termanifestasi dalam apa yang dikenal sebagai Perang Suci (holy war) atau Perang Salib (crusade). Saat itu, perdagangan dan perniagaan di Eropa sedang berkembang sangat pesat, kota-kota bertumbuh, pergerakan manusia menjadi lebih cepat dan lebih luas sehingga dibutuhkan lokasi yang juga lebih luas serta aturan-aturan hukum yang lebih pasti dan mengikat. Konsekuensinya, konflik dan benturan politik militer tak terhindarkan. Sementara pada saat yang sama, kelompok-kelompok pagan Eropa yang sebelumnya menginvasi tanah Kristen tadi, kini telah berhasil dikonversikan menjadi penganut Kristen, sehingga, seperti tulis Cohen, pluralisme etnik kian menyusut dan kesadaran akan kekristenan dan kesalehan justru kian mendalam di masyarakat luas. Tinggallah Islam sebagai satu-satunya musuh, dan imajinasi ini semakin menguat pada akhir abad ke-11. Dalam era Perang Salib ini, sentimen keagamaan digunakan Barat untuk mencapai tujuan politik dan militernya sekaligus. Misalnya, penguasa di Spanyol menggunakan isu agama untuk merebut kembali tanahnya di Semenanjung Iberia dari penguasaan Islam, yang kemudian terkenal sebagai periode inkuisisi. Di Eropa Barat sendiri, Perang Salib juga dimanfaatkan oleh Paus Urban II untuk menyatukan fraksi-fraksi politik yang saling bertikai di Eropa.

Ini menunjukkan, demikian Kumar, bahwa terjadi evolusi dalam cara pandang Barat terhadap Islam sebagai musuh tersebut. Misalnya, pada abad ke-8 hingga abad ke-11, Islam dipandang sebagai musuh yang sama derajatnya dengan kaum invader lainnya, seperti suku-suku pagan itu, dan baru pada era the Holy War, Islam sebagai musuh dilihat dalam makna relijius. Pada abad ke-15, persepsi Barat terhadap Islam sebagai musuh bergeser ke dalam pemaknaan yang bersifat sekuler dan politik, dan memuncak pada abad ke-18. Saat itu, dengan kebangkitan era pencerahan (renaissance), pengaruh gereja semakin memudar sehingga akibatnya sentimen-sentimen keagamaan untuk memobilisasi perang melawan Islam semakin tidak menarik. Di sisi lain, Eropa juga tengah dicengkeram ketakutan oleh adanya ancaman dari musuh baru, bangsa Mongol yang memiliki pasukan dengan kemampuan bergerak yang sangat cepat dan dengan daya rusak yang luar biasa. Dua keadaan ini membuat pemisahan secara diametral antara Dunia Kristen dan Dunia Islam tidak lagi memadai dan bahkan menjurus pada sikap yang moderat terhadap Islam, sehingga kembali muncul kondisi yang relatif damai (Kumar, 17).

Keadaan kembali berubah ketika Barat menemukan alasan untuk kembali menjadikan Islam sebagai musuh, dengan memguatmya sistem imperium Dinasti Ottoman Turki pada 1453 di bawah Sultan Mehmed II, dibanding masa-masa awal Ottoman. Setelah berhasil merebut Konstantinopel, kekhalifahan Ottoman ini mengijinkan Gereja untuk mengelola dirinya secara otonomi, sehingga, seperti pada abad ke-6 dan ke-8, kekhalifahan Turki ini disambut dengan perdamaian di beberapa negara Kristen Eropa. Apalagi, saat itu Gereja Roma sedang menggencarkan politik tangan besi, sehingga untuk menghindari persekusi, Kristen Ortodoks Yunani dan agama-agama minoritas lainnya memilih berlindung di bawah kekuasaan Turki yang mengusung slogan ‘live and let live.’ Para petani di Balkan bahkan mengatakan ‘Better the turban of the Turk than the Tiara of the Pope’ (Kumar, 18). Di sini, Islam yang melekat pada Dinasti Ottoman ini tidak dianggap sebagai musuh dari luar serta dalam makna relijius oleh Barat, sebagaimana kekhalifahan Dinasti Ummayah, tetapi sebagai musuh politik dan militer di dalam tanah Eropa sendiri.

Abad ke-16 juga menyaksikan untuk pertama kalinya muncul studi tentang Timur (Orient), dimana cara pandang terhadap Timur mulai dilakukan dengan metode-metode keilmuan (scientific) dan pikiran yang lebih terbuka. Dengan semakin melemahnya kekuasaan Turki di hadapan penguasa-penguasa Eropa pada abad ke-17, studi tentang Timur ini semakin mendapatkan tempat penting. Tetapi, konsekuensinya, khususnya sejak abad ke-18, studi ini juga bertolak dari klaim superioritas Barat atas Timur: Barat yang maju dan terdidik dihadapkan dengan Timur yang terbelakang dan bodoh. Orang Turki, misalnya, dianggap sebagai kasar, bodoh, tidak terhormat, tidak bermoral, tidak berguna, korup, dan tidak rasional (Kumar, 20). Dengan bangkitnya kapitalisme yang ditandai oleh kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, kekuataan militer, dan komunikasi maka klaim superioritas itu semakin menguat. Montesquieu, misalnya, menulis bahwa ‘Asia ditakdirkan untuk menjadi despotik karena iklimnya yang panas yang kemudian berdampak pada temperamen manusianya yang cepat sekali marah’ (Kumar, 20). Dan ketika Barat melakukan kolonisasi ke negara-negara Islam, di sini Islam dipandang sebagai the Others yang secara kultural kedudukannya adalah inferior di hadapan Barat yang superior. Jika sebelum abad ke-19 Barat melihat Islam dalam lensa Kristianitas, maka sejak abad ke-18 Barat mulai melihat Islam dari lensa ‘keilmuan/scientific’ yang membagi manusia berdasarkan kategori ras atau spesies: misalnya, orang kulit putih Eropa menyimpulkan bahwa mereka adalah superior sehingga pantas untuk menaklukkan orang kulit berwarna (hitam dan coklat) yang ‘buruk/ugly’ dan ‘semi-beradab/semi-civilized (Kumar, 29). Tidak heran jika Orientalisme muncul dan kemudian berkembang pesat pada masa ini untuk melayani kepentingan penguasa kolonial, yakni mengeksploitasi kekayaan alam negara-negara jajahan sekaligus menindas rakyat di negara-negara tersebut.

