Metode Membaca Capital

Print Friendly, PDF & Email

Judul buku: Following Marx Method, Critique, and Crisis
Penulis: Michael A. Lebowitz
Penerbit: Haymarket Book, Chicago, Illinois, 2009
Tebal: 367 h.

 

‘DAS KAPITAL,’ demikian tulis Friedrich Engels dalam Capital edisi bahasa Inggris, ‘di benua Eropa, sering disebut sebagai ‘the Bible of the working-class.’

Ironisnya, membaca mahakarya ini sungguh tidak mudah. Dan sepertinya ini disadari benar oleh Marx, sehingga ia mengatakan, ‘beginning are always difficult in all sciences’ (1990). Marx menambahkan, kesulitan membaca Capital itu makin bertambah, khususnya ketika membaca analisis tentang komoditi pada bagian pertama Capital Volume I. Ilmuwan politik Harry Cleaver menulis, kesulitan membaca Capital, khususnya bab pertama, bukan karena kompleksitasnya, tapi justru karena Marx melakukan banyak penyederhanaan di sana (Cleaver 2000).

Tetapi, Marx tentu saja tidak membiarkan pembacanya terpelanting ke sana-sini dalam membaca karyanya itu. Dalam Capital, ia secara tidak langsung memberikan petunjuk pada pembacanya, bagaimana harusnya membaca Capital dan apa perangkat ilmu yang tepat untuknya. Petunjuk itu ia sisipkan dalam catatan kaki untuk mengomentari filsuf Inggris Jeremy Bentham. Di sana  Marx mengatakan, ‘untuk mengetahui apa yang berguna buat seekor anjing, maka seseorang mesti menginvestigasi terlebih dahulu asal-usul anjing tersebut.‘ (1990:758).

Bagi yang menggeluti persoalan metodologi Marxis, pernyataan Marx ini memberikan pesan yang sangat jelas bahwa untuk bisa mengerti karya-karya Marx secara utuh, maka kita pertama-tama mesti mengetahui bagaimana metodologi pemikiran Marx itu sendiri. Dalam suratnya kepada Maurice Lachâtre, editor dari edisi I Capital berbahasa Prancis, Marx mengatakan bahwa ia memang menerapkan metode dialektika materialis ini dalam studi masalah-masalah ekonomi. Dengan demikian, jika kita ingin mengerti Capital dengan benar, maka tak ada cara lain, kita mesti mengerti dulu apa itu metode dialektika Marx. ‘Tetapi, untuk bisa mengerti  metode dialektika Marx,’ demikian Harvey (2010), ‘maka kita mesti membaca Capital keseluruhan karena di situlah sumber-sumber aktual praktis berada.’

Di sini kita dihadapkan pada problem ‘telur dan ayam,’ dan celakanya Marx tidak pernah merumuskan secara utuh metode dialektikanya. Yang kita tahu, ia sangat terinspirasi oleh Hegel, tapi sekaligus juga menyatakan perbedaannya yang signifikan dengan filsuf Jerman itu. Ini bukan berarti Marx tidak menyadari pentingnya sebuah rumusan yang utuh tentang metodologi, ia bahkan berjanji untuk menulis buku yang bisa menerangkan secara sederhana dan mudah tentang dialektikanya. Sayangnya, hingga kematian menjemputnya, ia tidak berkesempatan menuliskannya. Hasilnya, kita kini menjumpai begitu beragamnya penafsiran kaum Marxis terhadap metode dialektika Marx tersebut. Keragaman ini membuktikan satu hal, bahwa tuduhan kaum Marxis itu monolitik, dogmatik, anti keragaman, atau tak bisa berdebat secara akademis adalah keliru total.

