Sebuah Percakapan dengan Titarubi

Print Friendly, PDF & Email

1 Maret 2013. Sebuah surel dari perupa Titarubi dikirim ke akun surel saya:

Dear Sita,

Sebelum menjawab pertanyaanmu yang memeras otak, aku mau cerita tentang karya terakhirku di Bangladesh.

Ketika aku tiba di kota berdebu itu, Dhaka tengah bergoncang dengan demonstrasi hebat. Menuntut hukuman mati bagi para tokoh-tokoh penjahat perang kemerdekaan 1971. Kebetulan tokoh-tokoh yang dituntut itu adalah para politikus jaringan fundamentalis Islam.

Di hari pertama, aku sudah berada di tengah demo karena berlangsung tepat di depan Museum Nasional, sebuah tempat pertama yang harus aku kunjungi untuk riset dan mencari ide buat karyaku. Seorang staf fotografer senior di Daily Star, yang juga seorang seniman foto dan kurator, mengantarku ke Museum tersebut dan mengajakku berkenalan dengan teman-temannya di taman depan Museum itu. Sebuah taman yang diduduki oleh para seniman dan jurnalis. Aku langsung menggelegak, ingatanku langsung tiba pada peristiwa-peristiwa semacam itu di Indonesia.

Sebelum berangkat, ketika aku minta ijin pada Joshua Oppenheimer untuk membuat screening The Act of Killing di Dhaka, Joshua minta aku bertanya soal pembantaian massal 1971. Karena itu aku mencari tahu sedikit soal-soal itu. Apa yang terjadi di Bangladesh 1971 mengingatkanku pada kasus Indonesia 1965. Kurang lebih sama tentang pembantaian massal jutaan orang dan pemerkosaan.

titarubi02

titarubi03

titarubi04

Aku jadi begitu ingin tahu apa yang menggerakkan orang-orang tersebut turun ke jalan dan menuntut keadilan.  Gairah mereka membuatku terenyuh dan menyentuh perasaan secara mendalam. Tiap kali mendengar mereka berteriak siang-malam, ataupun ketika membaca tentang bagaiman pembantaian massal dan pemerkosaan itu, aku menangis dalam hati. Begitu ingin memberikan sesuatu atau pun mendukung mereka, tetapi apa yang bisa aku lakukan? Aku tak punya apapun untuk diberikan. Pikiran dan perasaan itulah yang memberikan ide untuk menjadikan tubuhku sendiri sebagai sebuah pernyataan.

Berikut teks yang kutulis dan seorang teman menerjemahkannya  dalam bahasa Bengali untuk dibaca bersama-sama berulang-ulang:

“A Drop of Tear

If between 200,000 and 400,000 women were attacked…

If girl from the age of eight to grandmothers of seventy-five suffered attacks…

If an unknown number of women were gang-raped to death,

If executed after repeated violations…

If the abuses still going on…

If you still asking for sanctity of the hymen…

If…”

Ketika mereka membaca berulang-ulang, aku melipat kain-kain indah yang bertebaran  (seperti sari, batik dll). Ketika selesai kain dilipat, aku pun melompat menembus ke dalam kaca untuk memecahkan dinding yang tak terlihat, sebidang kaca ukuran 7 x 2 meter. Setelah menembus kaca dengan tubuhku, aku tersungkur, berdiri, dan aku melompat ke dinding terlihat—sebuah tembok bata dengan ukuran sama.

Mencoba untuk merobohkannya dengan tubuhku.

Tapi dinding terlalu keras dan sulit untuk dihancurkan hanya olehku.

Melihat kesulitan dan juga rasa sakit, dua teman perempuan bergabung tanpa `kuminta untuk membantu meruntuhkan dinding bersama-sama. Tetapi tubuh tiga perempuan tidak mampu merobohkan dinding itu.

Sementara aku sudah begitu kesakitan.

Lalu, kemudian banyak orang mulai berpartisipasi, turut serta merobohkan dinding, termasuk Kushi Kabir, seorang perempuan yang pernah mendapat nominasi Nobel Perdamaian tahun 2005.

Dan karena begitu banyak orang, maka dinding pun runtuh…

titarubi05

Salam hangat,

Titarubi

***

Apa yang disebut Titarubi sebagai pertanyaan-pertanyaan yang memeras otak itu sebetulnya adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan proses berkarya Titarubi dan juga zaman otoritarian Soeharto. Titarubi memang berkarya pada zaman itu pula dan ia pun pernah aktif dalam gerakan pembebasan dan peningkatan kesejahteraan tahanan dan aktivis Orde Baru. Tak hanya itu, ia pun akrab dengan beberapa aktivis kala itu. Selain itu, ada juga beberapa pertanyaan yang menyentuh isu-isu yang menarik perhatiannya dalam berkarya dan posisi perempuan dalam seni rupa.  Selang sebulan surel itu saya terima, pertanyaan-pertanyaan itu menemukan jawabannya dalam tatap muka kami.

Mbak Titarubi pernah aktif dalam gerakan pembebasan dan peningkatan kesejahteraan tahanan dan aktivis politik Orde Baru. Bisa dibagikan apa-apa saja yang dilakukan waktu itu?