Dengan menelusuri hubungan historis tersebut, Kumar ingin menempatkan konflik ‘Barat’ vs ‘Islam’ dalam konteks historis tertentu. Melalui telaah historis ini tampak bahwa konflik kedunya sesungguhnya tidak benar-benar disebabkan oleh karena yang satu ‘Barat’ dan yang lain adalah ‘Islam.’ Bahkan, bisa dikatakan, sentimen relijius merupakan bungkus, alat pemersatu, sekaligus alat yang paling efektif untuk memobilisasi pengikut guna mencapai tujuan-tujuan politik, ekonomi, dan militer para pihak yang berkonflik. Karena itu, Kumar, mengatakan, walaupun konflik antara Barat dan Islam telah berlangsung berabad-abad, namun Islamofobia berbeda dengan Orientalisme, ia bukan produk dari masa itu. Dengan lain perkataan, walaupun tegangan antara Islam dan Barat bukan sebuah hal yang baru muncul setelah Peristiwa 9/11, 2001, tetapi juga tidak bisa disimpulkan bahwa Islamofobia adalah sebuah ideologi dan praktek politik yang sudah ada dengan sendirinya sejak awal hubungan Barat dan Islam. Menurut saya, inilah salah satu point terpenting dari buku Kumar ini.

 

Islamofobia dan Kebijakan Imperialistik AS

Melalui Sheehi kita mengetahui Islamofobia tidak hanya semata masalah prejudices yang muncul akibat Peristiwa 9/11, tapi lebih dari itu Islamofobia berakar pada masalah paradigma ideologis yang dianut oleh pemerintahan AS dan aliansinya di dalam negeri dalam menyebarkan sentimen Islamofobia. Dengan demikian, walaupun Sheehi mengatakan bahwa pada masa Obama praktek-praktek Islamofobia semakin meningkat, namun ia tidak ingin menumpahkan semua kesalahan itu pada Obama atau pada Bush semata. Bagi Sheehi, Islamofobia sebagai sebuah culture of fear telah berakar sangat dalam pada kultur politik AS. Sebagai misal, pasca Perang Dunia II komunisme menjadi musuh nomor satu Washington dan aliansinya, dan bahaya merah (red scare) menjadi senjata kultural dan politik untuk membungkam individu maupun kelompok yang melawan kebijakan ekonomi, politik, dan militer AS. Siapa saja yang melawan kekuasaan AS, pasti dituduh komunis dan karenanya diharapkan menjadi musuh publik. Bahkan gerakan pembebasan perbudakan juga dianggap telah disusupi oleh kaum komunis. Itu sebabnya, walaupun Islamofobia ini adalah masalah kekuasaan, namun kita tidak bisa menghilangkan Islamofobia hanya dengan mengganti pemerintahan yang berkuasa di Washington. Bagi Sheehi, cara pertama untuk melawan Islamphobia adalah melalui pembongkaran secara menyeluruh diskursus atau paradigma yang berada di balik kampanye dan praktek Islamofobia tersebut.

Pada titik ini, menurut Sheehi, ‘Islamofobia adalah sesuatu hal yang lebih besar ketimbang hanya masalah benci terhadap umat Islam karena mereka berbeda‘ (Sheehi, 218). Seperti Orientalisme yang merupakan instrumen intelektual penguasa-penguasa kolonial ‘Barat’ dalam menundukkan dan mengeksploitasi negara-negara jajahannya di ‘East,’ maka Islamofobia harus dipahami secara utuh sebagai instrumennya kekaisaran AS (the U.S empire) untuk melegitimasi kebijakan imperialistiknya. Artinya, Islamofobia adalah senjata kultural untuk memuluskan beroperasinya kapitalisme-neoliberal di seantero jagat sekaligus mengamankan posisi AS sebagai sang hegemon. Mengabaikan soal ini hanya membuat kita menangkap sepotong-sepotong kemunculan Islamphobia. Dalam konteks ini, Islamofobia walaupun memiliki jejak yang dalam pada Orientalisme, namun, seperti kesimpulan Kumar, Sheehi mengatakan bahwa Islamofobia adalah produk dari situasi ekonomi dan politik masa kini, sehingga penyelesaian masalahnya pun mesti diletakkan dalam konteks saat ini juga. Lebih jelasnya lagi, menurut Sheehi, Islamofobia adalah produk pasca Perang Dingin, sebuah ideologi yang terbentuk dalam konteks Kekaisaran Amerika untuk melayani kekuasaan AS dan kekuasaan kapitalisme global (Sheehi, 226). Dan sebagaimana ‘bahaya merah’ di masa Perang Dingin, maka siapa saja yang melawan kekuasaan AS dan kapitalisme global ini dengan mudah dicap sebagai ekstrimis Islam, sebagai teroris.