Dalam membaca Capital, sangat terasa betul bagaimana kalangan Marxis begitu beragam cara pembacaannya. Ekonom Fred Moseley (1993), misalnya, mengatakan dalam literatur Marxian, terdapat  tiga penafsiran utama yang berlaku saat ini dalam metode membaca Capital. Pertama, penafsiran ‘logico-historical’ yang diusung pertama kali oleh Engels (1906) dan kemudian dikembangkan lebih jauh oleh sejarawan ekonomi Ronald Meek (1976); kedua, penafsiran ‘successive approximations’ yang pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Jerman Henryk Grossman (1929) dan kemudian diadopsi oleh ekonom Amerika Serikat, Paul M. Sweezy (1968); dan ketiga, penafsiran Sraffian yang berdasarkan pada teori produksi linear yang dikembangkan oleh ekonom Jepang Michio Morishima (1973) dan ekonom Inggris Ian Steedman. Penafsiran ketiga ini, menurut Moseley, yang paling banyak diadopsi dalam beberapa dekade terakhir. Ekonom Alfredo Saad-Filho (2002) menambahkan satu lagi model penafsiran yang disebut ‘new  dialectics,’ yang dipopulerkan oleh Christopher Arthur, Tony Smith dan Geert Reuten. Penafsiran kelompok ini, demikian Saad-Filho, terinspirasi dari karya-karya filsuf Hungaria Georg Lukacs. Dua buku yang disunting Fred Moseley,  yakni Marx’s Method in Capital (1993)  dan New Investigations of Marx’s Method (disunting bersama Martha Campbell, 1997), merupakan perwakilan terbaik dari kelompok new dialectics ini.

Berdasarkan metode dialektika materialis, perbedaan penafsiran itu juga berlaku ketika membahas satu tema atau seksi tertentu dalam Capital. Seperti ditunjukkan Saad-Filho, dalam membahas teori nilai (value theory), kalangan Marxis pada awalnya terbagi atas dua kelompok besar, yakni ‘traditional approach’ dan ‘Sraffian analysis.’  Kemudian, dalam perkembangannya muncul kritik terhadap kedua penafisiran ini pada dekade 1970an, yang  terinspirasi oleh penemuan karya ekonom-cum filsuf Rusia I.I. Rubin, yakni aliran ‘Value form theories (VFT).’ Kemudian pada awal dekade 1980an, muncul lagi sebuah penafsiran baru atas teori nilai yang dikembangkan secara independen oleh ekonom Prancis Gérard Duménil dan ekonom AS Duncan Foley, yang disebut penafsiran ‘new interpretation (NI).’ Tafsir NI ini selain terinspirasi oleh Rubin, juga terinspirasi oleh ekonom Marxis Prancis pendiri aliran  Regulasi (regulation school), Michael Aglietta. Dalam pembacaan terhadap teori Krisis Marx, kalangan Marxis juga terbagi ke dalam beberapa kubu, seperti kubu pendekatan konsumsi kurang (underconsumption/stagnation), pendekatan jatuhnya tingkat keuntungan (the falling rate of profit), pendekatan struktur sosial dari akumulasi (social structure of accumulation/SSA), dan pendekatan mengenai dampak dari persaingan internasional (foreign competition) (Pontoh, 2012). Daftar keragaman tafsir ini masih bisa diperpanjang, misalnya, dengan melihat debat panjang tentang asal mula kemunculan corak produksi kapitalis, yang terkenal dengan nama ‘Transition debate’ dan dilanjutkan oleh generasi setelahnya yang dikenal dengan julukan ‘The Brenner debate.’

Buku karya Michael A. Lebowitz ini, harus dibaca dalam konteks keragaman pemikiran dalam tradisi Marxis, khususnya berkaitan dengan soal ‘metode membaca Capital.’ Buku ini, sesuai dengan judulnya,  sebenarnya membahas  tiga tema besar, yakni tentang metode, kritik, dan krisis. Bagian pertama, yang terdiri dari lima bab, membahas tentang kritik ekonomi politik, khususnya terhadap kalangan ekonom neo-klasik, kaum Marxis Analitik, dan neo-Ricardian. Pada bagian kedua, ia mendiskusikan tema logika Capital. Di sini ia mulai membicarakan tentang metode. Pada bagian ketiga, ia membahas teori krisis. Bagian keempat, ia kembali ke topik tentang metode, dan pada bagian kelima, ia membahas tentang tema yang dianggapnya hilang dalam Capital. Bagian ini sebenarnya merupakan resume dari apa yang telah ditulisnya dalam bukunya yang monumental, yakni Beyond Capital: Marx’s Political Economy of the Working Class. Namun, sebagai buku kumpulan tulisan, pengikat utama buku ini adalah pembahasannya tentang metode Marx dalam membaca Capital. Karena itu, saya akan fokus pada bagaimana Lebowitz mengemukakan tesisnya tentang metode ini.

