Menakar Peran Gerakan Kiri dalam Kejatuhan Morsi

Print Friendly, PDF & Email

Tanggapan Terhadap Sapto Waluyo

ARTIKEL saya yang berjudul Masa Depan Demokrasi Mesir,[1] mendapatkan tanggapan berharga dari Sapto Waluyo. Sebelum lanjut, saya ingin mengatakan tentang beberapa poin dari artikel itu yang tak perlu saya komentari karena ketidakjelasannya. Pertama, soal istilah Kiri Romantik. Saya tak tahu persis apakah ini istilah akademik atau semacam label untuk membuat pembaca tertarik membaca artikel tersebut; kedua, saya dianggap berlindung di balik tesis dua intelektual-revolusioner terkemuka Rosa Luxemburg dan Leon Trotsky. Lagi-lagi saya tak temui argumen yang solid pada bagian mana saya menggunakan tesis kedua sosok tersebut sebagai benteng pertahanan diri. Statemen ini lebih serupa tudingan ketimbang argumentasi. Dan ketiga, soal akurasi besaran angka demonstran yang tumplek di Tahrir Square, serta validitas jumlah penandatangan aksi petisi Tamarrod (pembangkangan). Saya lalu ingat tulisan Peter Hessler di majalah The New Yorker, yang juga bertanya hal senada dengan Waluyo. Hessler bertanya begini pada seorang organiser Tamarrod, ‘kenapa tidak ada ruang untuk nomor telepon dan alamat email dalam form isian sehingga kelak bisa membangun jaringan kerja aktivisme di masa depan?’ Si organizer lalu menjawab singkat, ‘kamu berharap saya menelpon 15 juta penandantangan ini?’[2]

Namun demikian, ada dua hal yang ingin saya tanggapi khusus. Pertama, soal kritik Waluyo atas cara pembacaan saya terhadap proses politik di Mesir yang berujung kejatuhan presiden Mohamed Morsi; dan kedua, soal saya sengaja menutup-nutupi peran gerakan kiri selama masa pergolakan revolusioner jilid I serta proses pemakzulan Morsi.

Cara pembacaan

Melalui artikelnya, Impase Politik Mesir: Kegamangan Kiri Romantik,[3] Waluyo menuduh saya, yang dikatakannya sebagai perwakilan Kiri Romantik, mendukung kudeta militer Mesir terhadap pemerintahan presiden Mohamed Morsi dari Partai Keadilan dan Persatuan (FJP), yang merupakan sayap politik dari Persaudaraan Muslim (Ikhwanul Muslimin/IM). Saya tidak tahu darimana atau bagaimana ceritanya hingga Waluyo tiba pada kesimpulan demikian.

Artikel saya sebenarnya bertujuan untuk menjelaskan kenapa Morsi jatuh dari kekuasaannya yang terpilih secara demokratis di sebuah negara yang demam revolusinya tengah berkobar. Tetapi rupanya Waluyo menganggap bahwa dengan menjelaskan sebab-sebab kejatuhan Morsi, yang kemudian ditelikung oleh kudeta militer itu, tak lain merupakan pembenaran atau pembiaran atas kudeta militer tersebut. Waluyo rupanya ingin agar saya tak perlu memberi penjelasan, tak usah mencari tahu sebab-sebab kenapa Morsi yang kekuasaannya baru seumur jagung itu didemonstrasi oleh puluhan juta rakyat Mesir. Usaha seperti itu, menurut Waluyo, adalah sia-sia, toh Morsi jatuh oleh kudeta militer. Yang paling penting bagi Waluyo adalah bagaimana sikap saya terhadap kudeta militer itu sendiri. Mendukung atau menolak? Berdiri di barisan pemerintahan yang sah (legitimate) atau berdiam serta berpihak pada kudeta militer?

