Bait-bait Ketidakpahaman: Persoalan Dalam Gerakan Kiri

Print Friendly, PDF & Email

Tanggapan untuk I Gusti Anom Astika


JUDUL di atas menggambarkan kesulitan saya untuk memahami keseluruhan maksud Kawan Anom Astika dari tulisan yang berjudul Percaya Pada Massa: Aspek Demokratis Manifesto Komunis. Terlebih dalam kondisi tuntutan praktis yang sering mengejar seperti hantu, persoalan-persoalan datang silih berganti yang semuanya menanti jawaban segera. Selain kompleksitas persoalan yang bersifat obyektif, alasan lain kesulitan memahami adalah sangat kurangnya referensi bacaan saya terkait topik yang diulas. Dalam kekurangan yang nyaris fatal tersebut, coretan “rendah kalori” ini terhaturkan ke hadapan sidang pembaca. Beberapa hal bersifat konfirmasi atas apa yang dituliskan Kawan Anom, sedangkah beberapa lain merupakan sajian persoalan disertai pertanyaan dan atau kritik.

Bagaimanapun, agar sedikit membuka jalan masuk dalam pembahasan, harus diupayakan suatu tafsir pemahaman yang sederhana (sebisa mungkin tanpa menyederhanakan), hal-hal pokok yang tersampaikan dalam artikel tersebut. Tafsir pemahaman sederhana ini lebih saya lekatkan pada pengalaman organisasi Kiri tertentu (dalam hal ini PRD), berhubung keterbatasan referensi mengenai kiprah organisasi-organisasi Kiri lain.

Kritik Kawan Anom dimulai dengan mempertanyakan pertanggungjawaban ilmiah atas apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan Gerakan Kiri, sebagai cara untuk memperjuangkan Sosialisme. Keseluruhan kritik ini sampai pada tantangan kepada Gerakan Kiri untuk membangun “perspektif” serta “konseptualisasi” dalam situasi yang bergerak sekarang dan ke depan.

Pertanggungjawaban ilmiah dan tradisi ilmiah

Namun ada ketidakpahaman-ketidakpahaman terhadap masalah yang disampaikan Kawan Anom. Ketidakpahaman pertama adalah tentang pertanggungjawaban ilmiah. Di mana letak ketidakmampuan Gerakan Kiri mempertanggungjawabkan pekerjaannya secara ilmiah? Bentuk pertanggungjawaban ilmiah seperti apakah yang harus diberikan oleh Gerakan Kiri? Dalam pembacaan atas teks Kawan Anom, hal ini belum cukup lugas terjawab. Mungkin ada pengalaman-pengalaman praktis yang bisa diturunkan untuk dibedah atau dijelaskan. Sebagai “pancingan,” saya coba turunkan cerita yang diasumsikan, secara umum, dialami juga Kawan-Kawan lain dalam Gerakan Kiri.

Gerakan Kiri sebelum tahun 1998, dengan sedikit pengecualian, diisi oleh “kalangan terpelajar” yang tersebar di pulau Jawa, Sulawesi, dan Sumatera. Faktor apa yang mendorong kalangan ini terjun aktif dalam suatu gerakan yang pada masa itu masih sangat ditabukan? Secara hipotetik dapat disebutkan, keterlibatan ini lebih didorong oleh faktor moral (nurani, rasa, atau perasaan) ketika kawan-kawan melihat dan mengalami realitas penindasan rezim Orde Baru (orba) yang begitu vulgar, ketimbang didorong oleh faktor pemahaman teoritis mengenai gagasan sosialisme sebagai anti-tesis dari kapitalisme—yang menyaratkan pengenalan mendalam tentang hukum-hukum dan cara kerja kapitalisme. Konsolidasi kekuatan Kiri pada masa itu, kurang lebih dapat dituliskan dalam untai kalimat terkenal pejuang Kiri Amerika Latin, Ernesto Che Guevara, “Bila hatimu bergetar marah melihat ketidakadilan, maka kau adalah kawanku.”

