Timor Leste dan Penyakit Mendongak ke Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

SEHARI sebelum pemilihan umum (Pemilu), Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, menulis sebuah kolom di harian The New York Times. Horta mencoba menjelaskan ‘kekalahannya’ dalam pemilihan pendahuluan. Dalam kolom yang bertajuk ‘Elections to Be Proud Of,’ Horta tidak menganggap kekalahannya sebagai kalah semata. Ia adalah juga kemenangan.

Horta menekankan betapa luar biasa perjalanan Timor Leste. Ia mengingatkan bahwa Timor Leste baru lepas dari pendudukan militer Indonesia satu dekade lampau. Kita tahu, selama 24 tahun masa pendudukan, merupakan bagian paling kelam sejarah Timor Leste. Hampir seperempat dari penduduk musnah akibat perang, entah karena terbunuh, kelaparan, atau terkena penyakit. Bahkan setelah kemerdekaan dicapai, Timor Leste masih dilanda kerusuhan sipil akibat percekcokan politik.

Namun bagian yang paling menarik dari kolom Horta adalah ini: ‘Timor Leste adalah negeri yang berbeda sekarang dibandingkan dengan sepuluh atau lima tahun yang lalu. Pertumbuhan ekonomi dua-digit membuatnya menjadi salah satu ekonomi terkuat di Asia. Angka pengangguran turun drastis, dan kami sedang menuju ke arah pencapaian 100 persen penduduk dewasa melek huruf pada 2015. Pada akhir 2014, seluruh negeri untuk pertama kalinya akan menikmati aliran listrik 24 jam, dan beberapa tahun kemudian, kami akan memiliki jaringan koneksi abad ke-21.’

Mungkin banyak yang ragu bahwa pernyataan Horta ini cenderung dibesar-besarkan. Namun, tidak dapat disangkal, dalam hal ekonomi, Timor Leste memang mengalami kemajuan yang signifikan. Pada 2009, misalnya, ekonomi Timor Leste tumbuh 12.9 persen. Memang ekonomi mereka dibangun karena berkah minyak dan gas, namun mereka berusaha memakai rejeki minyak ini dengan bijaksana. Mereka menciptakan Petroleum Fund (PF), yang pada 2010 sudah berjumlah $7 milyar. PF ini tumbuh rata-rata $100 juta setiap bulannya. Dengan PF mereka berusaha menciptakan anggaran pemerintahan yang berkelanjutan. Setiap tahun, sekitar $300 juta dana PF yang sustainable dipakai untuk anggaran pemerintahan. Harapannya, dana cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang pada akhirnya menggerakkan ekonomi.

Inilah cara terbaik untuk mengubah kutukan sumber daya alam (natural resources curse) yang umum dialami negara-negara kaya minyak dan sumber alam menjadi berkah yang berkelanjutan.

Timor Leste adalah negara kecil. Penduduknya hanya 1.2 juta jiwa. Mereka juga sangat miskin. Namun mereka berusaha untuk, paling tidak, membangun masyarakat yang berkecukupan. Saya membaca Rencana Pembangunan Strategis 20 Tahun mereka.

Saya cukup terkesan, karena penekanannya tidak semata-mata pada pertumbuhan ekonomi. Bab 2 dari rencana itu adalah pembangunan modal sosial (social capital). Mereka sungguh menekankan dimensi pendidikan dan melihat bahwa pendidikan adalah kunci untuk kemajuan dan peradaban.

Jika tidak ada aral, saya kira target-target pembangunan itu bisa dengan mudah dicapai. Bila Timor Leste berhasil mewujudkan rencana-rencana itu, Indonesia akan bertetangga dengan negara yang sejahtera (tidak kaya namun berkecukupan), sangat terdidik, dan bisa mencukupi diri sendiri. Mereka memang tidak berkelimpahan, namun semua orang bisa menikmati kue ekonomi. Ideal-ideal tersebut memang bisa runtuh karena konflik sosial, korupsi (yang sekarang sedang marak juga di sana), atau pertentangan antar elit.