Hal lain, bagi Waluyo, cara saya menjelaskan kenapa Morsi jatuh dianggap sebagai upaya menguliti IM. ‘Posisi IM sebagai salah satu aktor politik utama dikuliti habis, hingga visi ekonomi IM diadili tanpa riset memadai,’ begitu tulisnya. Waluyo benar, tapi ia melepaskan kritiknya itu dalam konteks pembahasan saya secara keseluruhan. Fakta-fakta yang saya kemukakan tentang IM ia anggap sebagai fakta yang terpisah dan acak dari proses politik yang ada, sementara saya memperlakukan fakta-fakta itu sebagai bagian dari keseluruhan proses politik yang berujung pada kejatuhan Morsi. Karena itu, kritik Waluyo ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari sikapnya yang menolak posisi teoritik saya seperti yang saya kemukakan di atas. Selain itu, kritik saya bahwa Morsi menjalankan kebijakan ekonomi yang tak banyak berbeda dengan rezim Hosni Mubarak, yakni kebijakan ekonomi neoliberal, tidak mendapatkan sanggahan yang serius. Bahkan, apa yang dijelaskan Waluyo soal program-program ekonomi Morsi, sebenarnya hanya memperkuat tesis saya.[4]

Jika sikap Waluyo ini kita ikuti, maka pelajaran apa yang bisa kita peroleh dari peristiwa yang sangat bersejarah dari revolusi Mesir saat ini? Jawabannya adalah tidak ada. Bagi Waluyo, yang penting, sekali lagi, apakah saya mendukung atau menolak kudeta militer terhadap Morsi. Posisi saya sudah begitu jelas, saya menolak kudeta militer tersebut tanpa syarat. Tapi, yang juga tak kalah penting buat saya adalah, mencari tahu kenapa Morsi jatuh, karena dari sana saya bisa menarik banyak pelajaran berharga bagi pembangunan gerakan anti kapitalisme-neoliberal di Indonesia. Dan dalam artikel itu, saya sebenarnya mencoba menjauh dari analisa yang bersifat simplistik dan reduksionis, dengan menempatkan kejatuhan Morsi itu dalam konteks perjuangan politik dan ekonomi pasca kejatuhan Mubarak. Artinya, kejatuhan Morsi itu tidak bisa dinisbatkan pada pertarungan politik semata di antara kekuatan-kekuatan politik yang ada, tapi juga oleh hambatan-hambatan struktural warisan rezim lama. Dalam konteks itu, menurut saya, Morsi  dan IM terlena dengan permainan kekuasaan politik dan gagal dalam mengatasi hambatan-hambatan struktural tersebut. Akibatnya, mereka memilih bersekutu dengan rezim lama, terutama militer (jenderal Abdel Fattah al-Sisi, yang ditunjuk Morsi sebagai Menteri Pertahanan, dikenal sebagai seorang pro-Islamis), sembari membalikkan pungunggnya dari kekuatan revolusioner yang menjatuhkan rezim Mubarak.

Morsi dan IM, terlalu percaya diri dengan koalisinya serta konsesi-konsesi politik ekonominya dengan militer, akibatnya lupa dengan sikap politik militer yang sangat pragmatis. Dari wawancaranya dengan aktivis-aktivis dan elite pimpinan IM di lapangan, Hessler mengatakan bagaimana mereka begitu percaya bahwa tentara akan berada di belakang presiden yang memenangkan pemilu secara demokratis.[5] Ilusi koalisi yang dibangun Morsi dan IM bersama militer itu membuatnya alpa bahwa militer pun pada akhirnya memisahkan diri dari Mubarak, ketika kekuasaan diktator tua itu tak bisa lagi dipertahankan akibat desakan massa yang sangat besar. Kenyataan pahit akibat kesalahan yang dilakukan Morsi dan elite IM ini yang tampaknya tak bisa diterima Waluyo. Akibatnya, Waluyo lebih suka melompat pada ending cerita bahwa Morsi jatuh karena dikudeta oleh militer dan kaum Kiri Romantik bersuka-cita atasnya.  Sebuah cara berpikir yang ahistoris dan apologetik.