Demikianlah, sekonyong-konyong Kawan dalam Gerakan Kiri menjadi cukup “banyak” sampai akhir kekuasaan rezim orba. Lantas, ketika bermunculan (rasa) kekecewaan tertentu, bersamaan dengan penetrasi ekonomi neoliberal yang semakin menjerat, jumlah Kawan yang banyak itu bisa cepat menyusut jadi segelintir. Bergabung dalam Gerakan Kiri karena “rasa” dan berpisah pun kemudian karena “rasa.” Tidak mengherankan pula, slogan-slogan heroik, puisi-puisi, dan lagu-lagu perjuangan, lebih mudah dicerna oleh kalangan yang terlibat dalam Gerakan Kiri sebagai bahan bakar bagi “militansi tanpa batas”. Sementara rumusan program perjuangan dalam rincian persoalan lokal dan sektoral begitu sulit dicerna. Dalam hemat saya, tidak ada yang salah dengan “rasa” itu, sepanjang menguntungkan perjuangan bagi Sosialisme. Hanya saja memang “rasa” saja tidak cukup.

Namun, pada kondisi itu bukan berarti tidak ada tradisi ilmiah dalam Gerakan Kiri. Sejumlah literatur dan sumber lisan mengatakan, organisasi-organisasi Gerakan Kiri yang ada (sebagai contoh: Partai Rakyat Demokratik atau PRD), pada mulanya adalah lingkaran-lingkaran diskusi di kampus-kampus. Tradisi membaca, berdebat, serta mendiskusikan ilmu-ilmu sosial dan budaya relatif berkembang di berbagai kota. Demikian halnya dalam perumusan “konsepsi perjuangan,” “program perjuangan,” hingga “strategi-taktik” yang bersifat sangat praktis, selalu diupayakan dimulai dari pembacaan terhadap sejarah masyarakat (misalnya: Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia atau MIRI) dan kondisi obyektif yang bergerak maupun data-data statistik, atau sering diistilahkan dengan pembacaan “Situasi Nasional dan Internasional”.

Akan tetapi “tradisi ilmiah” tanpa pengerahan “sumber daya ilmiah” merupakan kelemahan umum dan mendasar di sini. Dalam berjalannya tradisi ilmiah, masih terdapat kesenjangan teoritis yang cukup lebar antara sesama kaum pergerakan yang terlibat. Di dalamnya ada Kawan-Kawan yang, terutama karena faktor historisnya, lebih menguasai berbagai teori dan bahan bacaan, sementara terdapat juga sejumlah besar Kawan yang lebih mengandalkan (atau mengutamakan) ketulusan berjuang dan militansi, sehingga relatif jarang mengemukakan posisi ataupun proposisi politiknya dalam tiap kesempatan yang tersedia.

Pun bagi yang banyak membaca, bisa ditambahkan satu kritikan lagi—yang bila tidak keliru kritik ini berasal dari Kawan Anom—bahwa bacaan-bacaan tersebut “tidak terarah.” Saya menerjemahkan ketidakterarahan itu yang menimbulkan berbagai kekacauan lain ketika berhadapan dengan persoalan (strategis maupun taktis) yang harus dipecahkan secara kolektif. Mungkin karena kesalahan cara membaca, teori-teori yang dipelajari kemudian dinilai “tidak cocok” dengan kondisi obyektif yang dihadapi. Dampaknya, selain dogmatisme berkepala-batu di satu sisi ekstrim, di sisi ekstrim lain adalah kecenderungan “anti-teori,” dan kemudian menganggap “semua teori Kiri,” entah itu dari Jerman, Inggris, Prancis, Rusia, Tiongkok, Kuba, Libya, dan bahkan dari Indonesia sendiri, telah gagal menjawab persoalan Rakyat Indonesia sekarang. Bila tidak terjaga oleh pertimbangan “moralitas” tertentu, sikap ini nyaris sama dengan Kaum Kanan yang mengatakan bahwa Sosialisme sudah menjadi fosil sejarah. Dampak lebih lanjut, dorongan untuk mengambil keputusan politik lebih diberatkan pada segi “naluri politik,” sementara riset yang memadai sangat jarang dilakukan. Dalam konteks praktis yang membutuhkan sikap cepat, dasar acuan demikian mungkin justru tepat. Namun dalam konteks yang lebih strategis, dasar acuan demikian bisa menjadi kesalahan fatal.