Demikianlah, guna melegitimasi kebijakan imperialistiknya itu, Kumar menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri pemerintah AS dalam kaitannya dengan Islam dan muslim, juga mengalami pergeseran dari ‘neoconservatif imperialism’ atau ‘neoconservative Islamofobia’ di bawah pemerintahan George W. Bush, menjadi ‘liberal imperialism’ atau ‘liberal Islamofobia’ di masa pemerintahan Barack Obama. Menurut Kumar, jika kelompok neokon lebih menitikberatkan pada unipolarisme dan militerisme dalam kebijakan luar negerinya, khususnya dalam hubungannya dengan Islam dan Muslim, maka karakteristik kunci dari kalangan imperialisme liberal adalah penolakannya terhadap tesis ‘clash of civilization,’ dengan mengakui (recognize) bahwa ada yang disebut ‘good muslim’ di samping yang ‘bad muslim.’ Melalui kategorisasi ‘good and bad muslim’ – yang untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh sosiolog Mahmoud Mamdani – maka tidak seperti kalangan Orientalisme yang memandang Islam dan umat Islam dalam satu tarikan nafas, kini Washington melihat bahwa ada kelompok umat Islam yang baik di satu sisi dan kelompok umat Islam yang buruk di sisi lain. Dengan demikian, kategorisasi ini tidak menyederhanakan perbuatan satu individu atau kelompok dalam Islam sebagai representasi kaum Muslim keseluruhan, serta tidak juga menyamakan Islam dengan umat Islam itu sendiri. Masalahnya, siapa yang menentukan ini Muslim yang baik dan itu bukan? Jawabannya tidak lain adalah Washington, berdasarkan ukuran apakah mereka menentang atau menerima kebijakan imperialistik tersebut.

Kategorisasi ‘good and bad Muslim’ ini sebenarnya telah digunakan sejak masa pemerintahan Bush, tetapi watak dari kebijakannya terhadap dunia Islam mengedepankan ‘hard power’ untuk mengeliminasi apa yang disebutnya sebagai jaringan teroris Islam internasional yang didukung oleh negara-negara tertentu. Strategi ini ternyata dianggap tidak efektif karena serangan militer terhadap mereka yang dituduh teroris ternyata malah kian menyuburkan kebencian terhadap AS di kalangan Muslim, walaupun mayoritas umat Islam boleh jadi tidak bersepakat dengan kalangan ‘bad muslim.’ Bahkan, strategi Bush atas nama Perang Global Melawan Terorisme ini, telah mendukung dan memperkuat keberadaan rezim-rezim anti demokrasi di Asia dan Timur Tengah sejauh mereka mendukung kebijakan Perang Global tersebut. Tidak efektifnya strategi ‘hard power’ yang dijalankan Bush, membuat Obama mengambil jalan lain. Strategi yang ditempuh Obama untuk mengeliminasi kelompok ‘bad Muslim’ adalah melalui pendekatan ‘soft power,’ seperti kerjasama ekonomi, pendidikan, dan demokratisasi dengan tujuan mengkooptasi dan menginkorporasikan Islam dan ‘good Muslim’ di bawah payung the U.S. Empire. Gagasan dasarnya, semakin banyak yang ‘good muslim’ dengan sendirinya kian mengeliminasi ruang gerak dan pengaruh kalangan ‘bad muslim’ melalui cara-cara damai.

Tetapi, seperti kata Kumar, pada dasarnya kedua kebijakan ini adalah sama: rasis dan imperialis, yang menerima begitu saja (takes for granted) konsep ‘white man’s burden.’ Misalnya, Kumar menunjukkan bahwa Obama setelah menang pemilu pada 2008, secara retorik memang menggunakan bahasa yang lebih halus dalam menghadapi Islam Politik, tetapi dalam prakteknya ia terus melanjutkan kebijakan luar negeri Bush dan, di dalam negeri, ia malah memperkuat kebijakan ‘preemptive prosecution’ dan praktek-praktek rasis terhadap kaum Muslim sebelum mereka melakukan tindakan apapun. Sheehi dalam analisisnya terhadap pidato Obama di Kairo, Mesir, mengatakan bahwa Obama menggunakan kata ‘but’ dan ‘however’ sebanyak 39 kali, sementara dalam pidato penerimaan hadiah Nobel, ia menggunakannya sebanyak 30 kali. Apa maksud dari kata ‘but’ dan ‘however’ itu? Mari kita lihat contoh yang dikemukakan Sheehi: ‘Amerika Serikat tidak, dan “tidak akan pernah melakukan perang dengan Islam,” tetapi “adalah tugas pertama saya sebagai Presiden untuk melindungi rakyat Amerika.”’ Contoh lainnya, ‘Islam adalah agama damai tetapi “kalangan ekstremis yang jumlahnya minoritas selalu mengeksploitasi ketegangan-ketegangan kecil dengan cara-cara yang ampuh”’ (Sheehi, 180). Dengan begini, esensi dari pesan-pesan persahabatan Obama pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang telah dilakukan Bush, yakni sebagai reaksi terhadap ancaman yang ditujukan kepada AS. Apa yang ia ingin katakan bahwa AS tidak ingin menjadikan Islam dan umat Islam sebagai musuh, tapi ia terpaksa melakukannya. Apa yang diabaikan Obama bahwa kritik, serangan-serangan verbal dan fisik penuh kebencian terhadap AS sebenarnya merupakan respon terhadap kebijakan luar negeri AS yang imperialistik. Bagi Obama, apa yang selama ini dilakukan AS secara fundamental adalah baik dan ia siap untuk bekerjasama atau melanjutkan kolaborasi-kolaborasi yang telah ada untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial di negara-negara Islam, sejauh mereka tidak membenci atau menentang AS. Tidak adanya kebencian di sini bermakna negara-negara atau kelompok-kelompok Islam tidak melakukan aksi-aksi politik yang merugikan kepentingan ekonomi dan politik AS di seluruh dunia. Khusus untuk Dunia Arab, tidak adanya kebencian terhadap AS berarti menyetujui kehadiran pasukan militer AS di kawasan tersebut, serta mengakui eksistensi negara Israel yang selama ini menjadi sumber utama propaganda anti Yahudi dan AS dari seluruh kekuatan Islam Politik di kawasan tersebut dan Dunia Islam pada umumnya.

