Berdamai dari Bawah

Print Friendly, PDF & Email

SUATU hari di tahun 1998 Khatijah binti Amin melihat air laut berwarna merah. Barangkali itu hanya pengaruh ganggang atau pantulan cahaya matahari sore. Tapi dalam keadaan tertekan, dia tidak sempat memikirkan hal semacam itu. Rumah tahanan tempat dia disekap berada dekat laut. Dia merasa hidupnya tak lagi lama. Laut sewarna darah itu dianggapnya pertanda maut.

Jarang sekali ada tahanan yang keluar dalam keadaan hidup dari kekejaman penyiksaan di Rancung, Pidie. Tapi Khatijah dikaruniai umur panjang. Satu setengah bulan kemudian dia bebas. Setelah itu dia ditangkap lagi dan ditahan di Rumoh Geudong, di Teupin Raya.

Dia mengalami kekerasan fisik selama di situ, dipukuli dengan tongkat kayu. Dia menyaksikan orang-orang disiksa lebih hebat. Penderitaannya masih belum seberapa dibanding mereka. “Di sana saya mengaji terus. Tamat Alquran dalam 15 hari,” kenang Khatijah. Temannya diperkosa.

Suami Khatijah, Tengku Harun alias Abu Muslimin, adalah salah satu anggota pasukan pertama Hasan Tiro, sang pencetus Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada 4 Desember 1976, Tiro mendeklarasikan perang terhadap negara Indonesia untuk kemerdekaan Aceh. Indonesia membalas deklarasi itu dengan mengirim pasukan bersenjata ke Aceh. Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadikan Khatijah sebagai sasaran, karena mereka tidak berhasil menangkap Tengku Harun.

Tidak kali itu saja Khatijah jadi saksi sejarah kekerasan di Aceh. Ketika masih kanak-kanak, dia melihat rumah ulee balang atau bangsawan Aceh dibakar. Para ulee balang dan keluarganya dibunuh, begitu pula orang-orang yang dianggap dekat dengan mereka. “Imam masjid kampung juga dibunuh, karena dekat dengan Ampon Puteh,” katanya, dalam bahasa Aceh. Ampon Puteh atau Tengku Puteh adalah ulee balang terkenal di kampungnya. “Dia berkuasa,” lanjut Khatijah. Ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh atau PUSA memimpin gerakan berdarah itu dan bertekad mengakhiri kekuasaan ulee balang yang mereka anggap sebagai kaki tangan penjajah kolonial Belanda. PUSA mendukung negara Indonesia. Revolusi sosial ini berlangsung pada 1946 dan dinamai Perang Cumbok atau Perang Ulee Balang.

Pada 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani perjanjian damai di Helsinki, Finlandia. Suami dan tiga anak laki-laki Khatijah yang ikut GAM pun kembali ke rumah.

Tapi Khatijah belum dapat menghilangkan rasa marahnya terhadap orang-orang yang menyiksanya dulu.

“Hati saya masih merah. Sesadis itu mereka lakukan, bagaimana mereka aniaya saya, begitulah Allah membalasnya,” katanya. Dia merasa tidak mungkin menuntut hukuman bagi mereka di dunia ini, sehingga dia menyerahkan pengadilan itu kepada Tuhan. Beberapa orang yang pernah menyiksanya bahkan sudah meninggal.

Usianya kini sekitar 73 tahun. Dia duduk di tikar pandan, di ruang tamu rumahnya di Teupin Raya. Tidak ada perabotan apa pun di ruang itu, kecuali sehelai tikar yang digelar untuk tamu yang datang. Khatijah berjilbab hitam, mengenakan setelan blus lengan pendek dan kain sarung sore itu, 2 Agustus 2011.

Pengalaman selama ditahan juga memberinya pengetahuan lain tentang konflik.

“Cuak (mata-mata) yang terdiri dari orang Aceh sendiri sering lebih kejam dari tentara Indonesia,” katanya. Salah seorang dari mereka bahkan saudara sepupu Khatijah.

“Pudin namanya. Dulu dia ikut GAM, ditangkap lalu jadi cuak,” tuturnya.

Salah seorang cuak legendaris di Teupin Raya bernama Raja. “Dia membunuh ayahnya sendiri di Rumoh Geudong,” lanjutnya.