Problem historis ini yang kemudian mengerucut pada pertanggungjawaban ilmiah yang sekarang tertagihkan melalui goresan pena Kawan Anom. Keilmiahan sebagai suatu tradisi sudah tentu baik, positif, dan berguna. Namun keilmiahan tanpa basis ilmu pengetahuan yang diperlukan dan pengorganisasian sumber daya ilmiah, justru melahirkan problem tersendiri. Kritik Kawan Anom benar, hingga sekarang, banyak hal yang belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh Gerakan Kiri. Meskipun di sini muncul pertanyaan, siapakah yang akan menjadi hakim akademik atas pertanggungjawaban ilmiah tersebut? Juga pertanyaan lain, bagaimana menagih pertanggungjawaban ilmiah terhadap sesuatu yang telah menjadi sejarah? Kondisi ini dilahirkan oleh faktor-faktor historis yang telah disebutkan tadi. Bahkan, perlu ditambahkan juga, faktor kehancuran Gerakan Kiri beserta terkuburnya pemikiran-pemikirannya sejak kelahiran rezim militeristik orba. Namun, kembali lagi, pada saat bersamaan ada satu faktor historis lain dalam barisan yang sama, yakni berlangsungnya tradisi ilmiah, yang kiranya akan menjawab masalah-masalah ini ke depan. Dalam konteks pengorganisasian sekarang, tradisi ini masih lemah dan tidak memadai, dan karena itu justru butuh dikuatkan. Dalam hal ini, kritik merupakan salah satu cara untuk menguatkan.

Tentang Perspektif

Bait ketidakpahaman berikutnya adalah mengenai perspektif Gerakan Kiri. Terkait perspektif ini Kawan Anom menyampaikan presuposisi sebagai berikut:

…..bahwa Gerakan Kiri dapat dikembangkan apabila berdasar pada pada pemahaman akan politik sebagai cara berlawan dan bukan sebagai karakter perlawanan. Artinya, di sini politik dibangun berdasar kemampuan dari organisasi-organisasi Kiri di dalam menentukan capaian-capaian politiknya yang kongkret sifatnya dan realistis untuk dilaksanakan (institusi dan atau propaganda) [garis miring dari saya]. Sedangkan politik sebagai karakter perlawanan lebih berdekatan dengan kemampuan organisasi-organisasi Kiri di dalam merespon perkembangan situasi politik, dengan capain perluasan pengaruh politik maupun keterlibatan di dalam pengembangan diskursus politik.

Pada bagian yang digarisbawahi tersirat kehendak akan targetan yang terukur dari kerja-kerja politik. Apakah benar, Gerakan Kiri tak pernah mempunyai target politik yang terukur ini? Kembali saya mengajak pembaca berkilas pada pengalaman salah satu organisasi Kiri. Tahun 2001 adalah tahun kejatuhan Gus Dur, yang juga sekaligus menjadi penanda kejatuhan Gerakan Kiri, setelah masa-masa indah perlawanan heroik terhadap sistem orba dan sisa-sisa kekuatan politik penjaganya. Masa pasca itu merupakan tahun-tahun kegagapan Gerakan Kiri menghadapi masifnya iklim liberalisasi.

Sering kali, antara program yang disusun dan strategi taktik yang dilaksanakan terbentang jurang yang sangat lebar, tanpa ada jembatan yang mempertemukan keduanya. Salah satu yang sangat tidak terukur dan sedikit “keblinger” adalah propaganda disertai target untuk menggulingkan pemerintahan Megawati antara tahun 2001 hingga 2003. Ujung keterjungkalan ini adalah “organiser” yang mengalami demoralisasi dan “pimpinan” yang sibuk berevaluasi sambil menebak-nebak kesalahan sendiri. Perpecahan beberapa kali terjadi dalam rentang waktu yang relatif singkat. Persoalan-persoalan “remeh” kemudian gampang mencuat menjadi persoalan pokok, di tengah kemampuan organisasi yang serba terbatas untuk mengatasinya. Saya kira tak ada yang perlu ditangisi dari kondisi ini, kecuali mengambil pelajaran-pelajaran dari sana.