Marxisme sebagai Sains

Pada tahun 1966, dua ekonom Marxis AS terkemuka, Paul A. Baran dan Paul M. Sweezy, menulis sebuah buku yang dianggap sebagai terobosan baru dalam kajian Marxisme saat itu, yakni Monopoly Capital: An Essay on the American Economic and Social Order. Dalam buku yang telah menjadi klasik ini, keduanya mengemukakan keprihatinannya menyangkut semakin terkompartementalisasinya ilmu pengetahuan di universitas-universitas Amerika Serikat. Kompartementalisasi atau spesifikasi ini telah membuat para ilmuwan menjadi semakin ahli di bidangnya masing-masing, tapi sekaligus semakin kurang peduli dengan bidang lainnya.

Fakta ini membuat para ilmuwan AS berbeda total dengan para intelektual sebelumnya, yang memiliki kemampuan melampaui spesifikasi bidangnya. Meminjam Hegel, Baran dan Sweezy percaya bahwa kebenaran tidak bisa ditemukan pada bagian-bagian melainkan pada keseluruhan/the truth is the whole.’ Dan inilah yang membedakan ilmu Marxisme dengan non-Marxis, dimana Marxisme memberikan fokus analisanya pada tata sosial sebagai keseluruhan dan padanya melekat metodologi serta teori, atau lebih tepatnya pada sejumlah teori yang ingin menjelaskan bagaimana masyarakat ini bekerja dan ke mana arah perkembangan masyarakat tersebut.

Ekonom Ernest Mandel (1990) mengatakan, dengan digunakannya metode dialektika materialis, maka gejala atau fenomena ekonomi tidak dilihat secara terpisah satu sama lainnya dan sepotong-sepotong, melainkan dilihat pada hubungan dalamnya (inner connection) sebagai sebuah totalitas. Totalitas itulah yang dianalisis, dilihat hubungan-hubungannya sebagai keseluruhan, bagaimana hukum-hukum geraknya, serta kemunculan dan keruntuhannya. Pandangan bahwa masyarakat sebagai sebuah totalitas, ketimbang sebagai kumpulan dari individu-individu itu juga diamini oleh Lebowitz. Bagi Lebowitz, keseluruhan (wholly) adalah titik berangkat untuk menguji cacat (defects) dan ketidakcukupan (inadequacy) dari keseluruhan itu sendiri (h.105). Dalam bahasa Marx, ‘…keseluruhan itu bukanlah chaos melainkan sebuah ‘totalitas yang sangat kaya akan determinasi dan hubungan-hubungan’ (h.74). Dalam konteks masyarakat kapitalis, Lebowitz dalam bukunya yang lain The Socialist Alternative: Real Human Development (2010), kosakata keseluruhan ini muncul dalam rumusan bahwa ‘kapitalisme merupakan sebuah sistem yang organik,’ yakni sebuah sistem yang total, proses yang saling terhubung—sebagai sebuah ‘struktur masyarakat, dimana seluruh hubungannya saling berdampingan dan saling mendukung satu sama lain’ (2010, 17). Mengutip Marx, Lebowitz mengatakan,  totalitas adalah titik tertinggi untuk melihat keseluruhan fenomena (h.85).

Tetapi jika keseluruhan merupakan titik awal, lalu apa sesungguhnya titik awal dari keseluruhan itu? Di sini Lebowitz melihat bahwa bagi Marx titik awal itu adalah apa yang tampak dalam amatan panca indera kita sehari-hari untuk selanjutnya bergerak menuju ke lapisan lebih dalam untuk menguak esensi dari yang tampak itu. Posisi teoritis ini berdiri tegak di atas asumsi bahwa bentuk-bentuk yang hidup atau konten yang tampak itu berhubungan erat dengan isinya. Posisi Lebowitz ini seperti menggemakan kembali penyataan Rubin (1990) bahwa Marx di dalam karya-karyanya selalu berusaha melampaui apa yang tampak dari luar (outward appearance), atau yang sekadar menunjukkan hubungan eksternal (external connection), atau bahkan yang hanya berupa fenomena permukaan (surface of phenomena), untuk kemudian menuju pada sesuatu yang berkaitan dengan hubungan internal (internal connection), hubungan yang bersifat imanen (immanent connection), atau menelisik pada esensi benda-benda (the essence of things).