Dia tidak yakin perdamaian di Aceh akan berlangsung selamanya.

“Damai itu sementara. Damai itu untuk menghindari ribut-ribut. Kalau sudah merdeka Aceh, barulah kita benar-benar damai,” ujar Khatijah.

 

SOROT matanya hangat. Gigi-giginya yang kurang rapi dan rusak setengahnya tampak jelas saat mulutnya berkali-kali terbuka. Nurhaida bercerita sambil tertawa, meski isi ceritanya bukan hal-hal lucu. Dia mengenakan setelan jilbab dan daster batik berlengan pendek. “Saya juga biasa dipanggil Kak Baek,” katanya, saat mengenalkan diri.

Sore itu Nurhaida tengah menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Ketiga anak laki-lakinya akan berbuka puasa bersamanya. Dua orang sudah berumah tangga, juga membawa serta istri dan anak mereka.

Rumah Nurhaida bergaya panggung, terbuat dari kayu. Di lantai bawah ada satu ruang yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Tak ada meja kursi di situ, kecuali sehelai tikar yang sudah tipis dan usang, sementara di salah satu sudutnya menggeletak pakaian cucu Nurhaida yang kelihatannya bekas dipakai. Ibunda Nurhaida yang sudah berusia 84 tahun berbaring di ruang 2 x 3 meter persegi itu, beralas tikar. Dia kelihatan sehat dan tidak pikun. Ketika Nurhaida lupa tahun kelahiran almarhum suaminya, dia bertanya dalam bahasa Aceh pada sang Ibu, “Mak, tahun berapa Abang lahir?” Ibunya menjawab cepat, “Tahun 1954.”

Tepat di sebelah rumah ini dulu berdiri Rumoh Geudong, tempat penyekapan dan penyiksaan yang terkenal di masa Aceh berstatus Daerah Operasi Militer atau DOM. Rumoh Geudong jadi pos Komando Pasukan Khusus sejak 1990 sampai 1998, terletak di desa Billie Aron, Teupin Raya. Sekarang hanya fondasi dan cabikan tembok betonnya yang tersisa.

Pada Agustus 1998 sejumlah warga tiba-tiba membakarnya. Bukti-bukti kejahatan pun hilang. Rumput dan semak tumbuh subur di halaman, dengan sejumlah pohon yang masih tegak di sana-sini.

“Suami saya meninggal, karena sakit. Sakitnya tak jelas. Selama setahun. Tiga hari di rumah sakit langsung meninggal. Dokter juga tidak tahu apa penyakitnya. Tapi menurut saya dia stres, karena mendengar teriakan orang-orang yang disiksa setiap hari dan melihat orang-orang dipukul atau disiksa di halaman. Abang lebih nggak tahan mendengar dan melihat semacam itu dibanding saya,” tutur Nurhaida, dalam bahasa Aceh.

Dia pernah melihat orang ditelanjangi dan diikat di pohon pisang dengan kepala ditutupi plastik selama berhari-hari. “Laki-laki. Akhirnya orang itu meninggal,” katanya, lalu tercenung.

“Teriakan kesakitan dan minta tolong itu terdengar setiap hari mulai jam sembilan malam sampai jam tiga pagi. Di tahun 1998, penyiksaan terjadi setiap hari, lebih dari masa sebelumnya,” tukas Sanusi, salah seorang anaknya.

“Sedih melihat manusia diperlakukan seperti itu. Rasanya ingin menolong, tapi nanti nyawa kita terancam. Mendiamkan, tapi hati rasanya sedih sekali, sangat sedih. Teganya manusia berbuat begitu pada sesama,” kata Sanusi, lirih.

Menurut Sanusi, para penyiksa yang kejam justru orang-orang Aceh sendiri. Dia menyebut nama salah satunya, Raja.

“Rok saya begini,” kata Nurhaida, memperagakan rok yang melorot.

“Kenapa?” tanya saya, cemas.

“Kurus!” tukas Sanusi.

“Ya, gara-gara itu saya kurus,” kata Nurhaida, dengan kalimat lebih lengkap, diiring tawa.