Saya sendiri dalam artikel itu mengatakan bahwa kudeta militer tersebut bisa berlangsung, juga akibat lemahnya gerakan rakyat yang menentang pemerintahan Morsi. Saya katakan, ‘Sementara kekuatan rakyat, walaupun moral politiknya besar, tapi secara kelembagaan politik paling lemah: tidak punya kepemimpinan politik yang jelas, tidak punya struktur organisasi yang teratur dan luas, serta tidak memiliki program-program politik dan ekonomi alternatif yang solid. Akibatnya, pasca revolusi jilid I, kekuatan politik rakyat ini amat tidak siap dalam mengarungi pertarungan di medan elektoral. Mereka cukup puas telah sukses menjatuhkan Mubarak, tapi gelagapan ketika dihadapkan pada tantangan baru, demokrasi elektoral.’ Selanjutnya, di bagian lain dari artikel tersebut saya katakan, ‘Selama massa masih cair seperti saat ini, maka kemampuannya baru sampai pada menggulingkan fraksi kekuasaan yang tidak berpihak kepadanya untuk digantikan oleh fraksi kekuasaan yang lain. Gerakan rakyat sudah semestinya meninggalkan pola-pola gerakan yang tanpa kepemimpinan politik, organisasi, dan teoritik yang jelas jika mereka ingin menuntaskan revolusinya.’

Peran gerakan kiri dalam revolusi

Selanjutnya Waluyo mengatakan, ‘Diskursus revolusi di Mesir pada pada fase penumbangan diktator (2011) maupun fase kudeta (2013) tak mungkin dilepaskan dari peran gerakan Kiri (sosialis-Nasseris), karena itu tak bisa disederhanakan hanya sebagai pertarungan wacana Liberal vs Islamis. Coen sengaja menyimpan jejak aktivis Kiri agar terselamatkan dari perebutan kekuasaan temporal, sehingga dapat berlindung dalam tesis suci tentang revolusi genuin rakyat.’

Saya sebenarnya tidak bermaksud menyembunyikan peran aktif gerakan kiri dalam proses penumbangan diktator Mubarak pada 2011 dan demonstrasi massal melawan Morsi. Bahkan dalam dokumen-dokumen pergerakan yang kini bisa diakses melalui http://www.tahrirdocuments.org/, bagaimana gerakan kiri dan serikat buruh begitu aktif dalam memobilisasi aksi-aksi penentangan terhadap Mubarak. Seperti ditulis Philip Marfleet, ‘seluruh sektor kunci dalam industri Mesir terlibat dalam aksi-aksi menentang Mubarak: tekstil, baja, transportasi, buruh Terusan Suez, pegawai sipil, bahkan buruh pabrik yang dimiliki oleh militer.’[6] Namun walaupun sangat aktif, gerakan kiri hanyalah salah satu bagian dari banyak gerakan revolusioner saat itu. Yang pasti, IM baru turun gelanggang pada 28 Januari 2011 atau datang belakangan, saat gelombang revolusi sedang ada di puncaknya, ketika terdapat tanda-tanda nyata bahwa rezim Mubarak nafasnya telah di ujung tenggorokan.[7]

Demikian juga dalam aksi massa menentang Morsi, peran gerakan kiri, terutama serikat buruh, tak bisa dinafikan. Di tengah-tengah krisis ekonomi yang begitu buruk, Morsi malah meluncurkan rangkaian kebijakan pengetatan ekonomi sesuai anjuran IMF.  Di sisi lain, secara politik makin tampak bahwa program mendesak Morsi adalah mengonsolidasi kekuasaannya sendiri melalui kolaborasinya dengan militer.

Inilah yang menjadi pemicu utama berbagai aksi pemogokan buruh yang massif. Sebagaimana dicatat oleh the Egyptian Centre for Economic and Social Rights (ECESR) pada 2012, pemogokan buruh terjadi sebanyak 3,817 kali, Pada empat bulan pertama tahun 2013, jumlah pemogokan itu mencapai lebih dari 2.400 kali. Masih menurut ECESR, lebih dari 70 persen dari seluruh pemogokan yang terjadi pada 2012 berlangsung di masa pemerintahan Morsi, yang jika di rata-ratakan mencapai 450 kali pemogokan dan protes setiap bulannya antara Juli dan Desember. Sementara, antara Januari dan Maret 2013, pemogokan terjadi rata-rata sebanyak 800 kali di berbagai tempat terpisah setiap bulannya. Sebagian besar pemogokan itu menuntut kenaikan tingkat upah; sementara isu lainnya adalah keamanan kerja.[8]

