Benih Perlawanan Itu Bersemi Sudah

Print Friendly, PDF & Email
Coen Husain Pontoh
Coen Husain Pontoh, Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)

KETIKA krisis kapitalisme mendera Amerika Serikat pada 2008, secara politik tidak ada gejolak yang berarti. Maksud saya, tidak ada protes dan aksi demonstrasi besar-besaran dari mereka yang kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah, dan jam kerja yang lebih panjang.  Tentu ada keluhan dan rasa marah terhadap hidup keseharian yang tiba-tiba menjadi lebih sulit dari  biasanya. Tetapi semua itu lebih berupa bisik-bisik. Bukan berarti tak demonstrasi, tapi lebih merupakan pawai baris berbaris. Bandingkan dengan krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada 1997-98, yang memicu aksi massa besar-besaran yang berujung pada jatuhnya rejim orde baru Soeharto. Atau, bandingkan dengan kasus Argentina, yang ketika meledak krisis ekonomi pada 2001, dalam  hitungan bulan, tiga presiden negara itu datang silih berganti.

Rakyat AS yang ketiban susah akibat krisis 2008 tersebut, umumnya baru bisa berkumpul dalam jumlah besar ketika tiba perhelatan olahraga, seperti event superbowl atau softball. Kegiatan politik yang sanggup mengumpulkan massa puluhan ribu, adalah momen kampanye kandidat presiden Barack Obama dari Partai Demokrat. Di luar itu, perkumpulan politik adalah sesuatu yang membuang-buang waktu, dan politik serta para politikus lebih sering menjadi sasaran kritik dan sinisme.

Egypt=18 Days, Wisconsin=???
Egypt=18 Days, Wisconsin=???

 

Ketika terjadi demonstrasi massa di luar negeri, misalnya di Venezuela atau di Eropa, khususnya Prancis dan Yunani, mayoritas rakyat AS tidak menunjukkan antuasiamenya. Demonstrasi massal itu hanya menjadi bahan diskusi hangat para aktivis di milis-milis dan media-media alternatif. Individualisme dan pragmatisme, yang diklaim sebagai nilai identitas Amerika, dituduh sebagai penyebab sulitnya mengorganisir massa untuk memperjuangkan hak-haknya yang dirampas oleh kelas kapitalis melalui aksi massa jalanan.

Selain itu, tidak sedikit yang meyakini bahwa melalui kerja kerasnya sendiri maka seseorang bisa meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik. Belum lagi, fenomena menguat dan merebaknya rasisme di tempat kerja. Tetapi, diagnosa ini sangatlah simplistik dan ahistoris. Saya telah menulis sedikit sebab-sebab kemunduran gerakan kelas pekerja AS ini di tempat lain, sehingga kali ini tidak akan mengulasnya lagi.  Intinya, krisis ekonomi sejauh ini tidak menyebabkan munculnya solidaritas dan kerjasama yang kuat di antara mayoritas rakyat miskin di AS. Sangat berbeda dengan massa Depresi  1930an, dimana ketika itu rakyat miskin AS, dipelopori oleh serikat-serikat buruh radikal/progresif seperti Congress of Industrial Organizations (CIO), sanggup memobilisasi massa buruh dan komunitas lintas ras dan gender, untuk menentang program-program penghematan yang dicanangkan oleh presiden Franklin Delano Roosevelt.

Winconsin revolt

Pada hari Senin, 11 Februari, gubernur negara bagian Wisonsin, Scoot Kevin Walker dari partai Republik, mengirim rancangan undang-undang (RUU) kepada parlemen negara bagian, yang isinya sangat anti buruh, khususnya buruh sektor publik (public labor). Dalam RUU itu, terdapat lima point yang menjadi sumber perlawanan  buruh sektor publik: pertama, membatasi daya tawar kolektif buruh sector publik hanya pada soal gaji; kedua, melarang buruh sektor publik untuk melakukan demonstrasi; ketiga, menghapuskan secara otomatis dana iuran untuk serikat; keempat membatasi masa kontrak kerja untuk satu tahun saja; dan kelima, mengharuskan setiap anggota serikat agar memilih setiap tahunnya untuk  “mensertifikasi ulang” daya tawar setiap unit kerja. Dan tentu saja, tak lupa RUU  ini mengusulkan pemotongan anggaran untuk pendidikan dan pelayanan publik.[1]

Gubernur Walker rupanya telah mengerti bahwa undang-undang yang diusulkannya ini bakal mendatangkan reaksi, karena itu ketika mengumumkan rencana undang-undang tersebut ia sekaligus meminta agar tentara (national guard) dan agen-agen negara lainnya untuk mempersiapkan diri dari gangguan layanan publik.[2] Apalagi beberapa minggu sebelumnya, tepatnya pada 7 Januari, Walker telah memberikan pemotongan pajak sebesar $140 juta kepada kelas kapitalis (termasuk WalMart), yang telah mendanainya untuk memenangkan kursi gubernur Wisconsin.