Kegiatan masak-memasak dalam rumah tangganya ikut terganggu. Suaminya jarang menemukan lauk-pauk di rumah, kecuali nasi. Tiap kali mendengar suara orang berteriak kesakitan atau minta tolong dari sebelah rumahnya, Nurhaida langsung berhenti memasak dan pergi. Suaminya sudah maklum.

Dia benar-benar senang mendengar kabar perdamaian. “Tidak mau lagi semua itu terulang. Kami tidak tahu apa-apa. Meski tidak jadi korban langsung, kami juga menderita. Dulu untuk pergi ke depan sana saja sangat takut melewati dan menoleh ke rumah itu. Kini setelah damai, orang bebas ke mana saja,” tuturnya.

 

DI PONDOK Sayur, satu kecamatan di Bener Meriah, malam Rabu pernah jadi malam yang tidak diharapkan datang. Tapi tidak mungkin menghapus sebuah malam dalam kalender di kehidupan nyata. Akibatnya, tiap kali malam Rabu menjelang, orang-orang selalu was-was dan menyiapkan diri menghadapi bahaya.

“Seperti sudah diatur. Hari pembakaran itu malam Rabu,” ujar Saliza binti Jafar.

“Tiap kali akan ada pembakaran, ada geluduk,” sahut Beniati binti Samkari.

“Tapi selain malam Rabu, kadang malam Sabtu juga ada kejadian,” kata Zubaidah binti Bacah.

Suara tawa terdengar dalam ruang tamu kantor Kelompok Perempuan Cinta Damai atau KPCD ketika membicarakan hari-hari khusus di masa konflik dulu.

Kecamatan Pondok Sayur, Bener Meriah, Aceh Tengah, berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari rumah Khatijah binti Amin di Teupin Raya, Pidie. Hawa panas kota pesisir telah berganti sejuk pegunungan. Bener Meriah disebut juga Dataran Tinggi Gayo. Banyak kebun kopi di sini. Mata pencarian warga kebanyakan bersumber pada perkebunan kopi itu. Selain terkenal dengan kopinya, Bener Meriah kaya dengan sayur-mayur dan bermacam buah.

Di tepi jalan raya Pondok Sayur, jalan yang cukup ramai lalu-lintasnya, ada satu rumah bertingkat dua yang sederhana. Dinding-dindingnya terbuat dari papan yang dicat putih, tapi di beberapa bagian telah luntur warnanya akibat cuaca.

Rumah ini adalah kantor KPCD. Lima perempuan berjilbab duduk berkumpul di ruang tamu, termasuk Saliza, Beniati dan Zubaidah. Mereka anggota KPCD. Mereka sedang berbagi cerita dengan tamu yang datang siang itu.

Zubaidah teringat pengalamannya di tahun 2000. Bus yang ditumpanginya dicegat sejumlah pemuda di jalan antara Bireuen dan Banda Aceh. Seluruh penumpang diminta turun. Sopir bus ditahan. Bus dibakar.

Dia tidak mengerti sebabnya.

Saliza menukas, “Di awal konflik, saya mendengar orang membenci suku Jawa. Suku Jawa itu disuruh pergi. Ada selebaran yang ditempel di mana-mana, termasuk di masjid. Isinya, seruan agar orang Jawa pergi dalam waktu 1×24 jam.”

Zubaidah dan Saliza adalah orang Aceh, tapi tidak luput dari kebencian tersebut.

Di masa itu Saliza kehilangan ayahnya.

“Ayah saya ditembak ketika sedang mengambil wudhu di masjid, karena dituduh jadi mata-mata TNI,” tuturnya.

Bagi GAM, TNI identik dengan suku Jawa atau orang-orang dari Jawa.

Orang-orang Jawa datang ke Dataran Tinggi Gayo sebagai transmigran di masa pemerintah Soeharto. Tapi jauh sebelumnya, di masa kolonial Belanda, orang-orang Jawa telah didatangkan ke Aceh Tengah untuk menjadi kuli di perkebunan-perkebunan. Mereka kemudian berkembang biak dan tempat yang baru itu jadi kampung halaman. Pemerintah Soeharto menganggap program transmigrasi adalah cara yang tepat untuk mengatasi populasi warga yang terus meningkat di Pulau Jawa. Tapi kelak program tadi dihubungkan dengan politik demografi Soeharto, yang disebut “Jawanisasi”. Hasan Tiro pun mencetuskan perlawanan terhadap apa yang dikatakannya sebagai “kolonialisme Jawa” .