Pertanyaannya, bagaimana menjelaskan tautan antara yang tampak dan yang esensi itu, ketika sains semakin terkompartementalisasi di satu pihak, dan kita yakin bahwa yang benar itu adalah yang bisa dideteksi oleh panca indra? Menurut Lebowitz, di sinilah peran dari sains, yakni bagaimana menjelaskan kesenjangan antara yang tampak (appearances) dan yang esensi (essence) itu. Yang tampak itu adalah acak atau bahkan chaos, konsekuensinya kebenaran yang berhenti pada pengamatan atas yang tampak bersifat paradoks dengan yang esensinya. Karena itu, jika kita hanya berusaha menjelaskan fenomena-fenomena yang tampak, maka kita tidak sedang berurusan dengan sains, melainkan sedang berurusan dengan regularitas, dengan hukum yang sempit, tidak lengkap, dan menduga-duga. Matahari terbit dari timur dan tenggelam di Barat setiap harinya, dan dari regularitas ini kita bisa memprediksi bahwa besok, lusa, dan esoknya lagi, matahari akan selalu terbit dari timur dan tenggelam di Barat tanpa peduli atas proses nyata dari pergerakan itu. Hal lain yang bukan sains, kata Marx, jika kita meyakini bahwa pada apa yang tampak itu sekaligus merupakan esensi. ‘Seluruh sains menjadi tidak dibutuhkan jika bentuk yang tampak dari benda-benda bisa secara langsung berkesesuaian dengan esensinya’ (h. 70). Dengan kata lain, bagi Marx, ekonomi politik yang tidak bisa melampaui apa yang tampak maka ia bukan sains’ (h. 71). Dan Lebowitz mengklaim, jika kita gagal menjelaskan gap antara yang tampak dan yang esensi ini, maka kita tidak akan bisa memahami Capital (h. 70).

Dengan demikian tanpa sains kita tidak akan bisa memahami Capital, dan Capital itu sendiri merupakan contoh nyata bagaimana sains diterapkan dalam memahami cara kerja corak produksi kapitalis (capitalist mode of production). Marxisme adalah sains. Klaim ini tentu saja menakutkan banyak pihak mengingat selama beberapa dekade Marxisme sebagai sains telah dianggap sebagai biang dari keruntuhan atau kegagalan dari Marxisme itu sendiri, baik sebagai seperangkat alat analisa maupun sebagai proyek politik. Marxisme sebagai sains dianggap deterministik, teknologistik, dan dogmatik, karena menganggap bahwa perkembangan masyarakat berlangsung secara linier (garis lurus) dan niscaya adanya: dari masyarakat komunal primitif à masyarakat perbudakan à masyarakat feodal à masyarakat kapitalis à dan berujung pada masyarakat komunis. Marxisme sebagai sains telah menyebabkan berkembangnya fatalisme, dekadensi moral gerakan kelas pekerja, dan menjadikan teknologi sebagai panglima karena keyakinannya bahwa perkembangan revolusioner alat-alat produksi (means of  production) dengan sendirinya menyebabkan perkembangan revolusioner hubungan produksi (relations of production).

Melalui pembacaannya terhadap karya-karya Marx, sejak dari The Economic and Philosophical Manuscripts (atau dikenal juga sebagai Paris Manuscript), dan terutama Grundrisse dan Capital, Lebowitz meluruskan pemahaman keliru tentang Marxisme sebagai sains, yang ditancapkan ke dalam batok kepala pembaca Marx selama ini.

