Iwak Peyek, Bang Haji, dan Gendjer-Gendjer

Print Friendly, PDF & Email

Oase-IPMARI bergoyang….

Asyiiik….

Goyang, Mang…Asohe…Ser… Ser….

Pernah heboh. Tahun 2003 muncul FPI (Front Pembela Inul), JI (Jamaah Inul), FBI (Fantasi Bokong Inul), CIA (Cintailah Inul apa Adanya) hingga RI (Republik Inul). Semua itu plesetan: saat goyang dangdut menjadi politis. Inul menjadi markah perlawanan terhadap kemapanan estetika warisan Orde Baru: sopan, lemah lembut dan anggun. Inul mencampakkan itu. Ia menampilkan bokongnya pada publik. Tentu banyak yang berang ketika kemapanan digoncang oleh goyong ngebor Inul.

Jadi, melawan tak melulu berhadapan dengan bedil dan bayonet. Ada bentuk perlawan yang lain. Salah satunya lewat dangdut.

Dangdut musik rakyat. Orang boleh mencibirnya kampungan, vulgar, erotis, seronok, dan tak tahu aturan. Yang pasti: buruh, tukang becak, sopir bajaj, pedagang asongan, tukang bakso, jambret hingga pelacur murahan tetap akan bergoyang.

Bahasa dangdut bahasa rakyat jelata. Iwak Peyek, misalnya. Silakan pantengi radio yang mempunyai program musik dangdut, Iwak Peyek ada di mana-mana. Ia lebih cepat menyebar dibandingkan berita-berita korupsi elit politik atau video mesum anggota dewan.

Liriknya tak jauh dari kenyataan hidup rakyat: makan nasi jagung dengan lauk iwak peyek. Ada sarkasme di sana. Di tengah punggawa negara dan partai yang dengan mudah mengeruk uang bertriliun-triliun, rakyat tetap makan dengan konco iwak peyek. Ketika ikon modernisme menyeruak di mana-mana dengan mencungulnya Mc Donald dan KFC, orang kebanyakan tetap makan nasi jagung. Ironi macam ini yang membuat Iwak Peyek bergegas menyebar.

Dangdut—sebagaimana kajian Andrew N. Weintraub dalam buku berkepala: Dangdut Stories; A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music—adalah rakyat itu sendiri. Rakyat oleh Andrew diperinci: rakyat kecil, rakyat jelata, rakyat jembel, golongan bawah, kaum marjinal, dan kelas menengah ke bawah. Pendeknya, dangdut memang bukan musik gedongan. Bisa dikata sebagai musik kelas pinggir jalan.

Tempat-tempat kemunculan dangdut memperlihatkan karekter pinggirannya. Awalnya berkembang di kawasan remang-remang seperti Bangunrejo (Surabaya), Planet Senen (Jakarta), dan Sunan Kuning (Semarang). Tempat-tempat itu jorok dan mesum. Tapi, di situlah dangdut berbiak menghidupi rakyat jelata. Di Planet Senen, misalnya, sebagaimana catatan Andrew: ‘Pemusik butuh uang, pelacur butuh uang, pemilik warung juga butuh ramai pengunjung. Sedangkan penonton butuh hiburan.’ Ada saling membutuhkan di lokasi itu. Masing-masing merasa senang. Sama-sama diuntungkan.

Memang pentas dangdut tak sekhusyuk seperti saat aktivis-aktivis kiri menyanyikan lagu Darah Juang dalam setiap kebaktian. Penggemar dangdut digambarkan beringas dan liar. Musiknya berisik. Penyanyi dangdut perempuan dicirikan seronok oleh estetika borjuasi dengan gambaran: memakai rok mini, sepatu bot sampai lutut serta riasan yang menor. Tapi, itulah rakyat pinggiran.