 

Jaringan Islamofobia

Setelah membahas pengertian konseptual dan latar belakang kemunculan Islamofobia, buku Sheehi membawa kita untuk memahami Islamofobia melalui praktek-praktek politik yang yang konkret: bagaimana wujud dan karakter dari kekuasaan politik yang menyebarkan Islamofobia, seperti apa aliansi kekuasaan yang terjadi, dan siapa saja aktor dan institusi yang terlibat dalam aliansi tersebut. Tetapi dengan mengemukakan ini, Sheehi menegaskan bahwa ia tidak sedang memproduksi teori konspirasi di kalangan elite Washington untuk menghancurkan Islam. Apa yang ia ingin kemukakan bahwa ada kesamaan ideologis di antara para proponen tersebut, yang datang dari beragam fraksi politik yang berbeda, yang membuat mereka menjadi Islamophobik. Kesamaan ideologis itu yang membuat hubungan mereka saling beririsan dalam pembuatan kebijakan.

Dalam bukunya ini, Sheehi menunjukkan secara detail aliansi antara pemerintah berkuasa dengan kalangan intelektual neokonservatif maupun liberal, lembaga-lembaga pemikir, lembaga-lembaga pembuat kebijakan, korporasi-korporasi, dan media massa dalam membangun dan mengampanyekan Islamofobia. Sheehi menyebut sederet intelektual yang sangat populer seperti Zalmay Khalilzad, James Schlesinger, Richard Fairbanks, Thomas Friedman, Richard Perle, Paul Wolfowitz, Richard Pipes, Bill Kristol, Joseph Nye, dan terutama sekali yang dibahas panjang lebar dalam bukunya ini adalah tiga nama ini: Bernard Lewis dan Fareed Zakaria, serta sepintas adalah Fouad Ajami. Zakaria dan Ajami adalah figur yang menarik karena keduanya adalah Muslim. Mari kita lihat secara ringkas potret ketiga sosok ini dalam lingkaran Islamophobik itu.

Segera setelah serangan 11 September, menteri pertahanan Donald Rumsfeld dan dua penasehat terdekatnya, Richard Perle dan Paul Wolfowitz, mengundang sekelompok akademisi, jurnalis, pembuat kebijakan dan para ahli untuk sebuah pertemuan rahasia di Gedung Putih. Para intelektual yang ikut hadir dalam pertemuan itu antara lain adalah Fareed Zakaria, Bernard Lewis dan Fouad Ajami. Dalam pertemuan itu, Wolfowitz mengatakan bahwa pemerintah AS, khususnya Pentagon, tidak memiliki kapabilitas untuk memproduksi gagasan-gagasan dan strategi-strategi yang dibutuhkan untuk mengatasi gelombang krisis akibat Peristiwa 9/11 itu.

Mengapa Zakaria, Lewis, dan Ajami bisa dilibatkan dalam pertemuan rahasia tingkat tinggi itu? Sumbangan Zakaria dalam memberikan legitimasi moral dan intelektual terhadap kebijakan Bush di Timur Tengah tak bisa diremehkan. Ia adalah orang yang merekomendasikan agar dilakukannya perubahan rezim di kawasan itu di masa-masa awal pemerintahan Bush. Tak heran jika Sheehi mengatakan bahwa Zakaria adalah anak emasnya kelompok kanan di Washington (Sheehi, 44.). Lahir dari keluarga sekuler Muslim di India, dimana bapaknya adalah pejabat di Partai Kongress, Zakaria menamatkan studi doktoralnya di Harvard University, AS, di bawah supervisi Samuel Huntington. Selepas dari Harvard, intelektual muda nan cerdas ini kemudian menjadi editor pelaksana dari majalah berpengaruh Foreign Affairs dan kemudian majalah ekonomi Newsweek, yang lalu mengantarkannya ke lingkaran dalam partai Republik dan neokonservatif garis keras. Sebagai contoh, Zakaria kemudian menjadi anggota dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang didirikan oleh David Abshire, pendukung garis keras Perang Dingin dan mantan konsultan presiden Ronald Reagan. Di bawah kepemimpinan mantan senator senior David Nunn, CSIS kemudian menjadi lembaga konsultan untuk cabang-cabang eksekutif, seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Keamanan Dalam Negeri dan Energi, Departemen Pertahanan, dan juga Kongres. Selain di CSIS, Zakaria juga menjadi anggota dari Aspen Strategy Group yang bernaung di bawah Aspen Institute yang dipimpin oleh Brent Scowcroft, yang juga adalah anggota dewan CSIS. Di dalam Aspen Institute ini Zakaria duduk bersama dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan baik dari Partai Demokrat maupun Partai Republik, seperti Madeleine Albright, Richard Armitage, Dennis Ross, Martin Indyk, Senator Richard Lugar, Senator Chuck Hagel, Senator Diane Fainsein, dan Richard Haas.

Namun demikian, Aspen Group ini hanyalah versi kecil dari tiga kelompok pembuat kebijakan lain yang lebih besar dan sangat berpengaruh, dimana Zakaria juga menjadi anggotanya. Ketiga lembaga itu adalah Bilderberg, the Trilateral Commission, dan the Council on Foreign Relations (CFR). Dari ketiganya ini, CFR merupakan lembaga paling berpengaruh, dimana dewan direkturnya diisi oleh beberapa anggota CSIS seperti Zbigniew Brzezinski, Joseph Nye, Madelaine Albright, Colin Powell, Richard Holbrooke, dan Storbe Talbott, mantan wakil menteri luar negeri Presiden Clinton, serta CEO Carlyle Groups, David Rubenstein. Fouad Ajami juga menjadi anggota CFR ini, bersama dengan ideolog Islamophobik lainnya, Elliot Abrams, yang menjadi anggota dari lembaga pemikir neokonservatif Project for A New American Century. Di Trilateral Commission, bersama Zakaria juga bergabung Bernard Lewis, Brzezinski, Nye, Samuel Huntington, dan Francis Fukuyama.