Momen-momen dalam Metode Marx

Kini, bagaimana presentasi metodologis untuk menjelaskan bahwa bentuk yang tampak itu berhubungan erat dengan esensinya? Menjawab ini, Lebowitz mengatakan bahwa terdapat empat momen dalam metode Marx:

Momen I, dimana Marx memulai dengan mengobservasi fenomena-fenomena konkret sehari-hari dalam masyarakat kapitalis. Apa yang paling terlihat nyata dalam kehidupan masyarakat kapitalis adalah jual-beli (pertukaran) barang-barang (komoditi) di pasar yang diperantarai oleh uang. Ada uang ada barang, ada barang ada uang, begitu seterusnya. Melalui pertukaran komoditi ini, sekaligus terjadi pertemuan antara orang-orang, sebagai pembeli dan penjual yang berlangsung secara setara. Inilah gambaran riil dari masyarakat kapitalis, tidak peduli latar belakang ekonomi, politik, sosial, budaya, ras, agama, dst. Itulah sebabnya mengapa Capital dimulai dengan pembahasan soal komoditi.

Dengan demikian, dalam praktek sehari-hari yang tampak di depan mata, aktivitas paling dominan dari masyarakat kapitalis itu adalah aktivitas pertukaran, beserta turunannya seperti distribusi dan konsumsi. Tidak aneh jika ekonomi politik kemudian memberikan fokus utama pada aktivitas pertukaran ini: studi tentang harga, kompetisi, tingkat keuntungan, tingkat bunga, perilaku konsumen, tindakan individu rasional, organisasi rumah tangga dam  perusahaan, hubungan negara dan pasar, dst. Ilmu politik pun kemudian melakukan abstraksi-abstraksi teoritik di atas landasan aktivitas ini.

Tetapi, seperti kata Marx, jika kita berhenti pada momen I ini, maka kita tidak sedang mengerjakan aktivitias saintifik, karena itu kita mesti melangkah pada Momen II, yakni bergerak dari konsep-konsep abstrak yang sederhana menuju pada konsep-konsep abstrak yang lebih kompleks (moving from simple abstract concepts to complex) untuk menggapai apa yang disebut Lebowitz sebagai totalitas pemikiran (totality of thoughts) (h.199). Prinsip utama dari momen II ini, menurut Lebowitz adalah kita tidak akan bisa memahami kapitalisme jika kita tidak bisa menunjukkan koneksi internal sebagai sebuah totalitas (h.200).

Untuk itu, Lebowitz mengatakan bahwa masyarakat kapitalis mesti dilihat sebagai sebuah sistem, sebagai sistem organik secara keseluruhan. Apa yang dimaksud dengan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang organik? Lebowitz memberikan jawabannya dalam bukunya (yang telah saya kutip di atas), bahwa titik awalnya adalah melihat sistem ini sebagai hubungan antara kapitalis (sebagai pemilik alat-alat produksi yang seluruh aktivitasnya didorong oleh motivasi untuk mengakumulasi kekayaan tanpa batas dan tidak terputus-putus) dengan buruh (yang tidak memiliki alat-alat produksi, yang untuk hidup harus menjual tenaga kerjanya kepada si kapitalis).

Aktivitasnya dimulai dari (1) kapitalis pergi ke pasar tenaga kerja untuk membeli buruh; (2) begitu buruhnya diperoleh maka ia memiliki hak untuk mengeksploitasi buruh tersebut dalam proses produksi guna mereguk keuntungan atau nilai lebih (surplus value).  Kita lihat proses ekstraksi nilai lebih ini berlangsung di sektor produksi di bawah hubungan produksi kapitalis. Tetapi, apa yang diinginkan kapitalis dalam proses ini bukanlah memperbanyak atau menumpuk komoditi sebanyak-banyaknya, tetapi membuat nilai lebih itu menjadi nyata, dalam bentuk uang. Melalui apa keinginan itu bisa direalisasikan? Tidak lain dengan menjual komoditi tersebut.