***

Tidak banyak orang Indonesia yang mau memperhatikan Timor Leste. Apalagi belajar darinya. Umumnya, orang masih menyayangkan ‘lepasnya’ TL dari pangkuan ibu pertiwi. Orang Indonesia tidak peduli bahwa invasi dan aneksasi TL tahun 1975, telah menghasilkan penderitaan luar biasa. Jumlah orang yang terbunuh akibat invasi ini  bahkan tidak bisa disaingi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dulu menjajah Indonesia.
Padahal Timor Leste bisa menjadi cerminan bagi orang Indonesia. Khususnya untuk hal-hal yang menyangkut bagaimana negara Indonesia ini diatur dari Jakarta hingga ke daerah-daerah. Saya kira, jika Timor Leste berhasil bangkit kembali dan menata masyarakat dan ekonominya, ada hal-hal yang sangat pantas untuk dikuatirkan oleh para elit di Jakarta. Mengapa demikian?

Jawabannya sebenarnya sangat sederhana. Jika daerah-daerah bisa mengurus dirinya sendiri, mengelola apa yang mereka miliki sendiri, mengapa mereka harus tergantung pada elit-elit yang korup di Jakarta itu?

Saat masa pendudukan,  pemerintah RI selalu mengklaim sudah membangun Timor Leste habis-habisan. TL mendapat kucuran dana yang sangat besar. Infrastruktur  seperti jaringan jalan dan jembatan, sekolah, rumah sakit dan klinik, perkantoran untuk pemerintah dibangun dengan cepat. Selalu dikatakan bahwa penjajahan Portugal selama kurang lebih 400 tahun itu hanya menghasilkan beberapa kilometer jalan, segelintir sekolah, dan kemandegan di segala bidang. Pemerintah RI sering dengan bangga memperlihatkan jalan yang mulus, gedung perkantoran yang megah, dan tentu saja fasilitas keagamaan.

Namun satu hal yang tertinggal dan tidak pernah disebutkan sama sekali adalah orang Timor Leste sendiri. Hampir semua kebutuhan diimpor dari luar. Pegawai dan aparat keamanan, mayoritas adalah orang luar Timor Leste. Kontraktor-kontraktor pembangunan juga didatangkan dari luar. Selain, tentu saja, bahan-bahan untuk membangun.

Pengucuran dana besar-besaran diimbangi dengan arus dana keluar yang juga besar-besaran. Pegawai-pegawai mengirim gajinya ke daerah asal. Mereka memakai TL hanya sebagai pijakan untuk karir mereka di birokrasi. Kontraktor mengirim keuntungan keluar. Demikian juga pedagang-pedagang di sektor-sektor swasta. Yang tertinggal di TL hanyalah jalan dan jembatan yang dipakai sebagian besar oleh orang Indonesia atau sekolah-sekolah yang guru-gurunya juga diimpor dari luar, serta kantor-kantor megah yang diisi oleh pegawai negeri dari Indonesia, dan lain sebagainya.

Melihat keadaan itu, saya ingat, seorang pemimpin Timor Leste pernah berkata, ‘kami tidak butuh itu jalan atau jembatan!’ Dan orang-orang Indonesia mengecamnya sebagai ‘tidak tahu berterima kasih!’

Tidak terlalu sulit untuk membayangkan bahwa apa yang terjadi di Timor Leste satu atau dua dekade lampau, masih terjadi di daerah-daerah di Indonesia saat ini. Terutama di daerah-daerah pinggiran Indonesia seperti di Papua. Pemerintah Jakarta mengucurkan dana besar-besaran, hanya untuk secara diam-diam mengirimnya kembali ke luar. Ketika rakyat Papua memprotes keadaan ini, Jakarta mengirimkan tentara dan Brimob.

Hanya saja, sedikit berbeda dengan Timor Leste, Papua adalah daerah kaya raya. Jadi tidak ada alasan buat orang-orang Indonesia untuk mengatakan bahwa orang Papua tidak tahu berterima kasih. Yang kemudian berkembang adalah orang Papua ‘tidak mampu mengurus dirinya sendiri’ karena ‘SDM-nya rendah’ dan oleh karena itu harus dibimbing dan disadarkan. Bukankah logika yang sama dulu dipakai oleh pemerintah kolonial terhadap Indonesia?