Sementara itu Bernard Lewis adalah pemikir generasi terakhir dari lingkungan Orientalisme. Menurut Sheehi, walaupun jaringannya tidak seluas Zakaria, tapi Lewis sesungguhnya lebih berpengaruh ketimbang Zakaria di lingkar inti kalangan Islamophobik. Hubungan Lewis dengan para neokon ini dimulai sejak dekade 1980an, ketika ia memainkan peran untuk mendiskreditkan Edward Said, intelektual pertama yang membongkar habis kebobrokan Orientalisme. Pada tahun 1990an, Lewis berteman akrab dengan Paul Wolfowitz, Richard Perle, dan Zalmay Khalilzad yang merupakan lingkar inti di sekeliling menteri pertahanan kala itu, Dick Cheney. Pengaruh Lewis di kalangan ini sangat kuat, sehingga ia mampu mendudukkan salah satu murid dan teman dekatnya di Departemen Pertahanan dan Gedung Putih, Harold Rhode, seorang fanatikus Zionis.

Peran penting Lewis dalam lingkaran Islamophobik ini adalah memberikan pembenaran-pembenaran teoritis terhadap seluruh kebijakan yang berkaitan dengan Islam dan Muslim. Ialah yang pertama kali mencetuskan istilah benturan peradaban clash of civilization), yang kemudian diadopsi Huntington. Seperti ditulis Kumar, Lewis mengatakan bahwa ‘perjuangan antara kedua sistem yang saling bersaing ini (Kristen dan Islam) sudah bermula sejak abad ke-14. Itu dimulai dengan kedatangan Islam pada abad ke-7 dan terus berlanjut hingga kini. Persaingan ini berlangsung dalam serangkaian serangan (attack) dan serangan balasan (counter-attack), jihad (jihads) dan perang salib (crusades), (conquest) dan penundukkan kembali (reconquest) dalam waktu yang lama’ (Kumar, 3). Dari perspektif ini maka kebijakan yang dibuat Bush, menurut Lewis, tidak bermasalah bahkan merupakan keharusan sejarah. Singkatnya, ini hanyalah sebuah perulangan sejarah masa lalu yang mesti dihadapi jika tidak ingin ditundukkan oleh Islam. Dalam bahasa Sheehi, Lewis menyediakan kepada Cheney dan jaringan neokonservatif, Zionis, dan Islamphobik sebuah narasi untuk politik intervensionis, sekaligus juga tindakan-tindakan militeristik, imperialistik, dan tentu saja Perang Salib baru (the New Crusade) (Sheehi, 56).

Berkat peran penting dan strategisnya itu, Lewis dianugerahi Irving Kristol Award pada 2007 oleh lembaga neokonservatif terkemuka American Enterprise Institute (AEI). Tokoh-tokoh neokon lainnya yang memperoleh award ini adalah Robert Bork, Dick Cheney, Jeanne Kirkpartrick, ideolog dan penasehat neokon Michael Novak, gurunya para neokon Norman Podhoretz, dan mantan presiden Ronald Reagan. Cheney yang menjabat wakil presiden saat itu kemudian memberikan pidato yang memuji Lewis:

Bernard Lewis mengetahui benar tentang keagungan peradaban Islam…. Ia mengerti, sebagaimana manusia yang hidup, watak dari perjuangan saat ini adalah antara kebebasan (freedom) dan ketakutan (fear), keadilan (justice) dan kekejaman (cruelty). Ia juga mengerti bahwa kebebasan bukanlah sebuah penderitaan – kebebasan adalah hak yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan di belahan dunia yang juga sama-sama adalah hak milik kita. Dan sebagaimana perjuangan yang telah lalu untuk kebebasan dan kesetaraan yang masih berlanjut hingga saat ini, kita akan terus bersandar pada pemikiran yang ketat dan teliti dari Bernard Lewis’ (Sheehi, 56).

Terakhir Fouad Ajami, muslim Syiah yang lahir di Lebanon Selatan, adalah anggota tetap darisebuah lembaga yang sangat prestisius di John Hopkins University, yakni School of Advance International Studies (SAIS). Pada 2007, Ajami bersama dengan idolanya Bernard Lewis mendirikan the Association for the Study of Middle East and Africa (ASMEA) untuk menyaingi lembaga sejenis yang sangat prestisius, yakni Middle East Studies Association (MESA). Walaupun secara akademik kurang diperhitungkan, tujuan utama dari ASMEA adalah mencetak intelektual-intelektual yang pro Israel dan pro kebijakan luar negeri AS (Sheehi, 61).

Pengaruh Ajami di lingkaran Islamophobik hanya kalah dari Lewis. Ia adalah penganjur utama kebijakan ‘hard power’ di masa Bush. Ajami berperan besar untuk meyakinkan masyarakat AS bahwa negara-negara di kawasan Timur Tengah tidak bisa dipercaya, sehingga satu-satunya cara untuk membuat mereka patuh pada kebijakan luar negeri AS adalah melalui tangan besi. Bersama Lewis, ia dilaporkan berhasil meyakinkan Wapres Dick Cheney untuk menggelar perang terbuka terhadap Irak. Dalam hal ini, posisi politik Ajami bertolak-belakang dengan posisi pragmatis yang dianut Zakaria. Bagi Zakaria, untuk memenangkan hati rakyat di kawasan Timur Tengah, AS harus menyebarkan informasi-informasi tentang nilai-nilai AS, seperti kebebasan, demokrasi, dan kemakmuran ekonomi melalui pasar bebas. Karena itu, ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Bush kepada Obama, maka Ajami segera mengecam kebijakan ‘tangan terbuka’ yang diulurkan Obama kepada pemerintah di kawasan tersebut. Apa yang dilakukan Obama, menurut Ajami, adalah sebuah kesia-siaan belaka.