Saat peristiwa perebutan kantor PDI, ada beberapa kawanku yang tertangkap. Aku tadinya pengen mengurus temanku. Aku ini sebenarnya cuma seniman yang kebetulan punya peduli dengan teman. Ternyata di situ ada banyak orang yang juga butuh diperhatikan. Aku turun. Begitu aja. Aku juga waktu itu kerjanya sendirian.

Tapi, karena ada yang lainnya, aku juga mengurus yang lain. Aku urus makannya, peralatan-peralatan yang mereka butuhkan. Termasuk mengurus saat mereka sakit. Bagaimana mereka dapat rumah sakit, mendapat kamar yang layak saat sakit. Supaya mereka tidak dirujuk ke rumah sakit yang dipilih kepolisian. Soalnya, di rumah sakit itu tahanan dijejerin kayak pindang, kadang-kadang diperiksanya lama, dan seterusnya. Mereka tidak mendapatkan perawatan yang layak.  Aku mengusahakan bagaimana kawan-kawan itu bisa dapat dokter dan perawatan yang layak. Itu tugasku. Aku dan beberapa kawan juga kadang menerima bantuan dana untuk tahanan. Dana yang diterima itu nanti dicatat, pengeluarannya juga dicatat, lalu dilaporkan ke yang memberi dana. Jadi, pekerjaanku waktu itu, muter dari satu penjara ke penjara lain, termasuk ke penjara perempuan. Tugasku itu menengok mereka di penjara, mencatat apa-apa yang mereka butuhkan, lalu mengusahakannya. Karena teman-teman ditahan di penjara yang berbeda-beda, jadi hampir full seminggu kerjaku seperti itu.

Aku juga menyiapkan baju, celana, sepatu atau sandal dari orang-orang untuk digunakan teman-teman yang kelar berdemo. Kenapa? Sebab seringnya, setelah selesai berdemo, pakaian mereka sudah robek-robek, alas kakinya sudah hilang. Tapi juga sebisaku. Yah, aku ini sekedar memberi dukungan pada kawan-kawan. Sebatas itu.

Jadi, sebetulnya aku tidak pernah tergabung dalam organisasi pergerakan apapun zaman itu. Aku bahkan tidak pernah ikut demo waktu itu. Tapi itu pilihanku. Sebab aku pikir juga perlu ada orang yang mengurus kebutuhan-kebutuhan mereka yang berdemo dan yang di penjara, mencarikan dana bagi teman-teman aktivisi yang membutuhkan.

Sejauh mana aktivitas itu mempengaruhi karya-karya Titarubi?

Dari persinggungan dengan teman-teman di gerakan itu, aku membuat beberapa karya. Salah satunya Missing & Silent. Karya itu lahir dari pengalamanku tentang teman-teman yang diculik.  Bahkan beberapa ada yang aku kenal secara langsung. Zaman dulu itu memang mengerikan sekali. Saat ini kamu berbincang dengan temanmu, pas kalian berpisah, temanmu itu tau-tau udah diculik. Saat jalan, orang bisa tiba-tiba diculik. Dan diculiknya bisa sama tentara, intel, atau Kopassus. Soal penculikan aktivis ini menurutku parah sekali sebab penculikan itu sebenarnya upaya pembusukan generasi. Kenapa? Sebab mereka yang diculik adalah mereka yang cerdas dan kritis, mereka adalah generasi yang penting bagi bangsa ini. Tapi mereka dihilangkan, beberapa bahkan tidak pernah kembali.

Dalam biografi di www.titarubi.com dituliskan bahwa yang menarik perhatian mbak Titarubi adalah isu-isu tentang tubuh, identitas, gender, dan kolonialisme. Mengapa?

Sebenarnya sampai sekarang , sama seperti yang kamu tanyakan, aku juga masih bertanya-tanya soal ketertarikanku dan kecenderunganku dalam berkarya. Kenapa sih aku mengangkat suatu tema? Tapi sejauh ini tampaknya tema-tema itu yang cenderung ada dalam karya-karyaku. Meski tidak menutup kemungkinan, besok-besok aku juga membuat karya dengan tema-tema yang lain. Untuk karya-karya tentang tubuh, identitas, dan gender, kamu bisa mendapatkan gambaran alasannya dalam Sepasang Sayap Pembebasan.