Memasuki akhir tahun 2003, dan periode menjelang pemilihan umum 2004, kembali terjadi perdebatan dalam PRD tentang sikap terhadap momentum politik tersebut. Setelah memakan waktu berdebat yang cukup panjang, akhirnya diputuskan untuk mendirikan sebuah partai elektoral untuk mengintervensi pemilu 2004. Dalam evaluasi disebutkan bahwa: mepetnya waktu, kondisi represi, dan ketiadaan dana, membuat segala persiapan ini berantakan. Partai yang didirikan gagal lolos verifikasi administratif di tahap awal.

Seakan belajar dari kegagalan sebelumnya, pada tahun 2006 (dengan persiapan waktu yang lebih panjang) kembali didirikan sebuah Partai elektoral. Namun lagi-lagi gagal. Kali ini faktor represi (anti-komunis) tampak cukup dominan. Dalam waktu beberapa bulan Partai ini menghadapi 32 kali serangan dan atau ancaman fisik, baik di Jakarta maupun kota-kota lain. PRD kemudian mengambil langkah untuk tetap mengintervensi pemilu melalui alat politik lain. Dalam dinamikanya, sebagian Kawan yang tidak bersepakat terhadap taktik ini kembali meninggalkan Partai. Dalam intervensi ini, menurut evaluasi beberapa kawan, Partai terjebak dalam situasi “persaingan yang terlalu menyebar dan tanpa fokus” sehingga capaian yang diperoleh sangat minim, bila tidak ingin dikatakan gagal.

Apa pelajaran dari keseluruhan pengalaman, baik elektoral maupun non elektoral ini? Mengukur kemampuan sendiri dan kekuatan lawan di satu sisi, dan pengenalan terhadap lapangan politik elektoral Indonesia sebagai arena “politik tanpa ideologi,” atau dalam bahasa lain: arena yang dikuasai pragmatisme. Lalu apa hubungannya dengan perspektif Gerakan Kiri secara keseluruhan? Di sini dapat diperdebatkan kembali satu hal, bahwa sebagai cara berjuang, mungkin organisasi-organisasi Gerakan Kiri belum mampu merumuskan secara utuh capaian-capaian politik yang terukur dan realistis. Tapi apakah kemudian “pemanfaatan” karakter perjuangan menjadi tidak relevan, mengingat dialektika yang lahir dari “perluasan pengaruh serta perkembangan diskursus” di satu sisi, dengan “capaian politik” Gerakan Kiri di sisi lain? Pikiran saya merasa perlu dijernihkan lagi untuk menerima tesis pendasaran pada “cara berlawan” ini sebagai satu-satunya jalan.

Tentang Konseptualisasi

Bait ketidakpahaman yang berikut adalah konseptualisasi Gerakan Kiri. Saya kira hal ini menarik karena relevansinya dengan situasi aktual berupa: 1) keberadaan Kawan-Kawan dalam lingkungan parlamenter atau lingkungan kekuasaan negara/pemerintahan; 2) langkah-langkah yang dipersiapkan Gerakan Kiri umumnya menjelang momentum elektoral 2014. Dalam merumuskan problem konseptualisasi ini, Kawan Anom menulis:

“Problematiknya, menurut saya, bukan pada definisi dan arah perjuangan seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya. Tetapi lebih pada bangunan konsepsi perjuangannya, yang seperti tidak mampu membaca tanda-tanda jaman. Perjuangan yang berorientasi ke alam parlementer, misalnya, belum mampu merumuskan ke-parlementerannya, sedang yang berorientasi ekstra-parlementer belum mampu berpikir lebih jauh daripada jurus selaksa moral membasuh dosa dunia. Dalam artian, yang berorientasi parlementer belum mampu menghasilkan lingkaran-lingkaran politik strategis untuk membuka kemungkinan dibukanya wacana tema-tema sosialisme. Sementara yang ekstra parlementer seperti tak henti-hentinya berduka menawan politik dalam lingkup propaganda “sosialisme sekarang juga.”

Belum dapat diukur secara jelas, sejauh apa Kawan-Kawan yang berada dalam arena parlamenter telah merumuskan peran mereka dalam transformasi sosial yang dibutuhkan. Seperti telah disitir sebelumnya, lapangan politik parlamenter, dengan sejarah penindasan dan pembodohan politik orba, telah menggiring politik elektoral ke dalam pasar komoditi dengan transaksi tunai yang terang-terangan. Proses untuk dapat memenangkan sebuah capaian politik umumnya tidak dapat didasarkan pada kemampuan politisi mengartikulasikan program yang berkesesuaian dengan kepentingan “konstituen,” melainkan kemampuan finansial untuk membeli suara Rakyat. Tidak luput, di antara Kawan-Kawan dengan latar belakang sejarah pernah atau masih bersentuhan dengan Gerakan Kiri, harus menyesuaikan cara berpolitiknya dengan kondisi demikian.