 

Islamofobia dan Media

Kini, mari kita lihat bagaimana media menyebarkan Islamofobia di AS, khususnya koran terkemuka dan paling berpengaruh The New York Times (TNYT). Di sini, saya ingin menunjukkan bagaimana Islamofobia ini tampak dalam tulisan-tulisan kolumnis harian TNYT yang sangat terkenal, Thomas L. Friedman, serta laporan-laporan jurnalistiknya. Dalam salah satu kolomnya, Friedman menulis:

‘Secara personal, jika saya mempunya $100 juta untuk membangun sebuah masjid yang mempromosikan toleransi antar iman, saya tidak akan membangunnya di Manhattan. Saya akan membangunnya di Arab Saudi atau Pakistan. Disanalah tempat darimana 9/11 itu berasal, dan mereka adalah negara-negara yang mendukung versi Islam Sunni yang paling murni – sebuah versi yang menunjukkan toleransi yang sangat kecil tidak hanya terhadap agama lain tetapi juga aliran-aliran lain dalam Islam, khususnya Syiah, sufi, dan Islam Ahmadiyah. Anda bisa belajar Islam secara bebas di universitas mana saja di Amerika, tetapi Anda tidak mungkin membangun sekadar satu ruang gereja saja di Arab Saudi.’10

Pandangan Friedman ini, walaupun benar dalam menggambarkan sikap sebagian kelompok Islam Politik saat ini, namun terdapat beberapa hal yang janggal: pertama>, ia menggeneralisasi bahwa negara dan rakyat adalah sama; kedua, walaupun ia mengatakan bahwa kekerasan dan intoleransi itu adalah akibat pelaksanaan ‘the most puritanical version of Sunni Islam’ tapi secara tersirat ia mengatakan Islam itu sendiri mengandung bibit kekerasan dan intoleransi; dan ketiga, Friedman sama sekali mengabaikan kompleksitas dan, karena itu, menyederhanakan sejarah terbentuknya kelompok-kelompok Islam Politik atau rezim di Pakistan dan Arab Saudi yang menerapkan versi paling murni dari Islam Sunni tersebut. Jika saja Friedman membaca satu bab saja dari bukunya Kumar, maka ia bisa melihat bagaimana AS sangat berperan besar dalam mendidik, mendukung, dan membesarkan kelompok Islam Politik ini, dalam rangka strategi pengepungan global (containment strategy) melawan rezim atau kelompok nasionalisme radikal dan komunisme, baik di kawasan Timur Tengah sejak dekade 1950an dan terutama di front depan perang melawan Uni Sovyet di Pakistan dan Afghanistan akhir dekade 1970an dan selama dekade 1980an. Melalui simplifikasinya itu, Friedman tak perlu menjelaskan bahwa Arab Saudi dan Pakistan merupakan sekutu paling dekat dari Amerika Serikat selama beberapa dekade untuk mengeliminasi musuh-musuh politiknya sekaligus dalam melindungi kepentingan ekonomi dan politiknya di kawasan itu.

Friedman mungkin bisa berdalih bahwa tinjauan historis mengenai Islamofobia tidak cukup dituliskan dalam kolom pendeknya tersebut. Namun jelas ia lupa atau sengaja lupa bahwa Islam hasil konstruksinya itulah yang menyebabkan Islamofobia menyebar cepat dan luas. Yang juga dilupakan Friedman dan TNYT bahwa persepsi Islam sebagai the Others itulah yang ditangkap oleh Pamela Geller, salah satu proponen paling radikal dari kelompok neo-konservatif yang menolak proyek the Cordova House di Manhattan. Bagi Geller, yang juga diliput panjang oleh TNYT, ‘terorisme oleh umat Islam muncul bukan dari pemutarbalikkan atas Islam, melainkan berakar pada agama Islam itu sendiri.’11 Dan karena itu, menurut keyakinan Geller, yang menyebut dirinya sebagai seorang ‘racist-Islamophobic-anti-Muslim-bigot,’ pendirian masjid tersebut bukan hanya ‘melecehkan rakyat Amerika,’ tapi lebih dari itu merupakan perwujudan dari ‘dominasi dan ekspansi Islam.’12 ’Masjid itu adalah simbol dari penaklukan,’ ujar Islamophobik lainnya, Nick Chiarchiaro.13

Hal lain yang menonjol pada TNYT adalah penggunaan kategori ‘good and bad muslim’ dalam laporan-laporannya. TNYT tidak secara terbuka menyatakan bahwa Islam=Muslim=Terrorist. Bagi kolumnis tetap TNYT lainnya Maureen Dowd, ‘perang melawan teroris bukanlah perang melawan Islam.’ Menurutnya, perang melawan terorisme tidak akan pernah efektif jika itu berarti perang terhadap Islam.14 Karena itulah TNYT menolak dengan tegas cara-cara kalangan neo-konservatif yang membabi-buta menolak proyek pembangunan masji di area Ground Zero tersebut. Apa yang harus dilakukan saat ini adalah menyatakan bahwa ada ‘Good Muslim’ di samping yang ‘Bad/Evil Muslim.’ Yang ‘Good Muslim’ harus didukung, dijadikan teman, dan diberikan bantuan, sementara, yang ‘Bad Muslim’ karena ia adalah Evil harus diberantas hingga ke akar-akarnya.

Bagi kaum muslim sendiri, kategori ‘good and bad mulism’ ini membuat mereka harus bisa membuktikan dirinya di hadapan kalangan liberal Islamofobia. Dalam kasus Imam Feisal Abdul Rauf, ia berkali-kali mengatakan bahwa ‘Saya bukanlah seorang agen pemerintah, bahkan jika Anda mungkin tidak nenpercayainya. Saya, sekali lagi, bukanlah agen pemerintah. Saya seorang pejuang perdamaian.’ ‘Saya adalah seorang pendukung negara Israel.’15 Pada kesempatan lain, Imam Feisal mengatakan bahwa ‘ia bukanlah seorang politisi.’16

Masalahnya kemudian, apakah pernyataan dan juga pengakuan serupa dituntut untuk kalangan Kristen dan Yahudi di AS atau New York, ketika mereka akan membangun sebuah rumah peribadatan? Dalam konteks ini, maka TNYT telah memainkan peran, yang disebut Saeed sebagai ‘double-edged sword.’17 Pertama, kaum minoritas mendapatkan ruang liputan media yang terbatas, sehingga kehadirannya diabaikan atau tidak muncul ke permukaan; dan kedua, ketika media pada akhirnya meliput mereka maka yang muncul justru adalah konstruksi yang bersifat negatif. Dan karena media tidak hanya memiliki kemampuan untuk merepresentasikan fakta-fakta material tapi juga mengonstruksi realitas berdasarkan pada penafsiran atas realitas itu, maka diskursus tentang Islam dan Muslim sebagai the Others pada akhirnya menjadi diskursus publik yang hegemonik. Dan dari sanalah Islamofobia itu berkembang. Misalnya, Muslim dikonstruksi sebagai sebuah kelompok yang sulit mengintegrasikan dirinya dengan penduduk asli, kelompok yang lebih memprioritaskan keislamannya ketimbang sebagai warga negara dimana mereka tinggal, sumber dari munculnya aksi-aksi terorisme, dan sebagainya.