Ketidakadilan itu dikemukakan oleh Rose Ann DeMoro, direktur eksekutif National Nurses United, bahwa “rakyat pekerja bukanlah penyebab terjadinya resesi  atau krisis anggaran yang dialami oleh pemerintah federal, negara bagian, dan pemerintahan lokal, dan karena itu tak boleh ada konsesi yang diberikan kepada pemerintah untuk memotong anggaran untuk rakyat pekerja. “[3] Ketika RUU anti buruh ini tetap dipaksakan untuk diundangkan, maka tak ada cara lain kecuali harus dilawan. Perlawanan kali ini, tampaknya lebih  ideologis, seperti dikatakan Pamela Bosben, seorang pustakawan di Madison, “ini semua adalah soal perang kelas dan secara potensial menunjukkan matinya kelas menengah.”[4]

Perkiraan Walker terbukti benar. Pada keesokan harinya,  Selasa, 12 Februari 2011, AS untuk pertama kalinya menyaksikan gelombang demonstrasi besar-besaran dalam menentang kebijakan pro-kapitalis Walker dan Partai Republik. Dipelopori oleh siswa sekolah menengah dan mahasiswa, kota Madison di negara bagian Wisconsin, menjadi saksi mata aksi massa rakyat pekerja. Sebuah laporan menunjukkan, pada tanggal 12 itu sekolah-sekolah terpaksa meliburkan dirinya karena tidak ada siswa yang masuk.  Dengan slogan “sick outs” para siswa ini meninggalkan sekolahnya dan menggelar demonstrasi di jalanan. Demikian juga dengan  mahasiswa dari universitas Wisconsin, ikut turun ke jalan pada hari Valentine Day itu, dengan mengusung slogan: “Have a Heart. Don’t Tear UW Apart!”

Di Madison, diperkirakan jumlah demonstran yang terdiri siswa, guru, dan mahasiswa mencapai angka sekitar 20-25 ribu. Pada Rabu, melalui kampanye dari mulut ke mulut, facebook dan sosial media lainnya, jumlah demonstran kian bertambah banyak dan datang dari berbagai distrik di Madison, seperti Eau Claire, La Crosse, Appleton, Green Bay, Madison dan  Milwaukee, Dodgeville, Fennimore, Holmen, Hudson, Iowa-Grant, Onalaksa, Platteville, River Falls, Tomah, West Salem, Shullsburg dan  Viroqua.[5]

Pada Kamis, jumlah demonstran telah mencapai angka lebih dari 30 ribu orang, dan Jumat angkanya ditaksir lebih dari 40 ribu. Pada hari Sabtu, ketika pegawai negeri (public labor) libur, jumlah demonstran membludak hingga mencapai 70 ribu. Pada hari-hari selanjutnya, jumlah dan partisipan demonstran semakin bertambah. Buruh sektor swasta dan sektor publik bergabung bersama denganpara guru, siswa dan mahasiswa. Termasuk dari mereka adalah petugas pemadam kebakaran dan polisi. Puncak aksi demonstrasi ini berlangsung 26 Februari, dimana lebih dari 100 ribu massa tumpah ruah di jalan-jalan kota Madison.

Aksi demonstrasi yang mengguncang Madison yang mengusung slogan bersama “Kill the Bill,” telah memaksa 14 anggota parlemen dari partai Demokrat untuk walk-out dari ruang sidang. Tanpa kehadiran wakil partai Demokrat, maka pemungutan suara tidak akan mencapai kuorum dan RUU ini tidak bisa disahkan sebagai undang-undang. Selain itu, aksi demonstrasi ini juga telah menekan pemimpin serikat buruh terbesar AS, AFL-CIO dan Change to Win (CTW) untuk mulai secara serius menghentikan praktek lobi dan keterkaitan mereka dengan elite partai Demokrat yang tidak efektif dalam menghadang undang-undang anti buruh.