Menariknya, aksi-aksi pemogokan ini berlangsung ketika gerakan rakyat lainnya belum lagi turun ke jalan-jalan. Sehingga bisa dikatakan bahwa aksi puluhan juta menuntut pemilihan presiden yang dipercepat itu, terinspirasi dari rangkaian gelombang pemogokan oleh puluhan ribu buruh Mesir ini. Apalagi, ketika Morsi dan IM menggunakan pendekatan represif dalam merespon pemogokan-pemogokan buruh tersebut, maka para aktivis kemudian mulai membangun jaringan perlawanan yang menghubungkan antara pabrik, komunitas, dan jalanan.

Pada saat yang sama, kekerasan sektarian di masa pemerintahan Morsi juga meningkat pesat dibanding masa rezim Mubarak. Mariz Tadros mencatat, jumlah kekerasan sektarian meningkat dari 45 pada 2010 menjadi 70 pada 2011, tahun ketika gerakan revolusi sukses menjatuhkan Mubarak. Pada 2012, angkanya melonjak lagi mencapai 112.[9] Selain itu, kekerasan seksual juga terus terjadi di era Morsi ini yang menyebabkan kaum perempuan juga terlibat aktif dalam aksi menuntut mundur Morsi.

Jadi Waluyo benar ketika ia mengatakan bahwa kelompok Kiri juga aktif terlibat dalam aksi penumbangan Mubarak dan kemudian Morsi. Tetapi, keterlibatan kaum Kiri dalam aksi Tamarrod itu bukan karena Morsi dan IM adalah representasi Islam Politik, sesuatu yang mungkin hendak dikesankan oleh Waluyo, tetapi lebih karena kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang ditempuh Morsi. Kaum kiri melihat bahwa aksi-aksi sektarian yang dilakukan oleh Morsi dan pendukungnya sebagai upaya untuk memecah-belah rakyat Mesir, dan mengalihkan perhatian mereka dari buruknya kebijakan-kebijakan ekonomi politik Morsi.

Penutup

Pasca kudeta, militer langsung bergerak cepat melakukan aksi-aksi penangkapan terhadap presiden Morsi dan para pemimpin IM lainnya.  Media-media milik IM juga diberangus. Di jalanan, pendukung Morsi secara aktif dan militan memobilisasi massa pendukungnya untuk menentang tindakan kudeta tersebut. Aksi-aksi ini kemudian dihadapi dengan represi brutal oleh militer. Puluhan orang mati tertembak peluru timah, dan ratusan lainnya menderita luka-luka. Demokrasi Mesir sedang menuju era kegelapannya. Sebagian besar memprediksi bahwa krisis ini tak akan berakhir segera karena IM, dengan pengalaman selama berpuluh tahun direpresi rezim, tak akan mudah ditundukkan dengan kekerasan militer.

Dalam situasi ini, dimana kaum kiri berpihak? Sebuah pernyataan politik yang dikeluarkan oleh Revolutionary Socialist[10] di Mesir, sebuah kelompok yang aktif dalam gerakan Tamarrod, patut diperhatikan. Menurut RS, tindakan represif militer terhadap pendukung IM atas nama kebebasan dan demokrasi adalah bohong belaka. Tindakan itu sejatinya untuk melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi dan politiknya yang terancam oleh gerakan massa. Oleh sebab itu, gerakan kiri tidak akan mengambil keuntungan sedikitpun dalam aksi brutal militer tersebut. Kaum kiri justru mengutuk tindakan brutal militer terhadap pendukung Morsi, sebagaimana mereka tidak akan melupakan bagaimana pendukung IM membunuh dan melukai para demonstran di Mokattam, Sidi Gaber di Alexandria, dan di El-Manial, Kairo.[11]

Posisi kaum kiri adalah terus mengorganisir dan memobilisasi massa rakyat di jalanan, di komunitas dan di tempat kerja, agar bisa melindungi dirinya sendiri. Sudah terbukti, baik di masa Mubarak, Morsi, dan kini rezim militer, rakyat selalu menjadi korban. Pada kekuatan rakyatlah, letak sesungguhnya kekuatan gerakan kiri. Jika gerakan kiri terpisah dari massa, maka ia tidak memiliki arti sama sekali.***

*Saya mengucapkan terima kasih kepada Iqra Anugrah  yang telah memberikan saran dan komentarnya terhadap artikel ini.