Jika penjualan komoditi ini berlangsung sukses, maka si kapitalis akan memperoleh keuntungan, mengonsumsi sebagian keuntungan tersebut, mengeluarkan bagian lainnya untuk membayar upah buruh, dan sebagian lainnya diinvestasikan kembali guna memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. Begitu seterusnya proses ini berlangsung tanpa henti. Sementara, bagi si buruh, suksesnya si kapitalis berarti hidupnya semakin tergantung pada proses jual-beli tenaga kerjanya, karena ia hanya memperoleh pendapatan dari upah yang diterimanya dari si kapitalis. Upah yang hanya cukup untuk membuatnya bertahan hidup untuk bekerja lagi pada keesokan harinya.

Jika kita membaca Capital, khususnya di bagian pertama tentang komoditi dan uang, maka terasa betul bagaimana pergerakan dari yang konkret ke yang esensi ini berlangsung. Setelah membahas komoditi, Marx membahas tentang Nilai, lalu menunjukkan bahwa komoditi adalah produk dari kerja abstrak dan kerja abstrak itu sendiri adalah refleksi dari kelas buruh. dan setelah itu ia membahas Bentuk Nilai untuk menjelaskan asal-usul uang yang merupakan penampakkan dari kerja abstrak. Pada momen II ini juga, Marx mau mengatakan bahwa walaupun produksi dan konsumsi itu saling berkaitan, tetapi esensi dari masyarakat kapitalis itu bukanlah aktivitas pertukaran, seperti yang kita lihat pada momen I, tetapi pada aktivitas produksi, yakni pada hubungan antara kelas kapitalis dan kelas buruh dalam proses produksi. Maju mundurnya dan mati hidupnya sistem ini, dengan demikian, sangat tergantung pada dinamika hubungan di antara kedua kelas ini. Dalam karya polemisnya terhadap Pierre Proudhon, The Poverty of Philosophy, Marx menulis:

Pada prinsipnya, tidak ada pertukaran produk, melainkan pertukaran kerja yang bekerjasama dalam produksi. Corak pertukaran produk tergantung pada corak pertukaran kekuatan produktif. Secara umum, bentuk pertukaran produk berkaitan dengan bentuk produksi. Ubah yang terakhir maka konsekuensinya, bentuk pertukaran pun akan berubah. Jadi, dalam sejarah masyarakat, kita lihat, corak pertukaran produksi diatur oleh corak yang memproduksinya. Pertukaran individual berkaitan juga dengan corak produksi tertentu yang pada dirinya sendiri, berhubungan dengan antagonisme kelas. Bisa dikatakan, tak ada pertukaran individual tanpa antagonisme kelas-kelas (1995:84).

Momen III, di sini Marx masih terus melanjutkan proses logikanya. Tujuannya bukan untuk menegakkan koneksi internal, karena hal itu telah diselesaikan dalam momen II melalui konstruksi tentang totalitas. Apa yang ingin dituju pada momen III ini adalah menunjukkan bagaimana totalitas tersebut muncul; menjelaskan tentang penampakkan tersebut, keberagamannya dalam bentuk nyata dimana yang esensi itu menjadi manifes (h.200). Di sini kita memasuki dunia nyata: tentang pasar dunia, kompetisi, keuntungan, tingkat keuntungan, sewa, aliran kapital, biaya produksi, tingkat bunga, dst, dunia dimana kapitalis tidak bertindak sebagai sebuah keseluruhan melainkan sebagai banyak kapitalis. Maksudnya begini, pada momen II ketika kita bicara kapitalis, kita membicarakannya sebagai sebuah kelas yang menguasai alat-alat produksi (termasuk tenaga kerja buruh) guna mengakumulai nilai lebih, sementara pada momen III ini kita bicara kapitalis sebagai individu, yang bersaing satu sama lain untuk mereguk keuntungan setinggi-tingginya.

Menurut Lebowitz, ketika kita telah memahami bukan hanya esensi dari kapital tapi juga bentuk-bentuknya, bukan hanya kenderungan-kencenderungan internalnya tapi juga bagaimana tendensi-tendensi itu muncul melalui aksi-aksinya yang nyata dari banyak kapitalis dalam kompetisi, maka kita telah berhasil memahami kapital dalam realitasnya (h.200).