Solidaritas

Hal yang menggembirakan dari perlawanan Wisconsin ini adalah munculnya solidaritas buruh dan komunitas yang kuat baik dari luar negeri maupun di berbagai tempat di AS. Sebuah laporan pada Senin, 21 Februari menyebutkan, dukungan nyata datang dari 12 negara (termasuk dari Mesir) dan 38 negara bagian yang membeli 300 pizza dari Ian’s Store yang terletak di State Street dan hanya berjarak beberapa blok dari kantor Balaikota.[6] Majalah LaborNote mencatat bahwa dukungan aksi massa juga datang dari California dan Michigan. California Nurse Association, misalnya, dengan slogan “L.A. Supports You” mengirimkan sejumlah anggotanya untuk berpartisipasi dalam demonstasi di Madison.[7]

Solidaritas serupa ditunjukkan oleh Miya Williamson, financial secretary-treasurer dari United Auto Workers Local 6000 di Michigan, yang mewakili 17 ribu anggota aktifnya. Bersama beberapa kawannya Miya mukim di West Side Madison.[8] Aksi solidaritas juga ditunjukkan oleh Professional Staff Congress (PCS), City University of New York. Melalui  slogan “We Are All Wisconsin,” presiden PCS Barbara Bowen, sebagai bagian dari tim American Federation of Teachers (AFT), bertolak menuju Madison untuk memberikan solidaritasnya.[9] Dari Massachusetts, ratusan mahasiswa, dosen dan staf universitas Massachusetts, menggelar aksi massa sebagai dukungan terhadap aksi di Madison. Mereka menggelar spanduk bertuliskan “From Wisconsin to Massachusetts – Defending the Public Sector.[10]

Solidaritas yang meluas ini menunjukkan, rakyat pekerja AS telah menemukan kembali peran historis mereka di hadapan kelas kapitalis. Mereka telah belajar bahwa sikap diamnya selama ini, tidak membuat kelas kapitalis, birokrat serikat buruh, dan pemerintahan yang berpihak pada mereka, akan mengendurkan sikap anti buruhnya. Justru sebaliknya, sikap diam itu selama ini telah dimanfaatkan kelas kapitalis untuk memperdalam proses eksploitasinya terhadap kelas buruh, tidak hanya di AS tapi juga di seluruh dunia. Seperti ditulis Eleanor Clift, jika serikat buruh yang sangat kuat, seperti di Wisconsin bisa dikalahkan, maka hal serupa juga akan segera melanda negara bagian lainnya.[11]

Dengan momentum perlawanan Madison ini, slogan “Buruh Sedunia Bersatulah,” kembali bergema.***

[1] Peter Rachcleff, “In defense of public-sector unions,” http://socialistworker.org/2011/02/23/defending-public-sector-unions
[2] Walker says National Guard prepared to respond after unveiling of anti-union plan http://www.chicagotribune.com/news/local/sns-ap-wi–budgetwoes-nationalguard,0,6647243.story
[3] “The meaning of Madison,” http://socialistworker.org/2011/03/02/meaning-of-madison
[4] Phil Gasper, “What comes next in Wisconsin?” http://socialistworker.org/2011/03/07/what-comes-next-wisconsin
[5] Report from Madison: Fascists and Unions in the U.S. North, http://libcom.org/news/report-madison-fascists-unions-us-north-22022011
[6] From Cairo to Madison, some pizza, http://www.politico.com/news/stories/0211/49888.html#ixzz1EXkqdxcu
[7] Gerry Daley, “From California, and into Wisconsin’s Friendly Roar,” http://labornotes.org/blogs/2011/03/california-and-wisconsins-friendly-roar
[8] Dawn Maturen, “Solidarity with Wisconsin, in All Corners,” http://labornotes.org/blogs/2011/03/solidarity-wisconsin-all-corners
[9] “Solidarity With Wisconsin Trade Unionists,” http://www.psc-cuny.org/solidarity-wisconsin-trade-unionists.
[10] ALYSSA CREAMER, “Galvanized students, faculty rally in solidarity with Wisconsin protesters,” http://dailycollegian.com/2011/03/07/galvanized-students-faculty-rally-in-solidarity-with-wisconsin-protesters/
[11] Eleanor Clift, “Screen Actors Guild in Solidarity With Wisconsin Protesters,” http://www.politicsdaily.com/2011/02/27/screen-actors-guild-in-solidarity-with-wisconsin-protesters/

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.