Coen Husain Pontoh, Editor IndoPROGRESS

[1] Coen Husain Pontoh, Masa Depan Demokrasi Mesir, https://indoprogress.com/masa-depan-demokrasi-mesir/

[2] Peter Hessler, ‘The Showdown Winners and Losers in Egypt’s ongoing revolution,’ The New Yorker, July 22, 2013, p. 27.

[3] Sapto Waluyo, Impase Politik Mesir: Kegamangan Kiri Romantik, https://indoprogress.com/impase-politik-mesir-kegamangan-kiri-romantik/

[4] Dalam soal kebijakan ekonomi Morsi ini, saya kira Waluyo tidak memahami dengan benar apa yang dimaksud dengan neoliberalisme atau lebih tepatnya kapitalisme-neoliberal. Ia mengartikan neoliberalisme sekadar anti AS, khas cara pandang kalangan Islam Politik selama ini. Lihat penggalan artikelnya ini: ‘Kesalahan Mursi mungkin adalah menerima pinjaman IMF sebesar $ 4,8 milyar. Hal itu dibesar-besarkan kelompok kiri Nasseris yang menggalang gerakan Tamarrud (pembangkangan). Padahal, pinjaman itu untuk memperkuat cadangan devisa. Padahal, di luar IMF, Mursi juga mendapat bantuan Qatar senilai $ 8 milyar dan pinjaman lunak dari Turki sebesar $ 2 milyar. Investasi memang sulit datang di tengah krisis politik, tapi kunjungan Mursi ke China (Agustus 2012) menghasilkan perjanjian investasi senilai $4,9 milyar. Bersama investor Korea, Mursi merintis pembangunan pabrik Samsung terbesar di kawasan Arab, di provinsi Bani Suweif, agar barang elektronik terjangkau masyarakat. Pembangunan pabrik otomotif nasional, komputer, hingga peralatan militer sudah masuk dalam program kabinet Mursi. Yang paling memukul Negara-negara Teluk penyokong kudeta adalah kebijakan Mursi merevitalisasi Terusan Suez, sehingga dalam satu tahun ditargetkan meningkatkan devisa hingga $100 milyar dari semula hanya $5,6 milyar. Hal itu tentu akan menekan ekonomi Uni Emirat dan Kuwait yang bersandar pada pelabuhan internasional.

[5] Salah satu yang diwawancara Hessler adalah juru bicara IM Gehad el-Haddad,  mengatakan, ‘There is no dialogue with el-Sisi. He is an arm of the state. He follows the leadership of his President, Mohamed Morsi.’ Ibid., p.29.

[6] Philip Marfleet, Egypt, The Workers Advance,’ International Socialism a quarterly journal of socialist theory, Issue: 139, http://www.isj.org.uk/index.php4?id=904&issue=139, diunduh pada 8/10/2013.

[7] Pembahasan mengapa IM datang ‘terlambat’ dalam peristiwa revolusioner itu, perlu mendapatkan perhatian lebih serius, yang bisa diperdebatkan di waktu yang lain.

[8] Lihat Marfleet, op.cit

[9] Mariz Tadros, ‘Copts Under Mursi Defiance in the Face of Denial,’ in Middle East Report, Summer 2013, Number 267, p. 23.

[10] Lihat Freedom is in the hands of the people, July 10, 2013, http://socialistworker.org/2013/07/10/freedom-in-the-peoples-hands

[11] Clashes in Cairo after Morsi Attack Palace Sit-in, http://thelede.blogs.nytimes.com/2012/12/05/clashes-in-cairo-after-morsi-supporters-attack-palace-sit-in/?_r=0, diunduh pada 8/11/2013.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.