Konflik menghancurkan hubungan antar warga yang tadinya hangat. Orang-orang saling curiga satu sama lain.

“Kalau ada rumah dibakar rumah orang Jawa, maka yang dituduh orang Aceh dan Gayo. Kalau rumah orang Aceh atau Gayo dibakar, disangka pembakarnya orang Jawa. Tapi pelaku sebenarnya tidak jelas,” kata Zubaidah.

“Sebelum konflik memanas, antar tetangga berbeda suku saling akrab, itu sebelum tahun 1998. Kebersamaan ini diobrak-abrik konflik kemarin,” kata Beniati.

Sepanjang tahun 2001 banyak orang mengungsi ke luar kampung.

“Mobil-mobil dan manusia terus bergerak ke pengungsian, terus-menerus selama 24 jam,” kata Beniati. Dia orang Jawa dan generasi ketiga dalam keluarganya yang tinggal di sini. Beniati bahkan tidak pernah pulang ke Jawa dan tidak tahu kampung halaman lain selain tempat dia dilahirkan di sini.

Marhamah binti Muhammad Kasim menyambung cerita Beniati, “Kami tinggal di sekitar Danau Laut Tawar. Kalau di situ memang nggak ada campuran etnis, kita Gayo saja, Gayo asli, tapi di situ pun ada kertas yang ditempel di mana-mana. Isinya ‘Tidurlah Lebih Nyenyak, Makanlah Kamu Lebih Kenyang, Besok Pagi Kamu Sudah Tidak Ada.’ Orangtua saya memperoleh kertas itu. Kebetulan waktu itu Pemilu (pemilihan umum), dan bapak saya kebetulan panitia untuk Partai Golkar.” Akhirnya ayahnya pindah dan tinggal di Takengon, ibukota Aceh Tengah.

Apa reaksi para perempuan ini ketika mendengar kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan GAM pada 15 Agustus 2005?

“Tadinya nggak yakin. Tidak yakin,” jawab mereka, serentak.

Dwi Handayani mengatakan bahwa konflik di Bener Meriah terlalu rumit. Di wilayah pesisir Aceh, TNI berhadapan dengan GAM. Kawan dan lawan jelas. Tapi di Bener Meriah, pelaku kekerasan bisa bermacam-macam dan tidak mudah diidentifikasi.

“Waktu mendengar perdamaian, sempat berpikir ini tidak akan berhasil. Karena pada waktu itu ada isu, bahwa ini taktiknya GAM, supaya pemerintah lalai: TNI ditarik semua dan setelah itu GAM berontak lagi. Nah, itu juga membuat timbulnya sedikit kecurigaan. Ini jangan-jangan suku Aceh dan Gayo sengaja membuat politik semacam ini agar nantinya menyerang suku Jawa,” katanya. Sama seperti Beniati, Dwi keturunan Jawa.

Dwi juga mempertanyakan istilah “nota” pada frase “Nota Kesepahaman Helsinki”.

“Kenapa nota? Nota itu kan perjanjian kecil. Kenapa bukan traktat?” katanya.

Lama-kelamaan dia menyadari bahwa perdamaian harus diciptakan oleh warga sendiri dengan menumbuhkan sikap saling percaya.

“Bukan lagi harus mendatangkan TNI terus kita damai. Semua kita ingin damai. Kemudian saya masuk KPCD. Saya mendengar cerita-cerita teman lain. Ternyata mereka punya cerita yang sama dengan saya,” katanya.

Berbeda dengan kebanyakan warga di wilayah pesisir Aceh yang menganggap militer musuh mereka, di Pondok Sayur anggota Satuan Gabungan Intelijen (SGI) justru jadi idola. Pada 2003, warga dari lima desa yang digerakkan para ibu dan perempuan melakukan aksi untuk mencegah SGI pergi.

“Sebab kalau ada mereka, minimal warga merasa lebih aman,” ujar Dwi.

Kelompok-kelompok paramiliter yang didukung TNI pun berdiri di Bener Meriah. Bersama TNI, mereka berperang melawan GAM.