***

Bahwa orang Indonesia tidak peduli dengan Timor Leste, tidaklah mengherankan. Dari sejak dulu, mereka memang memandang rendah bangsa ini. Sama seperti mereka juga memandang rendah orang Papua, misalnya. Tapi, saya kira, yang lebih patut diperhatikan adalah bagaimana para elit politik di daerah berhubungan dengan Jakarta. Dalam hal ini, tidak ada keinginan sedikitpun untuk belajar dari Timor Leste. Kemandirian dari Jakarta (tidak selalu berarti merdeka) akan jauh lebih menguntungkan rakyat lokal.

elit politik lokal di Indonesia selalu mendongak ke Jakarta. Itulah kenyataannya. Para elit lokal ini sangat tergantung dari Jakarta. Pemerintah pusat membeayai sekitar 90 persen dari biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan pemerintahan di daerah. Dari jumlah ini, sebagian besar dipakai untuk memberikan gaji kepada pegawai negeri – baik pegawai yang ditaruh oleh Jakarta di tingkat lokal atau pegawai pemerintah lokal itu sendiri.

Padahal, Jakarta mengumpulkan dana dari pajak dan royalty dari semua kegiatan ekonomi yang dilakukan di daerah-daerah. Untuk kalangan elit politik di daerah, Jakarta adalah ‘benevolent distributor’ dari kekayaan yang dikumpulkan dari berbagai daerah. Tidaklah mengherankan jika kemudian di daerah-daerah dikuasai oleh oligarkhi. Para oligarkh ini umumnya berasal dari lapisan elit dan keluarganya. Mereka berusaha menguasai semua lapisan pemerintahan, menjadi client dari pemerintahan pusat dan sekaligus memakai dana-dana yang diberikan Jakarta untuk memperbesar pengaruh politiknya.

Tidak terlalu heran jika pada setiap awal tahun anggaran, para oligarkh ini tampak di hotel-hotel mewah Jakarta untuk bertemu dengan politisi dan elit nasional lainnya. Mereka memberikan uang sogokan dan pelicin untuk turunnya ‘dana dari pusat’ yang lebih besar.

***

Penyakit mendongak ke Jakarta ini adalah penyakit struktural. Dan, aduh, kalau kita perhatikan, kalangan progresif di Indonesia kini pun terkena penyakit ini. Tidak ada aktivis progresif yang mau membangun basis di daerah, menciptakan organisasi, dan merebut kekuasaan di daerah. Ini karena daerah dianggap kurang bergengsi. Padahal, seperti di Timor Leste, ukuran yang lebih kecil justru menciptakan peluang untuk menciptakan hal-hal yang jauh lebih besar.

Jika saja ada kalangan muda progresif yang mampu merebut satu kabupaten dan melakukan ‘revolusi’ di kabupaten tersebut, niscaya Indonesia akan berwajah lain sama sekali. Program seperti pembuatan anggaranpartisipatif seperti yang dipraktekkan di Porto Allegre, Brasil, akan lebih mudah diterapkan di level lokal. Juga demokratisasi di segala bidang bisa diterapkan jauh lebih mudah pada skala lokal. Target-target kesejahteran seperti pendidikan, kesehatan, sanitasi, juga lebih mudah dicapai.

Yang terpenting dari itu semua, kalangan progresif akan mampu mengurangi pengaruh dari Jakarta. Pembiayaan untuk program-program kesejahteraan tersebut harus juga lahir dari bawah. Hanya dengan cara demikian, massa-rakyat tidak berada pada posisi hina sebagai penerima bantuan dari mereka yang berkuasa.

Golongan konservatif tahu persis akan hal ini. Mereka lebih dahulu terjun ke daerah-daerah. Namun, untungnya, yang mereka lakukan adalah memberikan kepada rakyat aturan-aturan keagamaan. Kita melihat bahwa peraturan daerah-peraturan daerah berbau keagamaan (macam perda Syariah) marak di daerah-daerah. Dalam hal ini, golongan konservatif ini berkolusi dengan para para oligarkhh di daerah-daerah. Ini pun sebenarnya peluang bagi kaum progresif untuk merumuskan agenda politik dan ekonomi yang benar-benar berasal dari massa-rakyat.

Sesekali, kita perlu menengok pada tetangga kita yang kecil namun gagah berani itu. Kebetulan, beberapa hari lalu Timor Leste merayakan kemerdekaannya ke-10. Viva Timor Leste!***

* Tafara Siak adalah nama diberikan oleh Resistencia Nacional Dos Estudantes De Timor Leste(Renetil), kepada seorang Indonesia yang bersimpati pada perjuangan Timor Leste pada masa pendudukan.

Tafara Siak, pengamat politik independen

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.