 

Penutup

Ketika Tembok Berlin runtuh pada awal dekade 1980an, banyak pihak berharap bahwa kini saatnya kita menikmati dunia yang lebih aman, lebih demokratis, dan lebih makmur secara ekonomi. Tak ada lagi Uni Sovyet, sebuah ‘Kekaisaran Setan/Evil Empire’ dengan ideologi komunismenya yang menakutkan. Apalagi Cina sudah juga bergeser ke arah sistem ekonomi pasar kapitalistik, sementara Kuba hanyalah noktah kecil di halaman belakang negeri Paman Sam. Tak di apa-apakan pun, negeri penghasil cerutu terbaik di dunia itu akan runtuh dengan sendirinya.

Namun, rupanya optimisme itu tak cukup lama bisa dinikmati. Kini kekaisaran Amerika menemukan musuh baru yang tak kalah kenyal, yakni Islam Politik. Ilmuwan politik Samuel Huntington, meminjam Lewis, lalu mendeklamasikan bahwa benar perang ideologi telah berakhir tetapi kini mucul perang yang lebih besar dan lebih mendasar lagi, yakni benturan peradaban, khususnya antara peradaban Barat dan peradaban Islam. Barat yang Kristen, demokratik, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, dan pluralis, berhadapan dengan peradaban Islam yang tertutup, anti-demokrasi, terbelakang, dan monolitik. Dan setelah peristiwa 11 September, ratusan buku, artikel jurnal, konferensi-konferensi akademik, dan liputan-liputan media massa berbicara tentang Islam dan Muslim.

Tetapi, dari sekian banyak publikasi itu tidak banyak yang melihat bagaimana kemunculan Islam Politik dan Islamofobia sebagai produk dari kapitalisme-neoliberal dengan kekaisaran AS sebagai pelopor dan penjaga utamanya. Umumnya kajian terhadap Islam Politik, misalnya, lebih menitikberatkan pada aspek ideologis, bahwa penyebab kemunculan kelompok itu akibat dari cara pembacaan yang dogmatik dan kaku terhadap teks-teks suci di kalangan Muslim, yakni Al-Quran dan Sunnah Rasul. Sehingga bentuk perlawanan pun dilakukan secara ideologis, melalui perang tafsir dan propaganda nilai-nilai keterbukaan dan pluralisme yang secara inheren diandaikan melekat pada Islam. Di sini problem kekinian dari Islam Politik dicari penjelasannya sekaligus solusinya pada masa-masa Islam perdana dan proses kanonisasi Al-Quran dan sunnah Rasul pasca wafatnya Muhammad. Di titik ini, maka baik kelompok Islam Politik maupun Islam moderat pada dasarnya memiliki kesamaan: sama-sama hendak menyelesaikan problem kekinian dengan kembali ke masa lampau.

Di lain pihak, beberapa kelompok Islam Politik, terutama Hizbut Tahrir, memang melihat bahwa Islam Politik dan Islamphobia merupakan proyek konspiratif AS, namun mereka gagal memberikan sebuah analisa yang mendalam dalam hubungannya dengan perkembangan kapitalisme-neoliberal. Akibatnya, analisa mereka terpaku pada hubungan partikular antara Islam Politik dan AS dan aliansinya, dan menjadikan AS dan aliansinya tersebut sebagai sasaran tembak aksi-aksi politiknya. Hizbut Tahrir memang menyingung soal kapitalisme dalam analisa-analisa mereka, tetapi kapitalisme yang mereka pahami terepresentasi pada Barat, lebih khusus lagi AS, sehingga tidak menjadi jelas apakah perlawanan mereka ditujukan pada kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi-politik tertentu yang bersifat universial atau ditujukan terhadap Barat sebagai entitas geografi, sosial, kultural, dan politik yang terbatas sekaligus beragam.

Dalam kelangkaan itu, buku Kumar dan Sheehi ini membantu kita untuk mengurai tali-temali hubungan antara kekaisaran AS dan kapitalisme-neoliberal dalam hubungannya dengan Islam Politik dan Islamofobia. Melalui kedua buku ini, kita diajak untuk memahami hubungan itu dalam kerangka yang bersifat holistik, kompleks, dan sadar sejarah. Kalaupun ada kelemahan dari kedua buku ini, adalah keduanya tidak memberikan rekomendasi-rekomendasi praktis tentang bagaimana sebaiknya melawan Islamofobia itu. Kumar hanya mengatakan bahwa ada dua cara untuk melawannya, pertama karena Islamofobia ini berkaitan dengan perang dan terorisme sekaligus, maka untuk melawan Islamofobia kita juga mesti melawan perang dan terorisme itu sendiri; kedua, Islamofobia ini juga berkaitan sangat erat dengan kemiskinan dan kemiskinan itu sendiri bukanlah problem yang menimpa umat Islam saja, tapi problem umat manusia dari segala ras, suku, dan bangsa di seluruh dunia saat ini. Sehingga itu, untuk melawan Islamofobia, umat Islam harus bekerjasama dengan rakyat miskin di negara-negara lainnya (Kumar, 199). Kalau kita lihat argumen Kumar bahwa Islamofobia merupakan produk dari imperialism AS, maka wajar jika ia mengajukan solusi ini. Sebab, tanpa perlawanan terhadap imperialisme baik di bidang politik-militer maupun ekonomi yang melahirkan kemiskinan itu sendiri, maka perlawanan terhadap Islamofobia menjadi tidak efektif, bahkan sia-sia. Sementara itu, bagi Sheehi, untuk bisa melawan Islamofobia maka kita harus mulai dengan membebaskan warga kulit hitam dan kulit berwarna lainnya, perempuan dan gay di AS. Hanya dengan cara itu, maka paradigma mendasar di balik sentimen Islamofobia ini bisa dihancurkan (Sheehi, 225).