Rintangan terbesar untuk membangun kepercayaan antar sesama pascaperdamaian berasal dari lingkungan sendiri.

“Lingkungan saya kan orang Jawa. Karena mereka belum sepenuhnya pulih kepercayaannya kepada suku lain, jadi cerita tentang masa lalu itu kadang diulang lagi,” lanjut Dwi.

Dinding-dinding kantor KPCD berhias foto-foto kegiatan lembaga tersebut. Selain mendirikan koperasi untuk para anggotanya, KPCD yang bekerja sama dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh (Kontras Aceh) menyelenggarakan pelatihan tentang perdamaian dan rekonsiliasi. Mereka juga mengorganisasi desa-desa cinta damai, istilah mereka untuk desa-desa multietnis pascakonflik. Dalam dua tahun ini sudah terbentuk 16 desa cinta damai. Tapi pekerjaan mereka masih panjang. Sebab lebih dari seratus desa berada di kabupaten ini.

“Kebencian antarsuku itu bagaimana pun masih ada di banyak tempat,” kata Beniati.

Dalam proses rekonsiliasi, isu tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan Hak Asasi Manusia ramai dibicarakan orang serta jadi perdebatan.

Menurut Saliza para pelaku kekerasan tidak mungkin diadili.

“Karena yang berbuat bukan cuma satu. Kalau diadili pun nggak bisa,” katanya.

“Orang yang jadi korban itu biasanya akan berkata ‘sudahlah lupakan saja’, Sebab tindakan itu mungkin seperti membuka luka lama. Di sini pelakunya nggak jelas. Kalau di pesisir, jelas. Berbeda kalau itu dilakukan satu lawan satu. Di masa konflik itu, selain banyak pelakunya, banyak korbannya, kita juga tidak jelas pelakunya,” sambung Dwi.

Zubaidah khawatir dendam justru muncul saat pelaku diadili, “Kita sudah merasakan keluarga kita hilang, jangan lagi dia merasa keluarga dia hilang. Dari situ, dendam itu akan terus.”

Menurut Dwi, Bener Meriah punya sejarah konflik yang parah. “Kita takutnya ada setitik noda tadi, bisa memicu. Kan pelanggaran HAM itu dilakukan oleh pemerintah, mungkin itulah sulitnya lagi, bagaimana menuntut pemerintah. Masa DOM (Daerah Operasi Militer) jelas pelakunya aparat pemerintah. Kalau konflik kemarin, tidak jelas.”

“Jangan-jangan pelakunya keluarga kita sendiri. Kadang dendam pribadi juga ada.” Zubaidah menimpali cerita Dwi.

Menurut Marhamah, KPCD ini bertumpu pada peran perempuan sebagai penjaga dan pengupaya perdamaian.

“Dengan mendidik generasi penerus agar tidak lagi ada rasa dendam,” katanya.

Tapi dia juga mengusulkan agar program perdamaian tidak hanya ditujukan pada kaum ibu dan perempuan. Anak-anak merupakan bagian yang penting untuk dilibatkan. Dia kemudian bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan tiga anak korban konflik.

“Semuanya laki-laki. Yang sulung masih di kelas dua sekolah menengah pertama, yang nomor dua kelas enam sekolah dasar dan yang paling kecil belum sekolah. Ayahnya ditembak di depan mereka. Ibu mereka meninggal, karena sakit.

Warga kemudian berinisiatif merawat anak-anak ini. Ketika ada yang bertanya siapa pembunuh ayahnya, anak-anak ini tak bisa menjawab, tapi menyanyikannya, ber-didong,” kisah Marhamah.

Didong adalah seni tradisional Gayo, seni mengucap pantun dengan menyanyikannya.

“Anak-anak ini jadi korban dan kita tidak tahu apa yang terjadi 20 tahun dari sekarang. Tugas kita melakukan trauma healing untuk mereka dan mengajarkan tentang kebersamaan lewat permainan misalnya,” lanjutnya.

 

POTRET-potret wajah orang hilang berderet-deret di lantai museum ini. Sebuah meja berada di tengah ruangan yang agak kotor. Bau cat tercium. Azhari Aiyub, direktur Komunitas Tikar Pandan, menenteng lampu batere yang cahayanya tidak seberapa terang di pagi 3 Agustus 2011 itu, untuk membantu saya melihat-lihat ke dalam museum.