Oma Irama—Bang Haji—boleh dibenci. Namun sulit memungkiri, ia peletak dangdut modern. Karya-karyanya mulai dari Begadang, Darah Muda, Terserah Kita, Piano, Malam Terakhir, Syahdu, Judi, Gali Lobang Tutup Lobang sampai Rupiah, begitu digandrungi rakyat. Pentasnya bisa menggirang puluhan ribu penonton datang ke lapangan.

Menarik. Bang Haji punya konsep tentang musik. Baginya—berdasarkan urain Andrew—musik: ‘harus mampu membentuk masyarakat. Kita mau bikin merah, merah. Kita mau bikin putih, putih.’ Artinya, musik bagi Bang Haji merupakan sarana dakwah—propaganda dalam padangan kiri. Ada muatan politis di dalamnya. Seni bukan untuk seni, tapi untuk rakyat.

Agak mundur. Tahun 1960-an juga ada musik rakyat yang populer: Gendjer-Gendjer. Lagu ini dikembangkan oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dari musik daerah Banyuwangi. Sama dengan Iwak Peyek, lirik Gendjer-Gendjer bicara tentang orang-orang biasa. Ini penggalannya:

Setengah mateng dientas yo dienggo iwak—Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Sego sak piring sambel jeruk ring pelonco—Nasi sepiring sambal jeruk di dipan
Gendjer-gendjer dipangan musuhe sego—Gendjer-gendjer dimakan bersama nasi

Isinya tak ada yang wah. Sayuran bernama genjer yang dijual di pasar. Kemudian dijadikan lauk (iwak). Dimakan bersama sambal dan nasi. Biasa-biasa saja. Tak ada kalimat revolusioner dalam liriknya. Kata-kata seperti mereka tergusur dan lapar atau anak kurus tak sekolah atau bunda relakan darah juang kami, tak ditemukan di dalamnya. Tapi, justru ditakuti.

Njoto, salah satu petinggi Lekra, mengatakan: ‘Musik adalah sendjata, sendjata yang menggembleng barisan sendiri, memperkuat front dengan sekutu maupun mengobrak-abrik lawan….’ Sama dengan kosep Bang Haji: jangan pisahkan musik dengan politik.

Sekarang memang sulit menemukan lagu semacam Gendjer-Gendjer yang kala itu popular di kalangan keluarga komunis. Kalaupun ada lagu-lagu kiri, itu sebatas untuk sekte Tangan Kiri saja. Tak meluas pendengarnya. Hanya terbatas di lingkaran penganut ideologi merah. Biasanya, sebagai lagu sekte, selain dinyanyikan di acara-acara formal semacam demonstrasi, kadang juga diperdengarkan pada reuni aktivis kiri untuk mengenang masa kejayaaan yang telah lingsut. Lagu itu diharapkan bisa mengail ketrenyuhan sehingga bisa memancing dua tiga air mata luruh dari kelopaknya; sebagai bukti diri masih peduli dengan penderitaan rakyat.

Kini, orang di kota-kota boleh ribut tentang jadi tidaknya konser Lady Gaga. Tapi, rakyat jelata tak peduli. Bukan karena tak menyukai musik. Bisa jadi karena tiket mahal. Namun, bukan itu yang utama. Mereka cuek karena lirik lagu-lagu Lady Gaga tak ada sangkut pautnya dengan hidup mereka. Golongan bawah punya musik sendiri yang tetap akan berdendang di lapangan pinggir tempat pembuangan sampah, acara nikahan di gang-gang dengan diiringi orgen tunggal hingga tempat pelacuran di pinggir rel kereta api yang diputar dengan tape rongsokan.

Apapun keadaanya, rakyat jembel akan tetap bergoyang dan berjoget dengan lagu yang mengakar di jiwa mereka. Mungkin, ini sebab lagu Perjuangan dan Doa karya Bang Haji lebih populer di antara rakyat jelata dibandingkan lagu revolusioner semacam Darah Juang.***

Lereng Merapi. 23.05.2012

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.