Namun, momen III ternyata bukanlah titik akhir, karena ia masih merupakan sesuatu yang bersifat teoretikal, masih berada dalam kepala, kata Lebowitz. Konsep tentang yang nyata, yang riil, tetaplah konsep. Kalau meminjam bahasa aktivis galau, momen III ini muncul dalam kalimat, ‘payah lu, teori melulu. Teori tok, praktek dong, praktek!’ Jika berhenti di sini, maka Marx tidak berbeda dengan Hegel, padahal ia jelas-jelas mendeklarasikan bahwa metodenya tidak hanya berhadap-hadapan dengan metodenya Hegel, tetapi bahkan bertolak-belakang.

Di sinilah Lebowitz  menunjukkan bagaimana pergerakan sewaktu meninggalkan Hegel, bahwa yang riil atau yang konkret itu memang adalah objek yang berada di luar kepala kita, seperti yang kita temui pada momen I. Batu yang konkret itu bukan batu yang kita konstruksi dalam pikiran kita, tetapi batu yang membuat kita tersandung hingga jatuh berdarah karena berjalan tidak hati-hati. Dengan demikian, sangat perlu untuk menghubungkan antara konsep nyata yang ada di kepala itu dengan objek nyata yang di luar kepala. Atau yang konkret dalam pikiran (concrete in mind) mesti direkonsiliasikan dengan konkret yang nyata (real concrete, the objective concrete). Yang konkret dalam kepala itu mesti di tes dengan yang konkret di luar kepala. Analisa kita menjadi sangat kuat, solid, rigid, powerful, jika yang konkret dalam kepala itu berkesesuaian dengan yang konkret di luar kepala. Inilah tugas dari momen IV. Tapi mesti diingat, untuk mencapai momen IV ini kita tidak bisa mengambil jalan pintas. Dan jika kita telah mengikuti prosedur ini, barulah kita bisa mengerti makna dari Tesis XI Marx dalam Theses on Feuerbach, ‘Para filsuf hanya berusaha menafsirkan dunia dalam berbagai cara, padahal yang penting adalah bagaimana mengubahnya.’

Penutup

Pemaparan panjang lebar Lebowitz mengenai metode Marx dalam membaca Capital ini, sebenarnya bisa disingkat dalam dua aras yang saling berhubungan: pertama, metode ini bergerak dari persepsi yang nyata ke pemikiran yang abstrak (from living perception to abstract thought); dan kedua, arah memutar balik dari pemikiran abstrak kepada subyek, dunia nyata (from abstract thought to the subject, the real world).

Buku ini juga, menurut saya, memberikan sumbangan yang luar biasa besar untuk membantu kita mengerti salah satu karya intelektual yang mengubah dunia. Tanpa memahami Capital secara utuh,  maka pemahaman kita akan kapitalisme menjadi parsial, sobek di sana-sini, sehingga akibatnya aktivitas teoritik dan praktek politik kita tetap jalan di tempat. Bukan kapitalisme yang semakin kuat, tapi posisi kita yang justru semakin lemah. Buku ini membantu kita untuk berdiri tegak dengan posisi kuda-kuda yang kokoh.***

Coen Husain Pontoh, mahasiswa Ilmu Politik City University of New York (CUNY)

Bacaan tambahan:

Alfredo Saad-Filho, The Value of Moarx Political Economy for Contemporary Capitalism, Routledge, 2002.

Coen Husain Pontoh, Kontrol Buruh Dalam Lintasan Sejarah, Left Book Review, 27/08/2012, https://indoprogress.com/lbr/?p=28

David Harvey, A Companion to Marx’s Capital, Verso, 2010.

Fred Moseley (ed.). Marx’s Method in Capital A Reexamination, Humanities Press, NJ, 1993.
I.I. Rubin, Essays on Marx’s Theory of Value,  Black Rose Books, 1990.

Karl Marx, Capital Vol. I, Penguin Books, 1990.

————, The Poverty of Philosophy, Promotheus Books, 1985.

Michael A. Lebowitz, The Socialist Alternative Real Human Development, Monthly Review Press, 2010.

Paul A. Baran and Paul M. Sweezy, Monopoly Capital an essay on the american economic and social order, Monthly Review Press, 1966.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.