Belum lagi, ketika sang calon mampu lolos ke dalam lapangan elektoral tersebut, atau terpilih menjadi anggota DPR/DPRD, misalnya, ia telah dinanti oleh setumpuk proposal terkait “perjanjian pasca bayar” yang telah diteken selama kampanye. Dari segi politik maupun moral, alangkah baiknya bila “perjanjian pasca bayar” tersebut dilakukan dengan Rakyat yang menjadi konstituen; tetapi sebaliknya, bagaimana bila perjanjian tersebut dilakukan dengan “aktor berwatak jahat” yang telah, sedang, dan akan, turut serta menjarah kehidupan Rakyat? Di sini bukan persoalan moral sebagai basis untuk mengatakan bahwa cara berpolitik demikian adalah salah, tapi lebih pada dampak politik dalam kerangka membangun kesadaran berlawan. Dalam kondisi demikian, untuk merumuskan program, atau membuka peluang majunya wacana Sosialisme, tampaknya menjadi persoalan yang pelik.

Relasi yang terjalin antara unsur politik Kiri di wilayah parlamenter dengan ekstra-parlamenter, kemudian berlangsung dalam bentuk-bentuk yang lebih spontan dan sederhana. Bahkan tak jarang malah putus sama sekali. Mungkin kesulitan ini bukan problem utama, tapi layak untuk didiskukan. Belum pula dapat dilacak apakah terputusnya relasi antara kerja parlamenter dengan ekstra-parlamenter lebih disebabkan problem ideologi, politik, ataukah organisasi. Namun dampak merugikan dari kondisi tersebut tampak jelas pada tiap-tiap aspeknya.

Perumusan konsepsi merupakan proses yang berdialektika dalam lapangan praktis. Karena, bahkan dalam perjuangan memenangkan Sosialisme di Rusia, yang bertahan selama 72 tahun dan berhasil menyebar pengaruh ke seantero dunia itu, Lenin tidak pernah mengajukan sebuah dalil final mengenai jalan ke arah sana. Lenin “hanya” berupaya mengkritisi (atau sesekali “menghajar”) kecenderungan-kecenderungan praktis yang salah dengan menguak akar pemikiran dari kecenderungan yang salah tersebut. Dengan demikian kritik terhadap pemikiran tidak berlari terlalu jauh dari kerangka tugas politik yang dibutuhkan dalam situasi yang terus bergerak. Dalam hemat saya, di sini pula letak ke-Marxis-an seorang Lenin bersama Bolshevik, yang selain memperdalam keilmiahan gagasan sosialisme, juga menempatkan “bagaimana mengubah dunia” sebagai tugas pokok ketimbang “menginterpretasi dunia.”

Respon Politik dan Kerangka Taktik

Bait ketidakpahaman berikut adalah kontradiksi antara respon politik dan pembangunan basis perlawanan. Masalah “respon politik” ini adalah salah satu perdebatan lama dalam tubuh PRD, khususnya antara “pimpinan pusat” dengan struktur-struktur di daerah. Intensitas mobilisasi massa, baik di Jakarta maupun kota-kota lain, sedemikian tinggi sebagai respon terhadap isu-isu yang muncul. Pimpinan pusat dianggap terlalu banyak mengambil porsi kerja respon politik sehingga kerja-kerja pembangunan basis menjadi terbengkalai. Apakah problem “respon politik” demikian yang dimaksudkan oleh Kawan Anom, saya masih membutuhkan konfirmasi.
Pun bila demikian, kita dapat hadirkan pembanding terhadap capaian organisasi Gerakan Kiri yang tidak menyandarkan diri terhadap respon-respon politik. Sejauh mana pembangunan basis-basis perlawanan Rakyat itu mendekati hasil tertentu? Mungkin ada kesulitan mengukur manakala kita berhadapan dengan situasi kerja politik organisasi Kiri yang tertutup. Tapi secara umum bisa dikatakan tidak terdapat kemajuan yang signifikan dari Gerakan Kiri yang memilih untuk mengutamakan pembangunan basis-basis perlawanan.