“Sedang direnovasi,” katanya. Dia tidak berhasil menemukan tombol lampu listrik di dinding museum.

Mural bergaya abstrak, berwarna hitam putih, menghias dinding. Museum Hak Asasi Manusia (HAM) ini hanya sebuah ruang berukuran 4×5 meter persegi, yang tadinya berfungsi sebagai garasi mobil di kantor Komunitas Tikar Pandan. Lokasinya di Ulee Kareng, Banda Aceh.

Gagasan pembangunan museum datang dari Reza Idria, salah seorang pengurus Komunitas Tikar Pandan. Dia antropolog lulusan Universitas Leiden, kini mengajar di Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh. Usia Reza 30 tahun. Wajahnya mirip orang-orang Asia Selatan. Berhidung mancung, berkulit coklat. Sorot matanya berbinar di balik kacamatanya, tiap kali dia bicara.

Ketika kuliah di Belanda, Reza sempat berkunjung ke Museum Holocaust atau museum kekejaman Nazi di Berlin, Jerman. Kunjungan itu membuatnya terkesan, memberinya inspirasi untuk membangun Museum HAM di Aceh. Setelah kembali ke Aceh, Reza melontarkan gagasannya itu pada seorang teman dan ternyata gagasannya bersambut. Komunitas Tikar Pandan, Kontras Aceh, Koalisi NGO HAM dan Lembaga Bantuan Hukum Aceh membentuk konsorsium untuk membangun museum. Tak lama kemudian dana terkumpul, tapi sangat minim. Hanya sekitar 6 ribu Euro atau sekitar Rp 50 juta. Keterbatasan dana membuat Komunitas Tikar Pandan berinisiatif mendedikasikan satu ruangan di kantor mereka sebagai museum.

“Daripada kita hanya meributkan soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan legalitas, prosesnya lama, sementara ingatan kita terbatas. Ada baiknya kita membangun tempat di mana orang bisa menaruh barang, foto, yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi Aceh,” ujar Reza.

Pada malam 23 Maret 2011 museum itu resmi dibuka, sedang keesokan harinya, 24 Maret adalah Hari Hak Korban untuk Kebenaran dan Keadilan yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

“Awalnya kita ingin membangun museum perdamaian dan konflik. Tapi sampai sekarang pelanggaran yang terjadi di Aceh masih terus berlangsung. Artinya, kita harus bicara HAM secara umum. Apalagi ada penerapan syariat Islam yang berpotensi menyebabkan pelanggaran HAM itu. Museum HAM lebih tepat,” lanjut Reza.

Namun, dia tetap menganggap penting terwujudnya pengadilan HAM untuk konflik politik di Aceh.

“Kekerasan yang masih berlangsung di Aceh sampai sekarang, itu menunjukkan masalah yang belum selesai. Tapi (pembentukan pengadilan HAM) itu akan memerlukan waktu lama. Penyebabnya macam-macam, seperti tarik-menarik (pemerintah) pusat dan (pemerintah) daerah. Kelompok-kelompok yang dulu bertikai kini berteman. Mereka, dua kubu ini, bahkan menolak konsep Museum HAM. Alasannya, jangan membuka lagi luka masa lalu. Kita bukan ingin mengungkit dendam, tapi ingin belajar dari masa lalu, agar tidak terulang lagi,” ujar Reza.

“Sebab bukan tugas kami mengadili pelaku kekerasan di masa konflik, karena itu tugas negara,” katanya, lagi.

Anak-anak sekolah menengah yang berkunjung ke Museum HAM Aceh memperoleh pengetahuan penting tentang sejarah negeri mereka. “Meski kami tidak memasang foto-foto pembantaian dan memang tidak ada foto kekejaman di sini, tapi membuat mereka kaget dan berkata betapa beruntungnya mereka tidak mengalami langsung konflik itu. Artinya, kita semua tidak ingin ini terulang lagi,” kata Reza.***

 

Artikel ini diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Jerman di Majalah Suedostasien, 2011. Penerjemah, Anett Keller. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

Linda Christanty, Sastrawan-cum wartawan

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.