Solusi-solusi yang bersifat umum ini tentu saja bukan tanpa masalah. Misalnya, siapa yang mesti memimpin perjuangan dalam aliansi luas itu? Kalangan Muslim mungkin bisa saja menerima perang melawan Islamofobia, tapi belum tentu bersepakat dengan agenda perang melawan terorisme, sejak mereka meyakini bahwa terorisme adalah proyek konspirasi Barat dan Yahudi untuk menghancurkan Islam. Atau mereka belum tentu sepakat dengan perang melawan kemiskinan, ketika kemiskinan itu didefinisikan sebagai konsekuensi logis dari penerapan kebijakan kapitalisme-neoliberal. Bagi mereka, politik kelas adalah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, karena Islam tidak mengenal adanya kelas-kelas dalam masyarakat, lebih-lebih mempraktekkannya. Demikian pula, dengan persoalan pembebasan perempuan dan gay, merupakan persoalan maha besar yang masih menghinggapi kalangan pergerakan Muslim yang moderat sekalipun. Khusus untuk kalangan Islam Politik, isu pembebasan perempuan dan gay malah merupakan isu yang ditolak karena dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Akibatnya, walaupun Islam Politik menentang Islamofobia, tetapi mereka sendiri sangat homophobik, patriarkal, dan anti-demokrasi dalam agenda-agenda sosial-politiknya.

Inilah tantangan yang harus kita carikan jalan keluarnya kini dan di masa depan untuk melawan Islamofobia yang merupakan senjata kulturalnya kapitalisme-neoliberal. ¶

 

*Penulis berterima kasih kepada Zacky Khairul Umam dan Iqra Anugrah atas komentar dan sarannya terhadap artikel ini. Namun, tanggung jawab sepenuhnya ada pada penulis.

 

1 Tomaž Mastnak “Western Hostility toward Muslims: A History of the Present,” in Andrew Shryock (ed.), Islamophobia/Islamophilia Beyond the Politics of Enemy and Friend, Indiana University Press, 2010, p. 29.

2 Chris Allen, Islamophobia, Ashgate Publishing Limited, 2010, p. 5.

3 College Dictionary, Random House Webster’s, 2001, p.995

4 Allen, p. 133-34.

5 Mastnak, p. 2.

6 Mastnak, p. 4.

7 Mohammed Ayoob, The Many Faces of Political Islam Religion and Politics in the Muslim World, The University of Michigan Press, USA, 2008, p. 1.

8 Sebenarnya sempat muncul bantahan mengenai adanya hubungan hubungan yang relatif damai di antara ketiga agama tersebut pada masa itu. Misalnya, para penulis Yahudi dan Zionis mengatakan, yang terjadi sebaliknya, pada masa Dinasti Ummayah tersebut kaum Yahudi diperlakukan sangat buruk oleh penguasa. Namun, studi yang dilakukan Mark R. Cohen dari Princeton Univeristy melalui bukunya Under Crescent and Cross: The Jews of the Middle Ages (1994), yang terbit lebih dahulu sebelum bukunya Menocal, mengakui bahwa antara Yahudi dan Islam pada saat itu hubungannya berlangsung damai, dimana penguasa Islam menoleransi aktivitas kaum Yahudi di segala lapisan sepanjang mereka tetap patuh pada penguasa, dalam arti tetap membayar pajak dan tidak melakukan pemberontakan. Bahkan, menurut Cohen, convivencia itu bukan hanya terjadi di kalangan intelektual dan seni seperti yang dikemukakan Menocal, melainkan dalam lapisan sosial yang lebih luas lagi. Artinya ada pluralisme tetapi bukan pluralisme dalam makna terjadi hubungan yang setara di antara kedua belah pihak. Tetapi dibandingkan dengan hubungan Kristen dan Yahudi, maka hubungan Islam dan Yahudi pada masa itu jauh lebih baik dan menguntungkan kaum Yahudi itu sendiri. Lihat ringkasan buku Cohen dalam makalahnya yang berjudul The ‘Convivencia’ of Jews and Muslims in the High Middle Ages, http://civicrm.wcfia.harvard.edu/sites/default/files/CohenMarc_0.pdf.

9 Kalimat ini merupakan masukan dari Zacky Khairul Umam.

10 Thoma L. Friedman, ‘Broadway and the Mosque,’ The New York Times, August 3, 2010, http://www.nytimes.com/2010/08/04/opinion/04friedman.html

11 Anne Barnard and Alan Feuer, ‘Outraged, and Outraged,’ The New York Times, August 8, 2010, http://www.nytimes.com/2010/10/10/nyregion/10geller.html?pagewanted=all

12 Ibid

13 Andy Newman, ‘At a Memorial Ceremony, Loss and Tension,’ The New York Times, September 11, 2010, http://www.cityroom.blogs.nytimes.com/2010/09/11/at-a-memorial-ceremony-loss-and-tension/

14 Maureen Dowd, ‘Our Mosque Madness,’ The New York Times, July 30, 2010 available at http://www.nytimes.com/2010/08/18/opinion/18dowd.html

15 See Barnard report, op.cit

16 See Tobin Harshaw, ‘Preaching About a Mosque,’ The New York Times, August 13, 2010, available at http://opinionator.blogs.nytimes.com/2010/08/13/preaching-about-a-mosque/

17 Amir Saeed, Media, Racism and Islamophobia: The Representation of Islam and

Muslims in the Media, Sociology Compass Volume I issue 2, Blackwell Publishing,

2007.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.