Mungkin yang perlu dipersoalkan di sini adalah peruntukan dari respon politik tersebut, yang pada masa lalu seringkali ditempatkan dalam kerangka “taktik insureksionis.” Respon politik kemudian muncul semata sebagai ekspresi kemarahan sekaligus upaya membakar amarah massa agar bergerak dalam aksi. Kemarahan atau kesedihan, di satu sisi, dan ketidakpedulian atau pura-pura tidak tahu, di sisi lain, merupakan satu keping kesadaran dari kondisi ekonomi-politik. Pada masa neoliberalisme ini, kerap kali kemarahan justru merupakan ekspresi dari ketidaksabaran dan ketidaktahuan atas kondisi obyektif sosial masyarakat. Situasi ini tercermin dari kerusuhan-kerusuhan sosial atau amuk massa yang banyak terjadi.

Sementara peruntukkan respon politik yang lain adalah bagi perluasan basis pengorganisiran. Konsep ini pernah tertuang dalam risalah dialektika “Tiga Tugas Mendesak” antara “radikalisasi” dan “perluasan struktur.” Memang radikalisasi di sini secara umum masih dimaknai sebatas aksi/mobilisasi massa yang dibagi dalam kategori “mobilisasi propaganda” dan “mobilisasi menuntut.” Radikalisasi belum dilihat dalam makna menciptakan loncatan kesadaran massa dari pengalaman politiknya. Tapi dalam konteks ini saya melihat kemiripan dengan salah satu proposisi yang diajukan oleh Kawan Anom, yang kurang lebih menyebutkan bahwa tiap-tiap perlawanan terhadap kapitalisme merupakan basis potensi bagi hadirnya propaganda Sosialisme. Dengan demikian, apakah tidak berarti “respon politik” ini dapat dijadikan landasan taktik bagi pembangunan basis-basis perlawanan?

Penutup

Berpijak dari sejarah pemberangusannya, pemikiran Kiri di Indonesia hingga saat ini masih berada pada tahap permulaan. Dalam situasi permulaan itu pula, Gerakan Kiri berhadapan dengan permulaan cerita tentang kebangkitan rakyat yang secara kabur bergerak pada jalur keilmiahan dan kayakinan moral. Karena itu, sungguh sumbangsih yang sangat berguna ketika kita dihadapkan pada tantangan untuk mengembangkan pemikiran Marxis dalam konteks Indonesia dan kekinian.

Marxisme dalam konteks Indonesia pernah berkembang pesat sebelum dihancurkan oleh orba. Bahkan dapat dikatakan, kelahiran Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Marxisme. Pemikir-pemikir hebat lahir dari interaksi mereka dengan gagasan ini, mulai dari Kartini, Cipto Mangunkusumo, Semaun, Tan Malaka, Haji Misbach, Soekarno, Hatta, Syahrir, Amir Syarifudin, dan lain-lain. Karena itu, meski secara hipotetikal dikatakan Sosialisme tidak populer, kenyataan sejarah mengatakan yang sebaliknya. Bahkan sila kelima Pancasila tidak lain merupakan hasil penerjemahan atas Marxisme.

Marxisme sebagai pemikiran, dan pertentangan pemikiran tersebut dengan agama, adalah salah satu hal yang perlu didalami untuk mempermudah penerimaan pemikiran tersebut di tengah Rakyat Indonesia. Tan Malaka pernah mengeluarkan ide tentang Madilog, Haji Misbach tentang Islam-Komunis, dan Soekarno tentang Marhaenisme (dan kemudian Gotong Royong). Saya menganggap ketiganya merupakan varian Marxisme dalam upaya menemukan kecocokan dengan basis material yang ada, yakni, peran agama-agama dalam politik masyarakat Indonesia serta kontradiksi-kontradiksi obyektif yang membutuhkan penyelesaian praktis segera. Dalam konteks itulah tendensi pemikiran Kiri seringkali beririsan (atau berurusan) dengan perkara moral dan kepercayaan.***

Dominggus Oktavianus, Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.