(Dalam Sepasang Sayap Pembebasan, Titarubi berbagi tentang pengalaman masa kecilnya, yang menurutnya memberikan pengaruh pada dasar pemikiran karya-karyanya. Titarubi mempersembahkan tulisan itu untuk ibunya. Di sana, Titarubi menggambarkan bagaimana ibunya yang seorang bidan membuatnya dekat dengan keperempuanan (vagina, janin, pengantar manusia pada kehidupan, dan kematian yang riskan dihadapi saat melahirkan bayi-bayi ke dunia). Tapi, di surau tempatnya mengaji, Rubi kecil mendengar hujatan-hujatan tentang perempuan sebagai makhluk yang paling berdosa dan yang akan paling banyak menghuni neraka. Tubuh perempuan, seolah-olah sudah ditakdirkan berdosa, apalagi jika melakukan tindakan yang berdosa. Tubuh perempuan, apalagi dalam usia akil balik, seperti sudah salah dengan sendirinya dan otomatis masuk neraka. Tubuh perempuan sepertinya adalah sumber runtuhnya keimanan seluruh umat manusia. Suatu hari Rubi kecil diminta ustadznya untuk melepaskan celana dalamnya, dengan dalih untuk menunjukkan di mana sebenarnya sumber dosa di tubuh perempuan. Merasa bingung, tidak nyaman, dan jijik dengan ustadznya itu, Rubi kecil diam-diam berhenti mengaji di surau itu. Hingga akhirnya, ia menemukan guru mengaji baru yang tidak pernah menghujat tubuh perempuan.*)

Kalau soal tema lain, misalnya kolonialisme, karena aku tertarik untuk mengkaji tentang kolonialisme. Sebab menurutku sampai sekarang pun kolonialisme itu sebenarnya masih ada, meski sudah tidak dengan senjata lagi kita dijajahnya.

Bagaimana pandangan Mbak Titarubi tentang perempuan dalam seni rupa Indonesia, khususnya dengan posisi Mbak sebagai seniman perempuan?

Soal ini, menurutku yang pertama harus dipertanyakan adalah apakah betul ada medium perempuan dan ada medium laki-laki dalam seni rupa? Apakah betul kalau perempuan menggambar bunga lalu laki-laki tidak? Tapi itu semua kan sebenarnya tidak terbukti. Karena ada juga perempuan yang bisa berkarya dengan medium yang selama ini, misalnya, dikatakan “medium laki-laki”. Tapi memang, ketika, misalnya, aku sebagai perempuan yang sedang hamil, saat berkarya, aku memang harus menghindari beberapa medium yang bisa membahayakan janinku. Maka, aku harus mencari medium-medium baru yang tidak membahayakan janinku dalam berkarya.

Nah sekarang posisi perempuan sebagai seniman. Sebenarnya perlu untuk melihat sesuatu yang lebih besar dari itu yakni posisi perempuan dalam industri, dalam hal ini buruh perempuan.  Buruh perempuan itu ada yang mendapat bayaran lebih murah karena dipandang mereka lebih rentan yang mana berkaitan dengan menstruasi dan kehamilan. Tapi justru karena mereka lebih murah, mereka jadi lebih banyak dipekerjakan. Apalagi buruh perempuan itu kan tidak mendapatkan tunjangan. Perusahaan gak peduli apakah suami mereka bekerja atau tidak, apakah secara ekonomi mereka tulang punggung keluarga, pokoknya gak ada tunjangan. Nah, sistem seperti itu meluas ke segala bidang, termasuk ke seni rupa. Dalam hal ini, hubungan seniman perempuan dengan galeri dan kolektor bisa dikatakan seperti hubungan perusahaan dan buruh perempuan. Ada diskriminasi di sana.

Pernah suatu waktu dosenku berkata, “Seniman perempuan itu tidak bisa dipercaya.” Kenapa tidak bisa dipercaya? Katanya, sebab sebagai perempuan, mereka rentan untuk jadi tidak produktif dalam berkarya saat mereka sudah berkeluarga. Mereka akan hamil, harus mengurus anak, rumah tangga, dan sebagainya. Jika kamu tidak produktif dalam berkarya, kemungkinan besar kamu tidak akan dikenal. Sebagai seniman yang tidak dikenal, tentu orang akan merasa mengoleksi karyamu jadi kurang berharga. Misalnya, orang tentu akan merasa berharga jika mengoleksi karya Picasso ketimbang karya siapa, misalnya Paijo. Dengan sendirinya kepala orang akan mengatur pandangan terhadap karya-karya itu.

Tapi, ketika mendengar pernyataan dosenku itu, aku langsung ingin membuktikan bahwa tidak benar seniman perempuan tidak bisa dipercaya. Apalagi dosenku itu orang Jerman, dia tidak tahu bagaimana rasanya jadi perempuan Indonesia. Pengalamanku sendiri saat berkarya ketika sudah berkeluarga, selain yang sudah kubilang soal harus mencari medium yang tidak membahayakan janin, aku juga mengalami ke-ribet-an lain. Contohnya, saat sedang berkarya dengan medium-medium yang berbahaya bagi kesehatan anak-anak, tiba-tiba anakku menangis. Aku harus cuci tangan, ganti baju. Dan itu butuh waktu. Sedang anakku sudah menangis histeris. Ribet sekali. Tapi, ya harus tetap dijalani. Makanya, menurutku, dalam konteks seperti itu, seniman perempuan memang menghadapi tantangan sendiri untuk membuktikan bahwa mereka bisa dipercaya, bahwa mereka tidak boleh didiskriminasi.

***

Sita Magfiraredaktur di www.mediasastra.com. Ia juga adalah mahasiswa Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

*Sumber http://titarubi.com/sepasang-sayap-pembebasan/. Disarikan oleh Sita.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.